Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Pilkada, Indipendensi Penyelenggara, dan Paket Non Birokrat di Kota Kupang


 

Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Pilkada Kota Kupang kali ini cenderung akrab dengan intrik elit. Hal ini ditandai dengan kuatnya peran ‘invisible hand’. Meskipun intrik adalah wajah dominan, namun diabaikan. Untuk paham intrik, pemahaman awal terhadap proses dan alur merupakan dasar utama.

Menjegal dan mendukung menggunakan institusi penyelenggara pemilu menjadi karakter utama Pilkada Kota Kupang kali ini. Upaya menjegal satu-satunya calon dari golongan non PNS dialami oleh Paket Viktori, pasangan Matheos Viktor Messakh dan Victor Manbait. Viktor Messakh yang biasa dipanggil Atok adalah mantan jurnalis The Jakarta Post dan kini Pemimpin redaksi Satutimor.Com, sedangkan Victor Manbait adalah Direktur LSM Lakmas Cendana Wangi. Kedua pemuda berani ini telah membuktikan bahwa adalah mungkin warga Non PNS masuk dalam gelanggang politik.

Di Kota Kupang, yang dicap sebagai kota pe-en-es ini, keterlibatan warga Non PNS bukan merupakan hal biasa. Pertanyaan Ospek yang biasa ditanyakan kepada mereka adalah: ‘tanam kelapa dimana’ atau ‘sudah bikin apa’. Kerangka pemikirannya khas ‘pemilik trayek lama’ jalur bemo. Angkutan kota yang boleh jalan hanya lah yang punya izin trayek, atau sudah lama ‘ngetem’ di situ. Akibatnya bemo Kupang ‘sonde jadi doi lai’. Mogok, tidak kuat naik bukit adalah pemandangan biasa. Meskipun kekurangan daya ini coba ditutupi dengan volume speaker yang luar biasa besar, warna-warni cat dan pelapis kaca mobil.

Jadi ketika ‘kaum pejalan kaki ini’ berhasil kumpulkan dukungan sebanyak 22.708 pendukung, orang sempat heran. Proses pengumpulan tidak menjadi bahan belajar, sebaliknya watak kolonial lah yang dipraktekan oleh KPU, Panwaslu dan Bawaslu. Watak kolonial adalah ujaran pejabat yang menolak untuk dibantah dengan data dan analisis. Atau dalam bahasa angkot ‘dilarang mendahului’. Jika coba mendaftar, tahu sendiri akibatnya. Bahkan para pejabat ini jangan sampai dibuat tersinggung dengan kritik.

 

Akrobat Penyelenggara Pemilu

Tahap pertama proses penjegalan dimulai dari proses verifikasi faktual dari KPU. Hingga hari H, insiatif untuk koordinasi verifikasi faktual tidak datang dari KPU, sebaliknya pasangan calon ini lah yang mengundang KPU untuk memberikan materi rencana verifikasi dan mekanisme koordinasi. Bisa diterka, di lapangan verifikasi berjalan amburadul. Atas perintah KPU Kota Kupang seluruh nama yang yang tidak dikunjungi sama sekali digolongkan dalam TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab oleh KPU Kota Kupang hingga hari ini adalah ‘di mana daftar nama yang telah dikunjungi’. Manipulasi ini tidak pernah dijawab, dan dibuka media.

Protes terhadap kerja KPU dilayangkan mulai dari level pertemuan kelurahan, pleno kecamatan hingga pleno KPU Kota Kupang. Seluruh keberatan yang ditulis Viktori diakomodir oleh Panwaslu Kota Kupang. Panwaslu Kota Kupang lalu merekomendasikan kepada KPU Kota Kupang untuk menindaklanjuti perkara ini dengan cara sebebas-bebasnya. Rekomendasi yang paradoksal.

Keberatan utama Paket Viktori adalah proses verifikasi model sensus yang dilakukan KPU Kota Kupang jauh dari makna sensus. Kenapa mereka yang tidak dikunjungi dikategorikan TMS (Tidak Memenuhi Syarat)?

 

Gajah ketemu Gajah = Banyak Polisi

Keberatan terhadap keputusan KPU yang meniadakan pendukung Viktori yang tidak dikunjungi disampaikan kepada Panwaslu Kota Kupang dengan bukti video sebanyak 180 buah untuk dipelajari. Dari seluruh video ini hanya dua yang dilihat oleh Panwaslu. Keputusan Panwaslu menolak gugatan Viktori tanpa ada analisis hukum, maupun penjelasan penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa aslinya Panwaslu tidak memiliki keberatan terhadap tuntutan dan penjelasan Viktori.

Sayangnya protes yang dilayangkan oleh Viktori makin runyam ketika Panwaslu dibekukan oleh Bawaslu Provinsi atas perintah Bawaslu pusat. Rekomendasi yang ditulis oleh Bawaslu pusat hanya mempersoalkan keputusan Panwaslu atas ‘mutasi pegawai’ yang dilakukan Jonas Salean.

Drama ini pun berlanjut. Pihak penyelenggara dari Bawaslu pusat, Bawaslu Provinsi NTT, hingga KPU Kota Kupang hanya mengurus pencalonan Jonas Salean. Sedangkan protes dari Viktori sama sekali tidak dibahas. Karena tidak dibahas media pun diam.

 

Barang Bukti Jadi Properti Penyelenggara?

Tak berhenti di situ paket rakyat jelata ini dikerjai oleh para penyelenggara. Ketika kedua pemuda ini bertanya kemana 180 barang bukti yang sudah diserahkan kepada Panwaslu, keduanya dipingpong selama tiga hari. Di sekretariat Panwaslu Kota Kupang yang sudah dibekukan pengurusnya, mereka menjawab ‘tidak tahu’. Ger Atawuwur, sebagai Ketua Panwaslu Kota Kupang yang dibekukan menjawab ia hanya menerima soft copy. Sedangkan Yemris Fointuna, mantan wartawan Jakarta Post yang jadi anggota Bawaslu Provinsi NTT, pun menjawab ‘tidak tahu dan akan dicari’.

Hari ini, 16 November 2016, Bawaslu Provinsi NTT, atas nama Saudara Yemris Fointuna menulis surat bahwa permintaan kembali dokumen-dokumen asli yang disampaikan kepada Panwas Kota Kupang tidak dapat diberikan karena (1) dokumen asli maupun salinan merupakan dokumen pendukung dalam proses penyelesaian musyawarah sengketa Pemilu yang hasilnya sudah diputuskan pada tanggal 7 November 2016 sehingga seluruh dokumen terkait menjadi milik Panwaslu. Padahal dokumen-dokumen ini dibutuhkan untuk dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Surabaya. Tak hanya itu putusan, berita acara dalam musyawarah sengketa maupun notulensi sidang Pilkada Kota pun tidak diberikan. Kejanggalan ini juga dirasakan oleh hakim PTUN Surabaya

Setidaknya dua hal yang perlu menjadi pertimbangan Bawaslu Provinsi NTT, dan para penasehat hukumnya. Pertama, sejak pleno di tingkat kelurahan, hingga kota di KPU Kota Kupang sengketa Pemilu ini tidak dibahas dan dibuktikan secara tertulis. Kedua, di tingkat musyawarah sengketa Pemilu di Panwaslu Kota Kupang, dari 180 bukti yang diserahkan hanya dua bukti yang dikaji dalam persidangan.  Bagaimana dengan analisanya? Ketiga, kehadiran dua staf Bawaslu pusat dalam perhelatan Pilkada Kota Kupang memang janggal, apalagi ‘staf Bawaslu pusat ‘hanya mengurusi’ masalah satu pasang calon. Sedangkan keberatan dan persoalan mendasar terkait soal ‘verifikasi faktual’ dianggap bukan lah soal. Seharusnya Bawaslu Provinsi NTT bisa berpikir bahwa antara proses dan hasil adalah satu paket. Menerima hasil, tanpa mengkaji proses merupakan tanda tanya.

Sampai di sini, kita bisa sama-sama lihat bahwa ‘teror’ dan kekuatan massa merupakan alat efektif dalam politik Pilkada. Tidak hanya di Jakarta, di Kupang juga sama. Sayangnya ulasan semacam ini tidak kita temukan di media massa. Horor dan yang jelek senantiasa ada di seberang lautan, sementara di rumah sendiri manipulasi adalah jati diri.

 

*Penulis adalah Warga Kota Kupang yang bekerja untuk Atok-Viktor (Viktori) dalam Pilkada Kota Kupang.

Advertisement


Leave a comment

Ini Negara Bung!


