Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


4 Comments

Media, Tabu dan Cyborg


Seorang sahabat di ujung Timur Pulau Flores menulis humor ini. Seorang peserta tes pegawai negeri bertanya, “Pak, untuk kolom jenis kelamin ini ditulis atau digambar?” Petugas itu diam menunggu untuk menjawab.

Humor ini mengajak kita untuk berpikir, bagaimana dalam sekian imajinasi manusia dalam melihat kenyataan, kita kemudan menyeleksi dan memilih tanda, nada, ekspresi, kata untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan bagaimana kita beradaptasi dengan ruang. Ruang misalnya ruang intim, ruang semedi, ruang keluarga, ruang tamu, beranda, ruang umat, ruang berdagang, dan ruang publik.

Pemahaman atas ruang yang berbeda ini menunjukan kemampuan kita memahami sekian perbedaan. Misalnya dalam budaya kita, banyak cara untuk menyatakan sesuatu tanpa merujuk langsung pada obyek yang dimaksud. Ketika seorang pria lupa menari rosletingnya. Orang tidak mengatakan, “Pak, anu-mu kelihatan.” Tetapi kalimat yang dipakai tidak merujuk langsung pada obyek, “Maaf Pak rosleting-nya lupa dinaikan.” Kalimat ini pun biasa dipakai jika kita hanya berdua atau bertiga. Tetapi ketika anda memegang mic dan kebetulan tokoh yang anda perkenalkan itu lupa menutup jendela celananya, maka dengan sopan orang memanggil ke belakang, dengan kode tanpa bunyi untuk memberitahu. Jarang seorang MC berteriak dan mempermalukan tamunya.

Kemaluan memang tidak diumbar begitu saja. Karena ini berkaitan dengan tabu. Perkara seksualitas merupakan hal yang disepakati untuk tidak diumbar dengan banal dalam masyarakat yang digolongkan orang moderen paling primitif sekali pun.

Tetapi kebiasaan ini tidak berlaku pada sekian jenis media on line belakangan ini. Tercatat Kompas.Com dan Tribunnews.Com merupakan dua media on line yang paling mengumbar aurat belakangan ini. Kalimatnya langsung, asal tulis, dan mengejar sensasi. Dalam skala yang lebih rendah ternyata Tempointeraktif.com juga melakukan hal yang sama. Untuk menyatakan berita artis yang sedang diperbincangkan melakukan hubungan intim, media massa merasa perlu mengambil cuplikan dari gambar dari video yang sedang disebut-sebut dan dipajang di halaman utama web. Lebih parah lagi media TV yang sampai perlu menyiarkan cuplikan gambar.

Kehadiran sekian alat komunikasi moderen di akhir tahun 1990-an di Indonesia tidak di-ikuti dengan kemampuan membedakan ruang, ketrampilan berkomunikasi, dan kepekaan yang memadai. Akibatnya di era on line seluruh ruang digabung jadi satu, dan kita terjerat sendiri karena tidak memahami mengapa alat-alat ini diciptakan dan bagaimana dipakai dalam masyarakat penghasil teknologi komunikasi baru ini. Ini pun wajar karena Indonesia memang menjadi sasaran pasar dalam industri.

Apakah kita orang primitif dalam hal menggunakan teknologi komunikasi? Pertanyaan nakal ini cenderung berubah menjadi pernyataan jika melihat suasana kesurupan massal di Indonesia dalam dua minggu terakhir ini.

Sejak awal dibedakan antara Kompas.Com dan Koran Kompas maupun antara Tempointeraktif.com dengan Majalah Tempo. Pengelola media on line masih lah asal. Jika dibandingkan dengan ketatnya ‘penjaga gawang’ di media cetak.Tak hanya on line, media TV di Indonesia pun juga masih belajar menyaring apa yang pantas. Agak beruntung, Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Indipenden) Nezar Patria sempat turun tangan untuk mengingatkan agar pemberitaan perkara seksualitas pun perlu menggunakan etika.

Siapa pun yang pernah menjadi wartawan kriminal televisi di Indonesia pasti tahu bagaimana cameraperson jadi begitu tega mengambil gambar-gambar sadis karena tuntutan bos di kantor. Untuk bisa tega maka cara yang kita lakukan adalah melepaskan keterkaitan kita dengan ‘obyek yang diambil’. Orang yang didepan kita turunkan derajatnya menjadi barang. Logika ini sama juga dalam perang.

Perkara tabu yang dibuka menjadi banal di ruang publik merupakan fenomena Orang Indonesia yang baru belajar menggunakan alat-alat komunikasi ini. Dikatakan baru belajar karena prinsip ‘5W+H’ pun kita datangkan dari tempat lain. Cara menulis kalimat pembuka dalam berita pun kita belajar meniru. Itu bukan sesuatu yang datang secara alamiah.

Hari-hari mendatang kita masih memikirkan bagaimana isu ini akan dihadapi. Banyak orang tua bertanya, “Kenapa sampai generasi ini jadi begini?” Kalau disadari bagaimana pengaruh media audiovisual yang masuk dalam masyarakat kita maka kita bisa sadari bagaimana kita tiba di sini. Di tahun 1980-an awal televisi masih merupakan barang baru. Di Kupang, kita yang ingin menonton masih harus duduk di bawah pohon beringin di depan kantor RRI. Kemudian beralih menonton di rumah tetangga, hingga akhirnya TV menjadi barang biasa di ruang tengah.

TV tak cukup kecil untuk dibawa kemana-mana. TV tak cukup memudahkan komunikasi banyak arah. Maka sekian alat komunikasi diperkenalkan pada kita, mulai dari pager, HP, hingga BB. Internet pun mulanya hanya bisa diakses di komputer biasa, tetapi kemudian bisa diakses lewat laptop maupun di HP, di tangan masing-masing kita.

Kehadiran alat-alat komunikasi ini merubah ruang hidup kita. Dulu jika ingin bertemu pacar kita harus mengetuk pintu rumah gadis yang kita ingin jumpa. Kini tinggal kirim SMS, kita bisa ngobrol sampai pagi. Tak harus ke rumah. Tak cukup lihat tulisan, dipasang juga web cam, agar tampak ada di depan.

Perubahan ini sepertinya alamiah, tetapi jika orang paham bagaimana para pembuat iklan mengeksplorasi ide dalam menjual produk klien mereka maka kita bisa paham bagaimana ‘ruang dalam’ kita dikontrol.

Sekian alat komunikasi yang kita pegang dan gunakan tak banyak berbeda jika dipakai tanpa memahami bagaimana jaringan ini terbentuk, dan memahami jaringan tanda yang membuat kita masih merasa sebagai manusia. Hal-hal yang intim dan halus, seharusnya tetap lah kita simpan. Hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata maka kita tukar dengan diam. Hal-hal yang belum lagi kita mengerti perlu kita renungkan bersama agar ada ‘kata’ yang tepat yang bisa kita pakai dalam berhubungan dengan manusia-manusia lain. Tanpa kemampuan ini kehadiran alat-alat komunikasi ini dalam hidup kita ibarat mencangkokan lensa di bawah dahi, atau menanam HP di dalam tangan, maupun menanam TV di dalam kepala. Entah bagaimana Pablo Picasso menggambar manusia Indonesia saat ini?

Sebelum lupa, si panitia penerimaan pegawai, karena jengkel dan lelah panitia menjawab, “Untuk kamu jenis kelamin langsung kasih tunjuk saja.”

Bagi saya para pekerja media on line maupun TV di Indonesia seperti orang yang kelelahan. Hingga akhirnya tiba di jalan buntu, “Pasang saja gambar mereka!”

Sementara orang-orang tua masih terkaget-kaget melihat geliat generasi cendawan. Generasi yang hanya tumbuh di musim hujan, dan sebentar lagi pergi. Di ruang redaksi para juru ketik sibuk menerjemahkan berita dari negeri seberang untuk di-infus ke negeri yang diproklamasikan Soekarno-Hatta: Indonesia.

