Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Jon Dos Santos (10): Cari Hidup Kira-Kira di mana?


Cari hidup kira-kira dimana?” tanya Jon Dos Santos seorang anak Tim-Tim (Timor-Timur) di sebuah pertigaan Kota Kupang pada pertemuan pertama , 14 Maret 2001. Lontaran kalimat Jon mudah sekaligus suli untuk dijawab. Mudah jika diam, menutup mata serta terus berjalan; dan sulit ketika harus memberi arti dan terus bertanya. Jon langsung menjawabnya sendiri, “ “Beta tau cari hidup di orang kaya punya rumah, nanti kalau ketong (kita, Bhs. Melayu Kupang) kerja di situ paling-paling ketong dapat uang.” Jawabannya singkat, mengatasi keadaan.

14 Maret 2001
Bertemu dan mendengarkan cerita Jon Dos Santos seolah diajak membayangkan ketakutan dari masa kanak-kanak. Dalam usia 10 tahun Jon telah kehilangan orang-orang terdekat serta ingatan tentang kisah yang telah dilampaui.

Bocah bertubuh kurus, hitam dan mata berkilat ini mengaku telah yatim piatu sejak bapaknya terbunuh saat gelombang pengungsian keluar dari Timor-Timur berlangsung, pasca jejak pendapat di akhir Bulan Agustus 1997. Kabar ini diperolehnya dari pengungsi yang ada di Kupang. Padahal sebelum itu Jon, bapaknya dan 50-an orang temannya telah ke Kupang, sebelum gelombang eksodus besar-besaran terjadi namun bapaknya memutuskan kembali ke Timor-Timur untuk mencari pekerjaan. Jon pun ditinggalkan di Gereja Ebenhaezer, Kupang.

Ia bercita-cita ingin menjadi tukang isi bensin, tetapi ia kadang juga ingin menjadi polisi agar bisa membalas dendam pada tentara. Jon sama sekali tak mengingat nama ibu dan saudaranya yang berjumlah 6 orang. Yang diingat hanya penggalan nama bapaknya. “”Dos Santos itu dia punya nama,” katanya singkat. Jon kecil sudah tak mengingat nama kampungnya. Ia hanya mengingat nama kabupaten: Ermera. Lain dari itu telah pupus dan jadi anonim. Bahkan kerap kali dia harus siap memberi nama baru untuk setiap kisah di masa lampau ketika pertanyaan normatif tentang keluarga dilontarkan.

Jon selama tiga tahun dipungut anak oleh seorang ibu yang biasa ia panggil dengan sebutan ‘Aci Leang’. Ia bisa tinggal di rumah, sekolah dan diberi makan dengan imbalan kerja. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan menjajakan kue & es manis telah menjadi pekerjaan sehari-harinya.

Setiap harinya Jon berjalan berkilo-kilo meter untuk menjual kue dan es. Satu tangannya membawa keranjang kue dan sebelahnya lagi menjinjing termos es. Jon terlihat kesulitan membawanya, apalagi jika kue & es masih penuh, belum laku. Tentu berat. Meski tangannya begitu kecil, bebannya tetap terangkat.

Daerah terlaris ada di tempat pengisian bahan bakar. Untuk pergi ke sana Jon harus berjalan 3 Km. Di hari libur Jon berjualan dari jam 6 pagi sedangkan di hari biasa ia berjualan sejak jam 1 siang usai sekolah.

Jon paling suka pelajaran matematika. Ia mendapat nilai nol,delapan, dan sembilan untuk pelajaran ini. Pada hari itu Jon dikawal Mery, seorang gadis sebaya yang bertugas menghitung kue yang diambil pembeli. Sebab kemarin Jon tekor sampai lima ribu, karena beberapa pemuda yang membeli jajanannya di tepi pantai menghardiknya untuk berbalik ke laut agar tak menghitung kue yang mereka makan.

Ceritanya mengalir lepas. Gambaran ketakutannya telah leyap. Ia telah melewati titik ekstrim ketakutan untuk merasakan kehilangan namun kepedihan masih jelas tergambar dari suaranya yang lirih dan tatapan matanya yang bergerak cepat tanda risau. Ia bisa tersenyum perih, memamerkan gigi putihnya namun tak sekalipun tertawa lepas.
Saat itu hampir jam 3 sore ketika kutanyakan padanya, “Sudah makan Jon?”

“Belum,” jawabnya.

“Sonde (tidak) lapar?”

“Beta sonde tau apa yang ada di dalam beta pung (punya) perut, tapi beta sonde rasa lapar,” katanya sambil tersenyum perih. Jon kecil pandai menghalau lelah, bila telah cape berjualan Jon berenang telanjang bulat di laut. “Beta telanjang saja, beta sonde malu,” katanya.

Dua pertanyaannya tak mampu kujawab hari itu.

“Sepuluh tahun itu sudah tua ko?”

“!”

“Kalau lu pung bapak dibunuh masa lu sonde balas dendam, karmana (bagaimana)?”

“!”

Pertanyaan Jon yang tak terjawab ini rasanya mirip dengan tema Film India dan Hong Kong yang kerap mengkampanyekan balas dendam. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Awan hujan menggantung saat kami berpisah di sebuah pertigaan yang lain.

