Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Perdagangan Orang Bukan Sekedar Masalah Administrasi


Oleh: Dominggus Elcid Li*

 

Persoalan perdagangan orang sering kali disederhanakan hanya sebagai persoalan administrasi atau pemalsuan dokumen, sehingga fokus orang hanya terjerat dalam frase ‘legal’ atau ‘ilegal’. Legal diartikan sebagai berdokumen resmi, sedangkan ilegal artinya bisa dokumen palsu (secara keseluruhan), atau dokumen aspal (asli tapi palsu). Berdasarkan perspektif ini para pengambil kebijakan mengambil kesimpulan bahwa ‘layanan satu atap merupakan’ cara yang paling efektif untuk memberantas pemalsuan identitas yang berujung pada perdagangan orang.

Penulis berargumentasi bahwa pemalsuan dokumen merupakan sebuah indikator awal, tetapi bukan substansi utama. Substansi utama dalam ‘perdagangan orang’ adalah ‘eskploitasi manusia’ (Lihat Pasal 3 Protokol Palermo). Jika para pembuat kebijakan ‘hanya’ fokus pada dokumen semata, maka sudah bisa diduga tindakan antisipasinya cenderung terbatas pada pemalsuan dokumen. Kelemahannya, dengan hanya fokus pada obyek atau bukti tertentu bisa memindahkan fokus. Fokus dalam perdagangan orang tidak hanya bukti administratif, tetapi perlakuan manipulatif dan dan eksploitatif.

Memang berdasarkan Data Perdagangan Orang (DPO) NTT Tahun 2014 yang diolah IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) dari liputan tiga koran utama di NTT  menunjukkan sebanyak 88% korban perdagangan orang (n=1038) yang berasal dari NTT dokumennya dipalsukan. Tidak bisa dibantah bahwa fokus pada dokumen akan memangkas ‘pengiriman pekerja anak’ sebagai korban perdagangan orang, dan memang sebanyak 10% korban perdagangan orang tahun 2014 adalah anak.

Namun jika hanya fokus pada pemalsuan dokumen semata bisa dianggap menggeser ‘aksi kriminal’ perdagangan orang’ yang dilakukan PPTKIS, maupun para pelaku lain. Fokus pada persoalan administrasi semata cenderung mengabaikan hak para pekerja mulai dari fase rekrutmen, penampungan, pengiriman, hingga saat sedang bekerja.

 

Melampaui Perkara Administrasi

Masalah dasar eksploitasi terhadap korban perdagangan orang cenderung tidak dibaca oleh para pengambil kebijakan. Contohnya, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan Komnas Perempuan tahun 2015, seorang pejabat BP3TKI NTT menyatakan bahwa BP3TKI tidak menangani perdagangan orang, karena hanya menangani mereka yang berdokumen resmi. Ketika itu penulis menjawab dengan bertanya ‘bagaimana dengan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan PPTKIS di tempat penampungan’ sekalipun mereka memiliki identitas asli.

Fokus lanjutan untuk memetakan aksi perdagangan orang perlu dibuka dimulai saat rekrutmen, penampungan hingga bekerja yang bisa dilakukan oleh PPTKIS (yang memang memiliki izin merekrut). Perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh CTKI (Calon Tenaga Kerja Indonesia) di tempat penampungan yang seharusnya bisa dikategorikan sebagai ‘perdagangan orang’ perlu dibahas. CTKI yang tinggal dalam kondisi tidak layak, dikurung dalam tempat penampungan ibarat penjara,

Berdasarkan kajian IRGSC sebanyak 61% korban perdagangan orang di tahun 2014, pelakunya adalah PPTKIS. Jadi pertanyaannya bagaimana para pembuat kebijakan mengembangkan instrumen pengawasan maupun indikator ‘layak’ yang tidak hanya fokus pada aksi pemalsuan dokumen, tetapi  juga ikut memikirkan definisi operasional ‘pengawasan PPTKIS’ maupun jaringan yang sifatnya individu berantai.

Tidak mungkin pemerintah maupun para pembuat kebijakan hanya memberikan insentif terhadap PPTKIS, tanpa mengembangkan mekanisme kontrol terhadap PPTKIS. Misalnya bagaimana secara serius para pihak mengkaji perlakuan PPTKIS terhadap tenaga kerjanya. PPTKIS perlu membuka mekanisme kerjanya untuk dinilai. Selain terkait proses rekrutmen, dan penampungan juga terkait gaji yang diterima oleh TKI.

 

Perdagangan orang “dalam” negara

Salah satu persoalan konkrit yang terjadi di Indonesia dalam menangani kasus Perdagangan Orang adalah membedakan antara ‘perdagangan orang’ dan ‘migrasi pencari kerja biasa’. Hingga saat ini tidak ada mekanisme yang mengatur tentang bagaimana menangkal perdagangan orang “di dalam” Negara Indonesia.

Jika melihat peta jaringan perdagangan orang, titik utama tidak hanya menuju ke luar negeri, tetapi yang lebih tidak terdeteksi adalah ‘migrasi pekerja’ di dalam wilayah Indonesia. Jumlah mereka yang tercatat media sebanyak 27%, tetapi jumlah sesungguhnya bisa dipastikan lebih besar. Area penyebaran pekerja asal NTT mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Memastikan bahwa mereka bukan lah korban perdagangan orang merupakan kewajiban.

Kasus-kasus yang mencuat bukan hanya kasus di negeri jiran negara tetangga, tetapi ‘pekerja migran’ asal NTT di berbagai provinsi lain di Indonesia. Sayangnya tidak ada satu pun lembaga negara yang fokus pada persoalan perdagangan orang.

Kasus perdagangan orang masih dianggap sebagai persoalan biasa, dan belum diletakan sebagai serious crime. Dibandingkan kejahatan perdagangan narkotika, perdagangan orang belum mendapatkan tempat sama sekali.

Majalah Tempo beberapa waktu lalu mengangkat soal perdagangan organ tubuh di DKI  dan Jawa Barat. Hampir bisa dipastikan aparat keamanan di NTT belum siap menghadapi jenis perdagangan model ini. Dalam beberapa kasus yang tidak dapat dikonfirmasi di NTT, dicurigai beberapa TKI juga merupakan korban ‘perdagangan organ tubuh’. Tubuh mereka bekas dioperasi, namun mereka tidak dapat mengingat apa yang terjadi.

 

Catatan untuk Kapolda NTT (Baru)

Modus perdagangan orang tidak lagi mengambil jarak antar negara, tetapi antar provinsi namun untuk memenuhi global supply chain. Fokus para pengambil kebijakan dan polisi masih mengandaikan sentra ‘kerja’ hanya ada di negeri jiran. Kita tidak mengantisipasi jika sentra produksi global digeser ke dalam Indonesia. Contoh kasus perdagangan orang di Indonesia terjadi pada para pekerja asal NTT yang bekerja pada sisi produksi sarang burung walet di Medan (Sumatra Utara), dan para pekerja asal NTT yang bekerja di Kalimantan Tengah dan Timur di perkebunan sawit.

Produksi sarang burung walet Medan diekspor ke Hong Kong, yang menjadi simpul global distribusi sarang burung walet. Sedangkan untuk produksi sawit, jika kita jeli membuka catatan perusahaan, ternyata kantor pusat perusahaan perkebunan sawit memang berada di Kuala Lumpur. Perusahaan yang sama juga mengelola perkebunan sawit bekerja di Borneo Utara (Malaysia).

Kasus perdagangan orang di Medan merupakan salah satu kasus yang layak dibuka untuk Kapolda NTT  baru–maupun Direskrimum baru. Hingga hari ini kasus perdagangan orang asal NTT yang terbuka pada Bulan Februari 2014, dan memakan dua korban jiwa BAP-nya di Polresta Medan (Sumatra Utara) cacat dan ditolak jaksa. Puluhan perempuan asal NTT bekerja bertahun-tahun tanpa boleh keluar dari lantai atas gedung pengolah sarang burung walet. Upaya untuk menuntaskan kasus ini mendapatkan tantangan dari pihak kepolisian di Sumatra Utara.

Dokumen lengkap beserta video dokumenter terkait kasus Medan pernah penulis serahkan langsung ke tangan Presiden Republik Indonesia, Presiden Jokowi di Istana Negara pada Bulan Agustus 2015 mewakili para korban dan Ampera (Aliansi Menolak Perdagangan Orang). Hingga hari ini penulis masih menunggu bukti bahwa Presiden Indonesia Joko Widodo tidak menipu. Tentu ‘tipuan’ itu sifatnya bukan personal, tetapi dalam skala negara, apakah mungkin seorang Presiden tidak mengingkari janji untuk memberikan keadilan untuk warga negara yang teraniaya.  Apakah jajaran kepolisian RI ada di bawah komando Presiden? Jika ‘ya’ kenapa kasus yang tercatat lengkap tidak ada kelanjutannya?

Dokumen yang sama akan diserahkan kepada Kapolda NTT sekedar untuk membuktikan bahwa dalam hal penegakan hukum aslinya ‘Indonesia sudah mengalami disintegrasi’. Sebab meskipun komando teritorial masih ada di berbagai wilayah, namun fungsi penegakan hukum dalam wilayah Republik Indonesia (khususnya antar Polda)  sangat tidak memadai. Mudah-mudahan anggapan ini keliru. Sebab dalam teori, ketika Negara pupus, anarki semakin menjadi-jadi.

Perkara-perkara ini cukup pelik, padahal kita belum lagi bertanya, apakah yang legal itu memang memiliki legitimasi? Sebab legal dan legitimasi meskipun memiliki irisan pengertian, tetapi bukan dua hal yang sama.

Tanpa penguasaan substansi ‘perdagangan orang’ dan memahaminya sebagai jenis kejahatan serius kita cenderung hanya berbicara soal dokumen. Sebab di tataran kriminal para penegak hukum tidak mampu mendefinisikan bukti kejahatan selain dokumen tertulis.

Untuk menghadapi hal ini mau tidak mau, Polda NTT dan jajarannya perlu mengadakan pendidikan khusus untuk membuka apa yang disebut perdagangan orang. Agar kemampuan para penyidik dapat mendekati tantangan yang sedang dihadapi, agar ‘rasa manusia’ tidak hilang.

 

*Penulis adalah Peneliti IRGSC. Data bulanan perdagangan orang di NTT dapat diakses di www.irgsc.org

 

 

Advertisement


Leave a comment

Dialektika Eksploitasi


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Tulisan ini dimuat di Harian Victory News (VN) tanggal 28 dan 29 April 2015. Harian ini beredar di beberapa pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tulisan ini dimuat di Harian Victory News (VN) tanggal 28 dan 29 April 2015. Harian ini beredar di beberapa pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Liberalisasi perdagangan di NTT pasca krisis mata uang di Indonesia pada tahun 1997 terjadi  di dua aras. Pertama terjadi di aras pencaplokan tanah oleh para pemodal, dan kedua ditandai dengan menguatnya perdagangan orang (baca: perbudakan) dari NTT dalam dua dekade terakhir. Untuk kaum yang masih memiliki aset tanah, maka tanah menjadi incaran, sedangkan kaum nir tanah maka tubuh menjadi komoditas utama, utamanya tubuh perempuan.

Kondisi saat ini sebenarnya telah diprediksi dua dekade silam bahwa tumbangnya Orde Baru tak hanya tumbang struktur otoritarian, tetapi lenyapnya corporatist state, dan semakin menguatnya pemikiran ekonomi neo klasik pro pasar yang diadopsi oleh para pejabat pemerintah Indonesia yang ada dalam proses structural adjustment procedure setelah dimiskinkan oleh ‘mafia pasar’.  Para ekonom Indonesia yang dibesarkan jauh dari kemampuan perspektif politik ekonomi, tak lebih dari epigon teoritis. Jangan heran jika Indonesia tak punya ‘model’ tersendiri jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia seperti Singapura, Vietnam, RRC, Korsel, dan Jepang.

Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan bagaimana proses pemiskinan orang NTT terjadi bersamaan, dan hingga kini tidak ada jalan keluar yang memadai selain adu retorika. Penulis berargumentasi bahwa substansi persoalan hingga kini tidak dipetakan, namun ide-ide yang keluar melalui ‘efek media sosial’ tak lebih dari keriuhan yang seolah-olah sedang membicarakan jalan keluar. Padahal aslinya kita hanya menangkap symptom-nya semata atau hanya terkait efek langsung, tanpa mampu memetakan persoalan, dan apalagi mampu membalikan keadaan. Sayangnya, kemiskinan di NTT tidak dipelajari sungguh-sungguh, terutama terkait kehidupan petani subsisten tidak beraset.

Eksploitasi kemiskinan

Gelombang perdagangan orang yang memanfaatkan liberalisasi pasar tenaga kerja menyasar kaum miskin asal NTT. Ketika tekanan pertanian di lahan kering tidak mendapatkan jawaban memadai, migrasi keluar menjadi ‘ilusi’ alternatif. Migrasi keluar sebagai buruh murah dikatakan sebagai ilusi karena para pekerja pada umumnya tidak memiliki posisi tawar. Orang NTT sudah dibandrol murah, baik di kota-kota besar di Jawa, perkebunan sawit di Kalimantan, maupun sebagai manusia di luar kasta di Bali hingga ke luar negeri seperti di Malaysia dan Singapura–yang dua-duanya tak lepas dari struktur rasialis.

