Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Membaca Ulang Krisis Reformasi

Leave a comment


Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Demokrasi sebagai cita-cita bersama yang diharapkan dapat menjadi platform baru dalam mengatur kehidupan bernegara sekaligus kritik terhadap Orde Baru kian jauh dari harapan. Dalam wacana para pejuang demokrasi di akhir tahun 1990-an, kata-kata kunci semacam: anti rezim otoriter, anti militerisme, merupakan kata-kata dominan untuk mengritik dominasi elit militer dalam sistem Orde Baru. Di tahun 2017, nada optimis tentang sistem demokrasi yang digagas dalam 18 tahun terakhir kian menghilang.

Sistem demokrasi yang diperjuangkan sedang berada dalam krisis panjang. Tantangan utama yang sangat terlihat adalah: pertama, demokrasi saat ini cenderung hanya lah formalitas, kesempatan orang banyak (the commons) untuk maju ke gelanggang politik semakin dibatasi, dan cenderung hanya menjadi penonton. Kedua, partai-partai politik gagal melakukan proses institusionalisi sistem kepartaian. Ketiga, praktek berpolitik amat jauh dari demokrasi substantif, sebaliknya manipulasi dan kamuflase merupakan fenomena dominan.

Nalar Demokrasi Setengah

Kecenderungan orang banyak yang hanya menjadi penonton dalam era demokrasi kita sebut sebagai nalar demokrasi setengah. Pemerintah memiliki hak penuh untuk melarang orang menganjurkan ‘golput’ dalam pemilihan umum, tetapi sebaliknya hak untuk dipilih tidak menjadi perhatian para pembuat undang-undang. Dari pusat hingga pinggiran Indonesia, skema demokrasi cenderung mengaminkan konsep ‘demokrasi setengah’ yang mengabaikan hak warga untuk dipilih.  Warga sekedar menjadi penggembira yang suaranya diatur seperti dalam sit com.

Jika dalam ilmu ekonomi gini coefficient merupakan skala yang dipakai untuk memotret kesenjangan ekonomi warga negara, maka jika diterapkan dalam bidang partisipasi pemilu bisa dilihat kaum apa saja yang bisa dipilih, atau jika ingin dibuka lebih saksama kita juga bisa melihat ‘jenis kaum macam mana’ yang bisa menentukan siapa yang bisa dipilih. Kesenjangan antara hak untuk memilih dan hak untuk dipilih tidak menjadi bahan diskusi.

Hal mendasar yang berkembang dalam sistem demokrasi liberal saat ini adalah mereka yang kuat secara finansial mendominasi. Skema demokrasi kerakyatan gagal dibangun di era reformasi, dan hanya di segelintir tempat para pemimpin populis yang berhasil muncul. Sebaliknya secara umum hegemoni partai politik tetapi melanggengkan skema orang kuat. Diksi kuat di sini adalah orang yang secara finansial mampu membiayai demokrasi padat uang dan mampu ‘membeli’ suara. Proses pembelian suara pun tidak mesti vulgar, penggunaan instrumen conditional cash transfer merupakan hal legal dan jamak dilakukan.

 

Kegagalan Partai Politik

Kegagalan partai politik melakukan proses institusionalisasi partai-partai politik tercermin dari dominannya aksi jalanan ekstra parlemen, dan aksi  perang media sosial (cyber war).  Dominasi orang kuat dalam partai politik hanya melanggengkan sistem patron-client dan platform partai-partai politik cenderung hanya menjadi slogan kosong. Keterpisahan antara laku atau praktek politik dengan slogan partai politik merupakan hal biasa. Sebab secara umum apa yang tertulis secara formal amat berbeda dengan kenyataan riil yang dilakukan.

Tingginya biaya transaksi politik telah membuat partai-partai politik memalingkan wajah dari para calon yang memiliki kapasitas tetapi tidak berduit. Secara riil demokrasi padat modal telah membuat para calon yang memiliki dedikasi tersingkir dari gelanggang di tahap awal, bahkan tak sempat menjadi bakal calon.  Selain harga pintu partai telah menjadi amat mahal, suara warga pun telah menjadi komoditas tersendiri. Singkatnya, tanpa uang maka daya politik tidak ada. Solidaritas telah diganti oleh interest dalam sistem pasar suara.