15 Maret 2001

Jam 7.30 pagi tanggal di 15 Maret 2001 kami bertemu untuk kedua kali —dan terkakhir. Jon pergi menjual kue tanpa Mery dan saya pergi mencari nara sumber. Kami pergi bersama, tanpa banyak bercakap, dan berpisah di tempat sama tempat kami bertemu kemarin: di sebuah pertigaan sepi. Mulanya tak ada dalam pikiran ini adalah pertemuan dengannya yang terakhir. Terkaanku salah, tapi bukankah tak setiap kenyataan dapat ditebak?

Awal April 2001
Sejak itu Jon tak pernah tampak dengan keranjang kue dan termos es-nya. Dari Vini, teman sekelasnya di SD Inpres Perumnas I, Pasir Panjang, Kupang, didapat kabar bahwa Jon tak lagi berjualan, sudah tidak bersekolah dan juga tidak tinggal lagi bersama Aci Leang. Dari isu yang berhembus, ia kerap dipukul induk semangnya itu, dan memilih kabur.

29 Mei 2001
Menurut Aci Leang, ia pernah diberitahu tetangganya bahwa Jon berjualan tas plastik di Pasar Oeba. Ia berusaha mencarinya tapi Jon sudah tak ada. “Mungkin ia takut dan sembunyi,” katanya. Aci Leang mengaku mengambil Jon sejak awal tahun 1997 dari sebuah “LSM” yang mengambil anak-anak miskin di daerah yang terancam kelaparan di Tim-Tim tahun dan rencananya hendak ditempatkan di sebuah panti asuhan. Namun karena kucuran dana tak ada, maka panti asuhan itu pun membagi anak-anak Tim-Tim kepada para jemaat. Aci Leang mengaku membayar 100 ribu rupiah, sebagai ganti ongkos transportasi dari Dili ke Kupang.

“Nama sebenarnya adalah Ago Pito, saya yang mengubahnya menjadi Jon Dos Santos. Jon kabur karena dipengaruhi oleh seorang anggota Brimob asal Tim-Tim. Ini memang salah saya karena menyuruhnya berjualan, kalau tidak ia tidak mungkin lari sebab ia tidak mungkin dipengaruhi orang lain,” cerita Aci Leang. Menurut Aci Leang, Jon suka berkelahi. Beberapa orang tua murid pernah mendatanginya karena anak mereka dipukul Jon.

Menurutnya Jon sebenarnya masih memiliki orang tua. Namun Jon selalu bilang padanya, “Beta pung orang tua sudah mati, kalau masih hidup, kenapa dong (mereka) sonde cari beta?” Aci Leang juga mengatakan akan meminta LSM itu untuk membayar kembali semua uangnya, jika Jon dikembalikan ke Tim-Tim sebagai ganti ongkos pemeliharaan. Menurutnya selain Jon, ada 57 anak lain saat itu yang dibawa dari Tim-Tim. Sebagian telah dipulangkan dan sebagian lagi tetap ditahan karena telah terampil bekerja, dan ditahan induk semangnya.

Cerita riang yang biasanya memenuhi masa kanak-kanak, sepertinya jadi satu mimpi yang tak kunjung muncul dalam tidur anak Tim-Tim di daerah diasporanya. Di Timor Barat, di camp pengungsian, dan di tempat lainnya di mana kasus anak-anak yang terpisah dari keluarga, tanah, dan tradisi leluhurnya tak pernah disebut.

Dan jika hidup itu ibarat puzzle, Jon atau Ago Pito sedang dibawa untuk menemukan serpihan gambarnya. Entah ke mana angin hidup telah membawa kembang ilalang kecil itu? Saat ini diperkirakan 100 ribu hingga 120 ribu jiwa warga asal Timor-Timur ada di Timor Barat. Dalam hitungan angka pengungsian: anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia ini tenggelam; ini sekedar sebuah ingatan sebelum semuanya menjadi anonim di negeri yang terserang amnesia akut.

Meski harapan terbitnya damai dan harumnya ilalang di padang savanna terus terselip di sela bibir–dalam doa, namun sering kali anggapan tentang damai telah menjadi suatu keniscayaan ketika terus ditabrak dengan kenyataan keras. Jon Dos Santos adalah satu dari sekian anak Timor-Timur yang terhempas ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Tenggara Barat dan NTT. Mengomentari keadaan ini Uskup Baucau, Mgr.Bacilio Nascimento, SDB di Kupang (31/5) mengatakan, “ This is very big problem but unfortunately I have no solution, also I know this is one reality.” (elcid)

Lampiran Foto:
1.Kupang, 14/3 2001, Jon Dos Santos (10) saat masih berjualan kue di saat liburan catur wulan (cawu) II. Mery temannya berjualan tak mau difoto. Mery menghindar, tinggal di kejauhan.

2.Bulan April 2001, di tepat pengisian bahakn bakar ini biasanya Jon menjual kue dan es manis. Beberapa penjual di tempat yang sama adalah anak-anak Tim-Tim yang berjualan agar tetap sekolah.