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Kekecewaan warga negara terhadap pembentukkan sekretariat koalisi gabungan, terutama antara Golkar dan Partai Demokrat, cuma sebatas umpatan status di internet. Apa program bersama konkrit kedua partai tetap tidak diketahui publik, entah oleh warga negara secara umum, konstituen, atau pun gerombolan saat Pemilu. Komitmen partai koalisi sepintas hanya diketahui Presiden Susilo, Aburizal Bakrie(Ical), dan segelintir elit.

Ironisnya di era “reformasi “ warga negara tetap tidak punya hubungan apa pun dengan partai politik setelah Pemilu. Anggota DPR pun tidak diperbolehkan berbicara indipenden, sehingga hak menyatakan pendapat pun masih harus diperjuangkan, bukan lagi menjadi hak langsung anggota DPR (Tempo Interaktif, 23 April 2010). Lebih parah lagi, ‘hak menyatakan pendapat’ pun dianggap sebagai ancaman untuk menjatuhkan pemerintah (Tempo, 17 Mei 2010).

Jika orang terpilih secara formal tidak bisa bicara, bagaimana ia bisa memperjuangkan hak pemilihnya? Proses pemberian mandat telah ‘dibalik’ seolah pemberian (ketua) partai. Mandat rakyat hanya ada di tataran simbolik, kenyataannya anggota DPR tunduk pada ketua partai/kakak pembina. Mereka ini pun tunduk di bawah logika ‘obyektivitas pasar’. Dalam konsep ini hirarki manusia ala boneka Rusia diselubungkan. Demokrasi Indonesia tidak hanya elitis, tetapi telah dipasung.

Asumsi umum di tahun 1998, dengan menurunkan Soeharto dengan watak pemerintahan otoriternya, maka mungkin diadakan model pemerintahan bersih, demokratis dan egaliter. Setelah satu dekade, kita tahu asumsi itu keliru. Akibat krisis finansial Soeharto tunduk di bawah IMF (International Monetary Fund) di tahun 1997, dan ia turun setelah mendapat telpon dari Madeleine Albright, Menteri Luar Negeri AS (Chomsky, 1998).
Di era Soeharto kita sedikit tahu siapa yang harus dilawan karena kekuasaan terpusat, dan ‘batas negara’ masih dipertahankan. Kini, kita sangat sulit membedakan mana pejabat atau penjahat di era pasar bebas. Bekas aktivis mahasiswa yang masuk jadi pejabat pemerintah pun tidak malu-malu menyatakan ‘ini lah kenyataan politik, kita harus ikut bermain’.

Hukum dan politik-ekonomi negara

Terkait perkara matinya hukum negara, dalam Discourse on Political Economy Rousseau (1992 [1758]:154) menyatakan hal tersulit dalam pemerintahan adalah memberlakukan hukum secara sama, dan di atas semuanya. Salah satu tugas vital pemerintah adalah melindungi orang-orang biasa dari tirani orang berduit.
Tetapi, hingga kini perkara kriminal yang menyerang aparat negara kita, masih dianggap sebagai perkara kriminal personal, tanpa dikaitkan dengan kesenjangan ekonomi dalam pasar maupun hak publik dalam negara. Pembukaan pasar bebas pasca Soeharto menempatkan investor sebagai anak emas negara. Perkara kriminal korporasi nyaris tidak mungkin dibuka.Contohnya: bagaimana mungkin Presiden Susilo bisa adil bersikap kasus Lumpur Lapindo, jika Ical yang jadi juru bicara. Tempo hari malah Presiden Susilo cuma komentar bahwa ‘Lumpur Lapindo akan dijadikan obyek wisata’ (Antara 1 April 2010). Konflik kepentingan ini tidak mungkin dihindari.

Dalam kondisi biasa saja, kedudukan para pemodal sudah sering kali ada di atas hukum. Bagaimana jika pemodal sekaligus legislator, kini ‘potong kompas’, juga punya wewenang dalam pemerintahan?
Dalam tirani pemodal, aparat negara mulai dari polisi hingga pegawai pajak telah menjadi bagian dari rantai perdagangan ini. Ironisnya, meskipun negara telah dalam kepungan pelaku kejahatan teroganisir, tidak ada langkah pasti untuk memutuskan lingkaran hitam yang terjadi akibat konflik kepentingan.

Bagaimana mungkin skandal pajak yang diributkan Sri Mulyani, bisa diungkap dengan kondisi koalisi semacam ini? Lagi pula, agar kita tak lupa karena terlalu banyak nonton TV, proses pergantian Sri Mulyani sebagai Menkeu sudah menjadi ‘gosip’ di kalangan pekerja media sejak Bulan Januari 2010, dan itu pun dibantah oleh ‘juru bicara’ Aburizal Bakrie, Lalu Mara (Tempo Interaktif, 10 Januari 2010). Jika ‘permainan’ yang sudah begitu vulgar saja sudah tidak mampu dimengerti benar dan salahnya, lantas apa perlu bicara soal konsep negara?

Di era pasar bebas, Lex Mercatoria (Hukum Dagang) menjadi hukum dominan (Santos, 1995). Indikasi ini ditunjukkan dengan dominannya para ekonom, dan masuknya para pemodal ke dalam partai politik yang berperan besar dalam pembuatan legislasi, maupun memegang posisi kunci di pemerintahan.
Mandor dan krisis sistem representasi

Di Indonesia pengurus partai politik, kecuali partai kader, umumnya masih menjalankan partai politik ala mandor dengan buruh harian. Hubungan ini pun hanya terjadi saat kampanye Pemilu. Jadi, istilah ‘wakil rakyat’ pun sudah tidak memadai lagi.

Ketidakmampuan mendirikan partai politik ‘moderen’, membuat sejumlah partai tetap kembali pada organisasi keagamaan awal atau pun amat tergantung pada kharisma tokoh. Seperti PKB yang amat tergantung pada NU dan Gus Dur, maupun PAN yang amat tergantung pada Amien Rais dan simpatisan Muhammadiyah. Tetapi, setelah 10 tahun reformasi, kharisma tokoh, baik Gus Dur dan Amien Rais tetap tidak mampu melawan “naluri permainan” yang terjadi di dua partai yang mereka dirikan. Baik PAN dan PKB pun dikerdilkan dalam watak mandor.

Gagalnya fungsi perwakilan ditandai tiga hal: pertama, warga negara tidak memiliki kontrol terhadap wakilnya setelah Pemilu. Kedua, warga negara yang mencoba masuk dalam partai politik tetap tidak bisa bergerak (baca: menyatakan pendapat) di dalam partai. Ketiga, terjadi kesenjangan luar biasa antara ‘kenyataan’ yang dipikirkan para politikus dengan “kenyataan” yang dialami warga negara. Kosongnya peran warga negara tersamar dengan peran liputan media televisi yang seolah menghadirkan kenyataan yang sama di ruang privat.

Tidak heran jika hari-hari ini kita hanya pasrah menyaksikan berbagai penyelewengan dalam hidup bernegara tanpa mampu bersuara. Sebaliknya nalar transaksi antar para pengurus partai politik baik di legislatif maupun di eksekutif juga tidak mampu menemukan ‘kenyataan bersama’. Bagaimana pemerintah mewujudkan “keinginan bersama” (general will), konsep kunci dalam pemikiran Rousseau, tetap tidak tercerna. Apakah konsep ‘keinginan bersama’ itu pun masih mungkin diwujudkan di era post-Westphalia, dimana batas negara lenyap, dan konsep ‘kedaulatan rakyat’ (sovereignty of the people) pun menjadi absurd dalam tekanan pasar, hingga kini belum mendapatkan jalan keluarnya.

Televisi di ruang tengah
Di Indonesia, proses bail out Bank Century kini berujung pada permainan lebih besar yang coba dibuka Komjen Susno Duadji, terkait manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu (Tempo Interaktif, Jumat, 14 Mei 2010) jelas mengancam legitimasi simbolik pemerintahan ini. Drama reformasi, yang ditandai dengan terpuruknya mata uang negara Indonesia tetap tidak dibuka sebagai isu bersama. Sebaliknya demokratisasi yang absurd juga terperangkap sekedar tayangan skandal di televisi tanpa ujung.

Rousseau, pemikir pra Revolusi Perancis, menekankan pentingnya relasi warga negara dan pemerintah, tetapi bagaimana menghadirkan warga negara dalam liberalisasi pasar juga tidak ada penyelesaian konkritnya. Tak hanya proses konsultasi pemilih dan yang dipilih tidak bisa dilakukan setiap saat, tetapi gejolak pasar finansial pun diposisikan di luar kendali orang yang dipilih. Di saat yang sama orang-orang di pedalaman, semakin terancam dengan kehadiran para investor, tanah ulayat tidak dianggap oleh pengurus negara. Konsep tanah air malah tidak diakui oleh negara, tunduk pada naluri pasar.