Andaikan Mohctar Lubis masih ada, saya tentu meminta dia untuk menulis ulang ciri Manusia Indonesia 2010. Khusus soal wartawan Indonesia dalam surat yang ditulisnya ia menjawab ‘Sudah tidak ada harapan lagi’. Ketika ditanya bagaimana kalau kita sudah mencoba dan tidak berhasil, ‘Ya senangkan lah hati.’ Mungkin saat ia menjawab ia menulis sambil ber-yoga dengan kepala di bawah. Media di Indonesia adalah industri.

Meskipun Mochtar Lubis Award sekarang ajang bergengsi di industri media tetapi matinya Indonesia Raya tetap tidak terjelaskan dalam konteks bermedia di Indonesia. Saya rindu ada orang seperti Mochtar Lubis, bicara apa adanya. Tidak menjadi dua atau tiga dalam ruang yang berbeda. Seorang manusia. Pandangannya soal seksualitas manusia Indonesia pun indah. Dibukanya dari pantun, bukan cuma gambar.

Dominggus Elcid Li, Bekas dosen Jurusan Komunikasi Unika Widya Mandira Kupang, NTT, bekas wartawan TV7/MetroT7, pengelola beberapa media komunitas, kadang jadi koresponden Tempo di London, sedang sekolah di Inggris.

Advertisement


Leave a comment

Reformasi dalam Bayang-Bayang SARA


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Tanggal 21 September 2008, akronim SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) genap berusia 25 tahun, sejak ia diumumkan Wakopkamtib Laksamana Sudomo. Kala itu akronim ini menjadi momok yang menakutkan bagi segenap insan pers karena terancam dicabut SIT-nya (Surat Izin Terbit) jika mengabaikan seruan ini (Tempo, 22 September 1973). Sejak 5 September 1988 pula Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) lembaga ciptaan Orde Baru dibubarkan (Tempo, 17 September 1988), namun warisan SARA-nya masih tertanam di alam bawah sadar kita.

Dalam masa transisi Orde Baru ke ‘Era Reformasi’ kekerasan berbasis identitas sosial semakin marak terjadi, tetapi liputan insan pers tentang peristiwa-peristiwa ini masih sangat terbatas. Amat jarang liputan berkaitan dengan SARA bisa ditampilkan dengan leluasa untuk mencari solusi bersama.

Karena tak biasa didialogkan, para awak media pun sering kesulitan untuk menentukan posisi dalam peristiwa-peristiwa ini. Contoh yang paling sederhana adalah menentukan ‘kata’ untuk merepresentasikan kejadian terkait, apakah itu itu ‘kerusuhan’ yang mengindikasikan adanya aksi saling menentang, ataukah itu ‘penyerangan’, yang mengindikasikan aksi sekelompok orang terhadap kelompok lain.

Teori konspirasi

Dipasungnya naluri para jurnalis membuat wacana teori konspirasi menjadi wacana dominan di ruang publik, bahwa ini adalah rekayasa-rekayasa dari sekian pelaku politik formal untuk ‘mendorong’ tercapainya tujuan-tujuan politik formal. Politik kekerasan semacam ini sering di-identikkan sebagai aksi-aksi para aktor politik yang masih mengendalikan sekian ormas semi militer. Kontrol militer terhadap kehidupan publik, bisa ditelusuri dari otoritas yang dimiliki Kopkamtib (1965-1988), maupun Bakorstanas (1988-2000) yang masih memainkan fungsi Kopkamtib.

Sewindu setelah Bakorstanas (Badan Koordinasi Pemantapan Bantuan Stabilitas Nasional) dibubarkan, saat ini sekian purnawirawan TNI bermain di panggung politik, dan tidak ada jaminan bahwa hanya lewat Pemilu, proses politik dijalankan. Di sisi ini yang menjadi tanda tanya, apakah sekian purnawirawan ini ‘tidak tergoda’ untuk menggunakan pengetahuan dan aksesnya terhadap berbagai kelompok, untuk memperkuat posisi ‘politik formal-nya’? SARA yang belum mampu dibuka, ditambah dengan dengan teori konspirasi membuat media massa pun seolah bisu dan selalu khawatir salah melangkah.

Di tahun 2008, fungsi Kopkamtib dan Bakorstanas yang sudah dibubarkan malah diaktifkan kembali lewat Kejaksaan Agung. Ini tercermin dari kasus breidel buku ‘Pemusnahan Etnis Melanesia’ karya Socratez Sofyan Yoman (2008), yang diterbitkan Galang Press, pada tanggal 20 Juni 2008 terkait kasus Papua. Alasannya klise: “isinya mengganggu ketertiban umum sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa.” Jadi bisa dikatakan setelah 25 tahun, Kopkamtib memang telah ada dan menyebar di mana-mana. Sindrom SARA itu memang sudah mengakar dan tidak bisa hilang begitu saja. Dengan ‘melarang’ peredaran buku, maka fakta yang tersampaikan tidak bisa dibahas, dikritisi, dan malah akan diterima sebaliknya sebagai ‘kebenaran yang ditutup-tutupi’.

Di sisi ini legitimasi Republik Indonesia atas wilayah-wilayah pinggiran menjadi sangat rapuh, karena hanya terpaku pada komando teritorial TNI. Ketimpangan ekonomi yang terjadi antara Jakarta dan daerah-daerah lain di pinggiran merupakan ‘bola liar’ yang gampang dimanfaatkan siapa saja. Liberalisasi ekonomi yang tidak di-ikuti dengan dialog-dialog kritis di media publik tentang berbagai konflik berkaitan dengan identitas sosial hanya menunda waktu munculnya konflik yang diberi nama: ‘separatisme’.

Dalam international relations pun para diplomat Indonesia akan selalu ‘mati langkah’ ketika harus dikonfirmasi dengan data-data dari aktivis kemanusiaan yang mengusung panji humanisme universal. Bagaimana mungkin para diplomat Indonesia yang bertarung di forum internasional mampu didukung, jika fakta-fakta di-ingkari, dan hanya mengacu pada konstruksi idiologi Orde Baru. Dalam watak Orde Baru, identitas sosial hanya akan diangkat jika memperkuat legitimasinya pasca 1965. Kopkamtib sendiri didirikan tanggal 3 Oktober 1965.

Contohnya, jika berbicara tentang persoalan ‘ras’ dalam konstruksi identitas Orde Baru yang ada: ‘WNI’ dan ‘WNI keturunan’, sebagai bentuk resistensi atas hubungan Jakarta-Peking di tahun-tahun sebelumnya dalam konteks perang dingin. Contoh lain, Sudomo menuding bahwa terjadinya beberapa peristiwa ‘bermuatan’ SARA di Bandung tanggal 5 Agustus 1973 merupakan bentuk konspirasi gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintah saat itu dengan strategi Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) (Tempo, 22 September 1973).

Walaupun peristiwa Bandung terkait dengan persoalan ras sebagai identitas sosial, dan golongan ekonomi, peristiwa itu sendiri gelap bagi kita karena telah dimasukkan dalam peti SARA. Padahal dalam konstruksi SARA, kemampuan komunitas untuk mencari jalan keluar atau titik temu diambil alih oleh negara. Sehingga wajar jika berbagai konflik selalu saja bermuara pada permintaan penegakkan hukum. Pertanyaannya, di level grass root apa saja yang sudah dibuat dalam rangka mencari titik temu? Sampai kapan kita berpura-pura bahwa ‘pemerintah’ mampu menyelesaikan ini sendiri? Bukankah era penjagaan stabilitas ala Orde Baru sudah kita sepakati untuk diganti?