Advertisement


Leave a comment

Blog Tinneke Carmen


Sebuah telur pecah lagi–di kepala saya. Kali ini dari Tinneke Carmen yang biasa dipanggil Tina, salah seorang penulis, rekan di forum academia NTT, yang kini masih bekerja di Liputan6.com website milik SCTV, sebuah stasiun TV swasta, di Indonesia.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang ia kerjakan selama kurang dua tahun di sela-sela kerjanya sebagai editor. Jejak awal tulisan pada tahun 2004, merupakan tanda kehadiran dunia bloggers Indonesia. Selama waktu bergulir selama itu pula tulisan-tulisannya mengalir, dan membentuk danau buku.

Kenapa judulnya Blog Tinneke Carmen? Ia menjawab singkat, “Ini kumpulan tulisan beta di blog.” Ringkasnya, buku ini merupakan catatan atas hidupnya. Ketika ditanya, buku ini berkisah tentang apa, ia hanya memberi satu kalimat, “Tulisan Pak Polisi ada di situ.”

Memang, Bapaknya adalah seorang polisi.

Tulisan ini dulu ia bacakan sambil menangis, sesaat sebelum pemakaman Bapaknya, yang meninggal satu tahun lalu di Kupang. Gambaran tentang polisi ideal, dan profil hidup seorang Bapak yang polisi hadir menyilang dalam tulisan.

Penulis yang hadir sebagai pelayat waktu itu hanya bisa diam diantara para polisi dan juga para purnawirawan polisi yang diam mendengar penulis membaca tulisan itu. Siapa sangka ziarah hidup sang Bapak yang polisi itu bisa ditelusuri. ‘Anak asrama’ menulis buku, siapa sangka?

Di Kupang tenda duka, biasanya adalah tenda tawa juga. Sebab itu jangan heran dalam tenda duka itu para purnawirawan polisi lain saling bertemu dan bertukar tawa dan pe’e gigi alias ketawa ‘besar-besar’. Sebab semakin hari dalam hitungan matematis yang ada adalah semakin berkurang, dan yang lainnya membatu menjadi nostalgia. Dalam pertemuan para purnawirawan polisi, dan lewat tawa mereka berbisik, “Sapa lagi punya giliran bikin tenda?” atau, “sapa lagi yang akan jalan duluan?”

Dua kalimat tanya ini mewakili fase ketiga dalam hidup: lahir, menikah, dan mati. Ketiga titik waktu yang selalu dirayakan dalam tradisi dan kultur mana saja. Ya, Albertina S. Calemens., memang merayakan itu dan kado untuk akhir untuk Pak Polisi.

Dan, amat jarang seorang anak menulis tentang orang tuanya, serta dibingkai khusus menjelang pemakaman. Sebab memang sedikit, ada anak yang mampu kembali pada titik waktu kecil dan berdialog dengan apa saja yang telah terjadi. Sederhananya, semua orang bisa pergi, tapi tidak semua bisa kembali.

Keping tulisan Pak Polisi, obituari seorang anak atas bapaknya, menjadi salah satu gugus kata dalam buku ini. Sejak Bulan April 2006, bukunya, terbitan Gradiens Book Jogja, sudah bertengger di jejeran rak buku dua toko besar ternama di Indonesia, sebut saja Gramedia dan Gunung Agung.

Jadi, kita boleh berharap Toko Buku Gramedia di Kupang sudah menyediakannya juga sehingga jejak penulis-penulis muda Flobamora, akronim dari beberapa pulau besari di NTT , ini tidak terputus. Tulisan ini merayakan kelahiran sebuah buku, telur yang pecah, yang dibuat Tina. Satu tahun sudah buku itu sudah diterbitkan. Ini adalah ulang tahunnya yang pertama. Siapa menyusul? (EL)


Leave a comment

Ada Apa Dengan Pilkada?


Oleh: Dominggus Elcid Li

Judul tulisan ini memang meniru judul sinetron laris para ABG, yakni Ada Apa Dengan Cinta (AADC), dan ABG di sini memang akronim untuk anak baru gede alias remaja tanggung. Keduanya sengaja dipakai sebagai kata-kata perekat, untuk menjawab pertanyaan: apakah benar proses pemilihan walikota Kupang kali ini menunjukkan fase berpolitik kita masih berada dalam tahap ABG?

Usia dan kualitas ‘berpolitik’

Soal usia menjadi penting disimak karena umur para pelaku utama politik di Kupang saat ini rata-rata di atas empatpuluh tahun, dan sebagian lagi di bawah 40, namun di atas 30. Di usia 40, orang biasanya berharap bahwa ia sudah semakin matang dalam menjalani hidup, dan memang dari pemahaman rentang umur dalam hidup maka muncul lah idiom life begins at forty. Tetapi apakah kata-kata sejuk ini juga berlaku dalam proses politik?

Jawabannya bisa ‘ya’, ‘tidak’, ‘keduanya’, dan ‘tidak dijawab’. Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini? Liputan detil dari berbagai harian yang terbit di Kupang, terutama Pos Kupang, menginformasikan berbagai konflik para pelaku politik menjelang pemilihan. Mulai dari debat seputar sakitnya walikota, ketidakharmonisan diantara wakil walikota dan sekretaris, juga ketidak-akuran diantara ketua dewan dan wakilnya, dan lainnya. Jadi memang agak mirip dengan kisah sinetron para ABG saat pacaran.