Krisis otoritas berlapis ini seperti ‘bola liar’ yang mungkin membawa manusia untuk melampaui tantangan zaman, atau malah kembali pada naluri purba, apa pun namanya itu. Di era krisis watak schizophrenic menjadi watak ‘normal’ homo ludens, dan ‘keterasingan’ justru ditemukan dalam wajah manusia moderen. Semakin lancar membaca, semakin tersesat, dan semakin dingin. Diantara itu suara televisi di ruang tengah terus bergema, kali ini suara Kapolri melarang media massa mengangkat Kasus Susno.

Jadi, setelah anggota DPR tidak diberikan hak berpendapat, media pun mau dibungkam, apa mungkin Pemilu hendak ‘coblos’ sendiri biar makin afdol? Ini negara Bung! Berbeda dengan perusahaan yang mana kalau komisaris utama bicara, semua bawahan harus taat!

* Mahasiswa PhD di Departemen Sosiologi, University of Birmingham, Anggota Persaudaraan Indonesia (Persindo)


Leave a comment

Politik Etis Intelektual Indonesia


Politik Etis Intelektual Indonesia

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Dalam opini Daoed Josoef (Suara Pembaruan, 29/5/2009) dijelaskan pentingnya keterkaitan antara pendidikan dan politik. Juga menekankan pentingnya pendidikan elit yang memilikki jangkauan keseluruhan sebagai elemen penting dalam proses pembentukkan negara.

Dalam tulisan ini, penulis beragumentasi bahwa dalam perangkap modal, elit yang terdidik tidak bisa berbuat banyak, selain harus tunduk para pemilik modal yang menjadi pemimpin partai politik sekaligus pemiliknya. Sekaligus menunjukkan bahwa di abad ini elit terdidik Indonesia yang memiliki determinasi untuk membuka jalan baru juga semakin minim.

Figur pelopor, elit terdidik terdepan, yang tidak mengkultuskan dirinya sendiri memang amat minim. Saat ini generasi semacam itu, bukannya tidak ada, tetapi generasi yang ada hampir yakin bahwa tidak ada jalan lain selain masuk ke dalam partai politik. Dengan risiko tidak dianggap cerdas atau memiliki idealisme. Di sisi dibedakan antara intelektual di partai politik dan non partai.

Persoalannya, sejauh mana para generasi yang sempat diharapkan itu akan mampu ‘merubah dari dalam’ jika budaya partai politik tetap fokus pada tokoh. Dalam kejadian lanjutan, proses ini cenderung tanpa kontrol karena para individu berbakat pada akhirnya terperangkap dalam manuver politik sesaat. Kesimpulannya, perubahan tidak mungkin terjadi, selama partai politik hanya dianggap sebagai milik personal. Keluar dari praktek privatisasi partai politik ini seharusnya menjadi agenda utama untuk dikritisi dan dibuka. Jelasnya, strategi dua kaki perlu dipikirkan bagi para intelektual yang memilih aktif di partai.

Sebab selain ‘agenda politik praktis’ terkait Pemilu, maka sangat penting bagi partai politik kembali meletakkan partai politik dalam sistem politik dalam konteks kenegaraan. Bagaimana mungkin sense of wholeness dapat ditangkap jika horizon politik para generasi baru hanya sebatas Jakarta? Di sisi ini, kelemahannya, hanya kader yang berasal dari TNI yang memilikki catatan profesional penugasan di berbagai wilayah Indonesia. Kontradiksinya di saat yang sama TNI diminta untuk netral.

Keluar dari privatisasi partai
Pentingnya pendidikan yang membebaskan, misalnya meminjam metode Freire yang egaliter, dan yang bukan memanipulasi mungkin diadakan jika otoritas tertinggi di dalam partai politik tidak melakukan privatisasi partai politik. Dalam kenyataannya, keempat partai politik yang bersaing dalam Pemilihan Presiden-wakil presiden: Demokrat, Golkar, Hanura, dan PDIP, hingga saat ini tetap terperangkap dalam politik tokoh.

Debat yang terjadi menjelang Pemilu 2009 ini menunjukkan isi debat Pemilu 2009 hanya berkutat di masalah personal para calon presiden maupun wakilnya. Misalnya, berapa kuda yang dimilikki Prabowo, Boediono tinggal di mana, Megawati pendidikannya apa, dan lainnya. Karakter pembeda partai politik itu tidak ada–di sisi ini PKS merupakan perkecualian.

Karakter pembeda itu tidak tampak di dalam isi debat antar partai politik yang saling mendukung pasangan berbeda. Contohnya, dalam pasar Pemilu Presiden, kata semacam ‘neolib’ maupun ‘kerakyatan’ tidak menemukan pengertiannya, dan hanya sekedar menjadi komoditas perang mulut. Karena kata-kata ini hanya diletakkan sekedar jargon dan ‘disuntikan’ dalam sistem informasi, dan bukan merupakan platform partai politik yang bersangkutan. Tepatnya, ide yang dipaparkan hanya sekedar informasi, bukan merupakan karakter partai politik. Tidak adanya proses pendidikan politik, bukan indoktrinasi, dan usaha keluar dari privatisasi partai merupakan kritik utama bagi intelektual di dalam partai-partai politik.

Ditambah dengan ruang publik yang terbeli dengan advertorial dan yang lebih halus lewat berita juga membuat kita seolah-olah sedang ‘berdemokrasi’. Sebaliknya ‘ruang kritis’ untuk mengkaji sistem tidak dibuat. ‘Realitas’ yang dikemas para pekerja media televisi ‘takluk’ di tangan pemilik modal. Bagi kita, komersialisasi TVRI merupakan kemunduran karena kita tidak memilikki ruang yang tidak terbeli. Ini bisa dibandingkan dengan peran BBC yang tidak pernah ‘dijual’ untuk menjaga netralitas ruang publik (public sphere).

Politik etis intelektual Indonesia
Saat ini kalangan intelektual Indonesia yang sebagian besar merupakan kaum urban dan berdomisili di kota dalam apologinya selalu menyatakan bahwa kita harus terlibat dalam Pemilu 2009, dan menyatakan ini lah ‘capres terbaik’ dari yang ada. Bahkan sebagian ilmuwan sosial menyatakan agar legitimasi Pemilu 2009 ini agar tidak dipertanyakan. Pertanyannya, jika sebagai kajian ilmiah proses pembentukan sistem demokrasi Indonesia ini tidak dibuka, lantas di ruang mana kita akan berdialog?

Sense of urgency untuk memotori proses perubahan pasca badai krisis finansial di tahun 1997 amat minim di kalangan intelektual. Kelompok intelektual yang terbentuk di era reformasi, selalu ada dalam posisi sektarian, parsial sekaligus partisan. Di sisi ini kemungkinan untuk ‘mengadakan negara’ juga melemah.

Usaha emansipasi politik sebagai cita-cita pergerakan kemerdekaan seharusnya mampu menjadi agenda bersama dari berbagai wilayah Indonesia sehingga kaya perspektif. Contohnya di media, para calon presiden maupun wakil, berusaha ditulis sebagai figur yang ‘amat sederhana’. Misalnya Boediono dianggap amat sederhana. Pada saat yang sama, seorang Papua yang hidupnya jauh lebih sederhana, harus mengungsi karena ‘ruang hidupnya’ diambil, entah untuk perluasan perkebunan maupun daerah tambang baru. Ironisnya dalam sistem politik saat ini tidak ada celah baginya untuk bersuara. Ruang politik untuk kalangan ‘tidak terdidik’ ini tidak ada, dan juga tidak terwakilkan dalam kalangan terdidik.

Di era kolonial, di akhir abad ke 19, subordinasi ras dalam kolonialisme dikritik oleh beberapa intelektual Belanda mulai dari Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Ernest Douwes Dekker (Danoedirdja Setiabudi), hingga Wim F.Wertheim. Pandangan mereka ditulis oleh warga Hindia Belanda, Suwardi Suryaningrat dengan judul ‘Als ik eens Nederlander was’ di tahun 1913. Tulisan itu mengkritisi pemaknaan kemerdekaan yang dilakukan oleh warga Belanda, sedangkan di saat yang sama masih menjajah. Sehingga menuliskan ‘Seandainya Saya Orang Belanda’. Kini, dalam ruang imajinasi, bisa dibayangkan apa yang akan dikatakan oleh para intelektual penggagas politik etis Belanda, kepada Suwardi Suryaningrat jika mereka berdialog di tahun 2009.