Keluar dari konstruksi SARA

Untuk saat ini, kita perlu mengingat bahwa Kopkamtib maupun Bakorstanas sudah lama dibubarkan dan akronim SARA perlu dikritisi sekali lagi. Sebab seiring dengan makin rendahnya angka buta huruf, manusia yang masuk dalam konstruksi pendidikan moderen cenderung meletakkan perbedaan sebagai batas. Pendidikan tanpa diimbangi proses kreatif dalam pengalaman hidup memang menjauhkan kita dari titik temu sebagai manusia di Bumi. Seharusnya perbedaan mampu dilihat sebagai membran yang siap membangun diri, karena garis pinggir merupakan batas, sekaligus merupakan titik temu dengan garis lain (Seligman 2004).

Tanpa mau belajar dari kenyataan, konsep nations-state Indonesia–yang selalu mengalami negosiasi ulang–nyaris tidak mungkin dipertahankan oleh warga Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Di titik ini fungsi itu tidak di tangan institusi militer, tetapi ada di tangan para awak media. Sebab di kalangan intelektual, terutama aktivis LSM, pun hingga hari ini tidak ada gambar jelas apa yang bisa ditawarkan sebagai jalan keluar. Wacana dominannya hanya mengambil karakter protaganonis dari posisi militer.

Kasus Timor Timur (1999) merupakan bukti, berpindah dari titik esktrim ke ekstrim yang lain hanya membawa korban yang lain saja, yaitu sekedar perpindahan posisi tetapi tidak meminimalisir korban. Setelah hampir satu dekade, kita masih melihat warga Timor Timur yang berdiam di camp darurat pengungsian di Timor Barat. Dilema KKP (Komisi Kebenaran dan Persahabatan) sebenarnya ada di sini.

Cita-cita Indonesia Raya, tentu bukan sekedar sebuah persoalan doktrin idiologis semata yang dimonopoli sekelompok institusi elit. Konsep negara yang menonjolkan kedaulatan rakyat (sovereignty of the people) jelas harus dilaksanakan. Jika sekarang ‘the people’ (rakyat) yang lebih merepresentasikan soal perbedaan kelas ekonomi, juga turut bersaing dalam wacana umat, maka perlu diciptakan dialog-dialog terbuka dalam berbagai ruang untuk memunculkan sekian kemungkinan sebagai jalan keluar.

Peran Awak Media
Sejauh nasionalisme tetap dikerangkeng dalam wacana elitis (baca: militer), maka daya dukungnya pun tidak bisa diharapkan. Contohnya perluasan komando teritorial di NTT dengan penambahan satu batalyon kavaleri, yang ditolak tokoh agama malah dikomentari Danrem Wirasakti sebagai diperalat ‘Orang Luar’ (Pos Kupang, 22 Agustus 2008). Padahal hal ini diungkapkan karena menghindari tingginya eskalasi kekuatan militer di perbatasan., karena di daerah perbatasan RI dan Timor Leste sudah ada dua batalyon tempur: Yonif 743/PSY dan Yonif 744/SYB.

Di sisi ini konsep nasionalisme yang dibangun TNI, memang sekedar menciptakan hantu baru, seperti tudingan ‘diperalat orang luar’. Keleluasaan media untuk membuka sekian tabu atau hantu Orde Baru merupakan cara untuk mempertemukan sekian pandangan.

Di tahun 2008, atau 63 tahun setelah proklamasi Republik Indonesia, para wartawan/jurnalis Indonesia perlu kembali berkontemplasi untuk menentukan perannya, seperti dalam sejarah Indonesia di fase awal. Rakyat Indonesia memang membutuhkan tafsir kontemporer para pekerja media atas Indonesia. Jelasnya, Indonesia tak hanya Jakarta. Perlu dicermati bahwa posisi Jakarta sebagai poros yang menjadi “pusat” kegiatan politik dan ekonomi di Republik juga melekat dengan gerak memusat (centripetal) media massa Indonesia. Keluar dari gerak centripetal ini lah merupakan tantangan orang media di Ibukota Republik.

Sebab, sekali lagi, garis pinggir itu adalah bagian dari titik batas sekaligus titik temu. Dan Indonesia bukan cuma sekedar batas teritorial, tetapi titik-titik pertemuan manusia.

Penulis adalah Co-editor Jurnal Academia NTT


Leave a comment

Bermalam di Enclave Oecussi


Melihat Oecussi di peta, dengan posisinya yang berada di dalam Timor-Indonesia, tentu membuat orang bertanya: bagaimana daerah ini akan bertahan dengan letak geografisnya yang unik? Rasa ingin tahu ini membuat saya menemani seorang sahabat, Donald Pietro Tick, peneliti kerajaan-kerajaan di Nusantara asal Belanda berkunjung ke sana di awal bulan Juli lalu.

Di perbatasan
Jalan termudah masuk ke Oecussi dapat ditempuh lewat Kefamenanu, kota di tengah Pulau Timor yang jaraknya sekitar 200 Km dari Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk pergi ke luar negeri, kita tak hanya butuh visa dan paspor. Di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT, kita perlu mengurus beberapa surat: (1)surat jalan dari Kodim yang akan kita tunjukkan pada TNI di perbatasan, dan (2)jika membawa kendaraan kita perlu menitipkan STNK dan dibuatkan surat pengganti di Polsek Nunpene, 15 Km dari pos perbatasan.

Jika tidak, jalan mendaki menuju perbatasan yang biasanya dapat ditempuh dalam satu jam bisa menjadi berjam-jam (seperti yang kami alami), karena surat kendaraan baru diminta di perbatasan, dan bertambah naas lagi dengan habisnya blanko surat pengganti STNK. Jarak dari Kefamenanu ke pos perbatasan cuma 30 Km dengan kondisinya yang berbukit.

Untuk masuk ke Timor Leste kita perlu membayar visa sebesar 250 ribu rupiah. Masyarakat biasa lah yang paling merasakan akibat dari diberlakukannya visa. Para penduduk dari Timor Leste yang pergi ke Indonesia dikenai biaya US $ 32, sekali melintas batas negara. Antara kas negara dan rekonsiliasi memang tidak bisa didamaikan.

Sedangkan masyarakat yang tak mampu dan tak begitu peduli dengan negara ini bertemu di daerah antara kedua pos perbatasan. Daerah ini biasa disebut no-man’s-land, daerah sepanjang 300 m antara kedua pos perbatasan, dimana hukum kedua negara tak berlaku di sini. Di sini lah para penduduk yang rindu kerabat bertemu selama beberapa jam. Sebab pos perbatasan hanya buka dari jam 8 pagi hingga 4 sore. Mereka tak perlu membayar untuk masuk ke lokasi hanya tangannya yang distempel dan meninggalkan KTP di pos tentara.

Disana rasa rindu yang menggumpal bertemu di pinggir jalan. Masyarakat tradisional yang bahasanya sama (bahasa Dawan) ini duduk berjam-jam untuk saling bercakap-cakap, seperti piknik di antara negara. Semacam ironi yang menghadirkan tawa dan kesedihan yang berlompatan di atas kata negara. Seperti satu kampung dua negara.

Selisih waktu antara kedua pos perbatasan ini satu jam, Oecussi–juga daerah lain di Timor Leste–lebih cepat satu jam, dan setiap jam 1 siang WITA, petugas Timor Leste di perbatasan makan siang dan ia butuh 1 jam untuk kembali ke pos. Jadi sebaiknya jika hendak masuk atau keluar dari Oecussi sebaiknya sebelum atau sesudah jam itu, karena petugasnya hanya satu.

Tak banyak yang kami ketahui tentang Oecussi, saya sendiri meyakinkan diri bahwa di perjalanan pasti masih banyak orang yang masih bisa berbahasa Indonesia, dan bertanya tentu cara mudah yang dipakai agar tidak tersesat. Tapi beruntunglah di pos imigrasi kami bertemu dengan seorang suster, Maria Bernadetha, SSpS, Ia bergabung bersama kami dan menjadi guide bagi kami berdua, ia pula yang menunjukkan penginapan berestoran satu-satunya di Oecussi.