Lalu apakah ini tidak wajar? Jika pertanyaan ini coba dijawab dalam gambaran situasi politik Indonesia, maka konflik-konflik semacam ini adalah wajar. Bahkan ini menjadi menu utama. Bahkan, bagi para tim sukses mempelajari berbagai alur cerita ini menjadi keharusan, sehingga dari proses yang sepertinya serba tidak jelas ini bisa didapat benang merah yang membuat peluang menang semakin ada.

Terkadang, konflik pun dibuat skenarionya sehingga peta pemilihan tidak mudah dibaca, kecuali bagi mereka yang memiliki informasi ke lingkaran dalam. Ini pun tidak mudah, karena mereka yang mempunyai akses pun semuanya bertarung dan mengambil bagian, sehingga tidak mudah mencari orang yang mampu merangkai seluruh kejadian ini menjadi satu cerita yang utuh.

Singkatnya, bagi masyarakat luas, saat ini kita perlu menjadi penonton yang baik, dalam arti kita melihat dengan saksama sembari berharap dalam usia yang semakin tua para politikus mau menunjukkan sedikit kedewasaan dan kematangan berpolitik. Jelas dalam pemahaman ini proses politik kita artikan sebagai tontonan. Sehingga tayangannya pun sebisa mungkin harus bisa dibuat berkelas. Tidak dibalik, menjadi acara bebas (baca: XXX), atau menjadi tayangan tanpa etika yang mungkin sedikit mirip dengan dunia binatang, tanpa kasih sayang. Ini jelas harus dihindari.

Konflik sebagai bahan ajar
Peran media untuk mempelajari sekian konflik ini dan menjadikannya sebagai fragmen yang pantas diketahui publik sangat vital. Sehingga para pelaku politik sendiri harus digiring untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sentral warga kota, dan perdebatannya pun harus ke sana. Agar kita tidak lagi harus menerima suguhan politik kelas ABG.

Sebelum ke tahap itu, persoalan utama warga kota harus bisa dipetakan, atau pun ,jika ragu, kepada para calon walikota itu harus diajukan pertanyaan: apa kebutuhan mendesak warga kota? Lalu langkah strategis apa yang anda akan tempuh? Dan bagaimana caranya? Ini penting supaya kita bisa menilai apakah para calon ini sekedar membual atau sungguh-sungguh berpikir.

Memang, sejak awal calon-calon kritis sudah diaborsi, karena para calon yang kritis umumnya menentang budaya politik lama. Padahal, sistem politik reformasi setengah hati masih sangat bergantung pada relasi senior-yunior, dan berbasis loyalitas kepada pribadi pemegang kunci partai. Sehingga figur-figur yang dicalonkan pun masih ada di kalangan terbatas, dan elitis. Sejauhamana mekanisme seleksi partai benar-benar menghasilkan figur yang berkualitas juga menjadi pertanyaan umum.

Ini pun wajar, karena partai-partai yang ada pun baru belajar, setelah sistem politik di periode lalu lebih menekankan pada tiga komponen ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar). Tumbuhnya berbagai partai pasca fase tiga partai, masih dianggap sebaagai reaksi ‘bebas untuk’ membuat partai setelah 1998, belum pada tahap ‘bebas dari apa’. Misalnya, bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, bebas dari busung lapar, dan, tentunya, bebas dari sindrom ABG. Persoalan para pelaku politik di Kupang (baca: Indonesia) yang diangkat di media masih sangat elementer, konfliknya masih pada level orang per orang. Terlalu mentah.

Pertanyannya kemudian, siapa saja yang memiliki akses ke partai politik? Dalam negara yang berdiri di atas utang, maka pemilik uang merupakan komponen penting untuk menjalankan roda partai. Maka tawar menawar untuk mendapat ‘pintu’ jelas salah satu variabel dominannya adalah uang. Sehingga, saat ini, memang hanya orang yang mempunyai uang yang bisa masuk arena. Buktinya, pelaku dalam arena juga pusing kepala dalam budaya politik uang, sehingga tetap ngotot ‘ mengaku benar’ memberlakukan PP No. 37 tahun 2006. Ketidakmampuan menemukan arti politik membuat relasi politik antara pengurus partai dan konstituen kita selalu dalam relasi memberikan ang pao. Singkatnya para politikus kita mau bilang, “Saya beri beras, semen, indomie, bola kaki, tapi jangan lupa pilih saya!”

Posisi ini harus jelas dibaca oleh para warga kota sehingga tidak perlu terlalu serius, apalagi ikut-ikutan berkonflik. Itu tidak ada gunanya. Kita perlu membiarkan para calon walikota untuk: (1) membebaskan diri dari benang kusut sentimen pribadi, (2)keluar dari simpang siur otonomi daerah dalam negara, dan (3)secara bijak bisa menyelesaikan tarik ulur kewenangan provinsi dan kota.