Praktek dominasi memang telah melewati batas warna kulit, dan semakin tidak kelihatan. Sedangkan emansipasi politik ekonomi di dalam negara tidak mungkin dilakukan selama ‘golongan negarawan’ lepas tangan.

Berbeda dengan Daoed Josoef, yang mengambil contoh Eaton, maka penulis berargumentasi bahwa saat ini para golongan terdidik yang bersekolah di mana saja harus mampu bertemu. Sebab Eaton di Inggris ada karena akumulasi pengetahuan sudah terjadi, dan struktur utama negara sudah berhasil dipetakan. Ditambah kondisi luar juga terpantau dan dikembangkan terus menerus. Selain itu pembuatan sekolah elit di Indonesia posisinya selalu berada di bawah kelompok politik lama, dan tak bisa banyak diharapkan lulusannya akan mampu memilikki jangkauan menyeluruh.

Bagi kita, usaha merekonstruksi Negara Indonesia selalu terjebak dalam politik sebagai sebagai perkara personal dan selalu dibayang-bayangi wawasan totaliter. Karena demokrasi ditempatkan tak lebih sekedar alat berkuasa daripada sebuah ruang yang harus dijaga dan dikembangkan.

Untuk itu hadirnya golongan intelektual negarawan merupakan kebutuhan kita saat ini. Momentum konvergensi ini lah yang harus diciptakan. Sekian warga negara terdidik dari berbagai komunitas di wilayah Indonesia perlu bertemu, dan bersama-sama terlibat dalam ‘mengadakan’ wajah manusia dalam nasionalisme Indonesia. Logikanya sebelum sebuah sekolah ideal terbentuk, ada sekelompok warga yang telah bertemu untuk merumuskan gagasan. Sisi ini yang luput dan lupa dikembangkan di era reformasi.

Di dalam sejarah Indonesia, momentum konvergensi ini dilakukan oleh para pemuda dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Dari sisi ini nasionalisme bukan lah doktrin, seperti yang dikembangan Orde Baru hingga pemerintah hari ini, tetapi usaha rekonstruksi kolektif.

* Co-editor Jurnal Academia NTT, Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia)


Leave a comment

Seandainya Saya Orang Indonesia


Seandainya Saya Orang Indonesia

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Marshall McLuhan populer dengan pernyataannya the medium is the message. Meminjam ungkapan ini tak hanya pesan dari para komunikator politik dalam Pemilu 2009 yang layak diuji ‘neolib’ atau tidak, tetapi sekian elemen dari Pemilu, dan Pemilu 2009 yang menjadi pesan itu sendiri.

Intervensi negara ke dalam pasar hanya baru dilihat sebagai policy pemerintah yang akan datang yang disuarakan masing-masing tim sukses. Entah mengapa Pemilu 2009 tidak dilihat sebagai ‘pasar politik bebas’ yang telah berlangsung tanpa kontrol negara? Sebab persoalannya jika ‘pembawa pesan’ (medium) juga merupakan pesan, dan kita hanya menganalisis pesan literer yang keluar dalam kata apakah itu kritis?

Tanpa kontrol negara, Pemilu 2009 telah dan sedang menjadi pertarungan para pemodal. Partisipasi warga negara amat minim. Paradoksnya ruang politik pun telah menjadi pasar. Pemilu 2009 berlangsung tanpa intervensi negara untuk melindungi hak-hak warga negara dalam hal emansipasi politik.

Privatisasi Partai Politik
Di dalam pasar Pemilu, kata semacam ‘neolib’ maupun ‘kerakyatan’ aslinya hanya sekedar komoditas politik, tidak menjelaskan apa-apa. Terpisahnya kata dari realitas hidup sehari-hari merupakan persoalan lama para intelektual Indonesia. Ilmu di kalangan kaum terdidik telah menjadi komoditas politik dan hanya sekedar informasi yang bergerak di media massa.

Saat kampanye capres saat ini, ruang publik pun ikut ‘dibeli’, dengan advertorial dan semacamnya yang lebih halus lewat berita. Media, terutama televisi, pun sudah lama diprivatisasi. ‘Realitas’ yang dikemas para pekerja media televisi sering takluk di tangan pemilik modal. Komersialisasi TVRI pun merupakan kemunduran. Ini bisa dibandingkan dengan peran BBC yang tidak pernah ‘dijual’ untuk menjaga ruang publik.

Ketidakmampuan ‘negara’ dalam melindungi warga negara tampak jelas dalam privatisasi partai politik. Persoalan akses warga ke ruang politik hanya disederhanakan sekedar tercatat dalam daftar pemilih atau tidak. Padahal privatisasi partai politik hanya akan membawa kita ke pola politik Machiavelli, jauh dari demokrasi yang sedang dibayangkan. Kita sedang kembali pada sistem dinasti dengan basisnya keluarga.

Privatisasi elemen koersif negara yang ditandai dengan bersaingnya para eks purnawirawan TNI beserta staf merupakan bagian dari perapuhan struktur lama. Setara dengan ini, tidak becusnya penghitungan DPT dan penyelenggaraan Pemilu masih dilihat sebagai persoalan teknis semata. Padahal ini juga tanda perapuhan birokrasi sebagai elemen penting negara. Koordinasi pemerintahan semakin melemah dan di tengah ‘kebangkrutan’ ini lah Pemilu 2009 diadakan.

Politik etis intelektual Indonesia
Kalangan Intelektual Indonesia yang sebagian besar merupakan kaum urban dan berdomisili di kota-kota besar dalam apologinya selalu menyatakan ini lah ‘capres terbaik’ dari yang ada. Ini menjadi alasan etis untuk saling bertukar pesan di media massa, tanpa menghiraukan krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 dampaknya semakin kuat dirasakan setelah satu dekade. Jelasnya tanpa menghitung semakin lama ‘sisa pembangunan’ Orde Baru yang sedang menguap.

Usaha emansipasi politik sebagai cita-cita pergerakan kemerdekaan harus menjadi agenda bersama dan dilakukan dari berbagai wilayah, bukan cuma dimonopoli segelintir elemen di atas di Jakarta. Contohnya di media, para calon presiden maupun wakil, berusaha ditulis sebagai figur yang ‘amat sederhana’. Pada saat yang sama, seorang Papua yang hidupnya jauh lebih sederhana, harus mengungsi karena ‘ruang hidupnya’ diambil, entah untuk perluasan perkebunan maupun daerah tambang baru. Ironisnya dalam sistem politik saat ini tidak ada celah baginya untuk bersuara.

Subordinasi ras dalam kolonialisme dikritik oleh warga Belanda dari Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Ernest Douwes Dekker (Danoedirdja Setiabudi), hingga Wim F.Wertheim. Jika saat ini mereka bisa mengganti judul tulisan Suwardi Suryaningrat ‘Als ik eens Nederlander was’ di tahun 1913, menjadi ‘Seandainya saya orang Indonesia’, entah apa yang akan dikatakan oleh para calon presiden ini? Rasa malu ini yang sudah tidak kita miliki lagi.

Emansipasi politik maupun ekonomi tidak mungkin dilakukan selama ‘negara’ lepas tangan. Kenyataan hidup rakyat Indonesia seharusnya menjadi inspirasi para calon presiden ini untuk lebih membumi, daripada sibuk ‘bermain simbol’ ke Bandung atau tempat sampah.

Suara rakyat seharusnya tidak dijadikan komoditas politik. Mungkin setelah itu dilakukan baru ‘neolib’ versi Pemilu 2009 perlu didiskusikan lebih jauh, sebab demokrasi liberal masih ada di tangan para pemodal, dan jauh dari pertemuan antar manusia Nusantara. Sehingga agenda para investor utama di balik ketiga calon presiden ini perlu dibuka daripada hanya saling menuding ‘neolib’ atau ‘kerakyatan’. Rasa negara ini yang harus diperjuangkan sebelum seluruh ruang hidup diubah menjadi pasar.

*Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia), Co-editor Jurnal academia NTT


Leave a comment

Tragedi Politik dan Kekuasaan


Tragedi Politik dan Kekuasaan

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Pemilu lanjutan memilih presiden dan wakilnya semakin terperosok sekedar menjadi perkara personal semata. Dalam buku lama, pola berpolitik semacam ini persis dipotret Niccolo Machiavelli ketika menulis ‘Sang Pangeran’ (Il Principe). Politik kekuasaan hanya menyangkut perkara personal (sang pangeran), ditambah pemahamannya tentang ‘konstruksi sosial’ untuk berkuasa.

