Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Pilkada, Indipendensi Penyelenggara, dan Paket Non Birokrat di Kota Kupang


 

Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Pilkada Kota Kupang kali ini cenderung akrab dengan intrik elit. Hal ini ditandai dengan kuatnya peran ‘invisible hand’. Meskipun intrik adalah wajah dominan, namun diabaikan. Untuk paham intrik, pemahaman awal terhadap proses dan alur merupakan dasar utama.

Menjegal dan mendukung menggunakan institusi penyelenggara pemilu menjadi karakter utama Pilkada Kota Kupang kali ini. Upaya menjegal satu-satunya calon dari golongan non PNS dialami oleh Paket Viktori, pasangan Matheos Viktor Messakh dan Victor Manbait. Viktor Messakh yang biasa dipanggil Atok adalah mantan jurnalis The Jakarta Post dan kini Pemimpin redaksi Satutimor.Com, sedangkan Victor Manbait adalah Direktur LSM Lakmas Cendana Wangi. Kedua pemuda berani ini telah membuktikan bahwa adalah mungkin warga Non PNS masuk dalam gelanggang politik.

Di Kota Kupang, yang dicap sebagai kota pe-en-es ini, keterlibatan warga Non PNS bukan merupakan hal biasa. Pertanyaan Ospek yang biasa ditanyakan kepada mereka adalah: ‘tanam kelapa dimana’ atau ‘sudah bikin apa’. Kerangka pemikirannya khas ‘pemilik trayek lama’ jalur bemo. Angkutan kota yang boleh jalan hanya lah yang punya izin trayek, atau sudah lama ‘ngetem’ di situ. Akibatnya bemo Kupang ‘sonde jadi doi lai’. Mogok, tidak kuat naik bukit adalah pemandangan biasa. Meskipun kekurangan daya ini coba ditutupi dengan volume speaker yang luar biasa besar, warna-warni cat dan pelapis kaca mobil.

Jadi ketika ‘kaum pejalan kaki ini’ berhasil kumpulkan dukungan sebanyak 22.708 pendukung, orang sempat heran. Proses pengumpulan tidak menjadi bahan belajar, sebaliknya watak kolonial lah yang dipraktekan oleh KPU, Panwaslu dan Bawaslu. Watak kolonial adalah ujaran pejabat yang menolak untuk dibantah dengan data dan analisis. Atau dalam bahasa angkot ‘dilarang mendahului’. Jika coba mendaftar, tahu sendiri akibatnya. Bahkan para pejabat ini jangan sampai dibuat tersinggung dengan kritik.

 

Akrobat Penyelenggara Pemilu

Tahap pertama proses penjegalan dimulai dari proses verifikasi faktual dari KPU. Hingga hari H, insiatif untuk koordinasi verifikasi faktual tidak datang dari KPU, sebaliknya pasangan calon ini lah yang mengundang KPU untuk memberikan materi rencana verifikasi dan mekanisme koordinasi. Bisa diterka, di lapangan verifikasi berjalan amburadul. Atas perintah KPU Kota Kupang seluruh nama yang yang tidak dikunjungi sama sekali digolongkan dalam TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab oleh KPU Kota Kupang hingga hari ini adalah ‘di mana daftar nama yang telah dikunjungi’. Manipulasi ini tidak pernah dijawab, dan dibuka media.

Protes terhadap kerja KPU dilayangkan mulai dari level pertemuan kelurahan, pleno kecamatan hingga pleno KPU Kota Kupang. Seluruh keberatan yang ditulis Viktori diakomodir oleh Panwaslu Kota Kupang. Panwaslu Kota Kupang lalu merekomendasikan kepada KPU Kota Kupang untuk menindaklanjuti perkara ini dengan cara sebebas-bebasnya. Rekomendasi yang paradoksal.

Keberatan utama Paket Viktori adalah proses verifikasi model sensus yang dilakukan KPU Kota Kupang jauh dari makna sensus. Kenapa mereka yang tidak dikunjungi dikategorikan TMS (Tidak Memenuhi Syarat)?

 

Gajah ketemu Gajah = Banyak Polisi

Keberatan terhadap keputusan KPU yang meniadakan pendukung Viktori yang tidak dikunjungi disampaikan kepada Panwaslu Kota Kupang dengan bukti video sebanyak 180 buah untuk dipelajari. Dari seluruh video ini hanya dua yang dilihat oleh Panwaslu. Keputusan Panwaslu menolak gugatan Viktori tanpa ada analisis hukum, maupun penjelasan penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa aslinya Panwaslu tidak memiliki keberatan terhadap tuntutan dan penjelasan Viktori.

Sayangnya protes yang dilayangkan oleh Viktori makin runyam ketika Panwaslu dibekukan oleh Bawaslu Provinsi atas perintah Bawaslu pusat. Rekomendasi yang ditulis oleh Bawaslu pusat hanya mempersoalkan keputusan Panwaslu atas ‘mutasi pegawai’ yang dilakukan Jonas Salean.

Drama ini pun berlanjut. Pihak penyelenggara dari Bawaslu pusat, Bawaslu Provinsi NTT, hingga KPU Kota Kupang hanya mengurus pencalonan Jonas Salean. Sedangkan protes dari Viktori sama sekali tidak dibahas. Karena tidak dibahas media pun diam.

 

Barang Bukti Jadi Properti Penyelenggara?

Tak berhenti di situ paket rakyat jelata ini dikerjai oleh para penyelenggara. Ketika kedua pemuda ini bertanya kemana 180 barang bukti yang sudah diserahkan kepada Panwaslu, keduanya dipingpong selama tiga hari. Di sekretariat Panwaslu Kota Kupang yang sudah dibekukan pengurusnya, mereka menjawab ‘tidak tahu’. Ger Atawuwur, sebagai Ketua Panwaslu Kota Kupang yang dibekukan menjawab ia hanya menerima soft copy. Sedangkan Yemris Fointuna, mantan wartawan Jakarta Post yang jadi anggota Bawaslu Provinsi NTT, pun menjawab ‘tidak tahu dan akan dicari’.

Hari ini, 16 November 2016, Bawaslu Provinsi NTT, atas nama Saudara Yemris Fointuna menulis surat bahwa permintaan kembali dokumen-dokumen asli yang disampaikan kepada Panwas Kota Kupang tidak dapat diberikan karena (1) dokumen asli maupun salinan merupakan dokumen pendukung dalam proses penyelesaian musyawarah sengketa Pemilu yang hasilnya sudah diputuskan pada tanggal 7 November 2016 sehingga seluruh dokumen terkait menjadi milik Panwaslu. Padahal dokumen-dokumen ini dibutuhkan untuk dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Surabaya. Tak hanya itu putusan, berita acara dalam musyawarah sengketa maupun notulensi sidang Pilkada Kota pun tidak diberikan. Kejanggalan ini juga dirasakan oleh hakim PTUN Surabaya

Setidaknya dua hal yang perlu menjadi pertimbangan Bawaslu Provinsi NTT, dan para penasehat hukumnya. Pertama, sejak pleno di tingkat kelurahan, hingga kota di KPU Kota Kupang sengketa Pemilu ini tidak dibahas dan dibuktikan secara tertulis. Kedua, di tingkat musyawarah sengketa Pemilu di Panwaslu Kota Kupang, dari 180 bukti yang diserahkan hanya dua bukti yang dikaji dalam persidangan.  Bagaimana dengan analisanya? Ketiga, kehadiran dua staf Bawaslu pusat dalam perhelatan Pilkada Kota Kupang memang janggal, apalagi ‘staf Bawaslu pusat ‘hanya mengurusi’ masalah satu pasang calon. Sedangkan keberatan dan persoalan mendasar terkait soal ‘verifikasi faktual’ dianggap bukan lah soal. Seharusnya Bawaslu Provinsi NTT bisa berpikir bahwa antara proses dan hasil adalah satu paket. Menerima hasil, tanpa mengkaji proses merupakan tanda tanya.

Sampai di sini, kita bisa sama-sama lihat bahwa ‘teror’ dan kekuatan massa merupakan alat efektif dalam politik Pilkada. Tidak hanya di Jakarta, di Kupang juga sama. Sayangnya ulasan semacam ini tidak kita temukan di media massa. Horor dan yang jelek senantiasa ada di seberang lautan, sementara di rumah sendiri manipulasi adalah jati diri.

 

*Penulis adalah Warga Kota Kupang yang bekerja untuk Atok-Viktor (Viktori) dalam Pilkada Kota Kupang.

Advertisement


4 Comments

Media, Tabu dan Cyborg


Seorang sahabat di ujung Timur Pulau Flores menulis humor ini. Seorang peserta tes pegawai negeri bertanya, “Pak, untuk kolom jenis kelamin ini ditulis atau digambar?” Petugas itu diam menunggu untuk menjawab.

Humor ini mengajak kita untuk berpikir, bagaimana dalam sekian imajinasi manusia dalam melihat kenyataan, kita kemudan menyeleksi dan memilih tanda, nada, ekspresi, kata untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan bagaimana kita beradaptasi dengan ruang. Ruang misalnya ruang intim, ruang semedi, ruang keluarga, ruang tamu, beranda, ruang umat, ruang berdagang, dan ruang publik.

Pemahaman atas ruang yang berbeda ini menunjukan kemampuan kita memahami sekian perbedaan. Misalnya dalam budaya kita, banyak cara untuk menyatakan sesuatu tanpa merujuk langsung pada obyek yang dimaksud. Ketika seorang pria lupa menari rosletingnya. Orang tidak mengatakan, “Pak, anu-mu kelihatan.” Tetapi kalimat yang dipakai tidak merujuk langsung pada obyek, “Maaf Pak rosleting-nya lupa dinaikan.” Kalimat ini pun biasa dipakai jika kita hanya berdua atau bertiga. Tetapi ketika anda memegang mic dan kebetulan tokoh yang anda perkenalkan itu lupa menutup jendela celananya, maka dengan sopan orang memanggil ke belakang, dengan kode tanpa bunyi untuk memberitahu. Jarang seorang MC berteriak dan mempermalukan tamunya.