Gajah dan rumput
Dengan menjadi penonton yang baik, dan menjadi pemilih yang bertanggungjawab setidaknya ketidaksempurnaan sistem politik ini bisa kita tolong. Sebab bagaimanapun juga, kita masih harus tetap berharap bahwa Kupang layak dipimpin oleh seorang pemimpin yang visioner. Misalnya mampu menempatkan posisi strategis Kupang sebagai ibukota provinsi yang berbatasan dengan dua negara.

Sebagai penutup, jika tidak mampu meletakkan konflik sebagai bahan ajar, keluar dari konflik pribadi, dan memikirkan manfaatnya untuk masyarakat, maka dapat dikatakan fase pemilihan walikota kali ini pun masih dalam tahap ABG. Sangat disesalkan karena tidak sedikit biaya yang dikeluarkan negara. Agar ketidaksempurnaan sistem politik kita, tidak berarti kesia-siaan dalam menjalankan pemilihan walikota, maka sejak awal proses pemilihan ini perlu selalu mengisyaratkan kepentingan warga kota. Jika tidak, maka nasib politik (elit) kita hanya kembali jatuh bangun dalam pelukan pantun jenaka ini: gajah bercinta atau berkelahi, bagi rumput tidak ada bedanya.

Tulisan ini dimuat di Harian Pos Kupang edisi 19 Februari 2006


Leave a comment

Individu, Kelompok, dan Negara


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Tibo dan kawan-kawan hanya lah nama, tetapi kini mereka adalah representasi dari pertemuan sekian banyak orang. Mengapa kabar eksekusi mereka bertiga terus disuarakan oleh berbagai pihak, dengan beragam maksud dan tujuan? Maksudnya, ada yang memang merasa senasib dengan mereka bertiga karena seagama/sekampung/sepulau/seprovinsi, ada yang menjadikan ini sebagai ajang kampanye anti hukuman mati, ada yang melihat nyawa berasal dari Tuhan, ada yang melihat mereka sebagai saksi kunci untuk menelusuri para pembunuh lain, ada yang meminta secepatnya dilaksanakan hukuman mati, dan ada pula yang sekedar memberitakan sebagai cermin perilaku informatif.

Politik identitas dan rasa
Politik identitas adalah kartu yang sejak lama dimainkan oleh para politisi kita. Untuk para politikus kelas elit, yang nyaris setara dengan mafia, dimana moral ada di kawasan abu-abu. Eksekusi ini perlu dilakukan jika menguntungkan dan diprediksikan akan membawa dampak positif dari konstituen yang dituju. Saat ini eksekusi ini menjadi ajang inisiasi kedua pemimpin kita, untuk benar-benar merasakan otoritas tampuk kekuasaan, atau dengan kata lain bagaimana meletakkan diri dalam negara agar secara tepat dapat disebut negarawan. Karena tidak mudah mengambil keputusan, apalagi menyangkut nyawa manusia.

Persoalan ini memang tidak sederhana. Apalagi jika indikatornya adalah rasa. Misalnya, bagaimana orang lain memandang Presiden Susilo jika mengambil keputusan tertentu. Orang lain itu bisa kawan-kawan seangkatan di Magelang, anggota trah/keluarga yang kebetulan beragama sama dengan Tibo, kawan-kawan yang berasal dari provinsi asal Tibo, anak/istri Tibo, atau orang-orang yang meletakkan bendera setengah tiang. Dalam cara pandang orang per orang ini hampir dipastikan siapa pun akan mengalami kesulitan untuk menentukkan keputusan.

Roda kekuasaan tidak dibangun sendiri, misalnya oleh Presiden Susilo semata. Tetapi ada lingkaran-lingkaran yang mengelilinginya. Ibarat filter atau saringan, sehingga diharapkan keputusan yang dikeluarkan Presiden yang merupakan orang tertinggi di pemerintahan, dan saat ini juga negara, dapat mengeluarkan keputusan yang ‘pas’. Pas di sini diartikan sebagai timbangan kekuasaan penentu otoritas ada dalam kondisi tepat, artinya bisa berjalan terus, atau malah semakin kokoh.

Presiden Susilo adalah tanda dari pemerintahan saat ini. Artinya meskipun keputusan yang diambil turut ditentukan oleh sekian penasehat/pemikir, tetapi bagi khalayak ramai hanya ada satu titik yakni Presiden itu sendiri. Ini bukan hal yang mudah, karena setelah Sukarno dan Soeharto, belum ada lagi pemimpin yang benar-benar kuat di Indonesia. Sehingga ini masih menjadi pertanyaan umum.

Beberapa waktu lalu fokus kita ada pada presiden– saat para pengacara Tibo mengajukan grasi, namun saat ini titik-titik fokus itu telah bergeser, dari Kajati Sulteng, Kapolda Sulteng, Mabes Polri, beberapa LSM, Pangdam di sana, orang-orang di provinsi asal Tibo, dan di internet. Saat ini kata akhir masih belum ada, dan masih bergulir. Kata eksekusi dan tanggal eksekusi hampir bisa dimaknai sebagai simulasi untuk melihat reaksi.