‘Demokrasi liberal’ di Indonesia tahun 2009 kembali terjembab ke pola politik abad 15 Italia yang meneruskan pola politik dinasti. Sejak Pemilu 1955 hingga saat ini Pemilu selalu kandas, dan hanya menghasilkan ‘Pangeran baru’. Seorang pribadi yang menjadi institusi disebut diktator.

Kini setelah satu dekade lebih proses reformasi (1998-2009) tidak ada tanda-tanda bahwa ‘sistem politik Indonesia’ akan berubah dan memperhatikan partisipasi rakyat. Sebaliknya politik ala Machiavelli hanya tiba pada rekayasa sosial dan pseudo-democracy.

Keengganan warga untuk memilih dalam sistem politik semacam ini tercermin dari jumlah 49 juta lebih warga yang tidak menggunakan hak pilihnya walaupun terdaftar (Kompas 10/5/2009). Ini diperjelas dengan seruan sebagian warga yang menyerukan untuk Golput di pilpres mendatang yang diantaranya diwakili Sri Bintang Pamungkas dan sejumlah aktivis mahasiswa 1998.

Politik Slogan
Menghadapi riak ini sejumlah ilmuwan sosial menghimbau agar legitimasi Pemilu 2009 tidak dipertanyakan. Karena jika itu terjadi Republik ini hanya akan menghadapi anarki terbaru. Di saat yang sama para ilmuwan sosial tidak memberikan jawaban terhadap ketidakpuasan pemilih dan ‘jalan keluar’.

Saat ini partai-partai politik yang ada menempatkan figur ‘orang’ jauh lebih besar daripada partai politik itu sendiri. Partai politik hanya sekedar kuda tunggangan. Hal semacam ini biasa terjadi di ‘negeri satu partai’. Indonesia saat ini lebih mirip Rusia dengan perkecualian di sana tidak hadir partai berbasis komunitas-komunitas keagamaan. Di Rusia partai politik dipegang koalisi bekas tentara dan oligarki internal.

Era Peralihan dari negara dengan tipe pribadi yang lebih besar daripada negara, memang menurunkan kisah-kisah serupa. Pembentukkan partai politik umumnya menempatkan ‘satu figur’ sentral, tanpa perlu memperlihatakn perbedaan visi dan misi parpol itu sendiri. Bedanya kini jumlah tokohnya menjadi beberapa pasca era totaliter. Pemilu di Indonesia pasca 1998 lebih menyerupai tayangan drama sit-com, di mana orang tertawa karena dibayar. Meskipun tidak lucu. Dengan penguasaan televisi oleh pengusaha politik maka lengkap sudah saluran yang dibutuhkan untuk mengklaim ‘kenyataan’.

Tragedi dan Demokrasi
Ironisnya, dalam berbagai forum dialog di tanah air era ini disebut ‘era transisi’. Entah transisi ke mana. Warga negara yang merasa tidak diwakili dalam proses politik semacam ini tidak tahun harus berbuat apa. Bagaimana harus bersikap menghadapi aparat negara yang dalam ‘sekejap mata’ bisa menjadi bandit juga tak jelas.

Sistem politik semacam ini adalah jebakan baru. Dengan stabilitas yang sifatnya sementara kita malah mungkin akan berada dalam tragedi yang lebih panjang. Ketika konsolidasi kekuasaan selesai sikap rezim pun tidak mudah untuk dikritik. Di era Soeharto ini terjadi pasca peristiwa Malari (1974).

Dua kali transisi kekuasaan panjang di dua kursi kepresidenan Indonesia terjadi dalam situasi tragedi. Indikasi yang paling mudah adalah kita tidak mudah menyatakan dengan suara bulat bahwa baik Soekarno maupun Soeharto adalah pahlawan. Keduanya dalam perjalanan menjelma menjadi institusi politik itu sendiri.

Hal serupa kini sedang terjadi. Pasca 1998 proses institusionalisasi berbagai elemen sosial ke dalam sistem demokrasi tidak terjadi. Partisipasi politik masih dalam lingkaran yang amat terbatas. Core utama politik Indonesia masih lah beberapa keluarga. Sokongan dana ke partai politik dimaknai sebagai ‘arisan keluarga’. Alat tukar dalam arisan jenisnya macam-macam, tidak tunggal, demi kekuasaan.

Setidaknya ada dua kritik terhadap Pemilu ini: pertama, semestinya kita sudah mulai melakukan sesuatu agar seorang pribadi tidak lagi menjadi institusi di dalam negara. Tetapi mengapa pasca 1998 yang terjadi hanya lah silang pendapat t soal siapa menjadi Presiden? Ide apa yang dibawa tidak begitu dipedulikan untuk dibahas. Kedua, demokrasi sebagai kanal perbedaan dan silang pendapat di Pemilu 2009 telah di-amputasi dan hanya menjadi milik segelintir elit. Saluran suara warga negara belum mendapatkan kanalnya. Stabilitas sesaat memang terlihat lebih jelas, tetapi semestinya tragedi yang belum kelihatan itu juga harus diwaspadai.

Negara yang legitimasinya hanya disandarkan pada kekuatan elemen koersif pada akhirnya hanya menjadi ‘asing’ di antara warga negaranya sendiri. Kondisi ini mungkin tidak dirasakan di pusat kekuasaan (Jakarta), tetapi di daerah pinggir konflik ini telah terjadi dan sangat jelas. Sayangnya para ilmuwan sosial Indonesia bungkam terhadap hal ini.

*Anggota Persaudaraan Indonesia (Persindo); Co-editor Jurnal Academia NTT


Leave a comment

Nasionalisme dan Politik “Sakit Jiwa”


Nasionalisme dan Politik “Sakit Jiwa”

Jumat, 24 April 2009 | 03:36 WIB

Dominggus Elcid Li

Bagi para nasionalis, rakyat dalam negara selalu dibayangkan sebagai ”persaudaraan setara” (horizontal comradeship), dengan mengabaikan ketidaksetaraan dan eksploitasi dalam komunitas ini (Anderson, 2006 [1983]).

Hal itu diutarakan dalam definisi Imagined Communities guna menjelaskan paradoks pengertian ”komunitas” negara.

Pandangan semacam ini kuat dalam retorika di negara-negara baru hingga 1960-an. Di Asia, stagnasi retorika nasionalisme dan kontradiksi ini dialami Jawaharlal Nehru di India (Das, 2000) dan Soekarno di Indonesia yang berujung tragedi 1965. Di RRC, Mao Tse Tung melanjutkan ide ini dengan ”revolusi kebudayaan” untuk mencapai horizontal comradership. Perlu dicatat, meski telah melakukan sekian jilid revolusi kebudayaan, tidak berarti RRC telah dan akan lepas dari kontradiksi ini.

Pascanegara Orde Baru

Negara Orde Baru, meminjam istilah Dhakidae (2003), hingga akhir hayatnya, melakukan politik massa mengambang. Dalam paradigma ini hubungan elite penguasa dengan ”rakyat” hanya ada di tataran simbolik, tidak dalam kenyataan sehari-hari.

Ketidakmampuan Orde Baru menjawab kontradiksi di masyarakat kian kontras dengan definisi ”umat” yang eksistensinya lebih nyata dibandingkan jargon untuk rakyat partai-partai politik saat itu. Persaudaraan setara menemukan maknanya di sana.

Pasca-Orde Baru, berbagai cara dilakukan untuk menjawab kontradiksi ini. Berbagai organisasi keagamaan bertransformasi menjadi partai-partai baru dan mengambil bentuk serupa seperti dalam Pemilu 1955. Dalam perjalanannya, konsep ”rakyat” dan ”umat” tidak mudah dipertemukan. Contohnya, baik PAN maupun PKB selalu ada dalam posisi mendua dalam gerak majunya untuk memperbarui horizontal comradeship. Hal serupa dialami PKS sebagai partai kader yang mencoba untuk populis.

Sedangkan partai-partai nasionalis, semacam PDI-P, tetap ada dalam situasi yang sama pada tahun 1965. Kaum Marhaen masih retorika yang tidak mudah menemukan bentuk nyatanya. Retorika yang dibawa Megawati pun tetap pada masa lampau.

Para bekas jenderal sebagai pilar utama Orde Baru ”bergerilya” dengan sejumlah partai politik baru. Partai Demokrat disimbolkan sebagai partai kaum modern dan demokratis. SBY disimbolkan sebagai ”Jenderal yang tidak bermasalah dengan HAM”. Tetapi oleh berbagai kalangan dikritik karena ”peragu” dalam menjawab kontradiksi kebijakan ekonomi yang menomorsatukan investor-pebisnis dan tidak mampu membela ”rakyat”. Di sini rakyat adalah yang ”ada” di pinggiran kekuasaan politik-ekonomi dan tidak bisa bersuara.