Kemaluan memang tidak diumbar begitu saja. Karena ini berkaitan dengan tabu. Perkara seksualitas merupakan hal yang disepakati untuk tidak diumbar dengan banal dalam masyarakat yang digolongkan orang moderen paling primitif sekali pun.

Tetapi kebiasaan ini tidak berlaku pada sekian jenis media on line belakangan ini. Tercatat Kompas.Com dan Tribunnews.Com merupakan dua media on line yang paling mengumbar aurat belakangan ini. Kalimatnya langsung, asal tulis, dan mengejar sensasi. Dalam skala yang lebih rendah ternyata Tempointeraktif.com juga melakukan hal yang sama. Untuk menyatakan berita artis yang sedang diperbincangkan melakukan hubungan intim, media massa merasa perlu mengambil cuplikan dari gambar dari video yang sedang disebut-sebut dan dipajang di halaman utama web. Lebih parah lagi media TV yang sampai perlu menyiarkan cuplikan gambar.

Kehadiran sekian alat komunikasi moderen di akhir tahun 1990-an di Indonesia tidak di-ikuti dengan kemampuan membedakan ruang, ketrampilan berkomunikasi, dan kepekaan yang memadai. Akibatnya di era on line seluruh ruang digabung jadi satu, dan kita terjerat sendiri karena tidak memahami mengapa alat-alat ini diciptakan dan bagaimana dipakai dalam masyarakat penghasil teknologi komunikasi baru ini. Ini pun wajar karena Indonesia memang menjadi sasaran pasar dalam industri.

Apakah kita orang primitif dalam hal menggunakan teknologi komunikasi? Pertanyaan nakal ini cenderung berubah menjadi pernyataan jika melihat suasana kesurupan massal di Indonesia dalam dua minggu terakhir ini.

Sejak awal dibedakan antara Kompas.Com dan Koran Kompas maupun antara Tempointeraktif.com dengan Majalah Tempo. Pengelola media on line masih lah asal. Jika dibandingkan dengan ketatnya ‘penjaga gawang’ di media cetak.Tak hanya on line, media TV di Indonesia pun juga masih belajar menyaring apa yang pantas. Agak beruntung, Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Indipenden) Nezar Patria sempat turun tangan untuk mengingatkan agar pemberitaan perkara seksualitas pun perlu menggunakan etika.

Siapa pun yang pernah menjadi wartawan kriminal televisi di Indonesia pasti tahu bagaimana cameraperson jadi begitu tega mengambil gambar-gambar sadis karena tuntutan bos di kantor. Untuk bisa tega maka cara yang kita lakukan adalah melepaskan keterkaitan kita dengan ‘obyek yang diambil’. Orang yang didepan kita turunkan derajatnya menjadi barang. Logika ini sama juga dalam perang.

Perkara tabu yang dibuka menjadi banal di ruang publik merupakan fenomena Orang Indonesia yang baru belajar menggunakan alat-alat komunikasi ini. Dikatakan baru belajar karena prinsip ‘5W+H’ pun kita datangkan dari tempat lain. Cara menulis kalimat pembuka dalam berita pun kita belajar meniru. Itu bukan sesuatu yang datang secara alamiah.

Hari-hari mendatang kita masih memikirkan bagaimana isu ini akan dihadapi. Banyak orang tua bertanya, “Kenapa sampai generasi ini jadi begini?” Kalau disadari bagaimana pengaruh media audiovisual yang masuk dalam masyarakat kita maka kita bisa sadari bagaimana kita tiba di sini. Di tahun 1980-an awal televisi masih merupakan barang baru. Di Kupang, kita yang ingin menonton masih harus duduk di bawah pohon beringin di depan kantor RRI. Kemudian beralih menonton di rumah tetangga, hingga akhirnya TV menjadi barang biasa di ruang tengah.

TV tak cukup kecil untuk dibawa kemana-mana. TV tak cukup memudahkan komunikasi banyak arah. Maka sekian alat komunikasi diperkenalkan pada kita, mulai dari pager, HP, hingga BB. Internet pun mulanya hanya bisa diakses di komputer biasa, tetapi kemudian bisa diakses lewat laptop maupun di HP, di tangan masing-masing kita.

Kehadiran alat-alat komunikasi ini merubah ruang hidup kita. Dulu jika ingin bertemu pacar kita harus mengetuk pintu rumah gadis yang kita ingin jumpa. Kini tinggal kirim SMS, kita bisa ngobrol sampai pagi. Tak harus ke rumah. Tak cukup lihat tulisan, dipasang juga web cam, agar tampak ada di depan.

Perubahan ini sepertinya alamiah, tetapi jika orang paham bagaimana para pembuat iklan mengeksplorasi ide dalam menjual produk klien mereka maka kita bisa paham bagaimana ‘ruang dalam’ kita dikontrol.

Sekian alat komunikasi yang kita pegang dan gunakan tak banyak berbeda jika dipakai tanpa memahami bagaimana jaringan ini terbentuk, dan memahami jaringan tanda yang membuat kita masih merasa sebagai manusia. Hal-hal yang intim dan halus, seharusnya tetap lah kita simpan. Hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata maka kita tukar dengan diam. Hal-hal yang belum lagi kita mengerti perlu kita renungkan bersama agar ada ‘kata’ yang tepat yang bisa kita pakai dalam berhubungan dengan manusia-manusia lain. Tanpa kemampuan ini kehadiran alat-alat komunikasi ini dalam hidup kita ibarat mencangkokan lensa di bawah dahi, atau menanam HP di dalam tangan, maupun menanam TV di dalam kepala. Entah bagaimana Pablo Picasso menggambar manusia Indonesia saat ini?

Sebelum lupa, si panitia penerimaan pegawai, karena jengkel dan lelah panitia menjawab, “Untuk kamu jenis kelamin langsung kasih tunjuk saja.”

Bagi saya para pekerja media on line maupun TV di Indonesia seperti orang yang kelelahan. Hingga akhirnya tiba di jalan buntu, “Pasang saja gambar mereka!”

Sementara orang-orang tua masih terkaget-kaget melihat geliat generasi cendawan. Generasi yang hanya tumbuh di musim hujan, dan sebentar lagi pergi. Di ruang redaksi para juru ketik sibuk menerjemahkan berita dari negeri seberang untuk di-infus ke negeri yang diproklamasikan Soekarno-Hatta: Indonesia.

Andaikan Mohctar Lubis masih ada, saya tentu meminta dia untuk menulis ulang ciri Manusia Indonesia 2010. Khusus soal wartawan Indonesia dalam surat yang ditulisnya ia menjawab ‘Sudah tidak ada harapan lagi’. Ketika ditanya bagaimana kalau kita sudah mencoba dan tidak berhasil, ‘Ya senangkan lah hati.’ Mungkin saat ia menjawab ia menulis sambil ber-yoga dengan kepala di bawah. Media di Indonesia adalah industri.

Meskipun Mochtar Lubis Award sekarang ajang bergengsi di industri media tetapi matinya Indonesia Raya tetap tidak terjelaskan dalam konteks bermedia di Indonesia. Saya rindu ada orang seperti Mochtar Lubis, bicara apa adanya. Tidak menjadi dua atau tiga dalam ruang yang berbeda. Seorang manusia. Pandangannya soal seksualitas manusia Indonesia pun indah. Dibukanya dari pantun, bukan cuma gambar.

Dominggus Elcid Li, Bekas dosen Jurusan Komunikasi Unika Widya Mandira Kupang, NTT, bekas wartawan TV7/MetroT7, pengelola beberapa media komunitas, kadang jadi koresponden Tempo di London, sedang sekolah di Inggris.


Leave a comment

Ini Negara Bung!


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Kekecewaan warga negara terhadap pembentukkan sekretariat koalisi gabungan, terutama antara Golkar dan Partai Demokrat, cuma sebatas umpatan status di internet. Apa program bersama konkrit kedua partai tetap tidak diketahui publik, entah oleh warga negara secara umum, konstituen, atau pun gerombolan saat Pemilu. Komitmen partai koalisi sepintas hanya diketahui Presiden Susilo, Aburizal Bakrie(Ical), dan segelintir elit.

Ironisnya di era “reformasi “ warga negara tetap tidak punya hubungan apa pun dengan partai politik setelah Pemilu. Anggota DPR pun tidak diperbolehkan berbicara indipenden, sehingga hak menyatakan pendapat pun masih harus diperjuangkan, bukan lagi menjadi hak langsung anggota DPR (Tempo Interaktif, 23 April 2010). Lebih parah lagi, ‘hak menyatakan pendapat’ pun dianggap sebagai ancaman untuk menjatuhkan pemerintah (Tempo, 17 Mei 2010).

Jika orang terpilih secara formal tidak bisa bicara, bagaimana ia bisa memperjuangkan hak pemilihnya? Proses pemberian mandat telah ‘dibalik’ seolah pemberian (ketua) partai. Mandat rakyat hanya ada di tataran simbolik, kenyataannya anggota DPR tunduk pada ketua partai/kakak pembina. Mereka ini pun tunduk di bawah logika ‘obyektivitas pasar’. Dalam konsep ini hirarki manusia ala boneka Rusia diselubungkan. Demokrasi Indonesia tidak hanya elitis, tetapi telah dipasung.