Longgarnya regulasi atas PPTKIS membuat PPTKIS yang ada di Indonesia senyatanya adalah pelaku perdagangan orang sejak saat rekrutmen. Dari data DPO IRGSC tahun 2014, tak kurang 60% pelaku perdagangan orang adalah PPTKIS, namun aparat keamanan hanya menjerat perekrut lapangan, bukan pemilik perusahaan. Selanjutnya dalam praktek, bisnis proteksi ini menjadi lahan basah yang sulit diungkap, sekalipun oleh orang dalam dalam institusi kemanan dalam negeri.

Indikator eksploitasinya dapat dihitung dengan menghitung ‘keuntungan’ middleman dan dibandingkan risiko yang diterima pekerja mulai dari tahap rekrutmen hingga penempatan, dan dibandingkan dengan standar jam kerja tanpa batas. Sayangnya, aparat yang berwenang hanya mampu membaca stempel dokumen, dan tidak mampu membaca realitas hidup para pekerja di tempat kerja. Aparat keamanan cenderung tutup mata, sebab jargon remittance tahunan yang ditiupkan para pengusaha telah menjadi ilusi yang lain.

Eksploitasi terhadap kaum yang rentan, yang ditandai dengan minimnya pengetahuan, kemampuan berbahasa, mudah dijerat dengan uang muka, mudah ditipu, dan tidak memiliki kemampuan menyatakan tidak terhadap eksploitasi masih bebas dilakukan. Pertanyaannya, bagaimana pemerintah maupun aparat keamanan mampu menjaga warga yang rentan ini, jika indikator ekploitasi itu tidak dipahami?

Siklus ilusi ini tak hanya ditawarkan oleh PPTKIS, tapi hampir semua institusi yang sedang bekerja di NTT hidup dalam ilusi. Di kalangan pangreh praja, isu desentralisasi yang coba diturunkan hingga ke tingkat kepala suku merupakan mainan utama. Identitas semacam agama dan kasta ekonomi cenderung dipinggirkan oleh sistem sosial lama, yakni kepala suku yang memiliki aset tanah. Desentralisasi menjadi pisau tajam bermata ganda, di satu sisi ilusi yang ditawarkan manusia di kawasan tersebut semakin dekat dengan pembangunan, dan ditandai dengan kemudahan akses transportasi, pendidikan, komunikasi, dan kesehatan.

Di sisi lain desentralisasi yang dimotori perluasan pasar amat anti demokrasi. Dalam setiap proyek desentralisasi dengan mudah kita temuka façade eksploitasi. Demokrasi padat modal sudah pasti dikendalikan oleh otoritarianisme pasar. Tak heran jika pejabat kepala daerah sering diboncengi makelar tambang/tanah. Di mana ada tambang, hampir bisa dipastikan di situ ada bandar, ada tikus, dan centeng.

Jangan heran jika izin tambang marak di NTT. Jika elitnya gemar menyumbang, dan penerima sumbangan/derma/perpuluhan/sedekah tidak pernah bertanya apakah ini bagian dari gratifikasi atau bukan, maka tidak usah heran jika para pemimpin pilar tutup mulut atau bicara eufemistik terkait hal prinsipil. Intinya ‘siapa yang dapat’ pasti diam dan dukung. Siapa pun pemberi materi dianggap ‘orang baik’. Pemberi materi itu bisa perekrut ‘tenaga kerja’, politikus partai, hingga ‘pencari umat’, dan tidak terkecuali LSM. Legitimasi sebagai bahan komoditas dagang rantainya tidak pernah tunggal, misalnya hanya di tangan kepala daerah, tetapi menyebar merata sesuai dengan naluri dagang dan konsep orang baik yang gemar memberi barang.

Dalam tataran miskin absolut, kita tidak lagi bicara soal aset (tanah), tapi tubuh yang dijual. Tak hanya para birokrat yang tidak punya visi terhadap kondisi kemiskinan absolut. Tapi dalam gerakan menolak otoritarianisme pasar pun setali tiga uang.  Jika yang ‘seolah’ paling kiri bicara soal retorika eco-facism, maka yang paling kanan bicara soal ‘pemberian’. Keduanya menjauhkan manusia dari realitas. Para pegiat eco-facism tidak menghitung soal ‘involusi’ kemiskinan absolut yang telah mampir di kelopak mata. Perbudakan adalah komodifikasi yang paling ekstrim. Sebagai titik bertahan boleh saja, tetapi ketika perbudakan sudah tiba di depan  mata, maka langkah terobosan sudah harus dikerjakan. Sekian alternatif sudah harus bisa dihasilkan, dan ini tidak mungkin hadir hanya dengan menghafal teks, sebab ‘kata baru’ itu belum ditemukan.

Krisis Pemikiran Strategis

Sudah lama pemikiran strategis tidak menjadi bagian dari tradisi intelektual. Sebaliknya kita hanya berpindah dari ilusi ke ilusi yang lain, dan kita hanya bereaksi dari isu satu ke isu yang lain. Ditambah dengan media sosial yang sekedar jadi media gosip, banjir informasi hanya menegaskan kegalauan manusia yang kalah dan tak punya arah. Sudah saatnya kita kembali ke akar tanah. Untuk mampu berpikir realis, seluruh façade harus mampu dibuka dan pertanyaan utama harus mampu ditemukan.

Pemikiran strategis ini seharusnya mampu dikerjakan oleh para pemikir. Sebelum tiba pada program seorang pejabat pimpinan wilayah seharusnya memiliki peta dasar. Contohnya NTT sebagai provinsi jagung, apakah ini merupakan retorika atau apa? Kenapa program ini bisa muncul tanpa studi kelayakan? Jika jagung untuk makan saja kurang, apakah mungkin ada jagung untuk pasar (cash crops)? Pun untuk masalah kurang gizi, apa benar jagung jawaban untuk kurangnya asupan micro nutrient?  Sayangnya, balai pemikiran strategis tidak diadakan di NTT, sebaliknya ‘retorika klompencapir’ yang dipakai. Pejabat bicara di depan, dan pendengar cuma tunggu makan siang dan selesai. Diskusi berbobot untuk bertanya kemana provinsi ini hendak dibawa tidak terjadi? Dengan kultur priyayi, para pemikir yang ada di lingkar dalam selalu dalam posisi menyembah. Bagaimana mungkin bisa kritis?

Krisis pemikiran strategis ini bukan hanya milik birokrat pejabat di kampung. Para jenderal pemikir TNI-AD di metropolis pun sama saja. Bagaimana mungkin di daerah tertinggi angka perbudakan (baca: korban perdagangan orang) di Indonesia hendak dibikin Kodam baru? NTT tidak butuh tambahan akumulasi tentara, sebab ini hanya perulangan yang sama persis yang dikerjakan Belanda. Bagi Belanda Timor tidak lebih sebagai ‘outer post’. Entah post itu untuk apa?

Seharusnya dasar produksi ekonomi harus dibangun. Cara berpikir strategis tak lagi hanya soal pergerakan pasukan, tetapi bagaimana ‘populasi masyarakat’ di suatu daerah bisa hidup tidak kurang gizi, dan jadi incaran pelaku pasar perbudakan yang mengincar tenaga  kerja manual labour dengan gaji murah. Ini lebih penting daripada penempatan aparat keamanan. Potensi konflik akan semakin menguat dari daerah pinggiran jika kondisi miskin absolut dibiarkan berlarut-larut.

Dalam pemikiran yang berkembang di Eropa, RRC, maupun di contoh negara kapitalis tingkat lanjut seperti Singapura, wacana kedaulatan tak hanya soal kedaulatan pangeran (prince), tetapi soal kesejahteraan warga (populasi) di suatu wilayah. Data strategis utama yang menjadi bahan kajian seharusnya adalah kematian warga, angka malnutrisi, dan gagal panen. Sebab prinsip utamanya kepemimpinan yang memiliki legitimasi adalah kepemimpinan yang memiliki moralitas super. Ini ditandai dengan tidak membiarkan para petani kecilnya mati atau menjadi budak.

Sebaliknya jika data intelijen yang dikumpulkan hanya sebatas data gerak tukang kritik internal, apa bedanya dengan opsir Belanda?  Salah satu hal paling lucu di Indonesia adalah data BPS (skala dekade), bisa kita dapatkan gratis di luar negeri, dan di Indonesia harus beli. Bagaimana para peneliti patriotis bisa kerja,  jika akses data dijadikan komoditas di negerinya sendiri? Jadi apa lagi yang belum dijual?

Jika hanya untuk mengetik saja dengan menggunakan laptop, warga di Nusa Tenggara Timur kekurangan daya listrik, lantas industri apa yang mau dibangun? Industri berbasis pertanian tidak mungkin dibangun di NTT jika bahan bakunya minim. Sebaliknya kini kondisi saat ini para petani subsisten non aset amat kesulitan, dan defisit ini mereka akali dengan mengirimkan perempuan sebagai pekerja. Kesenjangan saat ini bukan lagi soal Indonesia dengan Malaysia atau Singapura, tetapi antara NTT dengan provinsi lain di Indonesia. Buruh korban kerja paksa (forced labour) asal NTT tersebar merata mulai dari pembantu rumah tangga, pekerja industri kecil, hingga pekerja perkebunan sawit di berbagai provinsi. Rangkuman bulanannya ada di sini: http://www.irgsc.org/slavery-in-indonesia.html

Untuk pertanian, hal mendasar yang NTT butuhkan saat ini adalah institusi riset ‘petani’ lahan kering. Jadi yang dibahas ‘bukan hanya soal pertanian’ atau ‘tehnik becocok tanam’, tetapi ‘kompleksitas kehidupan petani’. Kompleksitas petani ini harus dibahas untuk memastikan bagaimana golongan terbesar warga NTT ini bisa berdaulat? Institusi riset ini ada untuk menjawab bagaimana para petani bisa selamat? Bagaimana agar anak-anak mereka tidak terkena gizi buruk? Bagaimana agar istri, dan anak perempuan mereka tidak dibarter dengan remittance dan bisa hidup di tanahnya sendiri? Jika tanah air sebagai lambang kedaulatan tidak bisa dijadikan pijakan oleh rakyatnya sendiri, untuk apa tentara datang? Jauh lebih bermutu jika uang untuk bikin kantor kodam dipakai untuk bikin laboratorium petani.

Ide menghadirkan babinsa sebagai pendukung swasembada pangan mungkin baik, tetapi sejak awal ditanggapi pesimis karena pergerakan struktur massal tidak di-imbangi dengan kualitas riset riil yang memadai. Contohnya untuk NTT, babinsa bisa apa jika dosen pertanian lahan kering saja tidak mampu memberikan solusi? Persoalannya bukan kurang tenaga, tapi kurang pengetahuan, contohnya bagaimana RRC mampu menaikan angka produksi pangan dengan lahan yang makin sempit? Kolaborasi segenap elemen amat diperlukan. Semboyan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh seharusnya diwujudkan dalam kolaborasi lintas institusi, dan lintas disiplin ilmu.

Selama para pemimpin keagamaan, pejabat pemerintahan, polisi, aktivis pergerakan, pejabat militer, maupun para peneliti tidak mampu melihat hal substantif dan tidak mampu temukan prioritas, generasi ini sedang membuang waktu. Sudah saatnya kita ‘berhenti merasa elit’, membuka ilusi, dan bekerja sungguh-sungguh. Selama kita hanya puas dengan façade moderen, korban industri populer, seragam, maupun jargon nostalgia romantis maka Indonesia secara umum, dan khususnya NTT, hanya lah kawasan orang-orang kalah yang tidak tahu mau kemana dalam ‘percaturan’ global.

NTT sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia sedang mengalami bencana kemanusiaan terdahsyat dalam era desentralisasi. Jawaban atas kesulitan ini harus dicari, dikerjakan, dan diadakan. Salah satu paradoks desentralisasi sebagai bagian dari globalisasi pasar adalah desentralisasi hanya sekedar perluasan akses tanah maupun buruh murah. Keduanya menawan penghuninya secara riil, dan elitnya ditawan dalam ilusi.

Kutipan telur dadar atau omlet

Di bagian ‘ruang komunikasi’ dialektika ekspoloitasi ini perlu dibuka dalam tradisi berdialog, bertukar pandangan, dan bukannya tindakan anti diskusi dan gerak elitis—apalagi dengan kebiasaan mengutuk. Di tataran ‘kasat mata’, selama tangan dan tanah tidak pernah berhubungan, dan kata hanya terbang di media (sosial) yakin lah bahwa kita memang hanya lah homo sapiens yang kebetulan umur panjang. Sedangkan gerak dan rupa eksistensialis tidak lebih dari balon berwarna-warni yang tidak tahan sinar matahari. Lagipula selama ‘soal apa yang perlu untuk dikerjakan’ belum menjadi urusan, sejauh mata memandang hanya ada sentimen sakit hati khas panglima yang tersesat, maka perdebatan aku atau kau, tak lebih dari canda pertanyaan ‘mau makan telur dadar atau omlet’ saat pagi tiba.

Lalu untuk apa berteriak jika kata tidak lagi memiliki otonomi, selain sisa-sisa pemikiran yang dipungut, dan ditempelkan di dagu? Dan untuk apa seragam dipakai jika seluruh gerak yang diambil ternyata keliru?  Untuk apa ucap kata jika tidak punya arti selain seolah yang dianggap tahu? Sementara perempuan-perempuan kita berjalan keluar sebagai ‘budak berdokumen’, yang nasibnya tak pernah kau tanyakan, dan tak pernah pula kau tahu berapa kali ia lupa ingatan karena telah sampai batas pengingkaran atas rasa manusianya.