Kritik terhadap SBY ini coba dijawab Prabowo dengan kehadiran Gerindra. Platform ekonomi disusun sebagai antidominasi ”pemodal asing”, tetap tidak menjawab kontradiksi internal tentang oligarki pribumi yang telah tumbuh sejak era Soeharto.

Rakyat ”Zelf-Bewust”

Kita semua adalah ”anak ingatan” Orde Baru dan hidup dalam kontradiksi yang diwariskan.

Kontradiksi pertama, dalam pengorganisasian parpol kita tidak mampu keluar dari politik massa mengambang maupun turunannya. Politik di fase ini dimengerti dan dijalankan sebagai aktivitas padat modal (capital). Maka, yang tidak punya modal bukan bagian dari lingkaran inti.

Kontradiksi kedua, politik padat modal akhirnya hanya akan tiba di titik bagaimana alur modal akan mengalir. Kedua kubu politik terkini menjelaskan kontradiksi lanjutan politik padat modal. Sudut yang diwakili SBY adalah milik para pemodal yang berpandangan, asal-usul pemilik modal tidak perlu diperhitungkan, selain modal itu sendiri. Sedangkan Megawati-Prabowo mewakili pandangan para pemilik modal ada dua jenis: ”pribumi” dan ”asing”. Kedua kontradiksi ini menghasilkan ilusi ganda.

Padahal, bagi orang Indonesia, rasa persaudaraan setara itu hingga kini masih dirindukan. Dalam contoh populer diwakili Laskar Pelangi yang mengusung pesan: persahabatan, kemandirian, dan prinsip materi bukanlah segalanya. Ide yang diusung Laskar Pelangi paralel dengan pidato Bung Karno pada tahun 1948.

Pada tahun itu Bung Karno (Soekarno, 1948:59) berpidato: ”Buatlah rakjat-djelata kita zelf- bewust!” Ia menjelaskan, rakyat jelata harus dibuat sadar arti golongannya sendiri. Mungkin ia berharap, suatu saat rakyat jelata di Indonesia mampu berbicara untuk membela diri sendiri. Kini jangankan zelf-bewust (sadar diri), sebaliknya rakyat jelata terjebak ”ilusi ganda” dan sebagian menjadi pasien rumah sakit jiwa. Semoga tragedi ini bisa dimengerti para kandidat presiden.

Dominggus Elcid Li Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia); Co-Editor Jurnal Academia NTT

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/24/03363970/nasionalisme.dan.politik.sakit.jiwa


Leave a comment

Titip Semen Kupang


D.Elcid Li*

Kabar hilangnya pekerjaan pegawai PT.Semen Kupang yang berarti hilangnya nafkah hidup ribuan angota keluarga hingga hari ini belum menjadi agenda penting para caleg. Dari rekaman data media terlihat, isu kampanye yang coba diangkat para caleg tujuan Senayan masih belum lah memakai skala prioritas. Kalau dikatakan populer iya, tetapi tidak menyentuh skala prioritas.

Dari sesumbar retorika para caleg, ketika berbicara soal strategi ekonomi yang terlihat adalah pilihan dari ekstrim ke ekstrim. Maksudnya ketika ada orang yang berbicara soal strategi ekonomi maka pembicaraanya terbatas soal peternakan dan pertanian–ditambah perikanan laut. Padahal pendidikan moderen orientasinya menghasilkan para lulusan pencari kerja. Entah pegawai negeri, swasta, LSM, atau apa saja. Strategi pendidikan yang dikembangkan dalam sekian dekade terakhir ini tidak menunjukkan orientasi lulusannya untuk kembali kampung dan bergerak di sektor riil.

Apa kaitannya dengan PT.Semen Kupang?

Hingga dua dekade lalu, pilihan untuk menjadi PNS masih merukan pilihan favorit dan realistis, karena mungkin dan ada peluangnya. Setidaknya tercatat peluang menjadi PNS itu makin tipis dengan munculnya kasus kekerasan di Sumba Barat lebih dari satu dekade silam. Meskipun sudah muncul kasus ini, tetapi usaha untuk memunculkan peluang kerja baru masih lah amat minim. Yang justru terjadi adalah pengelompokkan primordial untuk memperebutkan kue di kursi birokrasi, dan legislatif.

Tanpa berusaha mengerti gambar besarnya, para elit terdidik cenderung untuk fokus pada persoalan mereka sendiri untuk memperoleh atau melanggengkan akses ekonomi terbatas dalam dua aspek di atas. Contohnya, proses ‘penyehatan’ PT.Semen Kupang ini terkesan dibiarkan dan para karyawannya ditinggal merana. Persoalan ini dalam ruang lingkup Provinsi NTT sebaiknya tidak dibaca sederhana. Karena ditutupnya PT.Semen Kupang merupakan mundurnya usaha ber-industri di NTT. Disadari atau tidak ini lah industri dalam skala terbesar yang ada di NTT, tetapi herannya ketika ditutup persoalan ini tidak bisa dilihat dengan jeli.

Kasus PT.Semen Kupang ini harus bisa dibuka dalam kacamata politik ekonomi kawasan. Dengan angka kaum terdidik yang setiap tahun bertambah, dengan sendirinya kebutuhan terhadap lapangan pekerjaan merupakan sebuah kebutuhan riil. Sehingga pertanyaannya memang langsung ditujukan kepada pemerintah pusat: dalam disain perekonomian kawasan timur Indonesia, apa rancangannya yang dibikin untuk NTT?

Komunikasi politik: Diam?

Berbicara soal akses, sama artinya berbicara soal lobi dan kemudian turun pada alokasi proyek. Dari sisi ini dipertanyakan sejauh mana PT.Semen Kupang sebagai pilot project industri di NTT ada dalam peta ekonomi kawasan? Atau dalam disain ekonomi nasional (Republik Indonesia)?

Diamnya pemerintah pusat terhadap ‘kematian’ PT.Semen Kupang dalam sisi komunikasi politik menunjukkan ketiadaan akses dari NTT untuk membunyikan isu ini sebagai isu kawasan maupun nasional. Singkatnya para elit pengambil kebjiakan yang ada di NTT saat ini gagal meletakkan isu ini secara proporsional atau sepantasnya.

Padahal jika ingin dimajukan sebagai agenda nasional beberapa argumentasi ini bisa membantu menjelaskan: pertama, PT.Semen Kupang merupakan industri terbesar di NTT dan merupakan pilot project usaha ber-industri di Provinsi yang dibentuk di zaman Bung Karno sejak tahun 1958. Tercatat ada industri swasta lain seperti pengalengan daging (Icraf) yang juga kemudian ditutup dan alasan dibalik penutupannya tidak mendapatkan kajian yang cukup jelas. Dari catatan sejarah ini dapat dipahami bahwa industri itu mungkin dikembangkan di NTT, tetapi kenapa didiamkan?

Kedua, strategi pendidikan yang berorientasi menghasilkan ‘pencari kerja’ hanya akan membuat tenaga-tenaga terdidik tersungkur sebagai PNS, pengangguran terselubung, atau pindah ke kota besar (di luar NTT). Alternatif lain dari tiadanya lapangan pekerjaan tidak dimunculkan. Hal yang berhasil dimunculkan elit politik berkasta primordial: pemekaran kabupaten–dan (mungkin) sebentar lagi provinsi. Elit politik model ini hanya mampu menghasilkan pekerjaan administratif. Padahal jumlahnya terbatas, sehingga ‘memaksa’ orang untuk kembali pada sistem kekerabatan dalam proses rekrutmen.

Ketiga, ketiga berbicara soal Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu) Bolok dengan kata kunci ‘kawasan’ maka tidak mungkin didiamkan kasus kematian PT.Semen Kupang. Embrio industri di NTT ini perlu dibahas tuntas dan tidak dibiarkan sebagai bukti kegagalan ber-industri. ‘Otopsi lengkap’ harus mampu dihadirkan, sehingga bisa dilihat kemungkinan intervensi yang bisa dilakukan. Sebab ‘Kapet’ bukan lah kata yang turun dari lamunan.

Jika selama ini ‘politik pencitraan’ PT.Semen Kupang merupakan milik ‘Provinsi NTT’ tidak sejalan dengan proporsi kepemilikan saham di dalamnya maka dengan sendirinya para caleg memilikki bahan untuk diobrolkan dalam ‘kampanye politik’ kali ini. Terutama untuk para caleg yang mewakili Provinsi NTT ke Senayan.