Asumsi umum di tahun 1998, dengan menurunkan Soeharto dengan watak pemerintahan otoriternya, maka mungkin diadakan model pemerintahan bersih, demokratis dan egaliter. Setelah satu dekade, kita tahu asumsi itu keliru. Akibat krisis finansial Soeharto tunduk di bawah IMF (International Monetary Fund) di tahun 1997, dan ia turun setelah mendapat telpon dari Madeleine Albright, Menteri Luar Negeri AS (Chomsky, 1998).
Di era Soeharto kita sedikit tahu siapa yang harus dilawan karena kekuasaan terpusat, dan ‘batas negara’ masih dipertahankan. Kini, kita sangat sulit membedakan mana pejabat atau penjahat di era pasar bebas. Bekas aktivis mahasiswa yang masuk jadi pejabat pemerintah pun tidak malu-malu menyatakan ‘ini lah kenyataan politik, kita harus ikut bermain’.

Hukum dan politik-ekonomi negara

Terkait perkara matinya hukum negara, dalam Discourse on Political Economy Rousseau (1992 [1758]:154) menyatakan hal tersulit dalam pemerintahan adalah memberlakukan hukum secara sama, dan di atas semuanya. Salah satu tugas vital pemerintah adalah melindungi orang-orang biasa dari tirani orang berduit.
Tetapi, hingga kini perkara kriminal yang menyerang aparat negara kita, masih dianggap sebagai perkara kriminal personal, tanpa dikaitkan dengan kesenjangan ekonomi dalam pasar maupun hak publik dalam negara. Pembukaan pasar bebas pasca Soeharto menempatkan investor sebagai anak emas negara. Perkara kriminal korporasi nyaris tidak mungkin dibuka.Contohnya: bagaimana mungkin Presiden Susilo bisa adil bersikap kasus Lumpur Lapindo, jika Ical yang jadi juru bicara. Tempo hari malah Presiden Susilo cuma komentar bahwa ‘Lumpur Lapindo akan dijadikan obyek wisata’ (Antara 1 April 2010). Konflik kepentingan ini tidak mungkin dihindari.

Dalam kondisi biasa saja, kedudukan para pemodal sudah sering kali ada di atas hukum. Bagaimana jika pemodal sekaligus legislator, kini ‘potong kompas’, juga punya wewenang dalam pemerintahan?
Dalam tirani pemodal, aparat negara mulai dari polisi hingga pegawai pajak telah menjadi bagian dari rantai perdagangan ini. Ironisnya, meskipun negara telah dalam kepungan pelaku kejahatan teroganisir, tidak ada langkah pasti untuk memutuskan lingkaran hitam yang terjadi akibat konflik kepentingan.

Bagaimana mungkin skandal pajak yang diributkan Sri Mulyani, bisa diungkap dengan kondisi koalisi semacam ini? Lagi pula, agar kita tak lupa karena terlalu banyak nonton TV, proses pergantian Sri Mulyani sebagai Menkeu sudah menjadi ‘gosip’ di kalangan pekerja media sejak Bulan Januari 2010, dan itu pun dibantah oleh ‘juru bicara’ Aburizal Bakrie, Lalu Mara (Tempo Interaktif, 10 Januari 2010). Jika ‘permainan’ yang sudah begitu vulgar saja sudah tidak mampu dimengerti benar dan salahnya, lantas apa perlu bicara soal konsep negara?

Di era pasar bebas, Lex Mercatoria (Hukum Dagang) menjadi hukum dominan (Santos, 1995). Indikasi ini ditunjukkan dengan dominannya para ekonom, dan masuknya para pemodal ke dalam partai politik yang berperan besar dalam pembuatan legislasi, maupun memegang posisi kunci di pemerintahan.
Mandor dan krisis sistem representasi

Di Indonesia pengurus partai politik, kecuali partai kader, umumnya masih menjalankan partai politik ala mandor dengan buruh harian. Hubungan ini pun hanya terjadi saat kampanye Pemilu. Jadi, istilah ‘wakil rakyat’ pun sudah tidak memadai lagi.

Ketidakmampuan mendirikan partai politik ‘moderen’, membuat sejumlah partai tetap kembali pada organisasi keagamaan awal atau pun amat tergantung pada kharisma tokoh. Seperti PKB yang amat tergantung pada NU dan Gus Dur, maupun PAN yang amat tergantung pada Amien Rais dan simpatisan Muhammadiyah. Tetapi, setelah 10 tahun reformasi, kharisma tokoh, baik Gus Dur dan Amien Rais tetap tidak mampu melawan “naluri permainan” yang terjadi di dua partai yang mereka dirikan. Baik PAN dan PKB pun dikerdilkan dalam watak mandor.

Gagalnya fungsi perwakilan ditandai tiga hal: pertama, warga negara tidak memiliki kontrol terhadap wakilnya setelah Pemilu. Kedua, warga negara yang mencoba masuk dalam partai politik tetap tidak bisa bergerak (baca: menyatakan pendapat) di dalam partai. Ketiga, terjadi kesenjangan luar biasa antara ‘kenyataan’ yang dipikirkan para politikus dengan “kenyataan” yang dialami warga negara. Kosongnya peran warga negara tersamar dengan peran liputan media televisi yang seolah menghadirkan kenyataan yang sama di ruang privat.

Tidak heran jika hari-hari ini kita hanya pasrah menyaksikan berbagai penyelewengan dalam hidup bernegara tanpa mampu bersuara. Sebaliknya nalar transaksi antar para pengurus partai politik baik di legislatif maupun di eksekutif juga tidak mampu menemukan ‘kenyataan bersama’. Bagaimana pemerintah mewujudkan “keinginan bersama” (general will), konsep kunci dalam pemikiran Rousseau, tetap tidak tercerna. Apakah konsep ‘keinginan bersama’ itu pun masih mungkin diwujudkan di era post-Westphalia, dimana batas negara lenyap, dan konsep ‘kedaulatan rakyat’ (sovereignty of the people) pun menjadi absurd dalam tekanan pasar, hingga kini belum mendapatkan jalan keluarnya.

Televisi di ruang tengah
Di Indonesia, proses bail out Bank Century kini berujung pada permainan lebih besar yang coba dibuka Komjen Susno Duadji, terkait manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu (Tempo Interaktif, Jumat, 14 Mei 2010) jelas mengancam legitimasi simbolik pemerintahan ini. Drama reformasi, yang ditandai dengan terpuruknya mata uang negara Indonesia tetap tidak dibuka sebagai isu bersama. Sebaliknya demokratisasi yang absurd juga terperangkap sekedar tayangan skandal di televisi tanpa ujung.

Rousseau, pemikir pra Revolusi Perancis, menekankan pentingnya relasi warga negara dan pemerintah, tetapi bagaimana menghadirkan warga negara dalam liberalisasi pasar juga tidak ada penyelesaian konkritnya. Tak hanya proses konsultasi pemilih dan yang dipilih tidak bisa dilakukan setiap saat, tetapi gejolak pasar finansial pun diposisikan di luar kendali orang yang dipilih. Di saat yang sama orang-orang di pedalaman, semakin terancam dengan kehadiran para investor, tanah ulayat tidak dianggap oleh pengurus negara. Konsep tanah air malah tidak diakui oleh negara, tunduk pada naluri pasar.

Krisis otoritas berlapis ini seperti ‘bola liar’ yang mungkin membawa manusia untuk melampaui tantangan zaman, atau malah kembali pada naluri purba, apa pun namanya itu. Di era krisis watak schizophrenic menjadi watak ‘normal’ homo ludens, dan ‘keterasingan’ justru ditemukan dalam wajah manusia moderen. Semakin lancar membaca, semakin tersesat, dan semakin dingin. Diantara itu suara televisi di ruang tengah terus bergema, kali ini suara Kapolri melarang media massa mengangkat Kasus Susno.

Jadi, setelah anggota DPR tidak diberikan hak berpendapat, media pun mau dibungkam, apa mungkin Pemilu hendak ‘coblos’ sendiri biar makin afdol? Ini negara Bung! Berbeda dengan perusahaan yang mana kalau komisaris utama bicara, semua bawahan harus taat!

* Mahasiswa PhD di Departemen Sosiologi, University of Birmingham, Anggota Persaudaraan Indonesia (Persindo)


Leave a comment

Arbitrazh


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan konflik antara aparat negara yang berkaitan dengan diusutnya proses pemberian uang negara kepada Bank Century sebesar 6,7 triliun rupiah diselesaikan di luar jalur pengadilan (Kompas, 24/11/2009). Padahal di saat yang sama, proses hukum Nenek Minah dalam perkara tiga buah kakao dengan perusahaan perkebunan tetap dijalankan (Kompas, 20/11/2009).

Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1977:71) menegaskan pentingnya prinsip kesetaraan dalam sistem pemerintahan demokrasi. Ia menyatakan demokrasi sirna jika ‘kesetaraan’ (equality) antara warga negara semakin di-ingkari, atau sebaliknya dijalankan secara ekstrim. Dalam demokrasi yang pupus kemungkinannya ada dua, bergeser ke sistem monarki atau despotik. Dalam tradisi monarki, kehormatan kaum bangsawan jauh lebih tinggi dibanding hukum. Sehingga hal-hal memalukan para bangsawan sifatnya menjadi rahasia.

Mafia dan transisi ekonomi pasar
Hingga kini, dalam percakapan di media massa, era reformasi Indonesia sering disebut sebagai era transisi. Setidaknya ada dua asumsi terkait era transisi, pertama, transisi menuju sistem demokrasi. Kedua, transisi menuju sistem ekonomi pasar.

Kondisi Indonesia saat ini mirip dengan apa yang terjadi di Rusia sejak dua dekade silam, yang gencar menjalankan proses desentralisasi dan privatisasi pasca Uni Soviet. Boris Yeltsin didampingi dua ekonomnya, Yegor Gaidar dan Anatoly Chubais, menjalankan liberalisasi pasar tanpa kontrol negara. Idiologinya, semua yang tertutup harus dibuka agar terjadi pasar sempurna.

Dalam proses privatiasi, jaringan mafia turut beroperasi terutama terkait pengalihan kepemilikan barang negara menjadi milik pribadi (Varese, 2001). Para aparat negara yang menjadi bagian dari jaringan mafia ‘melayani’ segelintir orang yang ingin memperbesar aset. Proteksi yang diberikan oleh para aparat negara dan mafia mengikuti penawar tertinggi.