Lantas, apa bisa di bibirmu kami titipkan sedikit penat seusai menunggu hujan yang tak membuat benih kami tumbuh di atas tanah yang pecah? Jangan lah kau seperti hujan yang berlari sekejap untuk kaum petani dan selanjutnya hanya memberi fatamorgana di musim hujan yang  tak pernah sama di tanah ini.

Dan, jika kata hanya menghasilkan amarah, apakah mungkin benih bisa tumbuh? Jika kata hanya lah hafalan, apakah mungkin air bisa mengalir? Jika kata hanya lah bagian dari mesin wacana, apakah mungkin kita tiba di titik pengertian? Jika musim tak lagi pernah sama mengapa kita seolah di titik yang sama dalam lintas sejarah? Kenapa kita tetap tinggal dalam ilusi sambil membacakan mantra yang pasti kalah? Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat.

*Penulis adalah anggota Forum Academia NTT

Kepolisian Republik Timor?

2 Comments


Yanti Lasfeto (21 tahun) saksi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sedang memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (6/8/2014). Yanti bersama 20-an orang perempuan lainnya disekap di Medan dan dipekerjakan sebagai pembersih sarang burung walet tanpa digaji selama 16 bulan. Ia dibebaskan setelah dua rekannya, Marni Baun dan Rista Botha meninggal di Medan di Bulan Februari 2014 dan penyekapan ini terbuka ke publik. Sidang ini menghadirkan tersangka perekrut, Rabeka Ledoh. Sedangkan Mohar, pelaku utama sekaligus pemilik sarang burung walet di Medan hingga hari ini masih bebas. Sarang burung walet yang dibersihkan kemudian merupakan pesanan para pemilik restoran di Hong Kong. Kasus perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia membutuhkan koordinasi pihak Polri dan Interpol. Hingga kini kasus ini masih disidangkan terpisah, padahal untuk membuka jaringan perdagangan manusia membutuhkan pembukaan jaringan Kupang-Medan-Hong Kong.

Yanti Lasfeto (21 tahun) saksi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sedang memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (6/8/2014). Yanti bersama 20-an orang perempuan lainnya disekap di Medan dan dipekerjakan sebagai pembersih sarang burung walet tanpa digaji selama 16 bulan. Ia dibebaskan setelah dua rekannya, Marni Baun dan Rista Botha meninggal di Medan di Bulan Februari 2014 dan penyekapan ini terbuka ke publik. Sidang ini menghadirkan tersangka perekrut, Rabeka Ledoh. Sedangkan Mohar, pelaku utama sekaligus pemilik sarang burung walet di Medan hingga hari ini masih bebas. Sarang burung walet yang dibersihkan merupakan pesanan para pemilik restoran di Hong Kong. Kasus perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia membutuhkan koordinasi pihak Polri dan Interpol. Hingga kini kasus ini masih diperlakukan terpisah, padahal untuk membuka jaringan perdagangan manusia membutuhkan pembukaan jaringan Kupang-Medan-Hong Kong.

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Saat ini meskipun institusi kepolisian merupakan salah institusi vertikal diera desentralisasi, tetapi dalam prakteknya penanganan kasus lintas provinsi amat lah terbatas. Kasus perbudakan di Medan yang mengakibatkan 2 orang perempuan asal NTT meninggal dunia, tetap dianggap sebagai kasus parsial, tidak berhubungan. Makelar pedagang orang diadili di Kupang,tetapi pelaku perbudakan bebas berkeliaran di Medan.

Secara de jure daerah Timor Barat dan Medan dianggap satu kesatuan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun de facto para korban perbudakan asal Timor (Barat) tidak mendapatkan perhatian di Sumatra Utara. Bahkan pihak Markas Besar Polri (Polisi Republik Indonesia) yang seharusnya menjalankan fungsi koordinasi pun tak bertaji. Tulisan ini mencoba membahas mengapa polisi gagal menjalankan mandat mengawasi hak warga negara. Bagian pertama mencoba mengulas soal malpraktek pihak kepolisian dalam kasus perbudakan di Medan, dan bagian kedua soal tantangan yang dihadapi institusi kepolisian.

Kasus human trafficking yang diangkat karena kebetulan ini merupakan salah satu kasus riil yang menjadi ujian bagi Polri untuk menguji kemampuan koordinasi institusi Polri. Contohnya: untuk melengkapi BAP yang dikembalikan Jaksa, pihak Polresta Medan malah mengirim surat kepada Ampera (Aliansi Menolak Perdagangan Orang) di Kupang, NTT untuk memanggil para korban ke Medan (Sumatra Utara). Surat itu tidak masuk akal. Pertama, gaji selama 4 tahun para korban tidak dibayar. Kedua, mengapa Polda Sumatra Utara tidak mampu berkoordinasi dengan Polda NTT sehingga untuk melengkapi BAP cukup diwawancarai di Kupang.

Mengusir orang lumpuh
Aslinya tantangan yang dihadapi untuk membuka kasus kriminal semcam ini bukan hanya soal koordinasi, tetapi juga soal kondisi alamiah jaringan kriminal yang terlanjur menyebar di berbagai institusi publik. Bukan cerita aneh, jika serse asal Polda NTT pun jika ingin pergi dan menangkap Mohar dan membawanya ke Kupang juga takut ditembak oleh sesama polisi di Medan. Jadi ini bukan soal kurangnya koordinasi, tetapi soal ‘watak teritorial masing-masing Polda dan catatan kriminalnya’. Di Medan, protes terhadap polisi penyidik yang dilakukan aktivis LSM di Medan, dan Paguyuban Masyarakat NTT di Medan hanya dijawab dengan mutasi oknum oleh Mabes PoIri.

Tidak ada jaminan jika data kasus,testimoni korban dan saksi sudah lengkap polisi akan memproses kasus. Ini membuktikan elemen pembiaran yang dilakukan pihak Polri cukup kental. Kesalahannya bukan cuma pada serse Polda NTT, tetapi juga serse di Polresta Medan. Serse Polda NTT menerima laporan korban yang berhasil diselamatkan polisi Bulan Januari 2013, sedangkan serse Polresta Medan yang membebaskan salah seorang korban tahun dan bulan yang sama. Dua-duanya dilaporkan bahwa ada puluhan perempuan lain yang dikurung dan jadi budak. Kejadian ini baru terungkap lagi ke publik ketika setahun kemudian (Februari 2014). Dua orang korban meninggal, dan para perempuan lain dibebaskan di rumah pengusaha burung walet berlantai empat di Medan. Beberapa diantaranya dalam keadaan lumpuh. Seharusnya jika polisi bertindak di Bulan Januari 2013, kematian Marni Baun dan Rista Botha tidak terjadi.

Dua nyawa melayang tidak ada jaminan pihak kepolisian kemudian bertindak benar. Seharusnya investigasi dikerjakan dengan serius. Sayangnya BAP yang dibikin Polresta Medan juga minim. Bukannya memperjelas aksi kriminal, malah mengaburkan fakta. Lembaga internasional IOM, LSM lokal maupun paguyuban masyarakat NTT di Medan sempat bertanya kepada pihak kepolisian apakah BAP yang dibuat untuk para korban sudah sesuai. Pihak Polresta Medan menjawab tidak ada lagi yang dibutuhkan dan para korban dipulangkan dari Medan. Sebaliknya Paguyuban Masyarakat NTT di Medan menolak memulangkan sebelum berkas ‘dinaikan ke Jaksa’, sebab mereka membaca gelagat lain. IOM dan LSM setempat yang ‘berkoordinasi’ dengan pihak kepolisian ikut tertipu karena menerima garansi polisi tanpa melihat kondisi BAP dan berkoordinasi dengan pihak kejaksaan.

Eksploitasi para perempuan miskin tidak menjadi prioritas polisi. Hak para korban sebagai warga negara tidak diperjuangkan. Sebaliknya BAP dibikin asal jadi, dan dikembalikan jaksa. Pelaku utamanya bebas berkeliaran. Pihak masyarakat sipil yang memprotes kejadian ini di Medan malah diancam. Mabes Polri menurunkan tim untuk memeriksa Kapolresta dan Kasatserse Polresta Medan.

Di Medan saat itu masih tersisa dua orang korban. Satu dalam kondisi lumpuh, dan satu adalah teman yang menjaganya di rumah sakit. Mereka yang diharapkan memberikan testimoni kepada Mabes Polri. Tak disangka keponakan Mohar, bernama Fina Winseli datang dan membawa mereka ke Bandara Kuala Namu tanpa persiapan bahkan ia mengacuhkan protes para perawat. Drama usir paksa dari rumah sakit ini luput dari otoritas polisi. Yenny Fuakan, anak yatim piatu dari pedalaman Timor dipulangkan dalam kondisi lumpuh tanpa kursi roda. Keduanya gagal memberikan testimoni ke petugas Mabes Polri. Pengusiran ini tidak pernah diusut. Lagi pula siapa yang mau mengusut polisi? Quis custodiet ipsos custodes? Ya, ‘siapa yang mau mengawasi pengawas’ ini pertanyaan penyair Roma, Juvenal.

Tak hanya di Medan, di Kupang polisi seolah rabun dekat, yang jauh kelihatan dan yang dekat kabur. John Liem di Bali diringkus, yang di Kupang masih dibiarkan bebas. Saat ini di Kupang, seorang makelar manusia sementara diadili. R, seorang ibu rumah tangga dituntut 10 tahun penjara, sedangkan Mohar pelaku utama di Medan, Sumatra Utara beserta istri dan keponakannya tidak tersentuh hukum. Tidak hanya itu PJTKI/PPTKIS, PT.Paullisa yang berbasis di Medan dan ikut memiliki kantor cabang di Kupang NTT, tidak ikut diproses. Pihak penyidik seharusnya tidak melakukan diskriminasi. Mengapa hanya menyidik ibu rumah tangga makelar penjualan orang, sedangkan PJTKI/PPTKIS dibiarkan bebas beroperasi meskipun jelas-jelas melakukan pembiaran? Apakah Ibu R hanya bekerja seorang diri? Bagaimana dengan jaringan perdagangan manusia?

Arti Tato di tubuh polisi
Dengan kondisi kepulauan seharusnya Polri mampu menyusun alur koordinasi yang lebih baik. Misalnya dengan mendefinisikan ulang bagaimana koordinasi lintas provinsi dijalankan. Pertimbangannya tentu terkait otoritas kerja per polda, tetapi bisa jadi soal biaya operasional. Lagu lama yang disebutkan oleh pihak penyidik adalah ketiadaan dana untuk ke Medan, Sumatra Utara, Menghadapi kenyataan ini, kita sebagai rakyat tentunya prihatin dan tertawa sedih.

Hari-hari mendatang lalulintas manusia akan semakin tinggi. Tak hanya narkoba yang diperdagangkan (drug trafficking), manusia pun ikut diperdagangkan. Apakah Polri memiliki antisipasi terhadap kejahatan semacam ini? Pertanyaan ini memang bukan hanya untuk Polri, tetapi untuk pemerintah saat ini.
Saat ini meskipun berambisi menegakkan seluruh provinsi dalam satu kesatuan hukum, dalam prakteknya antara Polda NTT dan Polda Sumatra Utara tidak ada kerjasama. Hal ini sepadan dengan tulisan kosong berupa MoU (Memorandum of Understanding) terkait human trafficking antara Pemda NTT dan Pemda Sumatra Utara, karena secara riil tidak ada implikasi MoU terhadap pengungkapan kasus perbudakan di Medan. Apa kontribusi MoU yang dibuat oleh kedua gubernur dalam kasus trafficking ini? Nihil.

Hari-hari ini publik Indonesia sedang meributkan tato di betis Ibu Susi, Menteri Kelautan di Kabinet Kerja. Daripada meributkan tato Bu Susi, lebih baik kita kaji ulang tato di lambang Polri. Kenapa perlu tato ‘Indonesia’ di lambang polisi, jika kemampuan koordinasinya hanya sebesar tato Bu Susi? Benar, ini bukan soal tato, tapi jam terbang dan determinasi pemimpin. Ini bukan soal mode berpengetahuan, ini soal kepemimpinan. Apakah pemimpin itu bisa diciptakan (baca: disekolahkan) atau lahir? Apakah Jenderal Hoegeng itu dilahirkan institusi kepolisian? Jika ‘ya’ mengapa prototype semacam ini tidak lagi ada bekasnya di jajaran Polri. Kapolri yang tidak punya tanah dan rumah hanya Jenderal Hoegeng. Khusus, soal Medan sejak dulu Pak Hoegeng juga tahu itu daerah surganya kriminal, daerahnya cukong.

Sudah seharusnya Mabes Polri mampu merancang operasi counter trafficking secara menyeluruh di kantong-kantong perdagangan manusia. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam menangani kejahatan perdagangan manusia, dan perubahan pola koordinasi di tubuh Polri untuk melawan jaringan kriminal, nyaris tidak mungkin perkara perdagangan manusia bisa didekati.