Ruang politik saat ini bisa dikatakan amat didikte oleh mekanisme pasar, dan tanpa kontrol. Ruang politik ada dalam hela nafas laissez-faire. Artinya suara rakyat bukan menjadi bahan pertimbangan, sebaliknya ‘suara rakyat’ hanya lah sekedar jargon untuk berkomunikasi sesaat agar ritus formalnya terpenuhi.

Politik berbiaya tinggi tak hanya menjadi ancaman terhadap sistem demokrasi, tetapi secara langsung ini merupakan ancaman terhadap eksistensi negara. Sebab secara substantif nalarnya berubah. Warga negaranya yang seharusnya ada dalam posisi egaliter, hanya diposisikan sebagai ‘penerima santunan’.

 

Demokrasi Substantif

Di ujung  tahun 2016, salah satu trend baru yang muncul adalah pengerahan massa yang turut ditukangi atau disertai oleh partai-partai politik. Gelanggang DPR atau skema pemilihan umum ditinggalkan oleh partai-partai politik. Pengerahan massa dan penggerahan cyber troops menjadi pilihan utama. ‘Intrik politik’ menjadi wajah dominan. Partai-partai politik memindahkan titik konflik ke media audiovisual, media sosial, dan jalanan.

Harapan warga agar demokrasi yang berkualitas dibawa para elit, semakin pudar karena kosongnya kemampuan para elit untuk memimpin warga digantikan dengan tehnik manipulasi berbasis sistem informasi. Perbicangan rasional semakin ditinggalkan dan diganti dengan propaganda. Hal yang paling tampak dalam keriuhan ruang bersama di Indonesia adalah nalar substantif ditinggalkan. Kini orang tidak lagi bertanya tentang kualitas ide, tetapi berapa banyak orang yang mengusung ide. Padahal jika dimengerti dengan baik, inovasi demokrasi tidak berbanding lurus dengan jumlah.

Ketidakmampuan partai-partai politik untuk melakukan institusionalisasi demokrasi hanya melahirkan ‘kaum feodal baru’ dimana regenerasi politik hanya didasarkan pada garis keturunan, perkoncoan, dan politik orang kuat secara finansial. Di titik ini partai politik telah menjadi sebuah enclave yang terasing dari rakyatnya sendiri.

 

Krisis dan Sejarah Demokrasi Indonesia

Satu tahun menjelang dua dekade ‘era reformasi’ atau pasca Soeharto proses reformasi ada dalam krisis. Paradoksnya adalah institusi-institusi politik yang selama ini mendapatkan keistimewaan luar biasa dalam sistem politik kita tidak menawarkan jalan keluar, tetapi sebaliknya malah memanfaatkan anomali atau ikut dalam proses manipulasi terhadap sistem demokrasi melalui sabotase informasi. Propaganda yang dilakukan oleh para aktor jenis ini telah membuat ruang bersama selalu berada dalam posisi emergency.

Sejak awal krisis peralihan sistem tidak dipahami. Demokrasi liberal yang diadopsi di Indonesia tahun 1950-an (Feith, 1962), dan kembali dihidupkan di tahun 1998 mengabaikan platform dasarnya dan hanya bisa dimengerti dalam konteks sejarah organisasi politik moderen. Sejak munculnya berbagai organisasi moderen, terutama di tahun 1920-an, formasi organisasi politik di Indonesia mengikuti skema verzuiling Belanda berdasarkan pilar-pilar keagamaan maupun partai berbasis idiologi moderen seperti partai sosialis, partai liberal, dan partai komunis.

