Oleh: Dominggus Elcid Li*
Persoalan perdagangan orang sering kali disederhanakan hanya sebagai persoalan administrasi atau pemalsuan dokumen, sehingga fokus orang hanya terjerat dalam frase ‘legal’ atau ‘ilegal’. Legal diartikan sebagai berdokumen resmi, sedangkan ilegal artinya bisa dokumen palsu (secara keseluruhan), atau dokumen aspal (asli tapi palsu). Berdasarkan perspektif ini para pengambil kebijakan mengambil kesimpulan bahwa ‘layanan satu atap merupakan’ cara yang paling efektif untuk memberantas pemalsuan identitas yang berujung pada perdagangan orang.
Penulis berargumentasi bahwa pemalsuan dokumen merupakan sebuah indikator awal, tetapi bukan substansi utama. Substansi utama dalam ‘perdagangan orang’ adalah ‘eskploitasi manusia’ (Lihat Pasal 3 Protokol Palermo). Jika para pembuat kebijakan ‘hanya’ fokus pada dokumen semata, maka sudah bisa diduga tindakan antisipasinya cenderung terbatas pada pemalsuan dokumen. Kelemahannya, dengan hanya fokus pada obyek atau bukti tertentu bisa memindahkan fokus. Fokus dalam perdagangan orang tidak hanya bukti administratif, tetapi perlakuan manipulatif dan dan eksploitatif.
Memang berdasarkan Data Perdagangan Orang (DPO) NTT Tahun 2014 yang diolah IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change) dari liputan tiga koran utama di NTT menunjukkan sebanyak 88% korban perdagangan orang (n=1038) yang berasal dari NTT dokumennya dipalsukan. Tidak bisa dibantah bahwa fokus pada dokumen akan memangkas ‘pengiriman pekerja anak’ sebagai korban perdagangan orang, dan memang sebanyak 10% korban perdagangan orang tahun 2014 adalah anak.
Namun jika hanya fokus pada pemalsuan dokumen semata bisa dianggap menggeser ‘aksi kriminal’ perdagangan orang’ yang dilakukan PPTKIS, maupun para pelaku lain. Fokus pada persoalan administrasi semata cenderung mengabaikan hak para pekerja mulai dari fase rekrutmen, penampungan, pengiriman, hingga saat sedang bekerja.
Melampaui Perkara Administrasi
Masalah dasar eksploitasi terhadap korban perdagangan orang cenderung tidak dibaca oleh para pengambil kebijakan. Contohnya, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan Komnas Perempuan tahun 2015, seorang pejabat BP3TKI NTT menyatakan bahwa BP3TKI tidak menangani perdagangan orang, karena hanya menangani mereka yang berdokumen resmi. Ketika itu penulis menjawab dengan bertanya ‘bagaimana dengan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan PPTKIS di tempat penampungan’ sekalipun mereka memiliki identitas asli.
Fokus lanjutan untuk memetakan aksi perdagangan orang perlu dibuka dimulai saat rekrutmen, penampungan hingga bekerja yang bisa dilakukan oleh PPTKIS (yang memang memiliki izin merekrut). Perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh CTKI (Calon Tenaga Kerja Indonesia) di tempat penampungan yang seharusnya bisa dikategorikan sebagai ‘perdagangan orang’ perlu dibahas. CTKI yang tinggal dalam kondisi tidak layak, dikurung dalam tempat penampungan ibarat penjara,
Berdasarkan kajian IRGSC sebanyak 61% korban perdagangan orang di tahun 2014, pelakunya adalah PPTKIS. Jadi pertanyaannya bagaimana para pembuat kebijakan mengembangkan instrumen pengawasan maupun indikator ‘layak’ yang tidak hanya fokus pada aksi pemalsuan dokumen, tetapi juga ikut memikirkan definisi operasional ‘pengawasan PPTKIS’ maupun jaringan yang sifatnya individu berantai.
Tidak mungkin pemerintah maupun para pembuat kebijakan hanya memberikan insentif terhadap PPTKIS, tanpa mengembangkan mekanisme kontrol terhadap PPTKIS. Misalnya bagaimana secara serius para pihak mengkaji perlakuan PPTKIS terhadap tenaga kerjanya. PPTKIS perlu membuka mekanisme kerjanya untuk dinilai. Selain terkait proses rekrutmen, dan penampungan juga terkait gaji yang diterima oleh TKI.
Perdagangan orang “dalam” negara
Salah satu persoalan konkrit yang terjadi di Indonesia dalam menangani kasus Perdagangan Orang adalah membedakan antara ‘perdagangan orang’ dan ‘migrasi pencari kerja biasa’. Hingga saat ini tidak ada mekanisme yang mengatur tentang bagaimana menangkal perdagangan orang “di dalam” Negara Indonesia.
Jika melihat peta jaringan perdagangan orang, titik utama tidak hanya menuju ke luar negeri, tetapi yang lebih tidak terdeteksi adalah ‘migrasi pekerja’ di dalam wilayah Indonesia. Jumlah mereka yang tercatat media sebanyak 27%, tetapi jumlah sesungguhnya bisa dipastikan lebih besar. Area penyebaran pekerja asal NTT mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Memastikan bahwa mereka bukan lah korban perdagangan orang merupakan kewajiban.