Tanpa peningkatan kemampuan koordinasi lintas provinsi, Indonesia merupakan surga pelaku kriminal. Labirin tempat bersembunyi para kriminal bukan lagi wilayah, tetapi institusi publik. Mengapa di wilayah negara yang sama, sebuah instansi vertikal tidak mampu berkoordinasi? Secara nyata pihak kepolisian sedang mempraktekan ‘hukum federal’ di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa Polda di masing-masing provinsi diperlakukan layaknya negara bagian? Jelas ini berlawanan dengan konstitusi, dan tergolong makar.

Ketika warga negara dijual dan dijadikan ‘barang’, dan aparatus negara tidak bersikap maka Indonesia sedang pupus (fade away). Ini titik pertaruhannya, dan bukan pangkat!

* Peneliti IRGSC, Dosen Jurusan Ilmu Politik Undana. Saat ini melakukan post doctoral research di Ash Center, Harvard Kennedy School.

tulisan ini dipublikasikan di harian Victory News tanggal 6 November 2014, Harian ini terbit di Kupang, dan tersebar di beberapa pulau di NTT


1 Comment

Pejabat Kepolisian dalam Rantai Perdagangan Manusia


Oleh: Dominggus Elcid Li

Berita pengaduan Brigpol Rudy Soik kepada Komnas HAM untuk membuka keterlibatan Direskrimsus Polda NTT dalam Perdagangan Manusia amat memprihatinkan. Polisi yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan (surveillance), malah menjadi ‘hama’. Polisi tidak lagi mampu menjadi mata dan telinga untuk mempertahankan common good.

Kehadiran whistle blower semacam Rudi Soik dalam institusi yang korup senantiasa ada dalam posisi dilematis. Seorang pembuka kasus adalah martir. Dibutuhkan oleh publik, tetapi dikecam dari dalam institusi. Padahal secara umum, tidak banyak orang cukup punya daya untuk membuka dan menghadapi institusi negara yang tidak mampu membersihkan diri sendiri. Biasanya, dengan kewenangan yang nyaris tidak dipertanyakan, aksi kriminal anggota kepolisian sering dianggap banal atau biasa, dan tidak bisa dilawan.

Keterlibatan Polda NTT: TSM?

Selama ini keterlibatan petinggi di Polda NTT dalam perkara perdagangan manusia dianggap hanya rumor semata, namun dengan bukti terbaru yang ditunjukkan oleh anggota Serse Polda NTT, Rudy Soik, seharusnya dugaan yang ada bisa dibuka tuntas. Bukti tertulis yang dimilikinya menunjukkan secara ‘terstruktur, sistematis, dan masif’ (TSM) petinggi di Polda NTT merupakan bagian dari jaringan kriminal. Meskipun untuk pembuktiannya masih dibutuhkan kehadiran KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), karena hampir dipastikan Mabes Polri pun tidak berdaya membuka kasus ini. Sebab sejatinya (para) petinggi Polda NTT ‘hanya’ mengamankan PT perekrut tenga kerja milik petinggi di Mabes Polri.

Apakah tindakan elit polisi di Polda NTT ini hanya sekedar bagian dari loyalitas sesama perwira, atau kah memiliki motif memburu rente? Apakah aksi pejabat ini diketahui oleh Kapolda NTT? Apakah keterlibatan para petinggi ini merupakan kegiatan insidental, ataukah merupakan kegiatan berulang? Apakah ada jaringan perdagangan manusia yang memanfaatkan jaringan Polri? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab oleh penyidik KPK, sebab kegiatan perdagangan manusia merupakan kegiatan kriminal luar biasa.

Kanker jaringan kriminal dalam tubuh kepolisian republik Indonesia bukan barang baru. Rentetan kasus perdagangan manusia yang berasal dari NTT merupakan bagian dari puzzle kriminal institusi kepolisian. Kasus perbudakan yang menimpa 24 perempuan asal NTT di Medan Sumatra Utara, yang menelan korban dua orang meninggal dunia (Marni Baun dan Rista Botha) pekerja pembersih sarang burung walet hingga hari ini tidak ada titik jelasnya.

Polda Sumatra Utara khususnya di Polresta Medan pun juga menjadi bagian dari rantai kriminal, dengan membebaskan pelaku utamanya: Mohar. Tanggal 23 Mei 2014 pihak Mabes Polri memang ‘mengunjungi’ Kapolresta Medan, Kombes Pol Nico Afinta Karokaro, dan Kasat Reskrim Kompol Jean Calvin Simanjuntak karena keduanya diprotes aktivis LSM di Medan karena membebaskan pelaku utama. Sayangnya, Mabes Polri hanya mengganjar mutasi kepada anggotanya.

Dengan BAP para korban yang dibikin seadanya, perkara perdagangan manusia hanya menjadi ‘barang dagangan’ aparat kepolisian di Medan. Padahal jika mau diusut maka kasus perdagangan manusia ini tak hanya berskala domestik maupun lintas Polda, tetapi berskala internasional dan membutuhkan kerjasama dengan Interpol, karena terkait dengan jaringan Hong Kong.

Cara mempermainkan BAP di Medan terbilang standar. BAP dibikin seadanya, dan para saksi-korban disuruh pulang, dan sebagian dipaksa untuk pulang dalam kondisi lumpuh dari Medan ke Timor Barat. BAP yang dikembalikan Jaksa kemudian nasibnya terkatung-katung. Contohnya, beberapa minggu lalu, anggota Polresta Medan bahkan meminta setidaknya 17 korban untuk kembali ke Medan dengan biaya sendiri untuk melengkapi BAP. Padahal masih ada alternatif lain yang lebih murah dan wajar para penyidik dari Medan bisa datang ke Kupang, atau bekerjasama dengan jajaran kepolisian yang ada di NTT. Kondisi ini membuktikan koordinasi lintas Polda amat lemah. Sayangnya Mabes Polri pun masih tutup mata untuk kasus ini.

Kondisi acuh polisi Medan-Sumatra Utara, sama persis dengan apa yang dilakukan Polda NTT sejak tahun 2013 ketika mendiamkan laporan Eri Ndun, salah seorang korban perbudakan di Medan, yang selamat karena berupaya loncat dari lantai 4 tempat penyekapan. Laporan dan permintaan Eri Ndun agar pihak Polda NTT membebaskan kawan-kawannya di Medan tidak pernah mendapat tanggapan, hingga akhirnya 2 orang korban perbudakan meninggal dari lokasi yang sama satu tahun kemudian.

Dalam pertemuan di Polda NTT Bulan Februari 2014, pejabat Direskrim Polda NTT menyatakan bahwa ketiadaan dana menjadi alasan Polda NTT tidak menindaklanjuti laporan Eri Ndun yang didampingi PIAR dan Rumah Perempuan. Ironisnya, Kapolda NTT pun menjawab dalam ‘bahasa humas’ bahwa polisi hanya ‘kebagian’ laporan, ketika para korban pergi tidak melapor, tetapi kenapa ketika bermasalah polisi dipersalahkan?

Pertanyaan Kapolda NTT di Bulan Februari 2014 lalu dijawab dengan tuntas oleh laporan ini. Sebab laporan Brigpol Rudy Soik ini merupakan langkah awal untuk membongkar kejahatan sistematis yang sedang terjadi dalam tubuh Polda NTT, Mabes Polri, maupun institusi kepolisian secara keseluruhan. Singkatnya, polisi bukan ‘tidak dilapori’, tetapi polisi pun menjadi bagian dari jaringan kriminal perdagangan manusia. Keterlibatan polisi tidak lagi di level oknum, tetapi terkait rantai komando dalam lembaga.

Krisis Legitimasi: Jaringan Kriminal dalam Tubuh Institusi Negara

Komodifikasi manusia yang dilakukan oleh jaringan kriminal di NTT perlu diusut tuntas. Selama ini para aktivis kemanusiaan di berbagai daerah yang menjadi tujuan maupun lokasi transit pusing kepala memikirkan biaya pemulangan korban perdagangan manusia. Mereka mempertanyakan kenapa rantai supply di NTT tidak bisa ditutup. Padahal biaya untuk memulangkan korban seringkali tidak ada. Bahkan Dinas Sosial NTT pun kesulitan untuk memulangkan para korban ke kampung dari ibukota Provinsi NTT, lalu bagaimana dengan korban yang tercecer di Batam, Jakarta, Bogor, Denpasar, atau Medan? Siapa yang mau peduli?

Jika institusi kepolisian di NTT pun sudah tercemar, memang tidak ada lagi institusi lain yang mampu menggantikannya. Sehingga pilihan kita cuma satu: singkirkan polisi berwatak kriminal tanpa kompromi.

Saat ini Kapolda NTT seharusnya mampu bersikap tegas untuk menunjukkan posisinya, apakah ia bagian dari polisi bersih, atau kah bagian dari jaringan kriminal. Langkah politis perlu dilakukan oleh anggota DPRD terpilih dari Provinsi NTT dengan memanggil Kapolda NTT dan jajarannya untuk mempertanyakan ulang komitmen mengabdi di NTT. Kepada mereka perlu ditegaskan bahwa orang NTT bukan lah komoditas yang layak diperjualbelikan. Kepada para pejabat kepolisian ini perlu ditegaskan bahwa perbudakan merupakan hal yang dikutuk dalam preambule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Koreksi antar lembaga negara ini diperlukan agar elemen koersif dalam pemerintahan sipil tidak dibajak jaringan kriminal.

Di lingkup Polda NTT, selain kasus perdagangan manusia, setidaknya ada dua kasus besar lain: pembunuhan anggota polisi Obaja Nakmofa, dan kasus pembunuhan Paulus Usnaat dalam tahanan Polres Timor Tengah Utara. Berhadapan dengan dua kasus ini Polda NTT juga tidak mampu menuntaskannya. Untuk kasus kedua, sedikit banyak kita bisa melihat ‘laporan resmi’ dalam Novel semi Fiksi yang ditulis seorang anggota polisi, Buang Sine. Novel milik Buang Sine merupakan kesaksian dari dalam. Kenyataan yang ia fiksikan sudah sepantasnya dibuka, dan bukan dibiarkan menjadi dongeng.

Sekali lagi, seharusnya upaya membuka kejahatan dalam institusi kepolisian tidak hanya menjadi cerita fiksi, yang menyerupai tema film-film India, tetapi harus menjadi langkah pembersihan. Momentum ini harus didukung jaringan masyarakat sipil hingga tuntas.

Dengan hadirnya Presiden terpilih Joko ‘Jokowi’ Widodo revolusi di tubuh institusi kepolisian seharusnya menjadi mungkin. Karena Jokowi sebagai kepala dari tubuh politik sebuah republik memberikan garansi bahwa ia tidak segan membersihkan aparat yang kotor.

Institusi publik yang telah disusupi jaringan kriminal wajib dibersihkan ulang. Sedangkan pejabat publik yang menjual warga negaranya sendiri adalah penjajah dan wajib dihukum berat. Sekali lagi, keutamaan tidak dilihat dari seragam dan pangkat yang dipakai, tetapi dari perbuatan yang dilakukan. Tanpa melakukan pembenahan secara TSM, krisis legitimasi di tubuh kepolisian akan tiba di titik terendah.

*Peneliti IRGSC, Dosen di Jurusan Politik Universitas Nusa Cendana, dan Postdoc Fellow di Ash Center Harvard Kennedy School, Harvard University


Leave a comment

Jejak Perbudakan di Indonesia


Oleh: Dominggus Elcid Li

Kisah tragedi kemanusiaan di Indonesia cenderung hanya menjadi gosip politik dan menghilang setelah tidak diperlukan. Era perbudakan dalam narasi Eropa dianggap sudah menjadi artefak sejarah, bahkan penghilangan orang pun dianggap hanya terkait dengan perebutan kekuasaan di akhir sebuah orde. Di Indonesia eksploitasi manusia melalui perbudakan dan perdagangan orang merupakan realitas tahun 2014 dan tidak mendapatkan tanggapan serius.

Berdasarkan global index of slavery, Indonesia masih berada di rangking no 114 jauh di bawah Thailand yang di peringkat 24. Tetapi urutan angka index ini sangat mungkin dibantah jika melihat bagaimana pihak Kepolisian Republik Indonesia membanalkan kasus perbudakan di Medan yang terbuka tahun ini. Kalkulasi jumlah korban perbudakan di Indonesia jumlahnya hanya sekitar 200 ribu orang, tetapi hingga kini tidak undang-undang yang mengatur soal perbudakan, bahkan undang-undang terkait perdagangan orang pun masih gagap dieja pihak kepolisian, jaksa dan hakim.

Penculikan 24 perempuan yang disekap dan dipekerjakan tanpa gaji selama 4 tahun oleh Mohar di lantai tiga dan empat di Jalan Brigjen Katamso, Medan, menandakan lenyapnya hukum bagi para budak. Dalam kasus ini 2 orang meninggal berturut-turut atas nama Marni Baun (22) dan Rista Botha (22) di Bulan Februari 2014.

Kematian mereka seharusnya tidak terjadi. Setahun sebelumnya, korban lain, Eri Ndun, sudah melaporkan kasus ini kepada Polda NTT. Eri Ndun selamat dari penyekapan karena mencoba melompat dari lantai 4 dan ditolong warga sekitar dan polisi setempat (Medan). Ketika tiba di Kupang, Eri meminta kepada polisi agar kawan-kawannya yang masih diperbudak bisa dibebaskan. Laporan resminya tak membuahkan hasil. Tak ada tanggapan berarti dari Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun Polda Sumatra Utara (Sumut), hingga 2 orang perempuan lain meninggal di tempat yang sama.