Jalan menuju kota berlubang dan berdebu.

Sekitar 10 Km sebelum masuk kota kita akan melewati Pasar Tono, pasar tradisional teramai di Oecussi yang ada tiap hari. Para pedagang datang membawa hasil bumi dan berbagai barang industri lain yang umumnya berasal dari Indonesia. Di sini harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga barang di toko-toko dalam kota. Rupiah masih dipergunakan, dengan uang koin 500 rupiah sebagai yang terkecil, lebih dari itu terlalu kecil jika ditukar dengan dollar. Bocah kecil penjual es potong menolak ketika diberi uang receh 100 rupiah.

Masuk kota
Selepas Pasar Tono, yang letaknya berdekatan dengan areal persawahan Padiae, ketika kita menyusuri jalan menuju kota, akan mulai tampak rumah-rumah yang tak beratap dan ditinggalkan penduduknya pada tahun 1999. Di dalam kota sisa-sisa gedung yang terbakar itu semakin banyak. Jalanan lenggang! Tak ada angkutan kota. Oecussi benar-benar sepi.

Di sekitar pantai Oesonu yang indah pun hanya beberapa remaja yang tampak di sana. Dalam hitungan angka penduduk enclave Oecussi mencapai 50.000 jiwa. Sore itu beberapa tentara PBB asal Korea Selatan sedang berolahraga di sekeliling kota, beberapa lainnya sedang melatih Tae Kwon Do pada para pemuda di sana.

Satu-satunya angkutan dari Dili ke Oecussi hanya dilayani kapal feri Uma Kalada, yang disewa dari ASDP Indonesia dan mulai beroperasi di sana sejak Juni 2002 berkat subsidi dari donor internasional. Sedangkan lalulintas udara hanya dipakai saat emergency saja.

Kantor-kantor pemerintahan telah mulai dibangun, dan fasilitas kesehatan serta fasilitas pendidikan. Hanya sarana komunikasi saja yang sulit sekali, tak ada wartel, satu-satunya sarana komunikasi dipenuhi Telstra, itu pun mahal dan terbatas. Pemadaman listrik dilakukan bergantian, listrik hanya hadir sejak jam 6 sore hingga 12 malam, setelah itu padam.

Malam itu kami bermalam dengan dengan perut kosong, hanya ada soft drink dan sisa kue tadi pagi. Seusai bercakap-cakap dengan Liurai (Raja) Ambeno, Antonio da Costa selama beberapa jam. Tak ada rumah makan yang buka.

Dulu sewaktu pasukan PBB masih cukup banyak, rumah-rumah makan masih banyak yang buka, tetapi kini ini menjadi persoalan bagi siapa pun yang tak punya keluarga dan berkunjung ke sana.

Menurut Antonio da Costa, yang juga menjadi anggota komisi rekonsiliasi, upaya perdamaian terus dilakuan. Ia pun aktif mengunjungi camp pengungsian di Timor Barat, terutama di Kefamenanu, untuk melakukan dialog dengan masyarkat Oecussi yang mengungsi sejak tahun 1999. Kasus-kasus yang bukan merupakan kasus pembunuhan dapat saja selesai, dimaafkan, tetapi untuk kasus-kasus pembunuhan menurutnya tetap diproses secara hukum. Ia pun mengakui bahwa pemberlakuan visa memang memberatkan masyarakat.

Perut yang keroncong baru memperoleh jawaban keesokan harinya, setelah memperoleh makanan kaleng di sebuah toko di dalam kota. Hampir semua barang di toko yang dijual di Oecussi bisa dipastikan berasal dari Indonesia, kecuali anggur. Namun tentu saja harganya melangit. Sekedar ilustrasi dua bungkus indomie, ditambah sedikit sayur dan telur harganya 15 ribu, jadi kalau para turis backpacker (hanya bermodal ransel) yang kebetulan mau ke sana sebaiknya membawa sedikit makanan agar tak lapar. And all in the name of Dollar, Sir!

Satu pertanyaan yang dilontarkan Donald untuk dirinya sendiri menjadi pertanyaan sekaligus kecemasan. Bagaimana keadaannya setelah pasukan PBB ditarik tahun 2004 nanti? Sungguh satu pertanyaan yang teramat sulit untuk dijawab. Bahkan Tuhan pun pasti bertanya-tanya apa yang akan dilakukan anak manusia di Timor tahun depan? Benarkah dendam itu telah selesai? Dendam itu bukan hanya soal pro kemerdekaan dan pro integrasi. Persaingan antar keluarga, bahkan cerita tentang ayah yang mengurung anak dalam terali penjara atau sebaliknya karena berbeda pilihan politiknya juga hal biasa yang kita dengar ketika kita bercakap-cakap soal konflik di Timor.

Elcid Li
Terima kasih untuk Hasan dan Storm!

(Tulisan ini dipublikasikan di Majalah Familia tahun 2003)


2 Comments

Nasib Wartawan, Siapa Peduli?


Oleh: Dominggus Elcid Li

Meskipun identik sebagai corong publik, namun wartawan nyaris tak mampu menjadi corong untuk dirinya sendiri. Fakta terselubung ini memang menyedihkan sebab meskipun memiliki nilai berita, namun ia tidak pernah muncul sebagai sebuah berita di surat kabar. Para wartawan cenderung terlalu santun untuk menyuarakan hak-haknya. Tepatnya ini tentang upah yang layak agar sebanding dengan tuntutan kerja profesi ini. Tulisan ini selanjutnya hanya mencoba mengulas nasib wartawan—terutama di daerah NTT (selanjutnya disebut wartawan saja).

Berbicara soal kompetensi wartawan tentu tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan wartawan itu sendiri. Bagaimana mungkin menuntut wartawan untuk memiliki wawasan luas, jika upah yang dierima hanya ‘cukup’ untuk memenuhi kebutuhan hidup? Darimana sumber dana lain agar ia dapat mengakses barang sekunder semacam buku yang diasumsikan mampu memperlebar horizon wartawan? Peningkatan kapasitas wartawan sendiri jelas-jelas tidak bisa dilakukan, jika untuk wilayah perut saja wartawan masih harus ber-akrobat.

Getirnya derita wartawan daerah yang jujur bisa dirasakan oleh para calon jurnalis. Sebagai pengajar, waktu itu, di kelas jurnalistik sebuah universitas swasta di Kupang, saya ajukan sebuah pertanyaan, “Apakah anda akan menerima atau tidak amplop yang diberikan?” Aslinya, pertanyaan ini bukan sebuah pertanyaan lisan, tetapi sebuah soal tertulis dalam ujian. Jawaban para mahasiswa yang diantaranya adalah demonstran, aktivis mahasiswa, dan biarawan jika disatukan cukup mengejutkan, “Ya, kami akan terima karena butuh uang transportasi.” Ini bukan alasan idealis apalagi berkaitan dengan doktrin agama sebuah tarekat, tetapi sesuatu ironi yang tidak mampu dijelaskan dalam hubungan sebab-akibat. Butuh waktu cukup lama untuk menerima dan memahami jawaban ini.

Saat ini para mahasiswa yang dulu berada di ruang kelas, sebagian telah menjadi generasi baru wartawan di NTT, tetapi apakah jalan pedang sebagai wartawan masih pantas disebut sebagai alat perjuangan, atau apa? Tulisan ini mencoba membuka hal-hal yang mungkin berkaitan dengan mimpi untuk menghadirkan sebuah surat kabar yang indipenden, berkualitas, dan dinikmati oleh para wartawan, karyawan dan pembacanya. Sebagian tulisan ini merupakan refleksi seorang bekas mahasiswa program studi jurnalistik, pengajar jurnalistik partikelir, dan pengalaman menjadi jurnalis. Pengalaman berinterkaksi dengan para wartawan sebagai wartawan dalam tempo beberapa tahun di NTT, menjadi alasan tersendiri hadirnya tulisan ini.