Tidak heran konflik tak hanya terjadi antar para pelaku bisnis, tetapi juga melibatkan aparat negara yang berfungsi sebagai backing. Di Rusia para pejabat tinggi negara yang memperdagangkan proteksi disebut ‘krysha’ yang artinya atap. Konflik antara para ‘atap’ tidak diselesaikan di jalur pengadilan. Konflik mereka diselesaikan di arbitrazh, yakin forum di luar pengadilan yang menghadirkan ‘atap’ yang dihormati kedua belah pihak (Varese, 2001).

Akibat arus balik pasca era fantasi kapitalisme versi Holywood, dapat dilihat pada Vladimir Putin yang dicitrakan sebagai pemimpin yang macho. Tugasnya tak hanya bersalaman dengan Barack Obama, tetapi juga berurusan dengan para oligarkh, ribuan jaringan mafiya Rusia, yang berisi para bekas agen KGB, dan harus berhadapan dengan ‘jaringan pertahanan’ zashchita– sebuah jaringan hitam profesional yang terdiri dari para pengacara, petugas humas, jurnalis, dan para pemilik media (Glenny, 2009: 85).

Republik Tanpa Atap
Penyelesaikan di luar pengadilan yang ditawarkan Presiden dianggap sudah memadai oleh aparat negara yang terlibat, meskipun dirasa tidak adil oleh publik.

Logika matematika ini mungkin membantu para pengurus negara untuk mengerti. Jika hanya karena ‘memetik’ tiga buah kakao milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA) seharga sekitar dua ribu rupiah (Suara Merdeka, 16/11/2009), Nenek Minah harus diadili, lantas mengapa pemberian lebih dari 9 milyar buah kakao milik negara kepada Bank Century dianggap wajar saja?

Pemerintah begitu dermawan terhadap private company, dan sebaliknya tidak peduli terhadap kekejaman yang dilakukan berbagai perusahaan terhadap rakyat kecil. Bagi para ekonom pemerintah saat ini efek sistemik yang diperkirakan akan menimpa para pelaku ekonomi papan atas, jauh lebih bernilai dibandingkan usaha bertahan hidup rakyat jelata. Perdebatan tentang obyektivitas pengetahuan memang ada di sini. Di titik ini pengetahuan tidak bebas kepentingan.

Kisah-kisah seperti ini terjadi merata di seluruh Indonesia. Mulai dari persoalan Freeport di Papua yang selama Juli-Oktober 2009 menelan tiga nyawa, hingga keringnya mata air akibat perusahaan tambang di Flores (Kompas, 25/11/2009). Sumbu persoalannya sama, tanah negara berubah menjadi tanah perusahaan. Dalam kasus Bank Century, uang negara kini menjadi uang perusahaan.

Kondisi Indonesia yang diterpa arus liar kapitalisme tidak mungkin selesai dengan satu teks pidato. Seharusnya komentar Presiden tentang informasi negatif berbagai pihak sebagai ‘fitnah yang kejam’, tidak lebih penting dari perasaan Nenek Minah yang sudah lebih dari sebulan menjalani tahanan rumah. Fitnah ada di wilayah citra, sedangkan tahanan rumah adalah kenyataan.

Rakyat jelata yang ditawan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah kisah dua abad silam. Di tahun 1913 Suwardi Suryaningrat menulis kepada pemerintah kolonial Belanda Als Ik Eens Nederlander Was, isinya ‘saya tidak akan merayakan kemerdekaan di negeri yang kemerdekaan rakyatnya telah dicuri’. Jika tidak buta huruf entah apa yang ditulis Mbah Minah dalam Als Ik de President van Indonesie was. Baginya Republik ini adalah Republik tanpa atap.

*Co-editor Jurnal Academia NTT, Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia), Mahasiswa PhD di Departemen Sosiologi, University of Birmingham.


Leave a comment

Komodo Berhati Emas


Komodo Berhati Emas

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Dalam demonstrasi anti-tambang di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), harapan terakhir para peserta aksi malah ada pada Komodo, binatang purba yang ada di ujung barat Pulau Flores. Secara implisit menyatakan ‘mudah-mudahan habitat Komodo tidak terganggu oleh tambang’. Entah kenapa, harapan para peserta aksi bukan lagi pada Gubernur NTT, Bupati setempat, anggota DPRD kabupaten/provinsi, apalagi Tua Golo di kampung. Tulisan ini ingin mencoba mengupas mengapa dalam kecanggihan teknologi, pada akhirnya figur manusia malah ditemukan dalam binatang purba.

Logika pembangunan
Umumnya kata ‘pembangunan’ maupun ‘kemajuan’ merupakan kosakata pasti dalam setiap pidato pejabat kepala daerah. Pembangunan seolah-olah terminal lanjutan yang pasti, sehingga pihak yang mendengar harus setuju. Dengan menyebut ‘pembangunan’, pembicara berusaha menegaskan bahwa apa yang dilakukan sedang menuju kondisi ‘lebih baik’. Apa pun aktivitasnya tidak penting, tetapi klaim ‘demi pembangunan’ seolah menegaskan pembicara tidak memilikki kepentingan pribadi.

Sebagai pemegang kuasa, para pejabat menafsirkannya kekuasaannya sebagai misi suci yang diamanatkan padanya. Kritik menjadi amat tabu. Konsep ‘sovereignty’ (kedaulatan) Eropa ada sebelum abad 15 masih menjadi acuan para pejabat Indonesia. Pemegang kekuasaan dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Absolut.

Negara dalam konsep ini diterjemahkan sebagai ‘negara adalah saya’ (L’état, C’est Moi) milik Louis XIV dari Perancis. Atau, kalau di kampung ‘negara adalah saya plus anak suku’. Atau kalau di kota provinsi diterjemahkan sebagai ‘saya dan kelompok arisan/makan-makan’. Di kota, relasi berbasis suku menjadi agak cair, meskipun masih kental tetapi pertemuan dengan berbagai model kelompok baru menghadirkan ‘klik baru’. Metamorfosa ‘klik-klik’ semacam ini tidak terlalu sukar untuk diamati. Fenomena ini perlu dipahami untuk mencermati perubahan bentuk jaringan korupsi.

Setelah isu Komodo yang ingin dipiara dua orang menteri dari Jakarta di Bali surut, saat ini protes terhadap tambang, langsung membuka ‘politik-mayat’ (nekro-politik) yang sedang terjadi di Manggarai Barat. Ini ditandai perubahan fungsi hutan hanya diketahui oleh pejabat di atas. Informasi soal tambang hanya diketahui kalangan terbatas.

Jelasnya, ‘politik-mayat’ ditandai dengan penjualan legitimasi formal. Aksi otoritas lokal/pusat yang memperdagangkan ‘legitimasi’ aslinya merupakan bentuk korupsi. Persoalan menjadi lebih pelik ketika seluruh aparat negara telah sepakat untuk menjadikan legitimasi yang dimilikki sebagai komoditas. Untuk penjelasan ‘politik-mayat’ di pusat bisa dilihat pada artikel E.Subangun (Kompas, 9 Oktober 2009). Ini untuk memahami ketidakmungkinan trias politica Montesquieu dapat beroperasi di berbagai aras Republik Indonesia saat ini.

Pemberantasan korupsi saat ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan pilar ke-empat milik para pekerja media dengan berita sebagai satuan dalam sistem informasi. Ini untuk menyebut pemberantasan korupsi sebagai mengangkat satu kasus diantara jutaan kasus. Artinya ‘mengangkat’ dan ‘melupakan’ menjadi satu paket. Sebab tidak menutup kemungkinan perdagangan legitimasi formal juga telah menjangkau pekerja media. Tantangan pelaku investigative journalism ada di sini, dan tentunya menemukan simpul utama bukan soal mudah pula.

Peralihan konsep politik kenegaraan dari yang sifatnya absolut, hingga berujung pada trias politica (ketiga pilar negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak serta merta berarti pembagian fungsi ini bisa jalan. Karena jaringan mafia pun mengenal namanya metamorfosis dan pembagian peran. Artinya di titik ini, kita bisa memahami mengapa di RRC para koruptor dihukum mati, tetapi tidak berarti Hu Jintao tidak bekerjasama dengan junta militer di berbagai negara yang melakukan praktek korupsi. Kita pun bisa memahami mengapa para pemodal dari Korea Selatan dan RRC tidak begitu peduli dengan siapa mereka bekerjasama dalam eksploitasi bahan tambang di NTT.

Kedaulatan rakyat di sisi ini menjadi tidak ada. Karena pemerintah daerah pun beroperasi dalam logika perusahaan. Konsep rakyat memang tidak ada dalam skema perusahaan. Dalam perusahaan suara terbesar ada pada penanam modal terbanyak. Dalam kamus mahasiswa ekonomi ini disebut investor utama. Sehingga cukup aneh ketika Gubernur NTT dengan basis PDI-P dengan akar ideologi: Marhaenisme, berujar: ‘Jangan halangi investor!’Jelas kita tidak ‘pukul rata’ untuk semua kasus, tetapi didasarkan pada praktek lapangan.

Jadi, dengan segala laporan sekian lembaga pemerhati lingkungan, ornop, dan lembaga keagamaan tentang ketimpangan dalam hal tambang, memang menjadi tanda tanya mengapa persoalan tambang tidak bisa dibuka dan diselesaikan sesuai dengan keinginan rakyat?

Partai politik yang dikelola ala perusahaan sudah terbukti di Partai Golkar. Peristiwa ini sudah sama-sama disaksikan oleh para pemirsa. Bahwa ada individu-individu yang baik yang mencoba masuk dalam sistem, itu pun tidak diabaikan, tetapi model urus partai dengan jurus ABIS (Asal Bapak dan Ibu Senang) pun sudah jadi hal biasa dalam partai, untuk menyebut sikap partai tidak lebih dari urusan suami-istri.