Para korban umumnya mengalami kekurangan protein dan sebagian lumpuh. Mereka jarang makan sayur dan bergerak terbatas. Dalam testimoni korban, mereka mengaku untuk bertahan mereka memakan tumis kulit pisang, karena sudah sekian lama tak makan sayur. Sebagian dari para perempuan ini hingga hari ini belum mendapatkan haid, karena selama bekerja, Mohar memberikan obat anti haid. Menurut pengakuan para korban obat anti haid disebutkan sebagai obat penambah stamina.

Tanggal 28 Mei 2014 lalu, Yenny Fuakan, korban terakhir dipulangkan dari Medan dalam kondisi lumpuh dan menderita TBC. Yenny adalah anak yatim piatu saat ini sedang dirawat di sebuah pastoran di kota Kupang. Pemulangan Yenny, dilakukan dengan cara menculiknya dari rumah sakit dan dipulangkan paksa dengan pesawat oleh keponakan pelaku utama, Fina Winseli, sehingga Yenny tidak bisa hadir dalam pemeriksaan kepolisian pada tanggal 30 Mei 2014.

Polemik NKRI dan Perbudakan

Polri merupakan institusi vertikal dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang yang membawahi Polda NTT dan Sumut. Herannya, baik Polda NTT maupun Polda Sumatra Utara tidak melakukan kerjasama untuk mengungkapkan kasus ini dan dianggap sebagai kasus terpisah.

Di tingkat kerjasama lintas provinsi pun prosedur kerjasama hanya menjadi surat mati, sebab MoU (Memorandum of Understanding) untuk menangani perdagangan manusia antara Provinsi NTT dan Sumatra Utara sudah ada. Tetapi surat tetap tinggal sebagai surat, dan tak ada penyelesaian konkrit.

Kisah memilukan jelas tergambar dari tanggapan Dinas Sosial NTT yang berniat memberikan uang sebesar 75 ribu rupiah per orang, setibanya mereka dari ‘tempat rehabilitasi’ di Bambu Apus. Harga uang solidaritas terlalu murah, tak cukup untuk membiayai mereka pulang kampung dari ibukota provinsi. Pemerintah daerah tak peka dengan warga negaranya yang menjadi korban perbudakan.

Mencari wajah pembeli budak

Beberapa bulan sebelumnya, dalam tayangan televisi swasta yang dipromotori oleh salah seorang komisioner Komnas HAM, Dekcy Natalis Pigay, peristiwa perbudakan sukses menjadi tayangan sensasional, tetapi tidak memberikan dampak apa-apa. Saat itu Mohar pelaku utama perdagangan manusia dan perbudakan membelakangi kamera televisi. Hingga kini wajahnya masih misterius, semisterius keberadaannya.

Tak ada satu pun gambar wajah Mohar di media massa. Sebaliknya wajah para korban ada dimana-mana. Meskipun wajah korban ada dimana-mana, tidak berarti solidaritas lantas tumbuh. Upaya membuka kasus perdagangan dan perbudakan manusia seolah mengalami jalan buntu. Hukum tak berpihak pada korban, sebaliknya hukum berpihak pada siapa yang membayar.

Hari-hari ini para orangtua yang anak-anaknya meninggal di Medan, rutin dihubungi wakil dari majikan untuk menerima ‘uang damai’. Aktivitas ini sejalan dengan diamnya Polresta Medan, pembebasan Mohar, maupun pengiriman paksa saksi terakhir yang berada di Medan. Semuanya bertujuan untuk mendiamkan kasus ini dan membebaskan Mohar dari segala tuduhan.

Kisah perdagangan manusia dan perbudakan dalam lingkup domestik sangat memprihatinkan. Orang Indonesia hanya tertarik membuka kasus TKW di negeri jiran, seperti kasus Nirmala Bonat maupun Wilfrida Soik. Kasus Wilfrida Soik sempat menjadi headline dan menguntungkan para politisi. Seolah-olah ingin mengatakan perlakuan majikan yang tidak manusiawi hanya terjadi di negara lain. Padahal, eksploitasi amat mengerikan juga terjadi dalam negeri. Mereka yang lolos ke negeri jiran dikategorikan ‘kualitas ekspor’, ini membuat para perempuan dengan tubuh kecil, sakit-sakitan (tidak lolos tes kesehatan), dan di bawah umur (anak-anak), dipekerjakan dalam negeri. Empat orang yang dipekerjakan Mohar adalah anak-anak.

Semakin banyak anak hilang dari pedalaman Timor Barat dan orangtua tak tahu harus mencari kemana. Ironisnya, seandainya kita tahu siapa pelakunya tidak berarti hukum pun menjadi ada. Keruntuhan NKRI dimulai dengan hilangnya hukum di dalam republik. Indonesia tak berarti apa-apa, selain sebuah peta lama tanpa hadirnya negara. Hancurnya republik ditandai dengan menyusutnya tubuh politik dari republik itu sendiri. Perbudakan merupakan gerakan anti republik dengan menghilangkan noktah warga negara.

*Koordinator AMPERA (Aliansi Menolak Perdagangan Orang) di NTT


Leave a comment

Desis Para Bandar


Dominggus Elcid Li, Sosiolog, Anggota Forum Academia NTT

Di tengah gempita berdemokrasi, para bandar merupakan kembang api di setiap pemilu. Mereka menyala dan hanya menyisakan ampas cahaya. Tidak semua pijar profil reklame pemilu di pinggir jalan adalah bandar. Untuk bisa disebut sebagai seorang bandar ia harus mempunyai kemampuan finansial memadai, mampu mendominasi, memiliki peran vital dalam jaringan, mampu memanipulasi tanda, dan schizophrenic.

Peta keberadaan para bandar dan partai politik sempat menjadi bahan penelitian aktivis korupsi semacam ICW (Widoyoko 2013). Widoyoko mengupas soal persoalan oligarki politik yang tumbuh dalam demokrasi padat modal, dan kaitannya dengan korupsi.

Jaring Laba-Laba Bandar

Di dalam partai politik para bandar adalah simpul utama jaringan. Baik jaringan finansial, pengambil keputusan, media, organisasi sosial hingga jaringan adat. Mereka pun merupakan pembina tetap sekian organisasi keagamaan, ormas, hingga olahraga populer. Berbeda dengan tipe pemimpin karismatik, para bandar mendominasi dengan kemampuan kalkulasi finansial.

Seringkali kemampuan mereka disederhanakan dengan kebetulan. Padahal nyaris tak ada yang sifatnya kebetulan dalam ‘berkuasa’. Meskipun dalam sistem demokrasi ideal yang dibayangkan para intelektual, kaum bandar sering dianggap sampah, tetapi ‘tubuh politik’ para bandar tidak pernah dibedah untuk dikalahkan.

Sebaliknya, setiap pemberian bandar dianggap sebagai ‘budi baik’. Narasi yang ada di kalangan tokoh masyarakat umumnya merupakan ‘narasi patah’, dan hanya mengakui ‘narasi kekinian’ yang sifatnya sekarang, tanpa merasa perlu melihat asal muasal bandar, apalagi mencari tahu darimana asal ‘doi’. Seolah mereka ingin mengatakan hanya orang kaya yang boleh berpolitik. Praktek pembodohan semacam ini dilakukan secara terpadu. Misalnya dengan mengatakan ‘pilih lah yang sudah memberi’. Warga dibikin menjadi oportunis dan hipokrit. Tidak ada nilai yang diajarkan, selain mengajarkan mereka menjadi pengemis yang takluk.

Varian bandar amat tergantung simpul inti kekuatan utamanya. Mereka yang terlibat dalam proses pembentukan modal awal merupakan simpul inti. Di Indonesia para bandar yang dibidik oleh para aktivis anti korupsi adalah para bandar yang tak lolos skema good governance. Padahal ini hanya merupakan satu bidang kecil saja yang diamati LSM di lingkup pemerintahan. Mesin uang lain milik para bandar amat jauh dari jangkauan.

Proses transformasi para bandar di bidang finansial dengan money laundering merupakan salah satu agenda. Selain itu salah satu ciri bandar adalah keterlibatannya dalam bidang politik terkait erat dengan ekspansi bisnisnya sendiri. Mereka yang tidak melakukan ekspansi bisnis dalam proses berpolitik tidak masuk dalam kategori bandar.

Dalam logika sederhana. Para bandar eksis dengan kekuatan uangnya. Sekian ‘serangan’ yang diprogramkan dalam berbagai proses demokrasi padat uang ini, identik dengan duit yang disebarkan, dan bantuan yang diberikan.

Seorang bandar tak hanya piawai soal duit kecil, tapi dengan duit besar ‘mengamankan’ proses pilkada di pusat bandar. Jadi kalau ada sengketa pilkada yang tak kunjung usai, bisa diduga pertarungan para bandar yang juga sengit. Jarang ada media massa yang mampu mengupas permainan para bandar dibalik konflik pilkada.

Bandar dalam partai politik

Dalam sistem kepartaian yang sistem perwakilannya tidak pernah jelas, dan tidak pernah direvisi, para bandar adalah elit penguasa. Partai politik seprogresif apa pun di Indonesia tidak pernah lepas dari keberadaan para bandar. Keberadaan mereka merupakan salah satu elemen tetap dalam kombinasi ‘orang-orang kuat’ partai.

Lebih jauh lagi demokratisasi partai politik nyaris tidak pernah menjadi isu serius di Indonesia. Sebaliknya pola rekrutmennya adalah merekrut patron alias orang kuat di segala lini dan kemudian disatukan. Jadi tak heran kalau kita melihat kekuatan inti partai politik sangat terkait dengan lingkar dalam patron utama partai, daripada kaum seide yang memilih jalan bersama. Saat ini simpul orang kuat lah yang menjadi inti partai politik, dan bukan proses yang demokratis seperti yang dibayangkan saat reformasi.

Privatisasi partai politik baik melalui simpul keluarga, kawan lama, kawan satu angkatan, bawahan merupakan pola yang muncul di berbagai tempat. Para bandar pun melakukan hal yang sama. Loyalitas merupakan kunci. Bedanya para bandar tidak sekedar asal berkumpul. Ekspansi bisnis tetap merupakan tujuan akhir. Dengan kekuatan finansialnya, suara pemilih dibeli. Dengan kekuatan finansialnya mereka eksis dalam jajaran partai politik dalam sistem yang korup. Dalam sistem jual beli pilkada, peran bandar adalah vital. Tak heran jika dalam sengketa pilkada para bandar siap ‘tanam jasa’.

Dalam skema sistem yang korup, dan institusi setingkat Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga bisa dibeli, di tingkat ‘praktek berpolitik’ orang partai pun ada dalam posisi yang ambivalen. Apakah ikut tawar menawar/bermain, ataukah pasrah dikerjai bandar dari partai lain.

Para aktivis generasi baru pun ikut terjerat ‘logika bandar’. Duit dianggap sebagai modal dasar dan cara mendapatkan duit tidak dianggap penting dan yang penting ‘katanya’ cuma hasil akhir (baca: berkuasa). Jika ada generasi baru yang ‘di-bui’ bukan berarti law and order sudah dilaksanakan, sebaliknya ini membuktikan bahwa bandar yang dihadapi jauh lebih besar dan kuat. Tidak heran jika kebanyakan aktivis umumnya memilih untuk nyantrik pada bandar besar, sambil menunggu giliran tampil.

 

Melampaui hukum

Para bandar dengan kekuatannya adalah jenis orang yang tergolong ‘the untouchables’ alias mereka yang tidak tersentuh. Hukum bukan merupakan hambatan bagi mereka untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya hukum merupakan area kontestasi dan merupakan arena uji taji.

Para bandar memiliki kekuatan tak terbatas. Instumen negara seperti aparat keamanan merupakan jaringan rapatnya. Mereka saling membutuhkan. Di satu sisi kemampuan koersif kedua institusi merupakan ‘alat negara tertinggi’, dan di sisi lain ‘uang tunai dengan nomor seri resmi’ merupakan dambaan hati setiap pemimpin yang bercita-cita hidup layak tanpa kerja keras, atau pun yang bosan mendenger keluhan anak buahnya ‘kurang uang’. Perkara ini jelas bukan perkara oknum, tetapi perkara sistematis. Jika oknum hitungannya hanya kasus, tetapi jika terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, apakah bisa dikatakan sebagai urusan oknum?

Tugas rutin aparat keamanan adalah menangkap penjudi. Main duit itu haram begitu slogannya. Jika pemilu/pilkada dilihat sebagai arena perjudian, maka kita menunggu kemampuan aparat untuk membuka perang bandar. Media massa pun tak mampu membuka politik bandar. Bukan karena takut, tetapi tidak menguntungkan. Rugi secara finansial.

Jika generasi menjelang 1998 sempat bermimpi adanya pemilihan yang adil tanpa todongan, tanpa manipulasi aparat, bahkan fraksi tentara pun dilikuidasi, dengan anggapan ‘masyarakat sipil yang beradab akan terbentuk’, maka mimpi itu terpotong. Kekosongan yang ditinggalkan ‘rezim orde baru’, tidak lantas di-isi oleh kekuatan masyarakat sipil, sebaliknya di-isi oleh bandar-bandar teritorial.

Krisis finansial merupakan tanda akhirnya rezim Orde Baru yang matinya sudah bisa diduga sejak pertengahan tahun 1970-an, ketika Thatcher mengubah haluan untuk menandai rapuhnya welfare state, atau pun rezim korporatik sejenis Orde Baru yang menjadi obat penawar perang dingin di negara-negara baru di Amerika Latin maupun Asia.