Rule of the law dan absurditas
Posisi Presiden memang vital, dan ditulis khusus, karena dalam sistem negara secara de facto saat ini eksekutif lah puncak dari sekian lembaga negara. Pengampunan kepada koruptor ada di tangan presiden, mau atau tidak membuka kasus-kasus pembunuhan sejak tahun 1965 juga ada di tangan Presiden. Artinya, kalau memang mau bicara tentang rule of the law, sebagai seorang negarawan jangan setengah-setengah. Kita buka dari awal. Dan yang kita temukan, sekali lagi, kita semua sama-sama berdarah. Apakah ada yang berani? Apakah patriot itu ada? Absurd. Karena untuk menjadi pahlawan, artinya membunuh sesama warga negara yang berpandangan berbeda.

Jargon semacam rule of the law, hanya berani ditujukan kepada petani miskin, yang tidak tamat Sekolah Dasar. Kenapa? Andaikan negara ini memang benar-benar memiliki otoritas dan integritas, kenapa hanya berani ’menjewer’ orang kecil, macam Tibo.

Untuk itu kita, warga di Nusa Tenggara Timur, perlu berpikir jernih dalam membaca berita dan menonton televisi. Agar kali ini ujian yang kita hadapi bersama-sama dapat dibaca dengan benar, dan tidak membuat kita malu di kemudian hari. Kita entah sebagai penentang atau pendukung eksekusi, ada di posisi yang sama.

Kondisi ini tidak bisa dihindari, karena sekian lama kita memang hanya bergerak dalam level orang per orang, bukan suatu sistem negara yang serius. Memang ada alat negara dengan berbagai macam atribut, tetapi itu adalah bagian dari tuntuan dan karakter modernisasi, bukan lahir dari saling silang wacana, atau buah peradaban. Ini cuma tempelan.

Momentum Tibo, menjadi penting untuk meletakkan pertanyaan kaitan antara diri, kelompok, dan negara. Dengan sendirinya kasus ini menemukan makna politisnya pada orang-orang yang mencermati. Dalam skala lanjut, dapat diukur skala keterlibatan orang per orang. Kita juga bisa menduga-duga alasan dari keterlibatan orang-orang yang bersimpati pada Tibo, atau orang-orang yang meminta Tibo segera dieksekusi. Ada di wilayah mana sebenarnya? Mengapa terasa begitu gelap dan tidak kelihatan kekuasaan di luar diri?

Gap atau ruang antara kenyataan dan hafalan memang ada. Saat ini sekian orang sedang terlibat untuk bersama-sama merasakan arti negara. Sistem yang tidak kelihatan—karena sering bias/kabur, tapi bisa dirasakan. Momentum ini bisa membawa kita ke mana saja. Mengapa harga Tibo begitu mahal? Karena ini memang bagian dari proses sulit untuk benar-benar bernegara. Sehingga titik adunya tidak diletakkan dalam posisi biner: Islam vs Kristen, atau mayoritas vs minoritas. Jika kita letakkan di situ, maka hanya amarah yang ada, dan bisa dipastikan sia-sia.

Dalam situasi ini, demonstrasi atau apa pun, sama sekali tidak boleh menyentuh atau ditujukan kepada saudara-saudara kita kaum pendatang, sesama warga NTT yang beragam Islam, masjid/mushola/langgar atau apa pun. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Ini perlu ditegaskan, karena kita tidak boleh menambah lagi air mata di rumah kita. Duka di Kupang, Ambon, Poso, Situbondo, Palangka Raya, Sampit, dan Tasikmalaya sudah lah cukup. Amarah atau apa pun dengan nada kekerasan, tidak akan membawa Republik ini maju selangkah jika nafasnya hanya balas dendam buta.

Eksekusi dan tanda dalam politik
Upaya para para pihak untuk memisahkan hukum dan politik patut dihargai. Sebab ini juga yang menjadi himbauan Presiden Susilo. Dalam cara pandang ini Tibo, Riwu, dan Da Silva, ada dalam posisi warga negara, bukan anggota kelompok dari agama atau etnis tertentu. Ini cara pandang yang ingin disampaikan.

Di sisi yang lain, sekian kegiatan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Timur oleh berbagai pihak membuktikan bahwa persoalan ini tidak hanya berada di level individu. Katakanlah ini masalah orang per orangan. Persoalannya ini kini memang sudah bergerak dan letakknya tidak pada level individu semata.

Kasus eksekusi yang berkaitan dengan agama, bukan pertama kali terjadi di Republik ini. Empat puluh tahun yang lalu ketika Dr.Soumokil, presiden RMS (Republik Maluku Selatan) akan dieksekusi, publik juga sempat berharap bahwa eksekusi bukan jalan akhir untuk Soumokil. Tapi ternyata tidak, eksekusi tetap dilakukan pada tanggal 12 April 1966, diujung Pemerintahan Sukarno kepada Soeharto (Van Kaam: 1977, hal.140-141). Saat itu ketakutan terhadap bentuk negara yang sentralistik lah yang mendasari proklamasi RMS. Tentang eksekusi Soumokil, Ben van Kaam menulis: “If this is correct, Sukarno’s refusal of amnesty could have been intended as a warning to the politcal right (the generals) that pro-American anti-Communist conspirators would not be able to count on the same tolerant tratment as was given, for example, to the Permesta rebels in 1957-61. It is an established fact that already in those days sukarno feared a right wing coup.”

