Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Politik Koran Bekas

Leave a comment


Oleh: Dominggus Elcid Li

Membaca berita tahun 2016 seperti kita sedang membaca seluruh ringkasan narasi panjang surat kabar pasca Soeharto. Cita-cita reformasi seolah berjalan di tempat. Lucu dan getir terlipat jadi satu.  Perubahan mendasar yang diharapkan ditawan mekanisme pasar.

Di tahun 2016, atau 18 tahun setelah Presiden Soeharto mundur upaya untuk melihat kembali proses reformasi di Indonesia dilakukan dari berbagai kota di Indonesia–termasuk di Kupang. Jika di era Orde Baru, partai politik non Golkar dan ABRI dipasung maka kini di era multi partai turut ditandai dengan menguatnya jalur politik per orangan atau non partai.

Fenomena menguatnya politik warga cenderung sempat membuat gamang elit partai di Ibukota. Contohnya tarik ulur Ahok, Teman Ahok, dan PDIP maupun partai-partai politik lain seperti Nasdem, dan Golkar sebagai bumbunya merupakan tema umum dalam beberapa bulan terakhir.

Relasi partai politik dan politik warga sempat diletakan dalam posisi antagonis. Politik warga dianggap oleh PDIP sebagai bentuk deparpolisasi, sedangkan ‘harapan perubahan’ yang disampaikan oleh warga yang tergabung dalam ‘Teman Ahok’ tidak terbaca.

Fenomena ini menunjukkan ‘politik populer’ sedang berada di simpang jalan, diantara kendali partai politik, berada di tangan warga, pemodal, maupun aktor utama. Meskipun jika dilihat lebih jauh relasi antara Ahok dan Teman Ahok relasinya adalah relasi asimetris, dimana Ahok menjadi figur yang ‘paling berkuasa’. Artinya apa pun seruan Ahok, cenderung tidak ada yang dapat membantah. Baginya pola pembangunan partisipatoris dianggap membuang-buang waktu, kompleksnya persoalan kaum miskin kota dijawab dengan tangan tentara, dan donasi taipan.

Di sisi lain, sebagian pendukung ‘politik tangan besi’ menganggap kompleksitas persoalan di Ibukota memang membutuhkan orang kuat, agar otoritas pemerintahan DKI dapat dirasakan kembali. Agar ada order di Ibukota. Selain itu modernisasi pemukiman kumuh mutlak diadakan tanpa dialog sebab efisiensi waktu adalah kunci dari gerak maju. Pola ini agak mirip dengan apa yang dilakukan berbagai pemerintah kota di RRC: bongkar, ratakan dengan tanah, dan bangun baru.

 

Membaca Tanda Perubahan

Kemampuan untuk membaca tanda perubahan merupakan salah satu kunci kepemimpinan. Mulai dari kepemimpinan di dalam institusi agama, partai politik dan dalam klan rumah suku. Kemampuan membaca dan mewujudkan perubahan merupakan kata kunci untuk menjelaskan soal kondisi yang diharapkan.

Posisi seorang pemimpin publik terletak pada kemampuannya untuk mewujudkan perubahan, sekaligus mendengarkan apa harapan commune. Tarik ulur antara individu (the ‘I’ (saya)) dan commune, merupakan tantangan tetap.  Di satu sisi seorang pemimpin adalah pucuk puncak pengambilan keputusan di saat yang sama ia harus mampu menerjemahkan harapan warga dan mengantisipasi konsekuensi dari keputusan yang diambil. Tak hanya itu seorang pemimpin publik harus cakap berdialog dengan berbagai komunitas yang ada, dengan dirinya, dan semesta yang tak terbatas.

Setiap generasi memiliki struktur tanda tersendiri dalam memaknai peran publik. Setiap generasi memiliki harapan serupa apa karakter commune idealnya. Setiap generasi perlu mencoba mengerjakan apa yang dianggapnya terbaik dengan tetap melakukan kalkulasi apa yang mungkin ditempuh dalam konteks sosial. Setiap generasi perlu tiba pada substansi yang menjadi titik pijak perubahan sosial di zamannya.

Demokrasi di era ‘lapar visual’ butuh panggung dengan pencitraan sebagai logonya. Biaya tinggi demokrasi tercipta dari proses dramaturgi kampanye. Orang tidak lagi melihat isi dan mencoba kritis, tetapi aksi teaterikal visual langsung dianggap sebagai syarat tetap dan telah menjadi gerak mekanis yang tidak perlu dipikirkan ulang. Kondisi kurang tenaga dalam menjalin relasi antar manusia dalam proses perwakilan cenderung langsung ditukar menjadi relasi ekonomi.

Gerak avant garde tidak mungkin tercipta tidak mungkin dilakukan berdasarkan hafalan, atau sekedar memindahkan nama dari tempat lain. Dalam kategori yang sama para tukang survei (pollster) pun tak lebih dari burung nazar berdasi. Dampak lebih lanjut dari komodifikasi pengetahuan jenis ini kerusakannya memang tidak terlihat langsung, tetapi jangka panjang.