Undang-Undang dan kenyataan

Meskipun kerap dipungkiri, sebenarnya Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang kesejahteraan wartawan itu ada. Ini termuat dalam Pasal 10 UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers yang berbunyi: Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Dalam penjelasan lanjutan kemudian disebutkan: Yang dimaksud dengan bentuk “kesejahteraan lainnya” adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers..

Sebagai catatan pembanding, UU.No.40 tahun 1999 bukan barang baru, buktinya jika kita membuka UU No.11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers khususnya di Bab V Pasal 13 kita dapat menemukan: Jang dimaksud setjara gotong-rojong kekeluargaan terpimpin ialah supaya semua unsur jang melakukan produksi, jaitu karyawan, pengusaha, karyawan wartawan, karyawan administrasi/tehnik dan karyawan pers lainnja merupakan kesatuan bulat dan bersama-sama melantjarkan djalannya perusahaan sesuai dengan azas kekeluargaan tanpa mengabaikan arti pentingnja faktor pimpinan. Ini juga dimaksudkan agar hak milik modal tidak akan memegang peranan jang bersifat menentukan.

Lebih jauh lagi, sebagai sebuah fakta sejarah, pada tanggal 23 November 1966 di Cipayung diadakan Konperensi Kerdja Nasional SPS-OPS Pers. Dalam pertemuan ini dinyatakan antara lain: (1)pemegang-pemegang saham secara keseluruhan haruslah mencerminkan susunan karyawan yang bekerja dalam sesuatu perusahaan pers, dengan catatan paling sedikitnya 2/3 jumlah karyawannya adalah pemegang saham, dan (2)semua saham-saham dikeluarkan atas nama, dengan meniadakan kemungkinan dominasi dari pemilik modal (Lih. Undang-Undang Pers, J.C.T Simorangkir, Bhratara, 1967, hal.36).

Dengan membandingkan kedua undang-undang ini kita bisa melihat dalam kurun waktu kurang lebih tiga dekade telah terjadi perubahan substansial tentang kesejahteraan wartawan. Dalam Undang-Undang terbaru, bahasa itu dikemas dengan lebih halus dalam kata-kata ‘berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dan wartawan’. Terlihat Undang-Undang ini produk tahun 1999 ini tidak menjamin wartawan dan karyawan. Artinya pasal ini pun sejenis dengan pasal karet model haatzai artikelen yang multi tafsir dan dalam kenyataannya cenderung hanya menguntungkan pemilik modal. Buktinya, Serikat Wartawan di berbagai institusi pers Indonesia terkemuka semakin tidak dianggap, dan diposisikan sebagai ancaman. Sehingga kesepakatan yang dibuat terjadi tanpa ada posisi tawar dari para wartawan itu sendiri.

Sedangkan di produk UU di tahun 1966, di era awal Orde Baru itu, kita masih bisa menemukan untaian kata-kata ‘merupakan kesatuan bulat dan bersama-sama melantjarkan djalannya perusahaan sesuai dengan azas kekeluargaan’. Kata-kata ini kemudian diperjelas dalam Konferensi di Cipayung.

Antara UU dan kenyataan

Dengan membaca kembali lembar-lembar sejarah ini kita bisa memandang ke arah mana institusi pers Indonesia bergerak. Ada kecenderungan sejak akhir dekade 70-an insitusi-institusi pers Indonesia telah memilih menjadi sekedar alat produksi. Artinya hubungan antara para pemodal dan pekerja menjadi semakin jelas, dan karakter perjuangan bersama tinggal menjadi nostalgia beberapa wartawan senior yang hingga kini masih menulis kenangan pers tempo dulu.

Misalnya, dengan mempelajari sejarah komposisi saham bekas Menteri Penerangan RI, Harmoko, di berbagai media cetak terkemuka di Indonesia mungkin kita bisa melihat pergeseran-pergeseran fundamental yang membuat institusi pers hanya sekedar alat produksi dan berita menjadi sekedar craft. Momentum sharing saham Harmoko ini menandai bahwa Pers tak hanya berhasil dikooptasi oleh eksekutif–dalam alur pikir pers ditempatkan sebagai pilar keempat berdampingan dengan trias politica– namun berhasil dibeli sebagai konsesi dari institusi pers jika ingin SIUPP tidak diganggu.

Perubahan karakter pers yang dipengaruhi motivasi ekonomi yang kian kuat dalam tubuh institusi pers ini cukup merisaukan, terutama bagi para wartawan idealis, karena dengan situasi ini kendali pemilik modal menjadi cukup besar, dan cenderung mempengaruhi isi berita. Artinya, para pemilik modal yang dulunya adalah wartawan kini telah menjadi pengusaha, dalam posisi sebagai pengusaha seorang pemodal akan cenderung bermain aman dan seringkali tunduk pada tekanan-tekanan institusi-institusi lain yang lebih kuat. Berada dalam posisi ini wartawan sebagai mata sebuah surat kabar tidak bisa berbuat banyak selain patuh, atau dikeluarkan.

Tak hanya soal isi berita, soal vital, soal kesejahteraan wartawan pun menjadi tanda tanya. Ke mana wartawan harus mengadu? Jika dalam kenyataan Serikat Wartawan dalam industri pers saat ini posisinya lebih dianggap sebagai ancaman oleh para pemilik modal, dibandingkan mitra yang juga memiliki hak suara setara dan berhak untuk sejahtera. Maka, ada baiknya, ditinjau kembali syarat-syarat yang memungkinkan terjadi dialog antara elemen dalam perusahaan.

Agar persoalannya menjadi jelas, idealnya perlu dimunculkan, di teras depan koran, tabel perbandingan gaji para wartawan di daerah, sehingga bisa dibandingkan mana yang manusiawi dan mana yang belum. Data valid ini perlu dipaparkan agar berbagai project yang membicarakan tentang kompetensi wartawan tidak sekedar menjadi ajang jalan-jalan orang pusat ke daerah untuk membicarakan soal kewajiban wartawan daerah, namun melupakan sisi kesejahteraan wartawan di daerah.

Diharapkan dengan mengerti konteks daerah, para ahli yang berkecimpung di dunia pers diharapkan lebih mampu menajamkan point kesejahteraan wartawan, dan tidak dibiarkan mengambang. Misalnya, bagaimana bentuk dan mekanisme untuk mencapai ‘kesepakatan’. Apa ukurannya? Apakah benar hanya sesuai standar upah minimum regional, maka sudah cukup?

Di berbagai industri pers, serupa dengan situasi dengan para pekerja di industri kecap asin atau odol gigi, peran serikat pekerja itu memang tidak pernah dibiarkan untuk kuat. Hasilnya negosiasi dengan manajemen perusahaan yang merepresentasikan suara pemilik modal itu lebih diartikan sebagai monolog. Para wartawan pun nyaris tidak ada suara dalam negosiasi, bagaimana mau bersuara dalam kondisi timpang? Bersikap vokal pun diartikan sebagai membangkang. Pilihan lainnya, ya bertahan dan terus bertahan dengan kondisi serba minus.

Minus di sini bisa diukur: misalnya apakah setelah bekerja selama sepuluh tahun apakah wartawan itu bisa membangun sebuah rumah sederhana, apakah ia mampu menyekolahkan anaknya hingga jenjang sarjana. Mengapa sarjana? Sebab wartawan yang diterima di surakabar sekarang itu diminta S-1, sehingga diandaikan bahwa si wartawan itu mampu melakukan hal yang sama pada anaknya. Jika tidak, bisa dikatakan orang tua para wartawan, yang umumnya petani itu, jauh lebih berhasil dari wartawan itu sendiri.