Di sisi ini Soumokil dan Tibo posisinya sama ‘menjadi’ dan ‘ada’ sebagai tanda dalam politik, meskipun Tibo dan Soumokil adalah figur yang berbeda. Soumokil jelas memproklamirkan diri untuk terpisah dari Republik Indonesia, karena takut Maluku akan didominasi orang seberang. Sedangkan Tibo, transmigran asal Flores, yang mencari makan dan ada dalam situasi perang saudara (civil war) di Sulawesi.

Andaikan negara ini memang memiliki otoritas, kenapa ketegangan berlabel agama dibiarkan menjadi aksi-aksi pembunuhan atau kekerasan? Segala kekerasan antar agama dan golongan yang telah terjadi merupakan catatan bahwa ketegangan-ketegangan antar golongan dan agama itu memang ada, dan dibiarkan berlari tunggang langgang. Bagaimana mengakomodir atau melakukan transformasi konflik antara berbagai golongan ke dalam sistem politik, merupakan pertanyaan yang tidak pernah dilihat dengan mata telanjang. Sebaliknya, kekerasan yang tidak terlihat siapa pelakunya yang dinomorsatukan dan dikejar. Akibatnya berbagai alat negara diperebutkan untuk dipakai untuk melakukan kekerasan, dan yang terpenting agar pelakunya anonim, tidak diketahui, dan, sekali lagi, invisible. Apa pun, siapa pun operatornya, asal dari negara maka legal. Walaupun kita tahu para nahkoda di negara kita pun umumnya baru belajar, katakan lah magang. Tapi apa yang bisa dibuat?

Nalar melampaui kesusahan

Kenapa kekuasaan di Republik ini begitu invisible? Kita tahu, setiap hari kehidupan sehari-hari tidak menjadi lebih mudah. Tanda susah secara ekonomi, misalnya: (1) di Kupang jumlah pemulung dan pemungut sampah di kota makin bertambah, dan (2) di depan rumah jabatan Bupati Kupang, gadis-gadis kecil penjual seks dari pedalaman Timor yang memang miskin setiap malam semakin bertambah. Indikator sosial semacam ini, tidak lantas membawa orang bertanya kenapa masyarakat kita makin miskin. Di sisi politik, hanya orang-orang yang punya uang dan kenalan yang bisa jadi anggota dewan, itu pun hanya segelintir yang melakukan refutasi konsep dan analisis sosial tiap hari. Kita tidak pernah bertanya kenapa? Di sisi hukum, kenapa hanya Tibo dan kawan-kawan yang mau dieksekusi? Jawabannya mudah, karena mereka ini orang-orang kecil, dan tidak memiliki alat untuk melakukan tekanan, dan tidak ada organisasi. Orang susah di sini memang umumnya suka berjalan sendiri-sendiri. Sehingga ketika ada yang kebetulan menjadi pejabat pun sibuk untuk kaya sendiri. Ini lah kita.

Ketika akhirnya dieksekusi pun, luka itu tetap menganga. Siapakah yang tidak mau belajar dari sejarah? Tidak ada yang benar mutlak, contohnya kritik tentang pandangan negara unitaris (vis a vis federalis), kini toh diakomodir dalam bentuk otonomi daerah—yang tidak jelas juga, masih sama: mode. Kemudian, tindakan para politisi yang memadamkan semua pemberontakan di mana saja dengan senjata, ujung-ujungnya membawa kegamangan militer terhadap perilaku politisi, dan militer menjadi elit tersendiri–sekaligus menjadi kekuatan yang paling terorganisir dan disiplin di negara, meskipun akhir-akhir ini sarat dengan konflik internal. Tapi jelas militer tak bisa berjalan sendiri, karena negara lingkupnya lebih luas dari militer atau kelompok apa pun itu (ini perlu disadari).

Saat ini Tibo merupakan noktah bagi kita untuk serius bernegara. Apa pun keputusan kita. Sehingga bebagai tekanan yang datang dengan ingin mengeksekusi Tibo, harus kita pakai sebagai semangat untuk membangun negara. Bukan untuk membentuk kelompok primordial yang semakin eksklusif, tetapi ini merupakan tantangan, bagaimana kita membuktikan bahwa dari provinsi busung lapar ini memang ada kebijaksanaan untuk Republik ini. Kita harus membuktikan, bahwa nalar kita melampaui peradilan sesat Tibo.

* Tulisan ini ditolak Kompas dengan alasan tidak ada tempat.


Leave a comment

The forgotten of West Timor


Photobucket - Video and Image Hosting

Poverty, refugees, militias, and too many soldiers

by Elcid Li

In Kupang in the 1980s I sometimes heard a salvo fired at the Heroes Cemetry about a kilometre from my home. The next morning I would see a new grave. Another soldier or police officer had died in battle in East Timor. When I returned to Kupang at the end of 2001 I saw the body of a little girl. She had died of hunger in the Noelbaki refugee camp near the city. Her grave was dug among other little graves on the land belonging to a local resident.