Kampanye melawan Lupa

Selain sekian alasan yang sifatnya abstrak, seharusnya kita mampu melihat bahwa perubahan drastis yang terjadi ini dengan sendirinya membuat para karyawan harus ‘banting stir’ untuk mencari kerja demi bertahan hidup. Pemerintah (entah daerah atau pusat) seharusnya tidak bisa lepas tangan. Dengan otoritas yang dimilikinya agak aneh kalau pemerintah diam dan hanya menjadi penonton. Apalagi berpura-pura lupa. Bagi para caleg yang mewakili Provinsi NTT pun mereka perlu ‘diuji’ sejauh mana politik ekonomi kawasan NTT ada dalam agenda pembahasan. Agar tak hanya sibuk melihat wajah dalam baliho atau sticker yang dibikin sendiri.

Jadi SMS singkat dari tulisan ini untuk para peserta kampanye dengan tujuan Terminal Senayan: Titip PT.Semen Kupang dalam kampanye anda!


Leave a comment

KKP dan Nasionalisme Indonesia


Oleh: Elcid

Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia dan Timor Leste telah menghasilkan keputusan politik bagi kedua negara. Sedangkan persoalan keadilan dan penentuan siapa saja yang menjadi korban dalam proses dekolonisasi Timor Timur masih merupakan utopia.

Politik dan tentara
Hasil keputusan KKP menunjukkan bahwa riil politik-nya tentara maupun eks tentara (purnawirawan) di Indonesia masih menjadi pelaku politik utama negara ini. Di saat yang sama menunjukkan untuk Negara Timor Leste, pengaruh Negara Indonesia adalah vital dalam usahanya bernegara.

Dalam kasus kekerasan pasca jejak pendapat Timor Timur tahun 1999 dan kaitannya dengan politik hukum di Indonesia hanya dua orang yang pernah dipenjara: Abilio Soares (Gubernur RI terakhir) dan Eurrico Gutteres (Komandan Aitarak). Selebihnya dibebaskan karena hanya menjalankan komando dan merupakan institusi militer resmi sebagai elemen dominan negara.

Sebelum pelaksanaan Jejak Pendapat 1999, kepada Herb Feith, Indonesianis yang juga korban NAZI, saya menyatakan bahwa persoalan Timor Timur seharusnya tidak diputuskan dulu. Dua argumentasi yang diajukan: pertama, menyangkut persoalan negara posisi B.J Habibie sangat riskan, karena sebagai pemimpin pemerintahan transisi (baca: hibah) keputusan yang diambil atas nama negara. Sebaiknya diputuskan menggunakan instrumen negara hasil ‘reformasi’. Kedua, kemerdekaan Timor Leste hanya lah memindahkan korban/pelaku konflik dari Timor Timur ke Timor Barat.

Tetapi, pandangan di atas menjadi kurang penting, karena persoalan politik yang ukurannya adalah kalah atau menang, dari sisi Pejuang Timor Leste merupakan momentum kemerdekaan. Kelemahan yang terjadi di Jakarta merupakan kemungkinan yang harus diambil untuk meraih kemerdekaan.

Bagi tentara Indonesia, pelepasan Timor Timur dianggap sebagai bentuk de-legitimasi yang dilakukan politisi sipil. Situasi serupa terjadi di Timor Leste, dalam bernegara ada perbedaan antara Xanana Gusmao, yang dulu elemen militer Fretilin, dan Marie Alkatiri, ahli hukumnya. Penembakan Jose Ramos Horta dan Reinaldo Alfredo juga salah satu bukti terjadinya krisis dalam hubungan sipil-militer dalam fase transisi.

Di Indonesia dominasi tentara dalam politik berlangsung di bawah kepemimpinan Presiden kedua RI, yang tidak bisa lepas dari peristiwa 1965. Proses perolehan kekuasaan sendiri tidak pernah jelas, sehingga dapat dikatakan sejak itu, posisi antagonis dalam ‘bernegara’ selalu diambil tentara.

Jika kekuatan politik dominan kedua negara diwakili dalam laporan KKP, maka di Timor Barat hasil kerja KKP ditolak Eurrico Gutteres yang berpandangan ini hanya mengusut peristiwa 1999, tanpa melihat konflik sebelumnya. Ini pun bisa ditelusuri dengan memahami munculnya Orde Baru dalam konteks perang dingin yang tidak lepas dari dukungan sekian negara besar, dan perebutan kekuasaan di tahun 1965. Sebab antara ‘Orde Lama’ dan ‘Orde Baru’ memiliki pandangan berbeda tentang Timor Timur.

Ke Timor Barat
Dari dua argumentasi kepada Herb, hal kedua yang menjadi kenyataan. Hal pertama, reformasi, atau nasionalisme Indonesia versi ketiga, tidak pernah terwujud. Nasionalisme, ternyata ilusi yang lain, seperti mungkin yang dirasakan sekian ratus ribu pengungsi di Timor Leste, maupun di Timor Barat.

Tahun 2002, tercatat 111.540 warga Timor Timur tetap menjadi warga RI dan menolak skema repatriasi. Tahun 2006 terdata 53.889 warga masih hidup di camp, maupun di lahan milik warga lokal di NTT. Jumlah warga yang merana diperkirakan lebih besar karena tidak ada datanya di pulau-pulau besar. Kebenaran, keadilan, dan negara merupakan hal absurd untuk mereka.

Terlepas dari pandangan kontra terhadap hasil KKP karena tiadanya tanggungjawab individu, namun di sisi ini ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa institusi militer Indonesia mau berbenah, dan Kepala Negara RI menyatakan penyesalan. Tragedi kemanusiaan kita tak cuma ini, para korban 1965 hingga kini belum menerima pernyataan penyesalan mendalam atas nama negara.

Generasi saat ini perlu membuktikan bahwa bahwa nasionalisme Indonesia tetap mampu kembali pada rasa manusia, dan negara mampu diteruskan tanpa tumbal.


Leave a comment

Wakil Presiden dari NTT


Oleh: D. Elcid Li

Hiruk pikuk ‘nyapres’ di Jakarta hanya memberikan tempat orang-orang di pinggiran—termasuk NTT—sekedar penonton saja. Kalau pun ada yang ikut di pusat, posisinya masih ‘sama’: penonton. Singkat cerita, Pemilu Presiden 2009 mendatang gambarnya hampir mirip dengan permainan ‘bola guling’ di rumah duka .

Warga Flobamora (akronim untuk beberapa pulau besar di NTT: Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata) jelas bukan pemain/pemasang taruhan, cuma sekedar penonton yang mengitari meja. Sebagai penonton kadang berdecak kagum karena jagonya menang, kadang marah-marah karena jagonya kalah, dan kadang tidak pusing juga karena duit yang dimakan bandar bukan lah miliknya. Tapi, kadang, jika semangat mendukung salah satu pemain, bukan tidak mungkin ia dapat tip. Bisa jadi tip cukup besar dan dinamakan jabatan. Lumayan cuma modal mulut.

Jika meja bola guling adalah pentas politik, maka rumah duka itu adalah negara. Pemilu bagi warga NTT adalah ajang melayat. Yang namanya melayat meskipun dekat dengan kematian tidak berarti isinya duka melulu. Sebab di bawah terpal biasanya para sahabat lama bertemu, musuh pun saling berjabat tangan, karena semuanya tahu bahwa ‘kematian’ memang bisa tiba kapan saja. Dan, hari terakhir bisa jadi malam itu. Para pemain wajahnya ada dua belas rupa, siap bertukar wajah untuk mengaburkan pesan dan jumlah uang yang dibawa di kantong. Kata pengamat kantong ada hubungan dekat dengan suara. Kata pengamat politik lagi Indonesia adalah salah satu negara demokratis terbesar di dunia.

Tetapi, pertanyaannya, siapa yang meninggal ketika Pemilu tiba? Jawabannya tak mesti orang. Bisa jadi negara, bisa jadi kematian orang pinggiran untuk kesekian kali. Pinggiran atau marginal di sini tidak mesti berdasarkan aspek ruang geografis semata, tetapi persoalan pinggiran itu sendiri. Jadi yang mati, bisa jadi demokrasi itu sendiri. Jika tidak sepakat, minimal argumentasi ini mewakili kematian orang pinggiran dalam Pemilu sebagai ajang demokrasi.

Wapres dari NTT?
Penjelasannya begini. Bukan cuma anda yang kaget dengan pertanyaan siapa wapres dari NTT? Tetapi para pembaca maling list Forum Academia NTT pun kaget, begitu kagetnya tidak ada yang membalas pertanyaan itu meskipun setelah satu minggu berlalu. Padahal anggotanya adalah adalah dosen, wartawan, anggota DPR, mahasiswa, aktivis LSM, pastor, pendeta, dokter, dan lainnya. Jadi persoalannya bukan pada persoalan intelektual, tapi kalau bukan itu, lantas apa?

