Oleh: Dominggus Elcid Li*
Apakah mungkin kesejahteraan petani-peternak sapi asal NTT meningkat? Pertanyaan ini bisa dengan cepat dijawab ‘Ya’, karena teorinya ketika permintaan pasar Indonesia tinggi, pintu impor sapi juga dibatasi, maka para peternak sapi lokal berpeluang untung.
Prakteknya distribusi rabat kepada produsen nyaris bukan prioritas para pembuat kebijakan. Keterlambatan SK Gubernur NTT untuk mengeluarkan jumlah kuota sapi menjadi keluhan pengusaha sapi (Victory News, 22/2/2017, hal.9, & Timor Express, 22/2/2017, hal.1), karena sapi tertahan di karantina hewan di Tenau. Apa pun alasan keterlambatan, hal ini berdampak pada membesarnya biaya pengiriman sapi. Secara akumulatif beban keterlambatan yang diterima pengusaha sapi, juga akan ditanggung oleh petani, dan berpengaruh pada daya saing komoditas sapi asal NTT.
Fakta yang muncul sebagai dampak dari keterlambatan kuota sapi antara lain: laju rantai perdagangan sapi terhenti di pedalaman Timor (selain untuk RPH lokal maupun konsumsi lokal), biaya membengkak karena sapi tertahan di karantina, dan skema pembayaran utang pengusaha di bank tidak sesuai rencana. Tingginya angka permintaan sapi dari Pulau Jawa, dan Kalimantan, sudah seharusnya didukung oleh efisiensi di tingkat supply chain agar sapi asal NTT dapat bersaing.
Usaha memangkas dwelling time yang dilakukan oleh Presiden Jokowi di berbagai pelabuhan dengan konsep tol laut, termasuk di dalamnya dengan kapal pengangkut sapi, merupakan langkah konkrit untuk menaikan daya saing produk asal berbagai daerah untuk pasar dalam negeri. Meskipun kapasitasnya masih terbatas, sebab ‘kapal Jokowi’ baru mampu menampung sekitar 20 % dari total 60 ribu sapi asal NTT tahun 2016.
Cerita terlambat tidak hanya terjadi di NTT, namun dalam nuansa persaingan dagang. Keterlambatan proses pengiriman sapi asal NTT juga terjadi di wilayah Provinsi Jawa Timur tahun 2011 dan 2016, dengna klaim sapi NTT terkena anhtrax. Tahun 2011 Gubernur Jawa Timur membuat sapi asal NTT terkatung-katung di wilayah laut Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (Kompas.com, 11 April 2011). Akibatnya bobot sapi turun, dan nilai jual turun, pengusaha merugi, dan ujungnya juga berdampak pada petani.
Jawa Timur merupakan salah satu produsen sapi nasional, dan per harinya mengirimkan 650 ekor sapi ke Jakarta. Tahun lalu kuota pengiriman sapi NTT keluar sebesar 60 ribu ekor, atau kurang lebih sekitar 164 ekor per hari. Tudingan Gubernur Jawa Timur bisa dibilang mengada-ada karena pengiriman sapi dari NTT ‘harus’ melalui karantina hewan selama 7 hari. Dampak tudingan ini berpotensi memberi stigma anthrax untuk komoditas sapi asal NTT.
Tingginya tingkat kompetisi komoditas sapi dalam negeri sebagai dampak kebijakan dari pembatasan impor sapi, seharusnya memaksa kita untuk menjaga daya saing sapi asal NTT dengan komoditas sejenis asal provinsi lain yang menjadi kompetitor seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Bali, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan NTB. Kenyataannya institusi eksekutif dan legislatif Provinsi NTT tidak cukup peka terhadap bagaimana memperkuat daya saing sapi asal NTT.
Kritik Regulasi
Kritik terhadap regulasi komoditas sapi di NTT sudah menjadi catatan penelitian berbagai lembaga (Smeru 2007; Pikul & Asia Foundation 2013). Kritik penelitian Smeru (2007) menyasar tingginya angka pungutan di berbagai level yang membuat sapi potong NTT berubah menjadi ‘sapi perah’.
Jika para pengusaha mempersoalkan SK Gubernur NTT yang mengatur tentang kuota sapi maka ini tidak tidak bisa lepas dari Peraturan Daerah No.10 Tahun 2003 tentang ‘Sertifikasi Bibit dan Izin Pengeluaran Ternak Besar di NTT’, dan Peraturan Gubernur No. 15 tahun 2012 (Lampiran No.51).