Kerumunan orang yang mencoba menyebut diri partai politik ini lah yang kita harapkan menjadi wakil rakyat. Dengan menyebut diri wakil rakyat tidak berarti pelaku telah menjadi wakil rakyat. Itu masih sangat tergantung dengan apa yang dilakukan. Persoalan jarang timbul dari retorika politik, tetapi menjadi soal ketika aksi itu dilakukan. Praktek lah yang jadi soal.

Contohnya ‘pembangunan’ sebagai kata abstrak setara dengan mantra. Biasa dipakai dalam pidato, karena manjur menyenangkan pendengar. Persoalannya, ketika mata air warga terganggu, hutan lindung dijarah, dan semuanya dilakukan oleh ‘pihak yang berwajib’, maka apa sebenarnya yang hendak dibangun? Baik Gubernur dan Bupati setempat (untuk menyebut sekian lokasi tambang di seluruh daratan Timor dan Flores) perlu menjawab ini. Dampak langsung sudah terjadi: 9 orang meninggal tertimbun akibat mencari Mangan di Timor Barat (Pos Kupang, 19 Oktober 2009).

Scientific
Lingkungan dalam tafsir Amdal tidak memberikan ruang untuk manusia. Tapi, ini lah dokumen ini yang dipuji-puji semua pihak, untuk sengaja melupakan bahwa dokumen yang sudah tidak memadai ini pun masih bisa dibeli. Meskipun dikerjakan dengan ‘benar’ pun, tidak ada suara manusia dalam skema Amdal. Artinya benar bahwa kadar pencemaran mungkin di atas atau bawah ambang batas. Tetapi itu ukuran siapa? Itu cuma ukuran manusia yang berilmu. Di luar orang yang pro scientific, semuanya dikategorikan ‘kafir’ dan uncivilized, atau tidak beradab.

Penganut modernitas menganggap bahwa segala sesuatu yang scientific selalu obyektif. Padahal, dalam logika obyektivitas, hanya ada satu warna manusia. Di sisi ini teknologi menjadi amat totaliter. Atau, dalam kesempurnaan ilmu, wajah yang berbeda selalu dianggap aneh. Tak heran nyaris seluruh pejabat dan intelektual NTT yang berhasil ‘dimoderenkan’ perilakunya mirip Maling Kundang, selalu memandang rendah ‘orangtuanya’ sendiri. Rumah di kampung tidak pernah cukup besar setelah anak-anak berpendidikan.

Untuk itu ‘Komodo Berhati Emas’ sama artinya dengan ‘Teknologi yang Berbudi’. Dua-duanya dongeng.

*Anggota Forum Academia NTT


Leave a comment

Agama/Etnis, Pemilu, dan Negarawan


Agama/Etnis, Pemilu, dan Negarawan

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Setelah isu ‘neolib’ agak meredup, persoalan agama dan etnis menjadi komoditas lanjutan di ujung kampanye. Identitas agama maupun etnis dalam politik Indonesia terkini seharusnya tidak dilepaskan dari pengertian kewarganegaraan (citizenship) di Republik ini.

Isu agama dalam kampanye pemilihan presiden ini setidaknya muncul lewat dua hal: pertama, terkait pemakaian jilbab istri-istri capres/cawapres, dan kedua terkait agama istri Boediono. Para kontestan Pemilu kali ini berusaha untuk tidak berkomentar secara langsung mengenai politik identitas. Isu agama jilid dua yang terjadi di Medan, masih dibahas dalam wilayah black campaign, padahal ini berkaitan erat antara kewarganegaraan dan hak warga negara.

Ironisnya, usaha ‘menjernihkan’ black campaign ini di saat yang sama membelokan pengertian kewarganegaraan Indonesia. Sebab konteks penjelasan agama di ruang komunitas agama khusus, yang berkaitan dengan keyakinan (belief) berbeda ketika dipercakapkan di ruang negara yang ditujukan kepada seluruh anggota warga negara yang beragam agamanya. Secara tegas ini dijelaskan dalam prinsip: bhineka tunggal ika. Saat ini untuk kepentingan politik praktis, para jurubicara tim sukses menujukkan pesan itu lebih pada mayoritas warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dengan sendirinya pengertian kewarganegaraan dipersempit karena hanya ditujukan kepada komunitas keagamaan khusus. Padahal Pemilu merupakan peristiwa kenegaraan. Proses yang disebut ‘menjernihkan’ oleh kedua tim sukses dan para pejabat tinggi negara kepada mayoritas khusus pemilih, di saat yang sama menjadi ajang diskriminasi terbuka.

Dalam perkara politik identitas, isu agama berjalan beriring dengan isu etnis. Di dalam kampanye kali ini, selain isu agama yang dijual isu etnis juga dijadikan komoditas kampanye, dan ini ditandai dengan: (1) tudingan soal apa sumbangsih Orang Arab di Indonesia, (2) orang Bugis belum saatnya menjadi pemimpin, (3) saatnya Orang Luar Jawa memimpin. Ketiga isu ini jelas menyelewengkan pengertian kewarganegaraan. Artinya, siapa pun berhak dipilih maupun memilih terlepas dari asal usulnya. Jika ‘teorinya benar’, namun prakteknya kini berbeda maka kita perlu bertanya ‘kenapa’.

Bagi kita, rakyat Indonesia, isu agama maupun etnis dan kaitannya dengan kewarganegaraan tidak berada di ruang negosiasi. Secara resmi kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945 yang didahului dan disusuli dengan gerak revolusi kemerdekaan. Fakta sejarah politik ini menegaskan bahwa dalam revolusi kemerdekaan semua kelompok dalam berbagai identitas lebur bersama dalam gerak menentang penjajahan. Karena karakter revolusioner ini maka identitas etnis maupun agama tidak didefinisikan secara khusus dalam pengertian kewarganegaraan kita.

Negarawan dan politik
Kemampuan para kontestan Pemilu Presiden 2009 sesungguhnya diuji dalam isu kunci seperti ini, terutama dalam hal pengertian tentang kewarganegaraan Indonesia. Karakter revolusioner yang mendasari pengertian kewarganegaraan kita akan berbeda jika digiring dalam pengertian kewarganegaraan yang didasarkan pada sisi ethnocultural. Kewarganegaraan dalam tipe ini cenderung untuk berorientasi ke dalam, dan berkeinginan untuk terus ‘memurnikan’ warga negaranya. Pengertian kewarganegaraan dalam tipe ini baik untuk dipelajari terutama di era ekstrim yang dipraktekkan Hilter di Jerman. Identitas agama maupun etnis merupakan elemen melekat dalam kategori ini.

Pengertian kewarganegaraan yang didasarkan pada sisi ethnocultural selain berbeda dengan fakta politik revolusi kemerdekaan, juga di dalamnya memiliki tendensi untuk melahirkan strata baru dalam masyarakat Indonesia. Logika yang sama pernah dilahirkan oleh ‘Negara Orde Baru’ dalam dikotomi: militer-sipil. Saat ini pesannya diubah menjadi: Islam-Non Islam maupun Jawa-Luar Jawa. Tafsir pengertian kewarganegaraan ini berbeda dengan pengertian kewarganegaraan hasil revolusi 1945. Peristiwa itu sendiri dikatakan revolusi karena gerak perjuangan kemerdekaan menolak stratifikasi sosial baik yang diterapkan Belanda maupun Jepang. Struktur sosial vertikal yang dipraktekkan Belanda dan Jepang ditolak. Karena memahami dan bersepakat tentang pengertian kewarganegaraan sebagai hasil revolusi maka ‘Piagam Jakarta’ tidak disahkan oleh para founding fathers atau generasi 1945. Selain itu Bahasa Indonesia yang berakar pada Bahasa Melayu disahkan menjadi bahasa nasional. Karena dalam Bahasa Melayu, yang sudah berfungsi sebagai bahasa pasar tidak mengenal stratifikasi kelas di dalamnya.

Pengertian kewarganegaraan hasil revolusi ini berbeda dengan dengan pengertian kenegaraan dengan sumbu ethnocultural, seperti yang dipraktekkan Malaysia. Gejolak protes warga keturunan India tahun lalu merupakan simbol itu. Seiring dengan itu, fenomena ini bisa dibaca dari perlakuan yang diterima para TKI asal Indonesia yang satu rumpun pun dianggap berbeda. Sebagai catatan, jika sesama warga negara yang berbeda dianggap lebih rendah, lantas bagaimana warga Malaysia berhubungan dengan warga negara lain yang strata ekonominya jelas lebih rendah dan datang ke negara itu sebagai pembantu? Persoalan ini belum mendapatkan jalan keluarnya di Malaysia. Dengan pengertian kewarganegaraan dengan sumbu ethnocultural, dapat dijelaskan mengapa Malaysia ‘harus’ berpisah dengan Singapura.

Di titik ini pengertian kewarganegaraan ini perlu dipahami karena ini merupakan isu kunci Indonesia. Bhineka tunggal ika merupakan kesepakatan kenegaraan untuk menghimpun semua manusia di daerah yang pernah dikenal dengan nama Netherland East Indies. Jadi Indonesia itu bukan cuma sebuah wilayah dalam pengertian georgafi, tetapi manusia di dalamnya. Dinamika manusia di negara kepulauan ini lah yang perlu dipahami dalam proses pembentukan satu sistem negara yang kokoh. Kemampuan ini perlu dimengerti, agar nasionalisme Indonesia mampu menemukan wajah manusia.

Jadi, meskipun kampanye merupakan ajang kompetisi antara para kontestan Pemilu, tidak berarti bahwa isu yang dikemukakan tanpa batas. Jika isu-isu kampanye diperlakukan tanpa batas, maka negara dianggap tiada. Ibarat permainan catur, para pemain catur hanya dapat memberi makna saat ada di atas papan catur. Jika papan catur diubah menjadi kertas putih, maka tidak ada aturan di dalamnya, dan pemain catur berada dalam gerak anarkhi.