Jadi ketika sekarang para aktivis 1998 dibui, sebagian sakit jiwa, dan sebagian tetap happy cari makan lewat bandar, maka kita sama-sama tahu bahwa melawan para bandar tidak mungkin dilakukan tanpa membedah tubuh politiknya dengan saksama.

Demokrasi padat modal tanpa pembaruan sistem politik, tanpa pembaruan sistem perekrutan, tanpa pembaruan menakisme internal partai politik pada akhirnya hanya jadi ajang orang kaya ‘bagi-bagi doi’. Reformasi merupakan judul yang keliru, kecuali jika kita memutuskan untuk melawan sebaik-baiknya dan tidak patah.


Leave a comment

Pemimpin, Tanah Air, dan Ular


 

Oleh: Dominggus Elcid Li, Anggota Forum Academia NTT

 

Salah satu kekalahan telak yang dialami warga di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam dua dasawarsa terakhir ada pada kosongnya lapisan pemimpin yang bermartabat yang aktif melakukan inovasi terpadu untuk tetap menjaga api hidup warga NTT. Pemimpin tak hanya soal ‘pemenang’ dari permainan prosedural, tetapi pemimpin sebagai orang yang aktif berjalan bersama-sama melakukan perubahan. Pemimpin tak hanya puas menjalankan manual book buatan Depdagri, tetapi pemimpin adalah orang yang mampu melihat kekosongan yang tak ada dalam rancangan orang-orang pusat berdasarkan kebutuhan yang ada.

Mengintip Anarki dari Pinggir Republik

Ketika anarki telah tiba di jantung republik, pusat dan pinggiran tak begitu banyak bedanya. Contohnya: terbuktinya Ketua Mahkamah Konstitusi menggunakan candu di ruang kerjanya tidak lebih buruk daripada seorang Gubernur NTT dua periode yang tidak mampu menguraikan benang kusut satu-satunya Rumah Sakit Provinsi yang dipimpinnya.

Perbedaannya di Jakarta ada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), sedangkan di NTT tidak ada lembaga semacam itu yang bertugas untuk mengginvestigasi sekian rumor yang menyebutkan RSU Prof. WZ.Johannes merupakan ATM (Automatic Teller Machine) atau anjungan tunai mandiri bagi para pejabat. Meskipun dalam ruang tertutup cerita ini dipaparkan, tetapi di ruang publik tidak ada yang mengusut. Dalam era anarki pasar ketika pemburu rente bersatu padu, sekian lembaga hanya sekedar menjadi kendaraan kamuflase. Di daerah yang manual book pemulihan sistemnya belum dibikin, kondisinya jauh lebih buruk.

Saat ini upaya untuk mengoreksi para elit daerah selalu kembali kerangka sentralistik, meskipun tajuk ‘reformasi’ adalah ‘desentralisasi dan otonomi daerah’. Dalam kondisi sekarang dimana ‘pusat’ pun bermasalah upaya untuk mengejar keadilan dan menegakkan rule of law seperti ular yang memakan ekornya sendiri. Ketika orang pusat masih juga mengeja anarki, warga di daerah cenderung menjadi barbar.

Jelas perkara penegakkan hukum tak bisa lepas dari konteks sosial suatu daerah. Di titik ini apa yang disebut konteks sosial dengan mudah dibiaskan, karena ‘saling terhubungkannya’ sekian selang informasi yang berskala mondial. Jadi memisahkan apa yang sekedar bagian dari sistem informasi dari hal riil yang melingkupi interaksi manusia dalam satu kawasan pun menuntut pekerjaan detil. Salah satu paradox utama terkait mimpi teknologi komunikasi adalah ‘bumi semakin kecil, ibarat sebuah kampung dan manusia di dalamnya, tetapi penghargaan atas hidup semakin berada di level kulit ari’.

Membayangkan ‘sejarah moderen’ yang mulanya dinarasikan oleh para pedagang yang kemudian bertransformasi menjadi pemerintah kolonial, selain sebagai sumber madu dan cendana, kawasan NTT pun merupakan sumber pemasok budak, ketika perbudakan belum ‘dihapuskan’. Di akhir tahun 2013, sekitar 150-an tahun setelah perbudakan dihapuskan dari rumus dagang perdagangan kolonial, kondisi perdagangan manusia belum beranjak kemana-mana. Perdagangan manusia, khususnya perdagangan anak (child trafficking) masih merupakan hal biasa yang terjadi di NTT. Dalam kasus Wilfrida Soik yang didakwa membunuh majikannya dan dituntut hukuman mati, dari ‘catatan baptisnya’ diketahui bahwa ia dikirim saat masih anak-anak. Perdagangan manusia yang sudah dikecam pedagang kolonialis ternyata tetap dipraktekkan saat di NTT. Sayangnya ini tidak dianggap sebagai persoalan besar.

Pengiriman anak-anak perempuan untuk dijadikan pembantu di kota-kota besar di Indonesia maupun di berbagai pelosok Malaysia menunjukkan bahwa krisis mendalam sedang terjadi di berbagai pedalaman NTT. Institusi keluarga maupun suku lumpuh, dan anak-anak perempuan yang biasanya dilindungi dibiarkan pergi begitu saja sebagai komoditas dagang baru.

Nirmala Bonat dan Wilfrida Soik, merupakan jejak korban perdagangan anak yang muncul dan menjadi kasus besar di media. Nirmala Bonat disiksa majikan, dan Wilfrida Soik terancam dihukum mati. Keduanya dikirim ke Malaysia pada saat masih anak-anak. Dalam pusaran kemiskinan, dan kebuntuan hidup orang-orang di pedalaman, manusia kini menjadi komoditas dagang. Rantai dagang ini tidak pernah dibuka dengan serius. Praktek perdagangan anak mengingatkan kita tentang perbudakan yang secara resmi dihapuskan pada pertengahan abad 19 tetapi prakteknya masih dilakukan hingga awal abad 20 di Hindia Belanda. Bisa dikatakan perdagangan anak di NTT merupakan kelanjutan dari skema perbudakan, sebab orang miskin dianggap bukan manusia.

Herannya ketika seluruh nasib orang-orang pinggiran Republik Indonesia ini semakin tak jelas, semakin hidup tak mendapatkan tempat yang layak, kita tak menemukan lapisan pemimpin yang tidak lari dari kenyataan. Umumnya pemimpin yang hadir tenggelam dalam konsumerisme dan narsisme yang akut. Cirinya segala atribut barang produksi industri menjadi perlengkapan wajib, dan kritik terhadap pemimpin dianggap tabu disampaikan di depan publik. Para pejabat begitu menikmati simbol-simbol narsistik. Pemujaan yang berlebihan pada jabatan, pakaian seragam pegawai, mobil dinas dan lain sebagainya merupakan fenomena ini.

Dampaknya juga menembus masyarakat adat. Di berbagai kampung di NTT posisi ‘tua-tua adat’ kini diganti oleh birokrat maupun orang-orang kaya baru. Ini membuat orang tiba di titik yang berbeda dalam memandang hidup. Sikap bersahaja yang biasa kita temukan dalam masyarakat kampung, kini cenderung berubah. Atribut-atribut kesuksesan orang kota kini kita temukan dalam cita rasa kampung.

Jika melihat pemujaan ‘manusia moderen’ di kawasan ini terhadap atribut-atribut Orang Eropa sepintas banyak yang beranggapan setelah berganti kulit dari sarung menjadi celana panjang, orang pun dianggap sudah semakin berdaulat. Padahal kenyataan kecil di atas menunjukkan hal yang berbeda.

Flobamora dan rasa hidup yang hilang

Flobamora merupakan kata hasil inovasi pemimpin tempo dulu. Mereka kenal persoalan orang kepulauan yang tak pernah selesai dengan persoalan kesukuannya. Tak ada yang salah dengan sikap kesukuan, tetapi persoalannya menjadi lebih rumit ketika akses transportasi dan komunikasi membuat warga saling terhubungkan, namun tak ada inovasi baru dalam menyikapi pertemuan diaspora orang kepulauan.

Di kawasan sekian pulau yang dikelompokkan dan kemudian dibagi di era Belanda menjadi sebagian Residen Timor, eks Negara Indonesia Timur (NIT), Sunda Kecil dan kemudian menjadi tiga kata (N)usa, (T)enggara, dan (T)imur telah menjadi entitas baru di kalangan generasi yang lahir di atas tahun 1958. NTT begitu merdu diucapkan. Lantas untuk mengikat rasa persaudaran warga pulau-pulau ini maka akronim baru yang lebih ‘khas daerah’ seperti Flobamora dilahirkan. Harapannya orang tak lagi terbelenggu dalam mentalitas pulau, tetapi mampu melihat simpul-simpul keterikatan orang-orang pulau.

Selanjutnya, membaca ulang realitas terkini dan membayangkan masa depan untuk kita yang tinggal di pulau Flores, Sumba, Timor, Alor, Sabu, Rote, Solor, Lembata, dan lainnya kita akan selalu berada dalam posisi ‘diantara’. Di sisi lain Jakarta terasa terlalu jauh dari Bumi Flobamora. Tayangan-tayangan berita di ‘televisi jaringan nasional’ seperti sedang menyajikan dialog orang-orang asing. Dari pinggir kita melihat bahwa ‘identitas ke-Indonesiaan’ pasca dua periode kepemimpinan, Soekarno dan Soeharto, kembali sedang ditafsirkan ulang. Namun warga pinggiran semacam NTT tak menemukan tempatnya.

Tak hanya soal isu agama yang kembali menemukan panggung dalam peta politik sekuler di Indonesia, isu etnisitas tiba-tiba menjadi stigma baru yang dikembangkan dan turut menjadi persoalan di era anarki (baca: reformasi). Bangsa kepulauan yang kini kembali lekat dengan stigma etnis dan berbagai prasangka sosial yang dipopulerkan melalui media massa cenderung meletakkan warga yang berada di Flobamora sebagai orang-orang kalah. Mulai dari stigma warga yang kurang pembangunannya, pengekspor preman ke Pulau Jawa, hingga anak-anak yang menjadi obyek iklan CSR (Corporate Social Responsibility) berbagai perusahaan multinasional.

Terusir dari tanah air

Sekian stigma terkait warga NTT telah biasa dan menjadi akrab di media massa. Mulai dari tukang pukul, korban kebiadaban majikan di luar negeri, kaum busung lapar, hingga kaum yang kurang higienis. Stigma ketertinggalan hasil karya para tukang eksploitasi mesin hasrat, memang menempatkan orang NTT sebagai manusia tertinggal.

Keyakinan untuk hidup dari tanah air tidak dimilikki semua orang. Kondisi tersingkir merupakan kondisi biasa yang terjadi. Terputusnya manusia dari tanah air merupakan perkara yang teramat serius, meskipun ini belum disadari.

Kondisi ini cukup paradox, di satu sisi tanah merupakan sesuatu yang teramat sakral, tetapi di sisi lain tanah kehilangan ritus magis-nya. Tanah tak lagi dianggap memiliki tuah. Kondisi perang memperebutkan tanah tak hanya merupakan lanjutan dari narasi konflik sejak era nenek moyang, tetapi ‘perang atas tanah’ juga menunjukan kelangkaan sumber daya.

Secara umum kondisi krisis pertanahan bisa dilihat dalam dua segi. Pertama, tanah sebagai bidang penguasaan yang diwariskan turun temurun. Dalam cara pandang ini tanah sebisa mungkin dipertahankan apa pun alasannya. Sakralnya tanah merupakan alasan di balik perang suku di berbagai wilayah NTT, sekaligus menunjukkan kelangkaan atas tanah itu sendiri yang tidak mampu menampung pertambahan populasi. Selain perang, migrasi merupakan cara yang lain untuk mengatasi persoalan ini.

Kedua, tanah dianggap tak ada lagi harganya karena tak mampu diolah karena manusianya tak mampu mengatasi krisis perubahan iklim. Dampak struktural yang diakibatkan oleh ketidakmampuan orang –orang Flobamora karena tidak mampu menghayati makna tanah air adalah tanah air dianggap tiada. Ketika tanah air dianggap tak ada, manusia tak lagi ‘berumah’, dan tak berdaulat atas hidupnya. Tanah air kehilangan makna sakralnya.

Kondisi ini secara umum membuat orang tak memiliki hak untuk mengatur hidupnya, dan mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menegakkan keteraturan (order), seperti yang telah mampu dilakukan oleh nenek moyangnya, meskipun itu ada dalam skala suku, di tanah airnya sendiri. Ini bukti kemunduran terjadinya pergeseran makna kedaulatan, dari tingkat suku yang berdaulat, ke tingkat republik prosedural yang sarat dengan kamuflase pencitraan. Di aras republik, kita kaum yang baru masuk kultur baca tulis di abad 19, dianggap selalu kurang ilmu dalam hal menegakkan bentuk kenegaraan. Sekian pidato eufemistik merupakan ritual sehari-hari. Mereka yang menentang ketidakadilan dan meledakan dalam pemberontakan dengan mudah disebut perusuh, dan tangan aparat yang kotor pun dianggap berhak menegakkan keadilan yang sudah kehilangan makna.

