Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Media, Tabu dan Cyborg

4 Comments


Seorang sahabat di ujung Timur Pulau Flores menulis humor ini. Seorang peserta tes pegawai negeri bertanya, “Pak, untuk kolom jenis kelamin ini ditulis atau digambar?” Petugas itu diam menunggu untuk menjawab.

Humor ini mengajak kita untuk berpikir, bagaimana dalam sekian imajinasi manusia dalam melihat kenyataan, kita kemudan menyeleksi dan memilih tanda, nada, ekspresi, kata untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan bagaimana kita beradaptasi dengan ruang. Ruang misalnya ruang intim, ruang semedi, ruang keluarga, ruang tamu, beranda, ruang umat, ruang berdagang, dan ruang publik.

Pemahaman atas ruang yang berbeda ini menunjukan kemampuan kita memahami sekian perbedaan. Misalnya dalam budaya kita, banyak cara untuk menyatakan sesuatu tanpa merujuk langsung pada obyek yang dimaksud. Ketika seorang pria lupa menari rosletingnya. Orang tidak mengatakan, “Pak, anu-mu kelihatan.” Tetapi kalimat yang dipakai tidak merujuk langsung pada obyek, “Maaf Pak rosleting-nya lupa dinaikan.” Kalimat ini pun biasa dipakai jika kita hanya berdua atau bertiga. Tetapi ketika anda memegang mic dan kebetulan tokoh yang anda perkenalkan itu lupa menutup jendela celananya, maka dengan sopan orang memanggil ke belakang, dengan kode tanpa bunyi untuk memberitahu. Jarang seorang MC berteriak dan mempermalukan tamunya.

Kemaluan memang tidak diumbar begitu saja. Karena ini berkaitan dengan tabu. Perkara seksualitas merupakan hal yang disepakati untuk tidak diumbar dengan banal dalam masyarakat yang digolongkan orang moderen paling primitif sekali pun.

Tetapi kebiasaan ini tidak berlaku pada sekian jenis media on line belakangan ini. Tercatat Kompas.Com dan Tribunnews.Com merupakan dua media on line yang paling mengumbar aurat belakangan ini. Kalimatnya langsung, asal tulis, dan mengejar sensasi. Dalam skala yang lebih rendah ternyata Tempointeraktif.com juga melakukan hal yang sama. Untuk menyatakan berita artis yang sedang diperbincangkan melakukan hubungan intim, media massa merasa perlu mengambil cuplikan dari gambar dari video yang sedang disebut-sebut dan dipajang di halaman utama web. Lebih parah lagi media TV yang sampai perlu menyiarkan cuplikan gambar.

Kehadiran sekian alat komunikasi moderen di akhir tahun 1990-an di Indonesia tidak di-ikuti dengan kemampuan membedakan ruang, ketrampilan berkomunikasi, dan kepekaan yang memadai. Akibatnya di era on line seluruh ruang digabung jadi satu, dan kita terjerat sendiri karena tidak memahami mengapa alat-alat ini diciptakan dan bagaimana dipakai dalam masyarakat penghasil teknologi komunikasi baru ini. Ini pun wajar karena Indonesia memang menjadi sasaran pasar dalam industri.

Apakah kita orang primitif dalam hal menggunakan teknologi komunikasi? Pertanyaan nakal ini cenderung berubah menjadi pernyataan jika melihat suasana kesurupan massal di Indonesia dalam dua minggu terakhir ini.

Sejak awal dibedakan antara Kompas.Com dan Koran Kompas maupun antara Tempointeraktif.com dengan Majalah Tempo. Pengelola media on line masih lah asal. Jika dibandingkan dengan ketatnya ‘penjaga gawang’ di media cetak.Tak hanya on line, media TV di Indonesia pun juga masih belajar menyaring apa yang pantas. Agak beruntung, Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Indipenden) Nezar Patria sempat turun tangan untuk mengingatkan agar pemberitaan perkara seksualitas pun perlu menggunakan etika.

Siapa pun yang pernah menjadi wartawan kriminal televisi di Indonesia pasti tahu bagaimana cameraperson jadi begitu tega mengambil gambar-gambar sadis karena tuntutan bos di kantor. Untuk bisa tega maka cara yang kita lakukan adalah melepaskan keterkaitan kita dengan ‘obyek yang diambil’. Orang yang didepan kita turunkan derajatnya menjadi barang. Logika ini sama juga dalam perang.

Perkara tabu yang dibuka menjadi banal di ruang publik merupakan fenomena Orang Indonesia yang baru belajar menggunakan alat-alat komunikasi ini. Dikatakan baru belajar karena prinsip ‘5W+H’ pun kita datangkan dari tempat lain. Cara menulis kalimat pembuka dalam berita pun kita belajar meniru. Itu bukan sesuatu yang datang secara alamiah.