Dalam sistem pilar (verzuiling), institusi keagamaan dalam masyarakat diterjemahkan dalam partai-partai politik. Jika di Belanda tahun 1897 misalnya formasi partai politik dibagi menjadi: Partai Liberal, Sosialis, Roman Catholics, Christian Historical Union, dan Anti Revolutionary Party. Di Indonesia di tahun  1921, komposisi Volksraad diantarnya terdiri dari NIVB (Netherlands Indies Liberal Association), CEP (Christian Ethical Party), IKP (Indies Catholic Party), dan Sarekat Islam (Schumutzer 1977).

Tanpa berupaya memahami sejarah sistem verzuiling yang menjadi cikal bakal organisasi moderen Indonesia dan hanya melihat perkara Pancasila/Piagam Jakarta, political islam dalam konteks global, serta mereduksinya dalam kontrol wacana ala Orde Baru berbingkai SARA yang ditelurkan Kopkamtib tahun 1974, maka kita semakin jauh dari titik pengertian.

Gagalnya institusionalisasi sistem demokrasi di era reformasi (1998-sekarang) tercermin dari semakin sedikitnya partai politik, semakin sulitnya akses ke dalam partai politik, dan semakin mahalnya biaya berpolitik. Konsep dasar verzuiling adalah integrasi sosial, dan konflik diselesaikan dalam sistem politik. Ketidakmampuan para elit Indonesia melakukan integrasi sistem sosial ke dalam sistem politik dan hanya bermain dalam perang informasi semakin menjauhkan kita dari semangat reformasi.

Gagalnya para elit Indonesia fase pertama Republik menyelesaikan konflik berujung pada tragedi 1965. Model dasarnya serupa, krisis internal ditarik dan terjebak dalam skema konflik perang dingin. Saat ini krisis internal di kalangan elit ditarik kembali dalam skema konflik global jihad. Sayangnya, ketidakmampuan kolektif untuk keluar dari jebakan skema ‘konflik global’ yang mematikan tidak dimiliki oleh para elit politik dan sejarah tragedi perang dingin di Indonesia di tahun 1965 tidak dipelajari. Saat ini para elit-elit partai politik benar-benar ada di titik nadir, karena sumbu devide et impera ada di tangan para elit partai politik. Jutaan warga digiring untuk berkelahi sekedar untuk memenuhi ambisi segelintir orang. Pembodohan semacam ini harus diakhiri.

Ruang media sosial kini dipenuhi oleh para cyber troops generasi Z yang dimainkan oleh para elit politik yang cenderung paralel dengan skema global jihad versus anti global jihad. Jika kita seolah dihadapkan pada konfrontasi golongan Islam sentris vs Nasionalis (termasuk di dalamnya Islam Nasionalis), maka kita patut juga belajar bahwa sekian pilar politik dalam bentuk partai politik telah hilang atas nama klaim mayoritas. Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia bukan hanya Islam vs Non-Islam.

Selama kaum partai politik Jakarta sentris menempatkan diri sebagai golongan eksklusif yang merasa ‘paling berkeringat’ dalam bernegara dan menolak kritik egalitarian maka krisis reformasi juga tidak mendapatkan jalan keluar. Ketakutan aparat partai terhadap dominasi pasar terhadap suara politik harus dibedakan dengan penutupan akses politik warga yang tidak terakomodir dalam jalur partai politik–yang sangat mahal.

Institusionalisasi sistem demokrasi di Indonesia hanya mungkin dilanjutkan jika partisipasi politik dikembalilkan dalam skema egalitarian. Partisipasi politik pun merupakan hak warga negara, dan bukan seperti saat ini dijadikan komoditas dan sasaran diskriminasi.

Untuk keluar dari krisis, kita membutuhkan upaya membaca ulang patahan sejarah politik Indonesia, sambil tetap peka terhadap arus geopolitik dunia, dan secara riil melakukan konsolidasi dan integrasi sistem politik Indonesia secara terus menerus.  Dalam posisi ini kita membutuhkan negarawan yang memahami bagaimana melanjutkan statecraft Indonesia, dan bukan politikus opurtunis. Sayangnya, politikus semacam ini juga kosong dalam ruang partai karena partai-partai politik pun ada dalam tawanan interest pasar.

 

*Direktur IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change), peminat sosiologi sejarah tinggal di Kupang, NTT.

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s