Jika, institusi pers masih dikelola dengan standar minimum, maka kita tak heran jika wartawan menerima amplop, dan jangan heran kalau tak ada loyalitas wartawan terhadap pembaca. Sebab untuk bertahan hidup saja, sudah merupakan merupakan suatu beban hidup.

Di daerah, persoalan loyalitas terhadap institusi pers ini mungkin kurang terasa, tetapi tingkat ‘bajak-membajak’ awak media di Jakarta merupakan bukti betapa loyalitas terhadap institusi media itu makin menurun, sebaliknya profit oriented merupakan panglima para pekerja media itu sendiri. Ini efek lain dari kentalnya kultur industri media, sehingga bekerja tidak lagi perlu dimaknai serius-serius sebagai bentuk loyalitas, tapi lebih sebagai permainan asal suka.

Memang dalam dua dekade terakhir industri media tumbuh pesat dan sukses untuk terlihat ‘wah’ dan gemerlap. Namun, seperti sebuah proses sinematik, hanya bagian-bagian baik saja lah yang dipakai dalam rangkaian sebuah film. Hanya bagian indahnya yang menjadi pilihan pertama untuk dipajang di layar, sedangkan suara sumbang dan gambar buramnya telah dibuang. Mungkin seperti itu pula nasib para wartawan, kisah buruknya telah diedit dan ditelan sendiri.

Kampanye ‘anti amplop’ yang disuarakan oleh organisasi wartawan dan media di Jakarta, menjadi tidak realistis ketika harus diterapakan di daerah. Bagaimana mungkin ia tidak mengambil amplop jika untuk membeli pulsa untuk mengejar narasumber lewat handphone pun ia kewalahan? Bagaimana mungkin meminta wartawan melakukan liputan investigasi jika bensin di motor roda dua kering kerontang. Ini yang membuat para pemimpin redaksi dan redaktur pun lebih banyak bersikap ‘maklum’ ketika para reporter dari lapangan dengan liputan ‘apa-adanya’ (baca: serba minim).

Beda pers dulu dan sekarang
Dulu, surat kabar dulu dipahami sebagai alat perjuangan. Kini, persoalannya, ketika ‘watak’ atau ‘karakter’ industri mendomininasi surat kabar, dengan sendirinya komunitas wartawan dalam intitusi pers pun berubah. Dalam ‘industri’ dibutuhkan stabilitas, ketepatan, keseragaman, mono-gerak, dan pelaku menjadi anonim. Persoalannya, komunitas yang lekat dengan pemahaman detil perasaan (baca: empati) terhadap satu sama lain dianggap asing dalam kultur industri. Ini yang membuat dalam pengelolaan insitutsi pers lantas mengadopsi ‘sistem manajemen moderen’ model perusahaan.

Dalam watak industri yang dikelola dalam ‘perusahaan’ ini yang boleh bersuara keras hanya lah para pemegang saham alias para stakeholders. Ini mungkin salah satu sebab mengapa para insan pers pun tak mampu menjadi corong untuk diri sendiri. Jika mau kritis bisa ditanyakan, berapa sebenarnya harga seorang wartawan yang berkualitas? Jika bisa dihitung tentu suara wartawan itu bisa ada dalam jajaran para pemegang saham.

Sekedar catatan, tuntutan-tuntutan tentang kesejahteraan wartawan ini ditulis dengan memahami transisi organisasi media di Indonesia. Artinya, saat ini pada umumnya orang pertama di seluruh surat kabar di Indonesia adalah para wartawan lapis kedua. Proses peralihan pengelolaan ini jarang berlangsung dengan mulus, banyak juga yang mati karena tidak mampu bertahan hidup. Jika masih surat kabar tersebut masih hidup, maka pembagian harta gono-gini lah yang menjadi masalah. Bisa ditengok apa yang terjadi pada Harian Pikiran Rakyat di Bandung saat ini. Dengan memahami pergeseran dalam tubuh institusi pers dalam tiga dekade terakhir diharapkan proses transisi di berbagai suratkabar di Indonesia dapat berlangsung dengan mulus dan berkualitas, bukan sekedar bertahan hidup.

Kaitan Publik dan Institusi Pers

Sebagai penutup, jika institusi pers di daerah cukup awas, maka tulisan ini bisa dianggap sebagai usaha untuk menempatkan media sebagai ‘milik publik’. Agar relasi etis antara wartawan dan pembaca itu ada. Agar wartawan pun memilik tanggungjawab moral untuk memberitakan berdasarkan kepentingan pembaca, bukan lainnya. Nilai etis dari sebuah profesi itu harus diadakan, agar institusi pers, lagi-lagi, tidak disamakan pabrik obat sakit gigi atau yang sejenis.

Di sisi ini, mau atau tidak, peran publik untuk mencermati detil dalam insitusi pers sedang diperlukan, agar surat kabar (media cetak) yang masih menjadi media utama di NTT dapat lebih berkualitas dan layak dibaca. Kecenderungan menurunnya kualitas surat kabar ini tidak hanya terjadi di wilayah NTT atau Indonesia, tetapi ini terjadi dalam skala global.

Contohnya di belahan bumi yang lain, di Eropa, juga terjadi. Di Perancis, seorang wartawan Le Monde, Ignacio Ramonet, sampai perlu menulis hal ini dalam tulisannya: Free Papers or Freedom of Press (Le Monde, Januari 2007). Tulisan ini menyoroti hubungan pers dan pembaca, apakah memilih untuk mendapatkan free papers alias gratis, ataukah memilih untuk freedom of press, pers indipenden yang berkualitas. Kecenderungan maraknya free papers ini dipengaruhi hadirnya elemen iklan/advertising dalam surat kabar.

Dampaknya, kini bagi sebagian surat kabar yang sukses dengan elemen pemasarannya sumber iklan mampu menutupi ongkos produksi. Akibat baiknya, para pembaca diberikan surat kabar gratis atau murah. Di balik keuntungan ekonomis bagi pembaca, hal lain yang sebenarnya sedang hilang dari karakter media itu sendiri adalah karakter media sebagai ‘mata dan telinga’ yang indipenden, menulis apa adanya, tanpa takut oleh para pihak yang terkena imbas isi berita.

Hal ini sudah diantisipasi Le Monde, Surat kabar Le Monde diproyeksikan untuk mampu indipenden secara politik dan finansial, untuk itu didisain komposisi kepemilikan saham yang memungkinkan pembaca dan karyawan memiliki suara yang signifikan. Komposisi saham itu terdiri dari: Le Monde Group (51%), dan pembaca serta karyawan (49%). Sebuah komposisi yang unik melibatkan pembaca. Di Indonesia komposisi saham yang menjadi bagian wartawan dan karyawan terbanyak sebesar 20%, contohnya The Jakarta Post. Namun, sejauh ini belum ada surat kabar di Indonesia yang sahamnya dimilikki oleh pembaca dengan jumlah yang memungkinkan posisi tawar terhadap gerak media. Kesulitannya, media-media gratis dan murah ini yang merambah ruang publik, televisi dan internet di Indonesia termasuk di dalamnya.

Gaya Le Monde adalah gaya Perancis, sedangkan di Indonesia dulu para aktivis suratkabar di tahun 1966 berasumsi bahwa model ‘koperasi’ lah yang direkomendasikan, bukan perusahaan. Kenyataanya, institusi pers di Indonesia terbanyak mengadopsi model perusahaan, maka antisipasi terhadap perubahan karakter media itu perlu dipikirkan. Artinya, untuk pengelola media selain berpikir soal sukses secara ekonomi, tentu perlu memikirkan arti penting surat kabar untuk publik. Dengan sendirinya, sebagai wartawan, kita masih berharap bahwa kerja di media juga memberikan unsur kepuasan batin, tak semata menjadi pengrajin kata-kata. Kerja wartawan telah tereduksi sekian rupa sekedar menjadi craft maker.

