Oleh Dominggus Elcid Li*
Pilkada Kota Kupang terancam ‘sonde ada rasa’, jauh dari substansi demokrasi, Pilkada hanya lah soal ‘kemampuan memanipulasi persoalan teknis administratif’. Kondisi ini amat dirasakan oleh Viktori, gerakan politik anak muda Kota Kupang yang datang sebagai anti tesis demokrasi transaksional (baca: ada uang, ada pintu).
Sejauh ini kami telah membuktikan bahwa ‘pintu dari rakyat’ terbuka dan ada jika kita sungguh-sungguh hadir dan meminta dukungan dari rakyat. Tak hanya itu model manipulasi elit politik yang menjadikan pintu hanya ditentukan oleh orang kuat partai berhasil dipatahkan dengan model gerakan politik Viktori. Klaim elit partai politik yang biasa menggunakan survey sebagai kamuflase instrumen anti demokrasi pun berhasil kami tiadakan. Singkatnya, kami membuktikan bahwa kelas pejalan kaki pun mampu berpolitik jika mengorganisir diri.
Dengan kondisi tidak padat modal, jauh dari ‘parade spanduk’ Viktori mampu mendapatkan dukungan politik minimal. Politik tidak menjadi barang mahal jika kekuatan kolektif warga yang menjadi sandaran dan bukan kampanye narsistik, yang sekedar menjual wajah calon. Kekuatan kolektif yang memungkinkan pengumpulan dukungan. Kuncinya ada ada pada kebersamaan dan kesukarelaan.
Kota Kupang vs Flores Timur
Di lingkup NTT, sebenarnya ada wajah lain yang menggembirakan yang datang dari ujung Timur Nusa Bunga. Ketika KPU Flores Timur memberikan kesempatan untuk calon indipenden dan netral maka proses penyelenggara Pilkada pun ‘ada rasa’. Sebaliknya dengan kondisi masuk angin, kerja penyelenggara politik di Kota Kupang berjalan kacau balau. Setidaknya ada tiga hal yang membedakan profesionalitas kinerja KPU Flores Timur daripada KPU Kota Kupang di Ibukota Provinsi.
Pertama, ketika melakukan verifikasi faktual KPU Kota Kupang seharusnya membawa formulir dukungan B1-KWK, yang terjadi di lapangan sebagian besar petugas PPS hanya membawa formulir excel yang rawan manipulasi. Bukan omong kosong jika dukungan pendukung Viktori ada di lembar excel milik calon indipenden dari paket lain.
Kedua, petugas PPS di Kota Kupang tidak memiliki lembar cek harian, untuk membuktikan bahwa mereka mengunjungi rumah-rumah ini setiap harinya. Di Flores Timur petugas PPS membawa lembar cek harian. Sebagian besar pendukung Viktori yang dinyatakan TMS (Tidak Memenuhi Syarat), karena PPS tidak turun cek.
Ketiga, para pendukung yang tidak ditemui paling lambat diberitahu tiga hari setelah para petugas PPS melakukan kunjungan verifikasi faktual. Hal ini dilakukan oleh KPU Flores Timur. KPU Kota Kupang tidak peduli dengan syarat ini.
Keempat, di Flores Timur Panwaslu berfungsi dengan menegur ASN yang berpolitik praktis. Di Kota Kupang hal ini tidak jalan. Contohnya di lapangan petugas PPS yang diseleksi oleh tim seleksi untuk KPU Kota Kupang ternyata ada yang berprofesi sebagai pegawai honor di Pemerintah Kota Kupang. Panwaslu masih diam.
Praktek politik yang menghalalkan segara cara, dengan memanipulasi dokumen administratif, dan dengan mengkapling petugas PPS merupakan cara-cara kotor. Kondisi ini diketahui oleh para pelaku politik praktis dan dianggap sebagai aturan umum. Kejadian ini ini membuat Pilkada Kota Kupang kembali dalam mode ‘mati rasa’.
KPU sebagai Pembunuh Demokrasi Warga
Terselenggaranya proses Pilkada yang demokratis dan profesional, seharusnya bukan hanya kebutuhan salah satu pasangan calon dan tim pendukung, tetapi merupakan kebutuhan publik. Jika sistem pemilihan dijalankan asal jadi, semata hanya untuk mengejar formalitas, maka kita semakin jauh dari substansi demokrasi.
Contohnya seluruh keberatan yang diajukan Paket Viktori di tiap tahapan (kecamatan, dan kota) diabaikan. Sebaliknya KPU mengejar formalitas Pilkada serentak. Tirani serentak ini yang menjadi dalil utama KPU Kota kupang.
KPU begitu setia menghitung hari sesuai dengan prosedur birokrasi, tetapi ‘mengabaikan’ protes yang diberikan dalam pleno. Entah apa yang dikejar KPU Kota Kupang? Bahkan KPU Kota Kupang juga tidak mau tahu bahwa hingga hari ini berita acara sidang pleno dari 12 kelurahan tidak pernah diterima oleh Paket Viktori. Bahkan pleno tertutup yang dijalankan KPU Kota Kupang pun cacat hukum, karena bertentangan dengan Peraturan KPU No. 5 tahun 2016 tentang pencalonan gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota atau wakil walikota. Khususnya Pasal 67 Ayat 3 yang berbunyi: ‘KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota mengumumkan hasil penetapan pasangan calon dengan keputusan KPU dalam rapat pleno terbuka di kantor KPU/KIP Kabupaten/Kota’. Apa sebenarnya yang ditutupi? Bukankah ini perkara publik?