 

Kritik dan Transisi Abadi

Korupsi bukan lah peristiwa individual, tetapi peristiwa kolektif. Tersangka atau terduga korupsi mungkin individu, tetapi jejaring korupsi melibatkan keluarga, kawan main, klan, organisasi, dan institusi. Dalam berbagai level pembenaran korupsi terjadi di dua aras. Pertama, uang korupsi diterima dengan anggapan bisa membantu lebih banyak orang yang membutuhkan sehingga prinsip greater good dipakai. Meskipun konteks greater good di sini tetap lah eksklusif. Lagipula korupsi dalam konteks NTT bukan aksi merupakan aksi hedonis, tetapi aksi ‘makan bersama’.

Kedua, logika pasar dipakai dengan menekankan logika ekonomi (baca: cost and benefit) sebagai hukum tertinggi dan melepaskan tanggungjawab moral. Alibinya jika ‘kesempatan’ ini tidak diambil, ada pihak lain yang mengambil. Sehingga tidak jarang kita lihat institusi yang sama yang mengecam korupsi maupun koruptor, ada dalam jaringan ekonomi yang sama. Mengambil dari kantung yang sama—bahkan secara legal.

Kedua alibi di atas menempatkan individu (agent) bukan sebagai titik final. Bahkan penentang koruptor bisa dianggap absurd, karena kemiskinan absolut selalu dijawab dengan tindakan karitatif temporer yang sifatnya darurat–artinya tolong atau mati. Paradoks ini terjadi karena tindakan karitatif maupun nalar ekonomi dampak positifnya senantiasa dilihat dalam kacamata sistem, sementara dampak korupsi hanya dilihat dalam rantai pendek orang per orangan. Bahkan menerima atau meneruskan pemberian dari koruptor juga dimaknai sebagai ‘pengorbanan diri’. Bukankah kita harus makan dari tangan yang bekerja dan bukan dari tangan yang mengemis?

Menolak nalar dagang dalam proses demokratisasi demokrasi warga juga perlu dilakukan dari jenjang paling bawah. Pendidikan politik perlu dilakukan berbagai institusi masyarakat sipil, sebab warga yang terbeli adalah warga yang ditawan. Dalam kondisi ini fase emansipasi lanjutan agak sulit diharapkan.

Dalam setiap perhelatan Pilkada di Provinsi ini, kehadiran bandar sudah dianggap hal biasa. Pilihan para peserta Pilkada adalah menabung lewat fee proyek, atau menggandaikan leher pada bandar. Di tingkat bawah urusan jual beli suara adalah hal biasa. Harga 250 ribu rupiah per kepala jadi barang biasa. Kaum pelaksana jual beli suara dikenal dengan nama pemain. Mereka mendistribusikan ‘dana perang’, sekaligus menjadi operator. Kaum jenis ini jelas anti dengan konsep relawan warga. Menjelaskan bahwa politik itu murah pada para operator jenis ini biasanya ditanggapi dengan kalimat sinis: ‘Lu pi main lompor di mana ko!’

Jika kita di NTT tidak belajar menggunakan mata kepala untuk belajar melihat, menggunakan mata hati untuk mengolah apa yang dilihat, dan mata kaki untuk menentukan langkah yang mungkin sudah pasti kita hanya akan pandai menjadi kaum yang bersungut. Seribu sumpah serapah secara bergilir ditujukan kepada siapa yang kebetulan ada di atas, tetapi tidak belajar mengerti bahwa kerusakannya adalah kerusakan sistem. Semua pihak di setiap strata terlibat.

Wajar jika mereka yang melakukan perubahan akan selalu ditentang. Bukan hanya ditentang oleh elit ujung atas, tetapi ditawan oleh kaum miskin yang ingin dibela dalam kaca mata moral. Sederhananya dalam dramaturgi kampanye, perayaan hipokrisi bersama jelas membutuhkan aktor-aktor elit kultural. Biasanya uang adalah penggerak utama. Jika semua ingin ‘mendapatkan kue’ maka ia harus hadir, dan jika semua mendapatkan kue tak ada suara sumbang.

Entah kapan para kelas menengah dan elit di NTT ini mau belajar untuk tidak menjadi hipokrit. Tidak menghamba pada uang, dan belajar mengambil keputusan menggunakan kaca mata batin yang jernih. Jika anda takut susah lihat lah yang di bawah yang untuk mengadakan air untuk cebok pun menjadi persoalan rutin harian.

Jalan baru hanya mungkin dibikin jika uang sebagai variabel utama penggerak Pilkada mampu ditertawakan bersama-sama. Berita di surat kabar perlu dibaca ulang, dan ditulis ulang bersama-sama. Agar proses penemuan kembali dapat dilakukan. Jika waktu dianggap lebih penting dibandingkan ruang, mengapa ruang bersama tidak dikerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dalam posisi samadi?

Politik koran bekas adalah nalar politik yang tidak bisa melepaskan diri dari manipulasi dan menolak untuk tiba pada substansi. Singkatnya, jalan baru itu belum dibikin sehingga siapa pun tidak lebih tahu dan merasa pernah tiba. Namun selama uang masih menjadi tuan, dan menjadi energi penggerak utama ‘demokrasi’, percaya lah Pilkada tak lebih dari pesta pora yang absurd: pesta dan kematian belari bersama. Membaca berita koran jenis ini jelas membuat kita bergidik, dan bertanya: manusia jenis apa yang berdoa sambil merayakan kematian dengan pesta pora di atas kuburan.

*Penulis adalah anggota Forum Academia NTT, tulisan ini dimuat di Harian Pos Kupang, tanggal 18 Agustus 2016.

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s