Menghadapi persoalan ini, publik di daerah perlu memberikan perhatian lebih karena tanpa media yang berkualitas dan indipenden. Pada akhirnya semua media diposisikan serupa dengan majalah gosip. Artinya pembaca yang kritis senantiasa akan membaca sambil menduga jauh, apa saja yang tidak tertulis dari yang ditulis. Di sini definisi berita, meminjam Gaye Tuchman, adalah konstruksi atas realitas, namun sebaliknya definisi berita dalam iklim represif menjadi: konstruksi tidak tertulis yang hadir karena direfleksikan dari surat kabar. Persoalannya mungkin menarik menjadi bahan kajian filsafat pengetahuan, tetapi dalam hidup sehari-hari tidak semua setia dalam alur membaca berita semacam ini.

Sisi negatif yang mungkin terjadi di kalangan pembaca adalah tumbuhnya sekian cerita konspirasi yang mungkin dilakukan oleh para pekerja media karena tekanan finansial maupun politik. Jika berada dalam posisi ini maka media diasumsikan tidak berada di tangan publik, wartawan, ataupun pemilik modal, tetapi masuk dalam ‘lubang hitam’. Determinasi itu tidak ada pada siapa-siapa, tetapi ada dalam jaringan bersama. Mungkinkah, di daerah, para wartawan, dan para pembaca memikirkan ulang tentang situasi ini?

Soal media yang melibatkan unsur publik, mungkin usul ini dipandang sebagai sebuah langkah jauh. Tetapi tuntutan tentang kesejahteraan wartawan, terutama di daerah, tidak lah berlebihan. Perlu ada perhatian untuk mereka yang selama ini menjadi mata dan telinga publik, agar tidak mengemis, atau diperlakukan seperti pengemis. Perlu menjadi catatan, para wartawan menerima amplop itu bukan karena nara sumber itu adalah seorang yang baik hati, sebaliknya para pemberi amplop ini perlu sadar bahwa berbuat baik itu tidak hanya mungkin dilakukan pada suatu waktu dan ketika berita itu menyangkut dirinya. Tetapi , untuk jangka panjang ruang publik ini masih perlu dijaga, dan itu tak cukup hanya dilakukan oleh para wartawan, butuh dorongan dan partisipasi publik.

Namun, jika semua kemungkinan ini sudah dibuka dan dicermati oleh publik, maka pertanyaan ini tentu akan kembali kepada para pekerja media, jalan mana kah yang dipilih? Karena para pekerja media, termasuk karyawan, adalah penentu postur media itu sendiri. Jika sampai pada titik ini, singkatnya adalah to be or not to be. Asumsinya, bola pertama tidak pernah ada di tangan penjaga gawang..


Leave a comment

Blog Tinneke Carmen


Sebuah telur pecah lagi–di kepala saya. Kali ini dari Tinneke Carmen yang biasa dipanggil Tina, salah seorang penulis, rekan di forum academia NTT, yang kini masih bekerja di Liputan6.com website milik SCTV, sebuah stasiun TV swasta, di Indonesia.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang ia kerjakan selama kurang dua tahun di sela-sela kerjanya sebagai editor. Jejak awal tulisan pada tahun 2004, merupakan tanda kehadiran dunia bloggers Indonesia. Selama waktu bergulir selama itu pula tulisan-tulisannya mengalir, dan membentuk danau buku.

Kenapa judulnya Blog Tinneke Carmen? Ia menjawab singkat, “Ini kumpulan tulisan beta di blog.” Ringkasnya, buku ini merupakan catatan atas hidupnya. Ketika ditanya, buku ini berkisah tentang apa, ia hanya memberi satu kalimat, “Tulisan Pak Polisi ada di situ.”

Memang, Bapaknya adalah seorang polisi.

Tulisan ini dulu ia bacakan sambil menangis, sesaat sebelum pemakaman Bapaknya, yang meninggal satu tahun lalu di Kupang. Gambaran tentang polisi ideal, dan profil hidup seorang Bapak yang polisi hadir menyilang dalam tulisan.

Penulis yang hadir sebagai pelayat waktu itu hanya bisa diam diantara para polisi dan juga para purnawirawan polisi yang diam mendengar penulis membaca tulisan itu. Siapa sangka ziarah hidup sang Bapak yang polisi itu bisa ditelusuri. ‘Anak asrama’ menulis buku, siapa sangka?

Di Kupang tenda duka, biasanya adalah tenda tawa juga. Sebab itu jangan heran dalam tenda duka itu para purnawirawan polisi lain saling bertemu dan bertukar tawa dan pe’e gigi alias ketawa ‘besar-besar’. Sebab semakin hari dalam hitungan matematis yang ada adalah semakin berkurang, dan yang lainnya membatu menjadi nostalgia. Dalam pertemuan para purnawirawan polisi, dan lewat tawa mereka berbisik, “Sapa lagi punya giliran bikin tenda?” atau, “sapa lagi yang akan jalan duluan?”

Dua kalimat tanya ini mewakili fase ketiga dalam hidup: lahir, menikah, dan mati. Ketiga titik waktu yang selalu dirayakan dalam tradisi dan kultur mana saja. Ya, Albertina S. Calemens., memang merayakan itu dan kado untuk akhir untuk Pak Polisi.

Dan, amat jarang seorang anak menulis tentang orang tuanya, serta dibingkai khusus menjelang pemakaman. Sebab memang sedikit, ada anak yang mampu kembali pada titik waktu kecil dan berdialog dengan apa saja yang telah terjadi. Sederhananya, semua orang bisa pergi, tapi tidak semua bisa kembali.

Keping tulisan Pak Polisi, obituari seorang anak atas bapaknya, menjadi salah satu gugus kata dalam buku ini. Sejak Bulan April 2006, bukunya, terbitan Gradiens Book Jogja, sudah bertengger di jejeran rak buku dua toko besar ternama di Indonesia, sebut saja Gramedia dan Gunung Agung.

Jadi, kita boleh berharap Toko Buku Gramedia di Kupang sudah menyediakannya juga sehingga jejak penulis-penulis muda Flobamora, akronim dari beberapa pulau besari di NTT , ini tidak terputus. Tulisan ini merayakan kelahiran sebuah buku, telur yang pecah, yang dibuat Tina. Satu tahun sudah buku itu sudah diterbitkan. Ini adalah ulang tahunnya yang pertama. Siapa menyusul? (EL)


Leave a comment

Surat Untuk Jarar Siahaan di Balige


Surat ini dikirim untuk Jarar Siahaan yang membuat Blog Batak.New.Com, dia menulis surat untuk AJI, dan lainnya, isinya protes, dan ringkasnya begini:

Jangan kalian “rusak” para jurnalis pemula dengan kampanye tolak-amplop. Yang harus dilakukan AJI adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. AJI harus berani menggalang semua wartawan untuk mogok kerja. Setelah itu terpenuhi, barulah “sikat” wartawan yang menerima amplop. Dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop. Jangan sampai ada [lagi] wartawan yang lugu mengorbankan anak-istrinya demi paham yang kalian ciptakan.

Abang dan kakak jangan dong berpura-pura buta; hampir semua koran daerah tak menggaji wartawannya dengan layak. Sebagian besar di bawah Rp 1 juta, itu pun cuma bagi wartawan yang bertugas di ibukota provinsi; sementara di kabupaten umumnya tidak digaji. Juga banyak media nasional yang tak menggaji wartawannya di daerah dengan layak. Aku mau bertanya: begitu banyak anggota AJI di seluruh provinsi dan bekerja di koran lokal, apa penjelasan yang masuk akal bahwa mereka tidak terima amplop? Oh Tuhan, alangkah kita — kau dan aku — sudah lama berbohong.