Menghadapi kondisi di atas, kecenderungan umum yang terjadi di berbagai pedalaman di NTT adalah orang meninggalkan lahan pertanian karena sudah tak mampu beradaptasi dan keluar dari tekanan. Jika dulu parang dan linggis adalah perabot utama para petani dan tanah menjadi sumber hidup. Kini kemana arus uang berputar, di situ lah kiblat manusia berpindah. Krisis terjadi tak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga oleh tekanan manusia lain yang memanipulasi otoritas maupun institusi. Seolah-olah memiliki legitimasi, tetapi dibalik logo jabatan ternyata pejabatnya tak lebih dari pemburu rente semata.

Kita jelas bukan penakluk (invader) yang menawan orang-orang di negeri seberang dalam bentuk kolonialisme (entah ekspansi seberang, maupun bagian dari kolonialisme internal). Kita kini menjadi kaum terusir, dan diam.

Inovasi model kepemimpinan

Ironisnya, ketika sebagian orang NTT terusir dan sistem yang ada sudah menunjukkan jalan buntu, di saat yang sama tidak muncul pemimpin yang bermartabat sebagai tanda perlawanan memperjuangkan hidup. Kita pantas bertanya apa yang sedang terjadi.

Di Ibukota Indonesia, munculnya para pemimpin bermartabat dari tempat lain dan menjadi icon utama di berbagai media massa. Ini memang kemudian menghadirkan kritik sinis bahwa ini merupakan strategi kampanye media. Tetapi orang lupa bahwa popularitas yang bukan ‘karbitan’ tidak mungkin bertahan lama. Popularitas yang sekedar pencitraan tidak akan mampu menyentuh orang di belahan bumi yang lain, kecuali jika para pemimpin dengan sekian keutamaan menjadi tiang-tiang perekat akal sehat yang masih melekat dengan kenyataan. Kharisma para pemimpin semacam ini terbukti mampu menembus jarak.

Sebaliknya, kosongnya pemimpin bertabat di level ‘pejabat pemerintahan’ di NTT semakin menegaskan tidak adanya pengertian publik. Berbagai komponen trias politica yang coba diadopsi oleh kaum yang baru merdeka pasca Perang Dunia ketiga fungsinya menjadi serupa akhir-akhir ini, khususnya ketika para pengisi lowongan pekerjaan yang seolah berbeda itu pun takluk pada logika pedagang. Sebab apa pun posisinya dalam trias politica, bisa dipastikan cost and benefit analysis yang menjadi kerangka analisisnya. Seluruh komponen ada dalam logika matematika pasar, dan free market adalah hafalannya.

Tidak heran kini para pejabat hanya sibuk bersiasat menjadi pemburu rente, dan mengatur jatah catutatan adil didistribusikan. Ketika para jaksa di daerah sibuk menjadi tukang tagih, polisi menjadi pengemis berseragam dan hakim terlilit candu, bukan martabat yang menjadi tolak ukur keberadaan manusia, tetapi kemampuan berhitung dan melakukan kalkulasi kriminal sebagai skill tambahan untuk tetap ada di era reformasi, dan jangan sampai tinggal dalam bui.

Ironisnya, meskipun tontonan kejahatan ini terjadi di sekitar, kita tak punya daya untuk melawan. Ketika aparat penegak hukum be menjadi bagian dari jaringan kriminal, siapakah yang akan menangkap mereka? Apakah mungkin ular menelan dirinya sendiri? Hingga hari ini orang masih meyakini bahwa ‘main hakim sendiri’ adalah kekeliruan. Tetapi pada saat yang sama warga negara juga dianggap tidak memiliki daya.

Di era anarki, politik tidak memiliki makna dan politik prosedural dianggap sebagai ‘kenyataan’ sedangkan ketidaknyataan politik alias kekosongan aksi politis, yang artinya keseluruhan tindakan untuk mempertahankan hidup dianggap bukan sebagai sebuah persoalan.

Menghadapi kebuntuan sistem semacam ini amat tidak mungkin langkah perubahan ditelurkan oleh ‘anak didik rezim tertentu’ sebaliknya inovasi baru sebagai bagian dari upaya bertahan hidup hanya mungkin dilakukan oleh ‘orang’ yang mampu melakukan lompatan. Khususnya untuk mampu mencari strategi bagaimana mengatasi ‘kondisi keterusiran dari tanah air’.

Ketidakmampuan lahirnya pemimpin yang bermatabat ditandainya migrasi orang-orang kalah dalam satu kawasan. Ketika kaumnya terusir, dan pemimpin tak merasakan ini sebagai sebuah tanggungjawab kolektif maka ini lah yang disebut sebagai tragedi.

 

Tentang Penulis:

Dominggus Elcid Li, adalah bekas jurnalis televisi di NTT yang mendapat beasiswa Ford Foundation di tahun 2005. Di tahun 2006 ia melanjutkan studi pasca sarjana di University of Birmingham di Departemen Sosiologi khususnya di bidang media and cultural studies. Di tahun 2008 ia melanjutkan studi PhD di Departemen yang sama di Universitas yang sama, dan dinyatakan lulus di tahun 2013. Kini ia menekuni profesi sebagai peneliti, dan bersama teman-temannya mendirikan lembaga penelitian IRGSC (Institute Resource Governance and Social Change). Saat ini ia aktif mengajar sosiologi klasik di Universitas Pelita Hati Kupang.


Leave a comment

Understanding Middleman in Indonesian Politics


by: Dominggus Elcid Li*

 

Ahmad Fathanah is full with controversy. For some weeks he is under the spotlight of media in relation the mega scandal on manipulating cows’ import quota which is linked to Justice and Welfare Party or known as PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Unfortunately, Indonesian popular media focus too much on Fathanah’s women. For instance, who have been slept with him and how much it cost. While the main narrative and visual given by journalists misleads the public to sexual fantasy, the true reality is forgotten. The media and intellectuals failed to investigate the destructive effect caused by ‘the middlemen role’ in case of corruption which links the public institute, political party, and market.

 

The importance of middleman in politics is almost unknown and it has been neglected in Indonesian social and political science research. The case of Fathanah suggests that a middleman is needed as one functions as the link to different network. Middlemen are in charge to secure transactions of any kind that is beneficial to a party.

 

The new elites and the top leaders of the political parties today are circled by ‘middlemen’. Those who lead the political parties today were also middlemen. They used to be middlemen in Soeharto period. Therefore, we should not be surprised that after a decade those who used to be Soeharto’s aides return and dominate Indonesia politics.

 

The middlemen in Indonesian politics today could be expert staff (staf ahli), aide, and also the treasurer of the party. Officially, expert staff are lower paid but they are attracted to the job as it gives them access to harvest political capital that facilitates financial benefits. Fathanah have proved that an expert staff whose monthly salary is only Rp. 3-5 millions can recorded a total financial transaction of Rp. 1.2 trillions. Many 1998’s activists have been part of middlemen business in local and national political arenas. Having access to good network is the main character of middlemen. They have no specific job description, but they are expected to be able secure transactions to various networks to please the bosses (party leaders, ministries, DPR members).

 

Alternative approaches in social study could be used to explain the role of middleman in corruption. One of the approaches is the social network analysis (SNA) and/or network theory which may address the research gap. Conventional approaches can hardly explain complex network of political transaction. In addition, understanding complex relations of politicians and their middlemen and the private firms is very important in corruption advocacy.

 

Using SNA to unpack the network of middlemen in political parties and also other public institutions has to be the top priority in countering corruption. Today, the criminal network in Indonesia is still free to operate since they are still terra incognita for us. This is a paradox. In the lights of the network theory, the role of middleman as hub can be measured and visualised. It may reveal the fact that the true powerful actors in Indonesia may not the top party leaders, ministries and politicians but their middleman. Some middlemen that transform themselves into leaders such as Nazarudin have proved themselves as powerful agents (or vital hubs) as they play multi levels corruption games. Nazarudin and Fathanah may have proved that middlemen are the powerful tools in parties fundraising but at the same time they can put the parties in jeopardy once their action revealed to the public.

 

According to Barabasi (2003) who studies about complex network system, those who work as hub dominate all structure and also network. Thus, it is not surprise that the impact of the scandal of Fathanah as the middleman and Luthfi Hasan Izaq have shocked the party. The paradox is, while the party’s elites deny the Fathanah’s true roles, it is contradicted with the impact to the party which shows by public outcry on social media.

 

Political Party, Market and Criminal Network

 

In the theory of complex network, the chaotic situation is not an everlasting phenomenon. This idea could be employed to deny the claim that ‘reformation period’ is a never ended transitional period since complexity theory could show that in the crucial time of a transitional period, the anarchy shows its pattern. According to Barabasi (2003) in the crucial point of transition period the power law is applied (or the law of 80/20), which is originated from Parreto, shows that the minority are the dominant elites and the 80% are silent majority.

 

In Indonesian politics elites today have been dominated by the former middlemen in New Order period. They have gripped the political systems with their complex corruption networks. They have also recruited capable middlemen that may have succeeded ‘internal test’ of loyalty. Usually, those who work as middlemen are not new persons or from out circle. Mostly they are from very inner circle. The problem is, it is one should clearly define and identify who are the middlemen first.

 

Internally, the political parties should control the existence of middlemen if they intend to eliminate corruption. They need to map the minority powerful elites including their middlemen. Internal control is significant to reduce the infiltration of mafia network into the party or other public institutions.

 

We suggest that political parties should support and agree to achieve transparent and accountable parties. All political parties should agree that they need cash to win election. Therefore, the existence of middlemen would never be acknowledged by the lay public. Furthermore, the elites have prepared the worst scenario to mimicry when corruption is detected.

 

Here is also the paradox of middleman who is said to be very powerful during the transaction, but he is not the ‘ace card’ which control the final call. In reverse, the middlemen are risk takers. The good news is while they are very powerful; the middlemen are also nodes that are designed to be cut off from the parties’ links once their corruption plot is detected.

 

The condition of ‘cash democracy’ continues to exist since 1998. This puts all political party in the same corruption culture. Today, all of the state institutions in Indonesia have their own middlemen who are linked to privatise the public role as part of anarchic market.

 

If the popular logic of Indonesian media switches the focus from the Fathanah’s women and start to shed some lights on the role of middleman, Indonesian women would not suffer and repeatedly sacrificed. Exploitation on women on media as sexual object should be stopped, and since the media are responsible in co modifying women’s body as part of mimicry to clear traces of the middlemen. The corruption therefore remains.

 

*Researcher in IRGSC, Kupang, NTT.


Leave a comment

Demokrasi tak Hanya Satu Hari


Oleh: Dominggus Elcid Li*

 

Dulu sewaktu masih mahasiswa dalam sebuah kuliah umum pernah ada salah satu pakar periklanan bercerita soal ‘polemik’ Kacang Dua kelinci dan Kacang Garuda. Sang Narasumber bercerita soal protes penonton iklan Kacang Garuda karena Kacang Dua Kelinci diserang oleh Kacang Garuda secara vulgar.

 

Humas Kacang Garuda pun mengirimkan dua kemasan Kacang Dua Kelinci dan Kacang Garuda kepada pemirsa yang protes dan menyelipkan pesan ‘Coba rasakan kedua kacang ini, dan katakan apakah ada bedanya?’

 

Petugas Humas ini lalu menambahkan ‘Sebenarnya Kacang Garuda dibikin, karena Kacang Dua Kelinci tidak ada kompetitornya, jadi dibikin merek baru untuk menjaga kemungkinan masuknya pesaing lain masuk dalam bisnis kacang.’

 

Fenomena partai politik di era pasca Orde Baru mirip dengan dialog soal kacang. Jika ada calon dari dua partai politik atau lebih yang tidak mampu membedakan diri, tentu nasibnya tak lebih dari kacang. Jadi, jika ada dua pasangan calon gubernur yang juga tak mampu membedakan diri antara satu dengan yang lain, lantas apa yang sedang mereka kompetisikan?

 

Dengan tidak tampaknya variabel pembeda antara calon satu dengan yang lain, bisa diduga semakin absurd pula kategori yang dipakai oleh para pemilih dalam mencoblos. Kampanye untuk memilih pun bertumpu pada kemampuan agitasi dan propaganda para agen pemasaran. Tetapi terbukti, di titik tertentu, kuasa para agen pemasaran ada batasnya.

 

Agen pemasaran bisa dikalahkan oleh ‘politik hati nurani’. Ciri utama dari politik hati nurani adalah ‘diri’ (ego/I) tidak pernah menjadi titik sentral dari wacana politik. Hal ini berbanding terbalik dari kondisi terkini saat ‘wajah’ adalah pembeda utama.

 

Kondisi ini semakin absurd jika kita tengok kondisi akhir. Di media sosial caci maki pilkada pun sudah sampai pada level yang amat memalukan. Kita yang membaca sampai malu sendiri, dan bertanya kenapa secara kolektif masyarakat NTT ‘turun begitu rendah’ dalam Pilkada Gubernur NTT 2012? Kita tentu bertanya-tanya mengapa biaya demokrasi prosedural ratusan milyar di NTT ini hanya mencapai level telenovela?

 

Demokrasi Prosedural

Dalam hal terobosan menghadirkan pemimpin, secara kolektif NTT gagal melakukannya. Tak hanya di tingkat provinsi, di lapis dua di tingkat kabupaten/kota pun tak ada pemimpin yang cukup bersinar. Lima tahun ke depan pun nasib NTT masih akan tetap sama. NTT tertinggal beberapa langkah dari provinsi lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

 

Jika di DKI Jakarta ada Jokowi-Ahok, dan Jawa Tengah ada Ganjar Pranowo, di NTT tak ada figur baru yang muncul dan didukung secara luas. Sebaliknya sekian partai politik yang ada cuma mampu melakukan ‘daur ulang’. Mengapa tak ada inovasi kolektif yang hadir di NTT untuk memecah kebuntuan ini?