Peralihan titik konflik
Dalam pergerakan politik dunia, pergerakan internal negara selalu berkorespondensi langsung dengan kondisi politik internasional. Negara yang mampu menegakkan kedaulatannya ditandai dengan kemampuan warga negara itu menyelesaikan sekian kontradiksi internalnya. Selain proklamasi 1945, Indonesia selalu gagal menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi internalnya.

Jika hingga akhir 1980-an, pretext utama perang besar masih seputar komunisme, maka di awal tahun 1990-an ia bergeser ke tataran demokrasi dan HAM. Persoalan agama meskipun sudah kental diulas media sejak awal 1990-an, tetapi ia baru mendapatkan bentuk nyatanya ketika ‘gedung kembar’ di AS diserang. Sejalan dengan itu, konflik berlatar agama hampir merata di kawasan Asia Tenggara.

Konflik memang bagian nilai berita, dan angka proximity juga tinggi dalam isu agama dan etnis. Janji perbaikan ekonomi maupun ulasan isu ‘neolib’ di tangan pakar ekonomi memang amat sulit dibayangkan tetapi sangat terasa dampaknya. Sedangkan ‘jilbab’ dan ‘tulisan agama’ di KTP jelas lebih kelihatan, sebaliknya amat sulit mengukur kesalehan seseorang dari tampak luarnya. Apalagi menjelaskan hubungkan antara agama seseorang dan keberhasilan membangun negara. Contohnya, bagaimana menjelaskan hubungan ‘agama’ Hu Jintao (dan istrinya) dan keberhasilan RRC membangun negara. Atau, bagaimana menghubungkan kesalehan Nelson Mandela, negarawan pilar Afrika Selatan, dan apa agamanya.

Pemilu 2009 merupakan Pemilu padat modal. Tak heran kalau amat sulit menemukan sosok negarawan. Jika kita bandingkan kualitas perdebatan ketiga pasang peserta Pemilu 2009–beserta seluruh politikus generasi ini, dan debat politik generasi 1945 terlihat jelas kemunduran Indonesia. Tema debat politikus kita masih seputar isu-isu ini: apa sumbangsih orang Arab, apa agama istri calon presiden, berjilbab atau tidak, dari Jawa atau bukan, dan Orang Bugis belum waktunya. Persoalan etnis dan agama yang dibawa oleh tim sukses ke ruang publik merupakan bentuk penyelewengan pengertian kewarganegaraan Indonesia.

Di Australia, negara tetangga kita, Kevin Ruud dari Partai Buruh disaat kampanye tahun 2007 menunjukan kemampuannya berbahasa Mandarin untuk menggambarkan pemahamannya atas geopolitik Asia. Di tahun 2008 ia memberikan pidato bersejarah soal the Stolen Generations, sebagai bentuk konkrit permintaan maaf untuk warga Aborijin. Kepemimpinan politiknya dipakai untuk menyelesaikan kontradiksi internal Australia. Hal yang sama sedang dilakukan Barack Obama di level negara AS, maupun di level dunia–yang ditandai dengan pidatonya di Mesir beberapa minggu lalu.

Generasi ini harus mampu keluar dari politik aliran yang diwarisi dari sistem pemerintahan Belanda. Fakta sejarah politik Republik Indonesia merekam ini, contohnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dikenal sebagai pertempuran terbesar. Tentara sekutu, NICA Belanda, maupun Jepang tak mampu menahan warga yang bertekad ‘Merdeka atau Mati’ untuk mempertahankan kemerdekaan. Di dalam pertempuran itu tidak pernah ditanyakan apa agama para pejuang? Atau suku apa? Tidak ada satu kelompok atau orang pun yang mengaku paling berjasa dalam pertempuran Surabaya. Persetujuan perang ada di tangan rakyat, bukan TNI maupun Presiden saat itu. Karena kemerdekaan adalah naluri manusia dan bisa disuarakan oleh siapa saja dengan bambu runcing sekali pun. Karakter ini gagal diterjemahkan oleh para pemimpin Republik Indonesia. Saat ini TNI pun begitu berjarak dari rakyat. Pengertian kewarganegaraan warisan Revolusi 1945 tidak mampu diterjemahkan oleh para pemimpin politik saat ini.

Sebaliknya politik aliran yang diwarisi dari sistem sosial politik Belanda yang dikenal dengan nama verzuiling, dimana kehidupan sosial politik dibagi dalam sistem blok dan diorganisir dalam karakter sektarian, terus dikembangkan hingga saat ini tanpa memahami prinsip dasarnya. Bagley (1973: 5) menulis sistem sektarian yang dikembangkan Belanda membagi masyarakat dalam beberapa blok/pilar, dan pemisahan itu dimulai dari sekolah, surat kabar, radio, organisasi kesehatan dan lainnya. Ketidakmampuan memahami verzuiling ini membuat segregasi sosial terjadi di mana-mana, diskriminasi terjadi di mana saja, dan konteks negara tidak mampu ditemukan oleh Orang Indonesia.

Dalam konteks kenegaraan, kemampuan menyelesaikan kontradiksi internal sebuah negara merupakan kebanggaan warga negaranya. Kini para agen pemasaran politik (baca: tim sukses) mampu mengangkat berbagai isu sosial, tanpa mampu mendudukan dalam pengertian kenegaraan, apalagi menyelesaikannya. Sebagai Orang Indonesia, kita malu.

Brotherhood, comradeship atau persaudaraan adalah nafas Indonesia yang menjadi determinan utama kita untuk lepas dari belenggu penjajahan. Apakah di alam kemerdekaan ini rasa senasib, sebangsa, dan setanah air masih menjadi sumbu Republik Indonesia? Generasi ini harus menjawabnya dengan tegas, bukan dengan sibuk menjelaskan apa agama istri Boediono atau sibuk bersoal jawab apa etnis asal calon presiden. Apa artinya Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sekian penjelasan itu? Dan apa artinya ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’? Dan apa artinya ‘Persatuan Indonesia’? Dan apa artinya Bhineka Tunggal Ika di kaki burung Garuda lambang negara kita? Itu lah yang harus dijawab dengan tegas tanpa perlu basa-basi. Ini negara Bung!

*Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia), Co-editor Jurnal Academia NTT


Leave a comment

Seandainya Saya Orang Indonesia


Seandainya Saya Orang Indonesia

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Marshall McLuhan populer dengan pernyataannya the medium is the message. Meminjam ungkapan ini tak hanya pesan dari para komunikator politik dalam Pemilu 2009 yang layak diuji ‘neolib’ atau tidak, tetapi sekian elemen dari Pemilu, dan Pemilu 2009 yang menjadi pesan itu sendiri.

Intervensi negara ke dalam pasar hanya baru dilihat sebagai policy pemerintah yang akan datang yang disuarakan masing-masing tim sukses. Entah mengapa Pemilu 2009 tidak dilihat sebagai ‘pasar politik bebas’ yang telah berlangsung tanpa kontrol negara? Sebab persoalannya jika ‘pembawa pesan’ (medium) juga merupakan pesan, dan kita hanya menganalisis pesan literer yang keluar dalam kata apakah itu kritis?

Tanpa kontrol negara, Pemilu 2009 telah dan sedang menjadi pertarungan para pemodal. Partisipasi warga negara amat minim. Paradoksnya ruang politik pun telah menjadi pasar. Pemilu 2009 berlangsung tanpa intervensi negara untuk melindungi hak-hak warga negara dalam hal emansipasi politik.

Privatisasi Partai Politik
Di dalam pasar Pemilu, kata semacam ‘neolib’ maupun ‘kerakyatan’ aslinya hanya sekedar komoditas politik, tidak menjelaskan apa-apa. Terpisahnya kata dari realitas hidup sehari-hari merupakan persoalan lama para intelektual Indonesia. Ilmu di kalangan kaum terdidik telah menjadi komoditas politik dan hanya sekedar informasi yang bergerak di media massa.

Saat kampanye capres saat ini, ruang publik pun ikut ‘dibeli’, dengan advertorial dan semacamnya yang lebih halus lewat berita. Media, terutama televisi, pun sudah lama diprivatisasi. ‘Realitas’ yang dikemas para pekerja media televisi sering takluk di tangan pemilik modal. Komersialisasi TVRI pun merupakan kemunduran. Ini bisa dibandingkan dengan peran BBC yang tidak pernah ‘dijual’ untuk menjaga ruang publik.

Ketidakmampuan ‘negara’ dalam melindungi warga negara tampak jelas dalam privatisasi partai politik. Persoalan akses warga ke ruang politik hanya disederhanakan sekedar tercatat dalam daftar pemilih atau tidak. Padahal privatisasi partai politik hanya akan membawa kita ke pola politik Machiavelli, jauh dari demokrasi yang sedang dibayangkan. Kita sedang kembali pada sistem dinasti dengan basisnya keluarga.

Privatisasi elemen koersif negara yang ditandai dengan bersaingnya para eks purnawirawan TNI beserta staf merupakan bagian dari perapuhan struktur lama. Setara dengan ini, tidak becusnya penghitungan DPT dan penyelenggaraan Pemilu masih dilihat sebagai persoalan teknis semata. Padahal ini juga tanda perapuhan birokrasi sebagai elemen penting negara. Koordinasi pemerintahan semakin melemah dan di tengah ‘kebangkrutan’ ini lah Pemilu 2009 diadakan.

Politik etis intelektual Indonesia
Kalangan Intelektual Indonesia yang sebagian besar merupakan kaum urban dan berdomisili di kota-kota besar dalam apologinya selalu menyatakan ini lah ‘capres terbaik’ dari yang ada. Ini menjadi alasan etis untuk saling bertukar pesan di media massa, tanpa menghiraukan krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 dampaknya semakin kuat dirasakan setelah satu dekade. Jelasnya tanpa menghitung semakin lama ‘sisa pembangunan’ Orde Baru yang sedang menguap.