In the past it was like a myth – I heard from an uncle about the road running with blood at the Santa Cruz cemetry in Dili. Now I feel that what happened in East Timor could also happen in West Timor, as if death had moved from one place to the other. West Timor today is like the dark side of the moon, where the sun never shines. Perhaps only some dramatic massacre will open the eyes of the world.

Antonius Seran Wilik, a retired teacher in Belu district near the border with East Timor, will not easily forget the date 4 September 1999. On that day he took 42 East Timorese refugees into his home. The Raihat refugee camp would be built there later. But it was not the first time the Raihat sub-district, which borders directly with Bobonaro district in East Timor, had seen refugees. The first time was 1946, just after the Second World War. The second was 1975, when East Timor was in upheaval and Indonesia came in and took over. There were even still stories of refugees from a war in Manufahi in the 1880s.

If in 1975 the refugees numbered about 4,000, in 1999 there were about 24,000 – for a population in Raihat of only 7,000. As a respected local leader, Antonius Seran Wilik ordered six square kilometres of traditional land to be set aside for the refugees. They were also allowed to live in the gardens and backyards of the locals. Antonius said the refugees came from an area that had traditionally supplied brides for his people. Belu district has the same language and culture as East Timor. The 1999 refugees were on the whole greeted as if they were relatives.

At first the world took a lot of notice of the refugees. But when three staff members of the United Nations High Commissioner for Refugees were murdered on 6 September 2000, nearly all international agencies helping the refugees pulled out of West Timor. Reduced assistance for refugees placed an increasing burden on the locals. Theft increased in the town of Atambua near the border. Forests in South Belu were chopped down and turned into agricultural land. No locals had ever dared to cut down those trees for fear of being fined. But the refugees just said ‘we are defending the red-and-white (flag)’, and after that the law was powerless. The locals knew this was illogical, and they worried about droughts and flooding for generations to come. But the refugees were hungry, and they were relatives. The province of East Nusa Tenggara of which West Timor is a part is the poorest in Indonesia.

Military

The slow rate at which refugees were returning proved that the militias retained a strong influence in the West Timor camps. They used guerrilla tactics to avoid handing over their weapons to the military. Anyway, many of them had been soldiers, or trained by them. It is common knowledge that the weapons are still there, even if they are not openly visible.

The area near the border has become heavily militarised. In January 2002 there were an estimated five battalions. Although some welcomed the increased military presence because it would control the militias dangerously frustrated with the new Jakarta policy, many feared that West Timor could be turned into a military operations area as in Aceh or Papua.

As in East Timor Bishop Belo became a symbol of the people’s resistance, so in West Timor the Catholic Church speaks out through the priests. In Kefamenanu, priests rejected the establishment of a base by Infantry Battalion 744, formerly from East Timor. The commander of the Udayana military area, based in Bali, said to them in a meeting: ‘Who will look after the priests’ safety if not the soldiers?’ There have been instances of intimidation against the church. A homemade bomb was found at the bishop’s palace in Atambua.

Refugees

No one knows how many refugees there are – numbers are a political commodity for all those involved, both the government in East Timor and Untas, the refugee umbrella organisation. Untas, who said it was too early to ask them to make up their minds, sabotaged a survey of refugees in 2001 that wanted to ask their intentions. The survey resulted in numbers that were quite incredible.

Official assistance for the refugees ended on 1 January 2002. This is a risky way to force them to make up their minds whether to go home or stay. Some are already using the word ‘new residents’ rather than ‘refugees’ to describe them. They had enough food stored to last them until May, but after that things could get tense. Hunger can drive people to desperate acts. The Udayana commander has threatened to shoot rioters on sight. They have been living in these basic camps for nearly three years now.

They feel like hostages against the possibility of international sanctions against those military officers who committed crimes against humanity in East Timor. Once again, the little people have become the victims. Moreover, many West Timorese feel that political turmoil in Jakarta has resulted in scant attention being paid to peripheral areas such as their own. One local politician has called for UN intervention. However, this remains a sensitive issue.

While the new country of East Timor obtains a lot of international help, West Timor gets none. Not surprisingly, many farmers near the border have turned to small trade across the border. The trade profits the soldiers and police guarding the crossings too. They take Rp 5,000 (one Australian dollar) in ‘safety money’ for every box that passes by. A young Brimob policeman told me he earned Rp 300,000 a day that way.

The situation in West Timor is like a boil waiting to burst. First, unless the refugee problem is solved, it will lead to conflict with the locals, especially over land. Second, the continued presence of the militias, although now more or less clandestine, has introduced a volatile element. In a stressful situation these people create fear. They feel they are at war and the law does not apply to them. Third, the excessive number of soldiers to guard the borders is becoming a burden on the local population.

I now place my hope in Xanana Gusmao and his offer of reconciliation. His visit to Atambua on 4 April 2002 did much to counter the negative campaign in the camps that there would be a revenge attack into East Timor once the United Nations was gone. May President Xanana bring peace to us all.

Elcid Li (domingguselcid@lycos.com) is a freelance journalist. Thanks to Dony for his help in Atambua. This report published on Inside Indonesia (July-Sept 2002)
http://www.insideindonesia.org/edit71/Elcid.htm