Berikut ini sebuah surat yang beta kirimkan untuk dia, sesama wartawan daerah.

Horas Lae,

Sulit memang menentukkan mana yang harus didahulukan, apakah kampanye anti amplop ataukah kampanye agar pers daerah menggaji wartawan dengan layak. Tapi beta menghargai posisimu. Beta sendiri meskipun kadang minyak goreng tak terbeli, beta kembalikan uangnya. Meskipun hingga hari ini tidak ada kursi di ruang tamu, kukembalikan uang juga. Rumah juga masih kontrak alias menumpang. Yang marah bukan cuma yang memberi, kawan wartawan juga marah. Sebagian lebih sopan, menerima dan minta redaksi mengirim balik.

Beta beberapa tahun kerja di Kupang, Timor dan NTT dan sekitarnya, sebagai dosen untuk jurnalisme investigasi dan wartawan TV . Hampir semua wartawan menganggap amplop adalah hal biasa. Kadang kalau beta tidak ambil, ada kawan bilang ‘kalo lu sonde (tidak) butuh biar beta ambil saja…beta punya anak butuh untuk sekolah, dan beta silahkan dia tanda tangan pakai nama beta.’ Realistis, dia butuh. Tapi dalam sikap yang lain, beta juga ingin teman2 wartawan tahu, bahwa ada juga yang melawan arus. Karena memang harus ada yang gila.

Sekali kuterima amplop, ini dari seorang bupati, ini kerja sampingan sebenarnya dan tidak ada urusannya dengan profesi wartawan, hanya bikin profil daerahnya yang rawan bencana untuk sebuah LSM, intinya ini kampanye supaya masyarakat siap menghadapi tsunami. Tapi apa pun itu aku tak mau ada utang budi. Uang aku terima dan berikan untuk biaya sekolah seorang siswa yang membutuhkan.

Suratmu yang dikirimkan ke AJI dll memang perlu untuk menampar orang pusat, supaya tidak asal ngomong dan pintar bikin slogan. Beta hargai itu, karena realitasnya orang pusat yang biasa jalan-jalan ke daerah memang beda gajinya. Sejauh yang beta tahu, banyak wartawan yang kerja double, entah apa saja dibuat. Tapi bukan cuma orang pusat juga, ada seorang kawan yang kerja di koran ternama di Jakarta, bingung luar biasa karena tidak ada uang untuk sekolahkan anaknya Bulan Juli nanti. Bagaimana bisa begini, idealis dalam kelaparan?

Ya, kita harus berakrobat untuk hidup. Beta sepakat, dan kita harus kreatif. Urusan kere atau hidup susah bukan cuma urusan wartawan, kita wartawan masih jauh lebih baik dibandingkan rakyat jelata yang lain. Ini yang beta bilang. Di Kupang gaji pembantu rumah tangga itu 75 ribu rupiah per bulan, dan ini biasa. Wartawan daerah sekitar 500 ribu atau 600 ribu.

Jadi, untuk urusan ekonomi, menurut beta bukan cuma urusan perusahaan dan karyawan, tapi ada di luar itu. Kalau dipaksakan perusahaan juga bangkrut, dan ini sudah terbukti di daerah, khususnya di Kupang. Bagaimana mau menggaji layak? Modal pas-passan.

Mungkin beta buta. Tapi urusan deal para petinggi media di level atas itu memang terjadi. Tapi siapa berani membukanya? Siapa yang mampu menginvestigasi? Kisah amplop ini sebenarnya mirip berselingkuh atau tindakan asusila. Kalau rakyat jelata lihat porno sedikit sudah diarak telanjang keliling kampung, tapi orang kaya bisa pesta seks di hotel tanpa takut ketahuan. Siapa yang mau lapor? Prostitusi media yang terjadi di Jakarta harus diberantas. Caranya bagaimana? Beta tidak tahu. Soalnya petinggi media di Jakarta, cuma tinggal bilang, “Kau mau melawan? Aku pecat…masih banyak yang butuh kerja!” Seribu sumpah serapah dan segala nama hewan kita umpatkan, tapi sama saja. Banyak yang realistis, dan menerima kerja dari perusahaan pimpinan maling. Ini beta alami, “Masih banyak kok yang butuh kerjaan!” Sakit hati juga diperlakukan begitu oleh sesama wartawan. Apa mereka tidak pernah merasa ada di bawah? Beta tidak mengerti. Kok tega?

Dia bisa bilang, ‘Kalau aku tidak jadi anjing herder untuk perusahaan aku bisa dipecat, jadi aku harus kejam sama bawahan…apalagi yang perintahkan ini bos.’ Ini terjadi, coba lihat di setiap media ada anjingnya yang siap ikut perintah bos. Kebetulan kali itu, anjing di media itu orang batak. Lain tempat lagi anjingnya orang Timor, lain tempat lagi ada Orang Jawa. Jadi tergantung bosnya, biasa bos memilih anjing dari etnis lain. Entah kenapa? Belum ada penelitian.

Jadi Lae, beta sepakat bahwa Lae sudah berteriak. Dan kita yang lain juga berteriak dengan cara yang lain, dengan menolak amplop, agar bisa sebebas-bebasnya meliput berita dengan nurani. Pasti tidak mudah, dan memang tidak mudah.

Hari ini melihat beberapa mahasiswa ada yang sukses jadi wartawan televisi beta senang, ada yang harus jadi tim media kampanye bupati, beta juga senang. Ada yang nganggur, beta sedih. Tapi kerja di perusahaan yang gajinya kecil bagaimana? Apa itu lebih baik daripada tidak bekerja?

Ini mengingatkan beta, ketika masih di kelas, dan beta jadikan suatu soal, berkaitan dengan amplop. Ada yang menolak, ada yang menerima. Aktivis mahasiswa dan seorang suster menerima dengan alasan butuh. Sebagai dosen beta sempat diam lama, dan tidak mengerti. Tapi rasanya kemiskinan di NTT sudah sampai pada ujungnya. Sehingga yang semua yang baik cuma ada dalam doa, sedangkan untuk kebaikan dalam hidup sehari-hari masih harus diperjuangkan, dan dikerjakan.

Beta sudah sampai pada titik bertanya yang meminta jawaban, dan sejak tahun lalu beta belajar Sosiologi, karena beta tidak mengerti kenapa kita harus hidup dalam derita yang berlarut. Mudah-mudahan akan ada jawaban, bahwa meskipun miskin kita punya harga diri. Ini bukan cuma hidup, ini perjuangan menjadi manusia.

Sampai hari ini beta percaya ini bukan cuma persoalan wartawan, tapi kemiskinan ini masalah kita dalam negara Indonesia. Jadi kalau menerima amplop itu berpengaruh pada kemiskinan kita bersama, maka amplop jelas bermasalah. Masalahnya media sekarang memang posisinya sebagai mesin uang. Coba lihat Kompas dan televisi lain, sebenarnya mereka tidak butuh suara wartawan, karena pemasukkan dari iklan sudah menutupi biaya operasional, wajar kalau pemred di Kompas dan semua bos-bos televisi itu semena-mena sama anak buahnya. Mau protes? Sama, seperti di atas, tinggal ganti.

Sialan meman Lae, tapi ini kenyataan. Dulu beta sempat tulis surat untuk Mochtar Lubis, dan tanya macam-macam dia sempat bilang, bahwa dia tidak punya mimpi untuk wartawan Indonesia. Dulu beta pikir bahwa itu cuma bahasa orang tua yang pesimis, tapi sekarang beta lihat Mochtar Lubis memang realistis. Dan beta tanya lagi, apa yang bisa kita buat kalau semua sudah kita coba dan tidak ada jalan keluarnya. Dia menulis bahwa kita berdoa dan senangkan hati. Jadi cuma itu Lae, semoga kita semua tetap senang dalam situasi sulit.

Salam selalu,
Elcid