Usaha emansipasi politik sebagai cita-cita pergerakan kemerdekaan harus menjadi agenda bersama dan dilakukan dari berbagai wilayah, bukan cuma dimonopoli segelintir elemen di atas di Jakarta. Contohnya di media, para calon presiden maupun wakil, berusaha ditulis sebagai figur yang ‘amat sederhana’. Pada saat yang sama, seorang Papua yang hidupnya jauh lebih sederhana, harus mengungsi karena ‘ruang hidupnya’ diambil, entah untuk perluasan perkebunan maupun daerah tambang baru. Ironisnya dalam sistem politik saat ini tidak ada celah baginya untuk bersuara.

Subordinasi ras dalam kolonialisme dikritik oleh warga Belanda dari Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Ernest Douwes Dekker (Danoedirdja Setiabudi), hingga Wim F.Wertheim. Jika saat ini mereka bisa mengganti judul tulisan Suwardi Suryaningrat ‘Als ik eens Nederlander was’ di tahun 1913, menjadi ‘Seandainya saya orang Indonesia’, entah apa yang akan dikatakan oleh para calon presiden ini? Rasa malu ini yang sudah tidak kita miliki lagi.

Emansipasi politik maupun ekonomi tidak mungkin dilakukan selama ‘negara’ lepas tangan. Kenyataan hidup rakyat Indonesia seharusnya menjadi inspirasi para calon presiden ini untuk lebih membumi, daripada sibuk ‘bermain simbol’ ke Bandung atau tempat sampah.

Suara rakyat seharusnya tidak dijadikan komoditas politik. Mungkin setelah itu dilakukan baru ‘neolib’ versi Pemilu 2009 perlu didiskusikan lebih jauh, sebab demokrasi liberal masih ada di tangan para pemodal, dan jauh dari pertemuan antar manusia Nusantara. Sehingga agenda para investor utama di balik ketiga calon presiden ini perlu dibuka daripada hanya saling menuding ‘neolib’ atau ‘kerakyatan’. Rasa negara ini yang harus diperjuangkan sebelum seluruh ruang hidup diubah menjadi pasar.

*Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia), Co-editor Jurnal academia NTT


Leave a comment

Tragedi Politik dan Kekuasaan


Tragedi Politik dan Kekuasaan

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Pemilu lanjutan memilih presiden dan wakilnya semakin terperosok sekedar menjadi perkara personal semata. Dalam buku lama, pola berpolitik semacam ini persis dipotret Niccolo Machiavelli ketika menulis ‘Sang Pangeran’ (Il Principe). Politik kekuasaan hanya menyangkut perkara personal (sang pangeran), ditambah pemahamannya tentang ‘konstruksi sosial’ untuk berkuasa.

‘Demokrasi liberal’ di Indonesia tahun 2009 kembali terjembab ke pola politik abad 15 Italia yang meneruskan pola politik dinasti. Sejak Pemilu 1955 hingga saat ini Pemilu selalu kandas, dan hanya menghasilkan ‘Pangeran baru’. Seorang pribadi yang menjadi institusi disebut diktator.

Kini setelah satu dekade lebih proses reformasi (1998-2009) tidak ada tanda-tanda bahwa ‘sistem politik Indonesia’ akan berubah dan memperhatikan partisipasi rakyat. Sebaliknya politik ala Machiavelli hanya tiba pada rekayasa sosial dan pseudo-democracy.

Keengganan warga untuk memilih dalam sistem politik semacam ini tercermin dari jumlah 49 juta lebih warga yang tidak menggunakan hak pilihnya walaupun terdaftar (Kompas 10/5/2009). Ini diperjelas dengan seruan sebagian warga yang menyerukan untuk Golput di pilpres mendatang yang diantaranya diwakili Sri Bintang Pamungkas dan sejumlah aktivis mahasiswa 1998.

Politik Slogan
Menghadapi riak ini sejumlah ilmuwan sosial menghimbau agar legitimasi Pemilu 2009 tidak dipertanyakan. Karena jika itu terjadi Republik ini hanya akan menghadapi anarki terbaru. Di saat yang sama para ilmuwan sosial tidak memberikan jawaban terhadap ketidakpuasan pemilih dan ‘jalan keluar’.

Saat ini partai-partai politik yang ada menempatkan figur ‘orang’ jauh lebih besar daripada partai politik itu sendiri. Partai politik hanya sekedar kuda tunggangan. Hal semacam ini biasa terjadi di ‘negeri satu partai’. Indonesia saat ini lebih mirip Rusia dengan perkecualian di sana tidak hadir partai berbasis komunitas-komunitas keagamaan. Di Rusia partai politik dipegang koalisi bekas tentara dan oligarki internal.

Era Peralihan dari negara dengan tipe pribadi yang lebih besar daripada negara, memang menurunkan kisah-kisah serupa. Pembentukkan partai politik umumnya menempatkan ‘satu figur’ sentral, tanpa perlu memperlihatakn perbedaan visi dan misi parpol itu sendiri. Bedanya kini jumlah tokohnya menjadi beberapa pasca era totaliter. Pemilu di Indonesia pasca 1998 lebih menyerupai tayangan drama sit-com, di mana orang tertawa karena dibayar. Meskipun tidak lucu. Dengan penguasaan televisi oleh pengusaha politik maka lengkap sudah saluran yang dibutuhkan untuk mengklaim ‘kenyataan’.

Tragedi dan Demokrasi
Ironisnya, dalam berbagai forum dialog di tanah air era ini disebut ‘era transisi’. Entah transisi ke mana. Warga negara yang merasa tidak diwakili dalam proses politik semacam ini tidak tahun harus berbuat apa. Bagaimana harus bersikap menghadapi aparat negara yang dalam ‘sekejap mata’ bisa menjadi bandit juga tak jelas.

Sistem politik semacam ini adalah jebakan baru. Dengan stabilitas yang sifatnya sementara kita malah mungkin akan berada dalam tragedi yang lebih panjang. Ketika konsolidasi kekuasaan selesai sikap rezim pun tidak mudah untuk dikritik. Di era Soeharto ini terjadi pasca peristiwa Malari (1974).

Dua kali transisi kekuasaan panjang di dua kursi kepresidenan Indonesia terjadi dalam situasi tragedi. Indikasi yang paling mudah adalah kita tidak mudah menyatakan dengan suara bulat bahwa baik Soekarno maupun Soeharto adalah pahlawan. Keduanya dalam perjalanan menjelma menjadi institusi politik itu sendiri.

Hal serupa kini sedang terjadi. Pasca 1998 proses institusionalisasi berbagai elemen sosial ke dalam sistem demokrasi tidak terjadi. Partisipasi politik masih dalam lingkaran yang amat terbatas. Core utama politik Indonesia masih lah beberapa keluarga. Sokongan dana ke partai politik dimaknai sebagai ‘arisan keluarga’. Alat tukar dalam arisan jenisnya macam-macam, tidak tunggal, demi kekuasaan.

Setidaknya ada dua kritik terhadap Pemilu ini: pertama, semestinya kita sudah mulai melakukan sesuatu agar seorang pribadi tidak lagi menjadi institusi di dalam negara. Tetapi mengapa pasca 1998 yang terjadi hanya lah silang pendapat t soal siapa menjadi Presiden? Ide apa yang dibawa tidak begitu dipedulikan untuk dibahas. Kedua, demokrasi sebagai kanal perbedaan dan silang pendapat di Pemilu 2009 telah di-amputasi dan hanya menjadi milik segelintir elit. Saluran suara warga negara belum mendapatkan kanalnya. Stabilitas sesaat memang terlihat lebih jelas, tetapi semestinya tragedi yang belum kelihatan itu juga harus diwaspadai.

Negara yang legitimasinya hanya disandarkan pada kekuatan elemen koersif pada akhirnya hanya menjadi ‘asing’ di antara warga negaranya sendiri. Kondisi ini mungkin tidak dirasakan di pusat kekuasaan (Jakarta), tetapi di daerah pinggir konflik ini telah terjadi dan sangat jelas. Sayangnya para ilmuwan sosial Indonesia bungkam terhadap hal ini.

*Anggota Persaudaraan Indonesia (Persindo); Co-editor Jurnal Academia NTT


Leave a comment

Nasionalisme dan Politik “Sakit Jiwa”


Nasionalisme dan Politik “Sakit Jiwa”

Jumat, 24 April 2009 | 03:36 WIB

Dominggus Elcid Li

Bagi para nasionalis, rakyat dalam negara selalu dibayangkan sebagai ”persaudaraan setara” (horizontal comradeship), dengan mengabaikan ketidaksetaraan dan eksploitasi dalam komunitas ini (Anderson, 2006 [1983]).

Hal itu diutarakan dalam definisi Imagined Communities guna menjelaskan paradoks pengertian ”komunitas” negara.

Pandangan semacam ini kuat dalam retorika di negara-negara baru hingga 1960-an. Di Asia, stagnasi retorika nasionalisme dan kontradiksi ini dialami Jawaharlal Nehru di India (Das, 2000) dan Soekarno di Indonesia yang berujung tragedi 1965. Di RRC, Mao Tse Tung melanjutkan ide ini dengan ”revolusi kebudayaan” untuk mencapai horizontal comradership. Perlu dicatat, meski telah melakukan sekian jilid revolusi kebudayaan, tidak berarti RRC telah dan akan lepas dari kontradiksi ini.

Pascanegara Orde Baru

Negara Orde Baru, meminjam istilah Dhakidae (2003), hingga akhir hayatnya, melakukan politik massa mengambang. Dalam paradigma ini hubungan elite penguasa dengan ”rakyat” hanya ada di tataran simbolik, tidak dalam kenyataan sehari-hari.