Sensitivitas Ketua Bawaslu Provinsi NTT terhadap proses Pilkada ini juga terlihat ketika ia menyatakan akan merekrut 600 orang relawan untuk memantau Pilkada Kota Kupang. Seharusnya Ketua Bawaslu NTT sudah melakukan hal ini sejak proses verifikasi faktual untuk para calon dari jalur indipenden. Sebab di era verifikasi faktual petugas pengawas dari Panwaslu defisit 2 orang. Tidak mungkin 1 petugas pengawas di tingkat kelurahan mengawasi 3 orang PPS.
Panwaslu Kota Kupang pun seharusnya bisa lebih tegas. Di satu sisi merekomendasikan dan menyetujui seluruh point pelanggaran yang diprotes oleh Viktori, dan menuangkan surat yang ditujukan kepada KPU Kota Kupang, tetapi di saat yang sama membebaskan KPU untuk melakukan verifikasi sebebas-bebasnya. Kebebasan tanpa kontrol dalam wilayah teknis verifikasi faktual ini merupakan ‘arena manipulasi’.
Pilkada tanpa rule of law
Dalam negara hukum, recht (hukum) dan macht (kuasa) seharusnya dibedakan dengan baik. Saat ini dalam prakteknya KPU Kota Kupang mengabaikan hukum (recht), dan hanya bermain kuasa (macht). Fokus terhadap aspek administratif semata sebagai ‘ruang politik manipulasi’ telah membutakan KPU Kota Kupang terhadap ketidakadilan struktural yang ada di depan mata, maupun pelanggaran substantif yang dilakukan KPU sendiri.
Dalam proses verifikasi administratif ini, KPU Kota Kupang tidak melihat antusiasme orang kecil terlibat dalam proses politik. KPU Kota Kupang lupa melihat warga miskin yang menjadi pendukung Viktori yang setiap tahun pindah kontrakan dan alamatnya di KTP berubah. KPU Kota Kupang juga tidak pernah tahu ada pendukung yang menangis karena rumahnya kami datangi langsung. Nuansa manusiawi ini hilang dengan model pengelolaan KPU bermental pejabat.
Secara kasat mata kami melihat para pejabat publik yang berfungsi sebagai penyelenggara dan pengawas juga dulu merupakan kaum pejalan kaki. Mereka yang dulu aktif menulis soal ketidakadilan, tetapi di saat yang sama tutup mata terhadap ketidakadilan. Manusia yang lupa jalan pulang, ibarat kacang lupa kulit.Kepada mereka ini turun secara terhormat dari jabatan publik sudah merupakan keharusan.
Birokrasi yang buta hati, birokrasi yang tidak menggunakan nalar pasti akrab dengan manipulasi. Birokrasi yang tidak menjunjung persamaan semua warga dimata hukum menjadi birokrasi yang penakut, takluk pada tekanan. Sehingga ‘mereka yang besar’ boleh berbuka sesuka hati. Sebaliknya kepada warga yang tak berduit, kaum pejalan kaki, kesewenang-wenangan merupakan gambaran umum.
Ke depan seluruh lembaga publik mulai dari KPU dan Panwaslu Kota, Bawaslu Provinsi NTT maupun KPU Provinsi NTT serta PPS, maupun jabatan publik yang mengatur tentang penyelenggaraan Pilkada perlu direbut oleh publik. Selain jabatan-jabatan administratif dalam KPU Kota Kupang pun perlu ditelaah dengan saksama, sebab di sini lah ruang manipulasi terbuka, dan para ‘pejabat publik’ titipan politikus status quo bersarang.
Bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan KPU Kota Kupang siap kami buka dan beberkan kepada publik. Pleno tertutup yang dijalankan merupakan cermin ketakutan sekaligus upaya mendiamkan pertanyaan-pertanyaan yang kami sampaikan atas pelanggaran berjenjang dalam sidang pleno mulai dari kecamatan hingga kota.
Politik bukan lah merupakan perkara individual, tetapi merupakan perkara publik. Jadi, jawaban kami tetap sama seperti dalam satu jumpa pers Viktori ketika ada pertanyaan dari salah seorang wartawan, “Apakah Viktori merasa dirugikan?” Kami balik bertanya, “Bagaimana dengan anda?” Suara hati yang telah ditawan oleh kuasa uang, materi, dan ketakutan pasti tidak lagi berfungsi, akibatnya benar dan salah yang sederhana pun tidak mudah untuk ditentukan, bahkan sering kali jawaban apologetik yang malah muncul ‘ini persoalan rumit’.
Ketika orang tak tahu cara menulis tentang ketidakadilan, kita perlu merasa resah. Ketika kriminalitas diterima sebagai hal biasa, maka tentu ada yang salah. Hidup publik tanpa haluan, tanpa kompas, pasti tersesat.
Kota tanpa keutamaan publik seperti kuburan tua, yang seluruh nisannya telah dicongkel. Lembaga-lembaga publik yang mentolerir perilaku kriminal dan diam terhadap ketidakadilan, ibarat para pencongkel batu nisan yang membawa pulang ‘nisan publik’. Jabatan publik harus diisi orang baik dan berintegritas. Rasa keadilan adalah rumah sebuah kota yang harus dipertahankan, agar kita masih bisa pulang.
*Warga Kota Kupang bekerja untuk Paket Viktori (Matheos Viktor Messakh-Victor Manbait)