Ada empat hal mendasar yang termuat dalam kedua peraturan ini yang perlu diperbaiki sebagai bentuk dukungan pemerintah dan lembaga legislatif untuk para peternak, maupun sebagai bentuk usaha pemerintah setempat untuk bersinergi dengan kebijakan pemerintah pusat.
Pertama, upaya Presiden Jokowi dengan kapal sapi seharusnya mendorong Pemda Provinsi NTT dan DPRD NTT untuk melakukan revisi terhadap Perda No.10 tahun 2003, maupun Pergub No.15 tetang mekanisme ‘pengeluaran sapi’ atau ternak besar dari NTT. Upaya untuk membuka bottle neck pengiriman komoditas sapi asal NTT harus segera dilakukan. Bisa diperiksa jumlah ‘Badan Usaha’ yang memiliki hak untuk menguarkan sapi asal NTT jumlah yang aktif di bawah 10 jari, bandingkan dengan jumlah peternak yang jumlahnya ribuan, maupun potensi Bumdes asal NTT yang jumlahnya berpotensi mencapai angka 500-an. Pertanyaannya, apakah tidak ada kebijakan yang bisa direvisi yang membuat akses para-peternak semakin dekat ke ‘pintu keluar’?
Seharusnya dengan adanya ‘kapal Jokowi’ usaha pengiriman sapi ke Pulau Jawa menjadi lebih mudah dan lebih pro petani. Ternyata hal itu tidak terjadi. Salah satu persoalan mendasar terletak pada Perda No.10 tahun 2003 di Pasal 6 ayat 1, 2, dan 3 yang isinya: 1) Setiap Badan Usaha yang akan mengeluarkan ternak besar harus mendapat izin pengeluaran ternak dari Gubernur. 2) Untuk memperoleh izin pengeluaran ternak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini pemohon harus mengajukan permohonan kepada Gubernur melalui Dinas Peternakan dan tembusannya kepada Dinas Peternakan/pertanian Kabupaten/kota dan 3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ini harus dilampirkan sebagai berikut: a.Salinan Akte Pendirian Badan Usaha yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang; b.Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Surat Keterangan Fiskal Daerah (SKFD); c.Surat Tempat Isin Usaha (SITU); d.Referensi Bank; e.Copy Surat Izin Perdagangan Antar Pulau (SIPAP); f.Keterangan dari Dinas peternakan/Pertanian Kabupaten/Kota tentang lokasi/wilayah tersebut bebas penyakit menular menurut peraturan yang berlaku; g.Rekomendasi dari Dinas Peternakan/Pertanian Kabupaten/Kota tentang lokasi/wilayah tersebut bebas penyakit menular menurut peraturan yang berlaku; h.Laporan realisasi pengeluaran ternak bagi izin sebelumnya.
Seharusnya dengan munculnya sekian regulasi baru di pusat, dan kelembagaan baru, terutama melalui UU Desa, rantai niaga sapi di daerah bisa dipangkas agar menjadi lebih pendek, sekaligus dapat mengakomodir kepentingan para petani. Jika melihat Perda di atas, petani akan cenderung kesulitan memenuhi syarat-syarat ‘badan usaha’ seperti yang tertera di atas. Padahal Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) bisa diorganisir untuk mengoptimalkan kepentingan para petani.
Pemerintah Provinsi NTT maupun DPRD perlu melakukan telaah ulang atas Perda maupun peraturan lain sejenis yang menghambat pelaku usaha muncul dari desa. Sederhananya, semakin panjang rantai nilai maka semakin kecil keuntungan yang didapat petani-peternak di bagian hulu. Dengan ‘menghitung’ Bumdes dan menaikan kapasitasnya skema pengiriman kapal sapi bisa diperuntukan kepada Bumdes, dan bukan untuk mensubsidi pengusaha besar baik dari NTT maupun dari DKI atau Jawa Barat. Dengan langsung fokus ke desa, diharapkan kesenjangan pendapatan dapat dipangkas, akses kepada pelaku pedesaan semakin terbuka dan diharapkan secara sistematis dapat mengurangi jumlah penduduk miskin.
Kedua, penerapan kuota sapi perlu didukung dengan transparansi pemberian kuota dan alasan rasional yang menjadi dasar pemberian kuota. Gubernur NTT harus mampu menjelaskan secara lugas bagaimana kuota sapi dibagi, dan siapa saja yang berhak mendapatkan kuota sapi. Skenario pembagian kuota sapi tanpa memperhatikan keadilan ekonomi membuat orang bertanya bagaimana keterkaitan program Anggur Merah, yang berhasil menaikan populasi sapi, dengan strategi di hilir. Kebijakan kuota sapi Gubernur NTT dengan program unggulan Anggur Merah, tidak sinkron dengan pasar dalam perspektif para petani.