Ketidakmampuan Orde Baru menjawab kontradiksi di masyarakat kian kontras dengan definisi ”umat” yang eksistensinya lebih nyata dibandingkan jargon untuk rakyat partai-partai politik saat itu. Persaudaraan setara menemukan maknanya di sana.

Pasca-Orde Baru, berbagai cara dilakukan untuk menjawab kontradiksi ini. Berbagai organisasi keagamaan bertransformasi menjadi partai-partai baru dan mengambil bentuk serupa seperti dalam Pemilu 1955. Dalam perjalanannya, konsep ”rakyat” dan ”umat” tidak mudah dipertemukan. Contohnya, baik PAN maupun PKB selalu ada dalam posisi mendua dalam gerak majunya untuk memperbarui horizontal comradeship. Hal serupa dialami PKS sebagai partai kader yang mencoba untuk populis.

Sedangkan partai-partai nasionalis, semacam PDI-P, tetap ada dalam situasi yang sama pada tahun 1965. Kaum Marhaen masih retorika yang tidak mudah menemukan bentuk nyatanya. Retorika yang dibawa Megawati pun tetap pada masa lampau.

Para bekas jenderal sebagai pilar utama Orde Baru ”bergerilya” dengan sejumlah partai politik baru. Partai Demokrat disimbolkan sebagai partai kaum modern dan demokratis. SBY disimbolkan sebagai ”Jenderal yang tidak bermasalah dengan HAM”. Tetapi oleh berbagai kalangan dikritik karena ”peragu” dalam menjawab kontradiksi kebijakan ekonomi yang menomorsatukan investor-pebisnis dan tidak mampu membela ”rakyat”. Di sini rakyat adalah yang ”ada” di pinggiran kekuasaan politik-ekonomi dan tidak bisa bersuara.

Kritik terhadap SBY ini coba dijawab Prabowo dengan kehadiran Gerindra. Platform ekonomi disusun sebagai antidominasi ”pemodal asing”, tetap tidak menjawab kontradiksi internal tentang oligarki pribumi yang telah tumbuh sejak era Soeharto.

Rakyat ”Zelf-Bewust”

Kita semua adalah ”anak ingatan” Orde Baru dan hidup dalam kontradiksi yang diwariskan.

Kontradiksi pertama, dalam pengorganisasian parpol kita tidak mampu keluar dari politik massa mengambang maupun turunannya. Politik di fase ini dimengerti dan dijalankan sebagai aktivitas padat modal (capital). Maka, yang tidak punya modal bukan bagian dari lingkaran inti.

Kontradiksi kedua, politik padat modal akhirnya hanya akan tiba di titik bagaimana alur modal akan mengalir. Kedua kubu politik terkini menjelaskan kontradiksi lanjutan politik padat modal. Sudut yang diwakili SBY adalah milik para pemodal yang berpandangan, asal-usul pemilik modal tidak perlu diperhitungkan, selain modal itu sendiri. Sedangkan Megawati-Prabowo mewakili pandangan para pemilik modal ada dua jenis: ”pribumi” dan ”asing”. Kedua kontradiksi ini menghasilkan ilusi ganda.

Padahal, bagi orang Indonesia, rasa persaudaraan setara itu hingga kini masih dirindukan. Dalam contoh populer diwakili Laskar Pelangi yang mengusung pesan: persahabatan, kemandirian, dan prinsip materi bukanlah segalanya. Ide yang diusung Laskar Pelangi paralel dengan pidato Bung Karno pada tahun 1948.

Pada tahun itu Bung Karno (Soekarno, 1948:59) berpidato: ”Buatlah rakjat-djelata kita zelf- bewust!” Ia menjelaskan, rakyat jelata harus dibuat sadar arti golongannya sendiri. Mungkin ia berharap, suatu saat rakyat jelata di Indonesia mampu berbicara untuk membela diri sendiri. Kini jangankan zelf-bewust (sadar diri), sebaliknya rakyat jelata terjebak ”ilusi ganda” dan sebagian menjadi pasien rumah sakit jiwa. Semoga tragedi ini bisa dimengerti para kandidat presiden.

Dominggus Elcid Li Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia); Co-Editor Jurnal Academia NTT

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/24/03363970/nasionalisme.dan.politik.sakit.jiwa


Leave a comment

Republik Zonder Atap


Republik Zonder Atap

Jumat, 4 Desember 2009 | 02:49 WIB

Dominggus Elcid Li

Presiden Yudhoyono memutuskan, konflik antaraparat terkait pemberian uang negara kepada Bank Century Rp 6,7 triliun diselesaikan di luar pengadilan (Kompas, 24/11/2009).

Pada saat yang sama, proses hukum Nenek Minah tetap dijalankan (Kompas, 20/11/2009).

Pada sisi ini dapat dilihat, penegakan hukum bagi rakyat jelata menjadi keharusan, sedangkan bagi pejabat tinggi negara ada di ruang negosiasi.

Padahal, Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1977:71) menegaskan pentingnya prinsip kesetaraan dalam Republik. Menurut dia, demokrasi sirna jika ”kesetaraan” antarwarga negara diingkari atau dijalankan dengan ekstrem. Ada dua kemungkinan mengapa demokrasi pupus, yaitu bergeser ke sistem monarki atau despotik. Dalam monarki, kehormatan bangsawan lebih tinggi daripada hukum dan hal memalukan sifatnya rahasia.

Efek sistemik

Penyelesaian di luar pengadilan yang ditawarkan Presiden dianggap sudah memadai oleh aparat negara yang terlibat meski dirasa tidak adil oleh publik. Jalur hukum yang buntu kini disiasati lewat jalur politik. Di jalur politik masalah hukum kembali ke ruang negosiasi.

Logika matematika ini mungkin membantu. Jika hanya karena ”memetik” tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan seharga Rp 2.000 (Suara Merdeka, 16/11/2009), Minah harus diadili, lalu mengapa pemberian Rp 9 miliar lebih kakao milik negara kepada Bank Century dianggap wajar?

Pada era ini pemerintah amat dermawan terhadap usaha privat. Bagi ekonom pemerintah, efek sistemik diduga akan menimpa pelaku ekonomi papan atas, jauh lebih bernilai daripada usaha bertahan hidup rakyat jelata.

Jadi standar ganda ini tidak hanya berlaku di bidang hukum, tetapi dalam kebijakan ekonomi. Efek sistemik yang dihitung ekonomi hanya ada dalam analisis finansial. Sementara efek sistemik yang diakibatkan liberalisasi pasar yang didesain para ekonom terhadap rakyat jelata luput dari perhitungan. Perdebatan tentang obyektivitas pengetahuan ada di sini. Di titik ini pengetahuan tidak bebas kepentingan.

Kisah-kisah pertikaian antara warga negara dan perusahaan yang melibatkan aparat negara terjadi merata di Indonesia. Mulai dari Freeport di Papua hingga keringnya mata air akibat perusahaan tambang di Flores (Kompas, 25/11/2009). Sumbu masalahnya sama, tanah negara menjadi tanah perusahaan. Dalam hal Bank Century, uang negara menjadi uang perusahaan.

Transisi ekonomi pasar

Kondisi ketidakpastian hukum yang dialami Indonesia mirip dengan apa yang terjadi di Rusia dua dekade silam. Boris Yeltsin didampingi dua ekonom, Yegor Gaidar dan Anatoly Chubais, gencar menjalankan liberalisasi pasar tanpa kontrol negara. Desentralisasi dan privatisasi merupakan dua kata kunci.

Padahal, dalam privatisasi, jaringan mafia turut beroperasi dalam pengalihan kepemilikan barang negara menjadi milik pribadi (Varese, 2001). Aparat negara yang menjadi bagian jaringan mafia ”melayani” segelintir orang yang ingin memperbesar aset. Proteksi yang diberikan oleh aparat negara dan mafia mengikuti penawar tertinggi.

Wajar konflik tak hanya terjadi antarpelaku bisnis, tetapi melibatkan aparat negara sebagai backing. Pejabat yang menjadi pedagang proteksi disebut krysha (atap). Konflik di antara para ”atap” tidak diselesaikan di pengadilan. Konflik mereka diselesaikan di arbitrazh, forum di luar pengadilan yang menghadirkan ”atap” yang dihormati (Varese, 2001).

Di ruang citra, akibat arus balik pascaera fantasi kapitalisme versi Hollywood dapat dilihat pada Vladimir Putin yang disimbolkan sebagai pemimpin macho. Putin tak hanya bersalaman dengan Barack Obama, tetapi juga berurusan dengan oligarki dan jaringan mafia yang isinya termasuk para bekas agen KGB di era pasca-Uni Soviet. Di ruang terbuka ia berhadapan dengan zashchita, ”jaringan hitam profesional” yang terdiri dari pengacara, petugas humas, jurnalis, dan pemilik media (Glenny, 2009: 85).

Negara dan era transisi

Hingga kini, dalam percakapan di media, era reformasi Indonesia sering disebut era transisi. Setidaknya ada dua asumsi. Pertama, transisi menuju sistem demokrasi. Kedua, transisi menuju sistem ekonomi pasar.

Periode era transisi ke ekonomi pasar seharusnya tak dijalankan serentak dan tanpa perhitungan. RRC pada periode Deng Xiaoping menjalankan ini secara bertahap, juga Rusia yang belajar dari anarki di era Yeltsin. Pasar sempurna adalah ilusi. Ini bisa dilihat bagaimana sekian negara Eropa dan AS bereaksi dalam menangani krisis ekonominya.

Rakyat jelata yang ditawan VOC dan bangsawan lokal adalah kisah dua abad silam. Kini Minah dan kaumnya Republik ini adalah Republik zonder atap.

Dominggus Elcid LiCo-editor Jurnal Academia NTT; Mahasiswa PhD di Departemen Sosiologi, University of Birmingham

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/02494635/republik.zonder.atap