 

Apatisme tergambar dalam Pilkada Gubernur NTT 2013. Ini bentuk protes keras para pemilih di NTT terhadap gagalnya partai politik menghadirkan calon ideal. Fenomena Golput di NTT terjadi tanpa adanya sebuah gerakan politik terbuka. Artinya orang tidak memilih karena memang tidak ingin menggunakan hak pilih. Jika diam atau bergerak sama-sama tak ada hasil, lantas untuk apa buang tenaga ke bilik suara? Kita akan semakin miris jika membandingkan biaya Dinas NTT Pertanian setahun (kombinasi APBD dan APBN) dan membandingkan biaya Pilkada dua putaran.

 

Perhelatan akbar pemilihan Gubernur NTT kali ini memakan biaya ratusan miliar rupiah, tetapi tidak ada jaminan melalui mekanisme ini akan terpilih figur pemimpin ‘bermanfaat’ untuk NTT. Terhadap kritik ini, sebagian orang berpandangan ini merupakan ‘ongkos belajar’. Namun, tak ada solusi bagaimana kita keluar dari tirani demokrasi prosedural. Pandangan yang hadir cenderung hanya melampirkan pandangan apologis, tanpa ada ‘daya’ melawan.

 

Perubahan sosial di Pulau Jawa dengan munculnya pemimpin ideal di sana, sangat terkait dengan pendeknya ‘rantai perwakilan politik’. Berdasarkan skema demografis maupun kondisi geografis, partai politik di Indonesia didominasi oleh penduduk di Pulau Jawa, terutama di Jakarta. Sementara di NTT, meskipun sudah mengalami otonomi daerah, tidak mengalami otonomi partai politik seperti seperti Aceh. Urusan pencalonan gubernur masih harus menunggu ‘restu orang pusat’.

 

Pengertian ‘pusat’ adalah segelintir orang yang berkuasa dalam partai politik di Jakarta. Sistem ini membuat NTT semakin lambat keluar dari ‘sindrom demokrasi prosedural’ karena siapa yang dicalonkan partai amat tergantung para broker dan Ketua DPP. Siapa yang akan dicalonkan tetap tergantung ‘lobi ke pusat’. Celakanya, siapa yang mendapat ‘restu’ Ketua DPP dia lah yang berpesta, padahal restu Ketua DPP tidak selalu sama dengan kehendak rakyat. Demokrasi prosedural yang ada dalam tawanan para broker ini pula yang menjadi persoalan kita.

 

Pilih Kulit Durian

Kondisi ini diperparah dengan model pseudo democracy yang berlaku di NTT. Secara umum kita masih ada dalam ‘rumah politik suku’. Konsep politik publik tidak dikenal, dan lebih didominasi oleh ‘politik rumah suku’. ‘Jaringan politik’ yang dikembangkan tim sukses selalu menuju pada jaringan rumah suku. Bahkan para calon berlomba untuk mendapatkan gelar ‘tokoh adat’ dan memanipulasi seluruh simbol adat dan sejarahnya.

 

Dari satu sisi hal ini merupakan upaya untuk membangun kedekatan, sekaligus merupakan cara hybrid untuk dianggap bagian dari satu suku, di sisi lain ini merupakan tindakan manipulasi, kembali pada politik kacang, hanya ganti kemasan. Ganti kulit, rasa sama, golput jadi hal biasa. Salah pilih, dapat kulit durian. Tidak memilih, juga kasihan.

 

Memimpin warga NTT tanpa legitimasi yang kuat merupakan pekerjaan berat. Skema kerja prioritas harus dibikin. Contohnya Rumah Sakit Umum Provinsi NTT, RSU Prov.WZ.Johannes, yang merupakan ‘dosa peninggalan’ dari Duo Fren (Frans dan Eston) harus dibenahi. Jika tidak mampu sudah sepantasnya Gubernur terpilih dengan berbesar hati harus mundur.

 

Standar etika politik harus ditegaskan. Mundur dari jabatan harus menjadi tradisi. Sebab menjadi pejabat publik bukan merupakan urusan personal, tetapi merupakan ‘tanggungjawab peradaban’. Jika dokter dicabut izin praktenya karena malpraktek, mengapa gubernur/wakil gubernur tidak bisa ‘dijewer’ meskipun sudah jelas mengakibatkan kematian sekian bayi di RSU karena salah urus?

 

Sudah selayaknya kita di NTT membuat terobosan dalam mengawasi mafia partai politik. Jika demokrasi hanya dimengerti sebagai demokrasi prosedural, maka sistem penopang lain harus dibangun, dan perlawanan kolektif harus kita lakukan. Misalnya dengan mendirikan Dewan Etik Provinsi NTT yang fungsinya mengontrol para pemenang pilkada. Dewan Etik berbeda dengan DPRD, Dewan Etik tidak ada urusannya dengan partai politik maupun tetek bengek demokrasi prosedural, Dewan Etik langsung berkaitan dengan hidup. Dewan Etik Provinsi NTT berhak menegur langsung para pemimpin pilihan satu hari. Dewan Etik merupakan mekanisme kontrol masyarakat NTT atas ketidakberdaulatannya.

 

Terobosan ini tidak mungkin dilakukan tanpa aksi kolektif. Jika orang bertanya ‘bagaimana prosedurnya untuk melawan’ tentu proklamasi tidak pernah dilakukan, sebab orang yang melawan adalah orang yang memiki imajinasi keluar dari tawanan prosedur kolonial, dan menetapkan jalur perlawanan, terutama terhadap sistem yang menindas. Selama orang memilih menjadi mayoritas diam dan pasif, selamanya pula kita ada dalam tawanan. Selama kaum kelas menengah memilih menjadi ‘elit munafik’, selama itu pula politik hanya di-isi oleh para badut berseragam, dan baliho di pinggir jalan tak lebih dari jejeran foto model pangkas rambut, dan bukan wakil rakyat.

 

Keterpurukan di segala lini yang dialami NTT tidak mungkin dijawab dengan ‘demokrasi satu hari’. Jika fokus hanya pada satu hari, maka ‘manipulasi’ merupakan trend umum. Manusia munafik menjadi pemain utama dalam demokrasi prosedural. Ketika hasil jauh lebih penting daripada apa pun, etika proses dianggap tiada.

Refleksi kritis keberadaan NTT dalam lima dekade harus mampu kita lakukan, untuk melenyapkan sisa-sisa kolonialisme dalam Republik. Meskipun, dalam era anarki pasar, nyaris tak ada satu institusi pun yang luput dari proses jual beli, dan ini membuat segala jenis intervensi yang akan dilakukan selalu padat dengan catatan kaki (baca: life is not for sale).

 

* Penulis adalah anggota Forum Academia NTT

 
Tulisan ini pernah dimuat di Victory News


Leave a comment

Ahmadiyah di Era Reformasi


http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/10/09/Opini/krn.20101009.214212.id.html

 

Dominggus Elcid Li

 ANGGOTA FORUM ACADEMIA NUSA TENGGARA TIMUR

Ironis sekali nasib jemaah Ahmadiyah pada era reformasi. Pada era yang diasumsikan sebagai era pembaruan, mereka malah diancam dibubarkan oleh Menteri Agama dan telah menjadi target penyerangan sporadis. Sebaliknya, pada era penguasa otoriter kelas berat (baca: Soeharto), nasib mereka malah tidak sampai seterpuruk ini. Kenyataan ini membuat orang menelusuri ulang strategi pemerintah dari zaman ke zaman.

Benar kata pepatah bahwa setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Pertanyaan susulannya, bagaimana agar “mereka yang lain” tidak disingkirkan hanya karena berbeda. Secara khusus perlu dikaji ulang, bagaimana demokrasi bisa diluputkan dari tirani orang banyak. Tindakan totaliter ditandai dengan pemahaman untuk meletakkan kelompok lain sebagai obyek yang diatur.

 

Ruang publik

Bagaimana menyelesaikan persoalan keyakinan di ruang publik merupakan persoalan terbaru. Sebab, dinamika global menunjukkan kebangkitan institusi keagamaan, yang pernah dianggap surut seiring dengan kuatnya sekularisme di Eropa. Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai warga negara Indonesia menyikapi persoalan ini.

Persoalan Ahmadiyah tidak bisa hanya diletakkan sebagai perkara partikular semata. Sebab, di aras yang paling dasar partikularisme yang dimaksud tidak bisa menggantikan dasar negara. Pada era Orde Baru, Soeharto menggunakan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sebagai elemen istimewa dalam mengelola negara. Bagi warga di luar TNI Angkatan Darat, suaranya menjadi kurang penting. Posisi TNI Angkatan Darat sendiri merupakan elemen istimewa dalam barisan nasionalis.

Kini, jika perlakuan terhadap Ahmadiyah diletakkan sebagai isu yang partikular, lantas siapakah yang dianggap memiliki wewenang dalam menyelesaikan perkara ini? Era otoritarianisme Soeharto kita lewati dengan susah payah dalam tiga dekade. Sebaliknya, pada era reformasi, kita tidak memiliki elemen koersif yang mampu melindungi semua golongan secara sama dan adil. Bagaimana posisi institusi negara dalam memberikan perlindungan bagi warga negara yang berbeda-beda masih merupakan tanda tanya besar.

Retorika mayoritas-minoritas menghadirkan status masyarakat kelas dua. Dengan sendirinya dalam logika ini, kita diposisikan ada dalam struktur masyarakat vertikal. Strata sosial baru yang sedang tumbuh pun menggunakan institusi negara yang semula sekuler untuk menghilangkan yang berbeda. Jelas tidak mudah menentukan benar atau salah jika menyangkut keyakinan, dengan sendirinya legitimasi untuk menghancurkan merupakan klaim pencipta. Padahal, dengan menurunkan status pencipta ke bumi, dengan sendirinya menghilangkan pengertian Yang Maha Kuasa. Sebab, amat sulit melihat wajah pencipta dalam naluri kematian.

Retorika tentang sekularisme di Indonesia umumnya disederhanakan sebagai turunan ide dari Eropa tentang tidak mengenal Tuhan atau ateis. Sebaliknya, pengertian sekuler sebagai ruang yang amat sementara untuk bertemu dan berdialog dengan mengasumsikan bahwa kita tidak paling benar, cenderung dipinggirkan.

Tentu pertanyaannya bukan lagi pada benar dan salah. Tapi, dalam persoalan yang amat pelik berkaitan dengan persoalan keyakinan yang silang sengketanya lebih panjang dua milenium, kita wajib bertanya bukan dengan cara memurnikan kebenaran, melainkan apakah ini yang terbaik. Apa gunanya melekatkan kebenaran dalam sebuah tindakan jika itu bukan yang terbaik.

Persoalan keyakinan, khususnya menyangkut agama dengan akar Nabi Abraham atau Ibrahim, jangkauannya jelas bukan seumur keberadaan negara. Umurnya jelas lebih panjang dari 2.000 tahun. Tantangannya, bagaimana kita di Nusantara saling bertemu untuk berdialog dalam perbedaan.

Tentu persoalan keyakinan tidak untuk dikompromikan, tapi bagaimana kita sebagai manusia bisa hidup berdampingan dalam ruangan yang sama, bukanlah persoalan keyakinan. Perbedaan memang bukan untuk ditiadakan dalam langgam sekularisme yang ketat, melainkan sebaliknya dicarikan jalan keluar agar kita yang berbeda ini bisa saling berbagi ruang hidup dengan tetap berbeda.

 

Dua milenium

Seberbeda apa pun kita, manusia, masihlah tinggal di bumi yang sama. Meskipun berbagai institusi diciptakan dan dianggap menjadi pembatas. Berita penemuan planet baru serupa bumi, tidak dengan sendirinya memberi kemungkinan agar manusia mampu memilih ruang khusus agar bisa tinggal dengan kaum yang serupa.

Sebaliknya, hingga kini bumi masihlah satu-satunya planet yang layak huni dengan keberadaan manusia yang amat berbeda. Di titik ini, sengketa persoalan keyakinan pun bisa ditatap dari angkasa luar. Entah apa refleksi seorang yang beriman ketika berziarah ke angkasa luar dan melihat spesies manusia di bumi. Sebab, jagat yang gelap dan ujung tak pernah bisa dipijak, lantas mengapa persoalan keyakinan diperlakukan seperti pasir dalam genggaman yang setiap butirnya bisa dihitung?

Menimbang persoalan keyakinan yang sifatnya transnasional atau melampaui batas negara memang sudah tidak memadai lagi jika hanya diletakkan sebagai persoalan manusia di kawasan yang bernama negara. Sebaliknya, pada abad ke-21 ini, dengan naiknya kembali berbagai institusi agama dalam percaturan dunia, maka kita diajak untuk melihat persoalan keyakinan dalam teropong seorang astronot yang sedang memandang planet bumi. Dalam hal keyakinan, negara memang bukan merupakan batas nyata, namun negara hanya merupakan kawasan hidup bersama. Menemukan kesepakatan untuk mampu hidup bersama merupakan tantangan manusia abad ke-21 yang tinggal di satu kawasan yang disebut Indonesia.