Ketiga, kehadiran kapal Jokowi berpeluang merubah struktur pasar sapi di NTT untuk menjadi lebih pro petani. Contohnya semula komoditas sapi dikuasai oleh para ‘pemain lama’ yang bergerak di NTT dan mempunyai jaringan nasional. Kini dengan masuknya kapal sapi, para pemain baru pengusaha sapi asal DKI dan Jawa Barat juga langsung mengambil sapi di NTT. Upaya menekan harga sapi di wilayah Jabotabek dilakukan dengan mengakses langsung sapi ke NTT. Sebab ‘kapal Jokowi’ jelas terkait upaya dari pemerintah ibukota menekan harga daging sapi di sana, namun perspektif yang mewakili para petani-peternak, maupun pengusaha lokal seolah kosong dan tidak mendapatkan tempat.
Keempat, dampak dan efektivitas kuota sapi perlu diperdebatkan secara serius oleh para pakar di bidang ini. Apakah memasang ‘palang keluar’ dampaknya lebih positif untuk pengembangan sapi? Misalnya ke depan bisa diusulkan jika penentuan kuota sapi juga didasarkan pada jumlah kepemilikan sapi betina. Dengan cara ini kuota mendapatkan jangkar rasionalnya dan tidak hanya sekedar bagi-bagi kue. Dengan memberikan insentif ini dan alasan mekanisme penentuan kuota, diharapkan sapi betina produktif tidak masuk ke ruang jagal, tetapi dibeli oleh Badan Usaha dan Bumdes, maupun kelompok-kelompok binaan petani.
Upaya untuk merevisi Perda Provinsi NTT No.10 tahun 2003–maupun peraturan turunannya, dan peraturan lain terkait–perlu melibatkan para pakar lintas ilmu yang berorientasi: (1) meningkatkan daya saing komoditas sapi asal NTT, (2) menjadikan sapi sebagai alat ungkit kesejahteraan petani, dan (3) membuka peluang untuk pengusaha-pengusaha asal NTT untuk melakukan inovasi dalam perdagangan sapi.
Inovasi masih harus dilanjutkan. Pengiriman daging beku, pengolahan tulang, penyamakan kulit hingga pembuatan industri daging kaleng, seharusnya bisa terus diperjuangkan sehingga komoditas unggulan asal NTT ini semakin memberi dampak lebih luas. Upaya riil Pemda, maupun berbagai lembaga keuangan yang bergerak di NTT, untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari tempat jagal ditunggu.
Sudah saatnya bottle neck dalam perdagangan sapi ini dibuka, sudah saatnya dasar-dasar kuota sapi dikaji tuntas. Visi kapal Jokowi yang pro petani harus mampu diturunkan dalam tata niaga yang adil (fair) di NTT. Tanpa prinsip dasar ini sulit kita berharap bahwa kapal sapi asal Jokowi dapat menjawab kebutuhan para petani-peternak. Jangan heran jika kapal sapi dibiarkan parkir lama, datang kosong, atau pulang kosong.
Sudah saatnya pembicaraan tentang provinsi sapi, maupun tindakan mengurangi kemiskinan diturunkan dalam tataran kebijakan. Setiap kali kita terlambat beraksi, setiap saat pula kita menutup mata terhadap peluang untuk memberantas kemiskinan. Sudah saatnya jargon pro rakyat diterjemahkan secara gamblang.
Pemda Provinsi dan DPRD NTT perlu bergerak cepat untuk menata ulang regulasi sapi agar nasibnya tidak seperti kayu cendana yang pernah terkenal sekian abad dan kini punah. Cendana sebagai komoditas unggulan pernah disebut sebagai ‘kayu bermasalah’ (hau malasi), dan anakannya pun dimatikan jika muncul di halaman.
Kekeliruan Perda cendana terlambat diantisipasi dan berdampak pada punahnya cendana. Saat ini kondisi serupa juga terjadi pada komoditas sapi, sapi-sapi betina ditemukan di berbagai rumah jagal. Tanpa langkah serius, sapi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda ke ‘wilayah NTT’ di awal tahun 1900-an nasibnya lebih cepat punah. Kekeliruan ‘kebijakan’, dan tata niaga yang tidak adil semakin mempercepat kepunahan sapi.
*Peneliti IRGSC (Institute Resource Governance and Social Change), anggota Forum Academia NTT