Hari-hari mendatang kita masih memikirkan bagaimana isu ini akan dihadapi. Banyak orang tua bertanya, “Kenapa sampai generasi ini jadi begini?” Kalau disadari bagaimana pengaruh media audiovisual yang masuk dalam masyarakat kita maka kita bisa sadari bagaimana kita tiba di sini. Di tahun 1980-an awal televisi masih merupakan barang baru. Di Kupang, kita yang ingin menonton masih harus duduk di bawah pohon beringin di depan kantor RRI. Kemudian beralih menonton di rumah tetangga, hingga akhirnya TV menjadi barang biasa di ruang tengah.

TV tak cukup kecil untuk dibawa kemana-mana. TV tak cukup memudahkan komunikasi banyak arah. Maka sekian alat komunikasi diperkenalkan pada kita, mulai dari pager, HP, hingga BB. Internet pun mulanya hanya bisa diakses di komputer biasa, tetapi kemudian bisa diakses lewat laptop maupun di HP, di tangan masing-masing kita.

Kehadiran alat-alat komunikasi ini merubah ruang hidup kita. Dulu jika ingin bertemu pacar kita harus mengetuk pintu rumah gadis yang kita ingin jumpa. Kini tinggal kirim SMS, kita bisa ngobrol sampai pagi. Tak harus ke rumah. Tak cukup lihat tulisan, dipasang juga web cam, agar tampak ada di depan.

Perubahan ini sepertinya alamiah, tetapi jika orang paham bagaimana para pembuat iklan mengeksplorasi ide dalam menjual produk klien mereka maka kita bisa paham bagaimana ‘ruang dalam’ kita dikontrol.

Sekian alat komunikasi yang kita pegang dan gunakan tak banyak berbeda jika dipakai tanpa memahami bagaimana jaringan ini terbentuk, dan memahami jaringan tanda yang membuat kita masih merasa sebagai manusia. Hal-hal yang intim dan halus, seharusnya tetap lah kita simpan. Hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata maka kita tukar dengan diam. Hal-hal yang belum lagi kita mengerti perlu kita renungkan bersama agar ada ‘kata’ yang tepat yang bisa kita pakai dalam berhubungan dengan manusia-manusia lain. Tanpa kemampuan ini kehadiran alat-alat komunikasi ini dalam hidup kita ibarat mencangkokan lensa di bawah dahi, atau menanam HP di dalam tangan, maupun menanam TV di dalam kepala. Entah bagaimana Pablo Picasso menggambar manusia Indonesia saat ini?

Sebelum lupa, si panitia penerimaan pegawai, karena jengkel dan lelah panitia menjawab, “Untuk kamu jenis kelamin langsung kasih tunjuk saja.”

Bagi saya para pekerja media on line maupun TV di Indonesia seperti orang yang kelelahan. Hingga akhirnya tiba di jalan buntu, “Pasang saja gambar mereka!”

Sementara orang-orang tua masih terkaget-kaget melihat geliat generasi cendawan. Generasi yang hanya tumbuh di musim hujan, dan sebentar lagi pergi. Di ruang redaksi para juru ketik sibuk menerjemahkan berita dari negeri seberang untuk di-infus ke negeri yang diproklamasikan Soekarno-Hatta: Indonesia.

Andaikan Mohctar Lubis masih ada, saya tentu meminta dia untuk menulis ulang ciri Manusia Indonesia 2010. Khusus soal wartawan Indonesia dalam surat yang ditulisnya ia menjawab ‘Sudah tidak ada harapan lagi’. Ketika ditanya bagaimana kalau kita sudah mencoba dan tidak berhasil, ‘Ya senangkan lah hati.’ Mungkin saat ia menjawab ia menulis sambil ber-yoga dengan kepala di bawah. Media di Indonesia adalah industri.

Meskipun Mochtar Lubis Award sekarang ajang bergengsi di industri media tetapi matinya Indonesia Raya tetap tidak terjelaskan dalam konteks bermedia di Indonesia. Saya rindu ada orang seperti Mochtar Lubis, bicara apa adanya. Tidak menjadi dua atau tiga dalam ruang yang berbeda. Seorang manusia. Pandangannya soal seksualitas manusia Indonesia pun indah. Dibukanya dari pantun, bukan cuma gambar.

Dominggus Elcid Li, Bekas dosen Jurusan Komunikasi Unika Widya Mandira Kupang, NTT, bekas wartawan TV7/MetroT7, pengelola beberapa media komunitas, kadang jadi koresponden Tempo di London, sedang sekolah di Inggris.

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

4 thoughts on “Media, Tabu dan Cyborg

  1. Pingback: ] Media, Tabu dan Cyborg « Catatan Roni untuk dunia

  2. Artikel yang sangat bagus pak. terimakasih sudah menulisnya dengan runut. memang benar media saat ini benar benar sudah error. Bahkan, hingga Radiopun tetap menggambarkan sesuatu yang tabu dengan sangat jelas. lebih jelas dari tivi sekalipun. dunia yang ajaib.

  3. yg saya tau kalo media online diistilahkan dengan linkbaiting…
    cara cepat mengejar popularitas instan…. tetapi saya pikir brand yang profesional seperti ke-2, 3 media online itu tidak pernah besar. termakan kaskus dan situs2 dgn konsep yg lebih baru 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s