Kasus-kasus yang mencuat bukan hanya kasus di negeri jiran negara tetangga, tetapi ‘pekerja migran’ asal NTT di berbagai provinsi lain di Indonesia. Sayangnya tidak ada satu pun lembaga negara yang fokus pada persoalan perdagangan orang.
Kasus perdagangan orang masih dianggap sebagai persoalan biasa, dan belum diletakan sebagai serious crime. Dibandingkan kejahatan perdagangan narkotika, perdagangan orang belum mendapatkan tempat sama sekali.
Majalah Tempo beberapa waktu lalu mengangkat soal perdagangan organ tubuh di DKI dan Jawa Barat. Hampir bisa dipastikan aparat keamanan di NTT belum siap menghadapi jenis perdagangan model ini. Dalam beberapa kasus yang tidak dapat dikonfirmasi di NTT, dicurigai beberapa TKI juga merupakan korban ‘perdagangan organ tubuh’. Tubuh mereka bekas dioperasi, namun mereka tidak dapat mengingat apa yang terjadi.
Catatan untuk Kapolda NTT (Baru)
Modus perdagangan orang tidak lagi mengambil jarak antar negara, tetapi antar provinsi namun untuk memenuhi global supply chain. Fokus para pengambil kebijakan dan polisi masih mengandaikan sentra ‘kerja’ hanya ada di negeri jiran. Kita tidak mengantisipasi jika sentra produksi global digeser ke dalam Indonesia. Contoh kasus perdagangan orang di Indonesia terjadi pada para pekerja asal NTT yang bekerja pada sisi produksi sarang burung walet di Medan (Sumatra Utara), dan para pekerja asal NTT yang bekerja di Kalimantan Tengah dan Timur di perkebunan sawit.
Produksi sarang burung walet Medan diekspor ke Hong Kong, yang menjadi simpul global distribusi sarang burung walet. Sedangkan untuk produksi sawit, jika kita jeli membuka catatan perusahaan, ternyata kantor pusat perusahaan perkebunan sawit memang berada di Kuala Lumpur. Perusahaan yang sama juga mengelola perkebunan sawit bekerja di Borneo Utara (Malaysia).
Kasus perdagangan orang di Medan merupakan salah satu kasus yang layak dibuka untuk Kapolda NTT baru–maupun Direskrimum baru. Hingga hari ini kasus perdagangan orang asal NTT yang terbuka pada Bulan Februari 2014, dan memakan dua korban jiwa BAP-nya di Polresta Medan (Sumatra Utara) cacat dan ditolak jaksa. Puluhan perempuan asal NTT bekerja bertahun-tahun tanpa boleh keluar dari lantai atas gedung pengolah sarang burung walet. Upaya untuk menuntaskan kasus ini mendapatkan tantangan dari pihak kepolisian di Sumatra Utara.
Dokumen lengkap beserta video dokumenter terkait kasus Medan pernah penulis serahkan langsung ke tangan Presiden Republik Indonesia, Presiden Jokowi di Istana Negara pada Bulan Agustus 2015 mewakili para korban dan Ampera (Aliansi Menolak Perdagangan Orang). Hingga hari ini penulis masih menunggu bukti bahwa Presiden Indonesia Joko Widodo tidak menipu. Tentu ‘tipuan’ itu sifatnya bukan personal, tetapi dalam skala negara, apakah mungkin seorang Presiden tidak mengingkari janji untuk memberikan keadilan untuk warga negara yang teraniaya. Apakah jajaran kepolisian RI ada di bawah komando Presiden? Jika ‘ya’ kenapa kasus yang tercatat lengkap tidak ada kelanjutannya?
Dokumen yang sama akan diserahkan kepada Kapolda NTT sekedar untuk membuktikan bahwa dalam hal penegakan hukum aslinya ‘Indonesia sudah mengalami disintegrasi’. Sebab meskipun komando teritorial masih ada di berbagai wilayah, namun fungsi penegakan hukum dalam wilayah Republik Indonesia (khususnya antar Polda) sangat tidak memadai. Mudah-mudahan anggapan ini keliru. Sebab dalam teori, ketika Negara pupus, anarki semakin menjadi-jadi.
Perkara-perkara ini cukup pelik, padahal kita belum lagi bertanya, apakah yang legal itu memang memiliki legitimasi? Sebab legal dan legitimasi meskipun memiliki irisan pengertian, tetapi bukan dua hal yang sama.
Tanpa penguasaan substansi ‘perdagangan orang’ dan memahaminya sebagai jenis kejahatan serius kita cenderung hanya berbicara soal dokumen. Sebab di tataran kriminal para penegak hukum tidak mampu mendefinisikan bukti kejahatan selain dokumen tertulis.
Untuk menghadapi hal ini mau tidak mau, Polda NTT dan jajarannya perlu mengadakan pendidikan khusus untuk membuka apa yang disebut perdagangan orang. Agar kemampuan para penyidik dapat mendekati tantangan yang sedang dihadapi, agar ‘rasa manusia’ tidak hilang.
*Penulis adalah Peneliti IRGSC. Data bulanan perdagangan orang di NTT dapat diakses di www.irgsc.org