Apa mungkin untuk berimajinasi pun Orang NTT sudah tidak berani lagi? Jika sudah tidak berani berimajinasi, apakah tidak boleh dianggap mati? Jika demokrasi sebagai sebuah imajinasi pun telah mati bagi masyarakat pinggiran, lantas apa yang sedang terjadi?

Atau, jangan-jangan, judul tulisan ini pun dianggap sebagai humor semata. Humor yang tak mungkin dan menjengkelkan jadi tidak perlu dibahas. Sarkasme semacam itu jelas tidak memberikan atmosfir persahabatan. Jika kita tiba dengan rasa ini, apa ini bukan sebuah cara ‘mati rasa’ yang biasa?

Jika para calon wakil presiden saat ini cukup gagah menempelkan CV-nya, dan menuliskan nama trah keluarganya, juga jabatannya dalam logika sejarah moderen, maka jangan ditanya mana CV orang yang berimajinasi saja sudah tidak.

Sejarah nenek moyang
Soal sejarah besar tentu lah orang-orang pinggiran di NTT tidak menyimpannya. Tak pernah ada kitab soal sejarah itu. Nenek moyang yang menulis saja tak. Soal berapa lautan yang telah diarungi tempo doloe pun, Orang Dawan di Timor pun tidak ada yang tahu, sebab banyak lagi yang belum melihat laut.

Tetapi, tanpa semua kedigdayaan dan cerita besar soal kerajaan masa lalu, apakah lantas orang-orang pinggiran pantas dipinggirkan, dan pantas merasa tidak ada? Apakah benar tidak ada calon wakil presiden dari NTT? Soal ini, Bukan cuma orang NTT saja yang merasa ini wajar, Tempo edisi terbaru pun tidak menulis adanya calon wakil presiden dari NTT. Dan, itu bukan masalah!

Sampai di sini, tentu sidang perkabungan sudah mengerti, mengapa pentas demokrasi pun bisa memberi kabar duka untuk orang pinggiran. Mungkin ada yang bertanya, kenapa menjawab calon wapres saja tidak berani, bagaimana kalau pertanyaannya: ‘siapa calon presiden dari NTT?’

*Co-editor Jurnal Academia NTT, dimuat di Pos Kupang, dan ramai diperdebatkan di mailing list Forum Academia NTT. Katanya harus belajar dulu. Kayak Pak Harto dulu aja…mau ada capres lain tapi yang sudah berpengalaman. Ya cuma Pak Harto.


Leave a comment

Negara dan Nasionalisme Fase Ketiga


Oleh: Dominggus Elcid Li

Menerjemahkan nasionalisme Indonesia aktual di tahun 2007 ini memang tidak mudah bagi siapa pun. Sehingga dengan menempatkan diri sebagai seorang nasionalis dengan sendirinya diminta untuk tidak bertindak ahistoris atau melupakan sejarah, agar tindakan yang ditempuh tidak menjadi blunder bagi Republik Indonesia. Sehingga, jawabannya tidak disederhanakan, misalnya, dengan membangun Korem baru, membangun batalion, atau membangun tempat latihan bersama dengan negara asing atau bahkan menciptakan ‘musuh imajiner’ yakni rakyat sendiri.

Jika kita membagi rentang perjalanan sejarah Republik dalam tiga fase, maka nasionalisme Indonesia di fase ketiga merupakan fase terberat yang membutuhkan kejelian untuk memahaminya, karena garisnya tak sejelas era kolonial. Nasionalisme di fase pertama dilatari pergolakan di daerah koloni sebelum tahun 1945. Kondisinya cukup jelas memisahkan garis antara yang dijajah dan penjajah yang telah berlangsung selama beberapa abad. Sehingga, di tahun 1945 sejumlah pemimpin berkonsolidasi dan memproklamirkan Republik Indonesia, setelah Hirosima dan Nagasaki dibom, dan Jepang menyerah, sebagai tanda akhir Perang Dunia Kedua. Tercatat agresi Jepang, Jerman, dan Italia ke berbagai negara memicu lepasnya kontrol negeri induk terhadap koloni-koloninya.

Nasionalisme fase kedua, berlangsung pasca kemerdekaan. Usaha untuk memperjelas, batas kedaulatan negara pernah dilakukan oleh proklamator Indonesia, Soekarno bersama para pemimpin Asia Afrika di Bandung. Namun khusus untuk Indonesia euforia romantisme merdeka bekas negara jajahan di dua dekade awal kandas di tahun 1965, karena ketidakmampuan para pemimpin Indonesia memahami tata dunia baru, yang dibuktikan dengan ketidakmampuan menghindari tragedi politik yang paling mematikan bagi negara ini. Republik ini hanya sekedar menjadi medan politik perang dingin. Kita tak berhasil membebaskan diri dari perangkap politik internasional. Sisa-sisa kebodohan itu masih terasa hingga saat ini, misalnya dengan saling menyatakan diri yang satu lebih nasionalis, dan yang lainnya adalah komunis dan pembusuk negara.

Selanjutnya, fase ketiga nasionalisme Indonesia ditandai dengan era mengisi pembangunan yang dirayakan dengan nama Orde Baru dengan motornya Golongan Karya dan ABRI. Stabilitas politik dan keamanan dengan ujung tombak rencana pembangunan menjadi kurikulum selama tiga dekade. Namun, mimpi pembangunan lebih banyak dibangun di atas berbagai kebobrokan, sehingga sekali diterpa krisis ekonomi, mata uang Rupiah milik Republik kembali terjembab. Jatuhnya nilai tukar Rupiah, kemudian disusul dengan hilangnya kepercayaan sebagian besar masyarakat terhadap Presiden Soeharto. Setelah tiga dekade memimpin, ia dipaksa mengundurkan diri karena semua sasaran tembak atas kegagalan Republik untuk lolos dari krisis moneter dan penyalahgunaan kekuasaan mendapat nama dalam slogan: ‘turunkan Soeharto’. Kini, nasib Soeharto tak jauh dari tahanan rumah model Soekarno dulu. Tragedi yang dialami dua pemimpin negara ini menandai ketidakmampuan manusia Indonesia merumuskan negara ala Nusantara.

Setelah itu, tidak ada satu pun pemimpin yang mampu menuliskan Republik Indonesia sebagai sebuah rumah yang kokoh. Sebaliknya, yang ada adalah sekelompok orang yang berbicara bergantian menjadi Presiden di atas panggung pasir yang bergerak. Nusantara adalah pasir yang bergerak itu sendiri. Di era Soekarno, ia memesona masyarakat dengan kemampuan orasi yang dipancar luas lewat radio, dan kejatuhannya menandai berakhirnya era retorika politik massa. Sedangkan di era Seoharto sistem negara integralistik yang serba terpusat menjadi daya ikatnya, dengan dua simpul utama yakni birokrasi terpusat dan peran dominan militer. Kedua simpul ini terbukti tidak ampuh menghadapi krisis ekonomi di tahun 1997. Negara yang sifatnya semu dan seremonial terbukti tidak bisa bertahan ketika dihadapkan pada “invisible crisis”.

Ini merupakan bukti sejarah bahwa dengan ‘sistem komando’pun Republik ini tak bisa bertahan melawan hempasan krisis moneter. Ternyata, musuh itu bukan lagi NICA-Belanda, ternyata musuh negara itu kita sendiri. Para penjarah harta nusantara dulu ditandai dengan nama kompeni Belanda, ternyata selama era Soekarno, Soeharto dan era tidak pasti ini para penjarahnya adalah company (baca: perusahaan) milik anak-anak bangsa ini sendiri. Saat ini masing-masing sibuk cari untung demi nafsunya sendiri. Adil atau tidak, seolah-olah sudah tidak menjadi persoalan aktual lagi. Situasi anarki yang terjadi sejak tahun 1997 ternyata memberi dampak ketidakpedulian kepada bangsa ini pada semangat kehidupan.

Teriakan masyarakat di berbagai pelosok Republik tentang ketidakdilan inilah yang diterjemahkan menjadi tidak nasionalis. Suara para aktivis LSM tentang korupsi dan penyimpangan kekuasaan dengan mudah dibelokkan menjadi bunyi para pembusuk negara. Kecenderungan untuk selalu mencari tumbal rupanya sudah menjadi watak para elit penguasa di bekas koloni Belanda ini. Kita tentu mengingat bahwa di zaman perang kemerdekaan, Belanda memberi julukkan ‘kaum ekstrimis’ untuk para pejuang pemberontak, sedangkan kini para pemrotes ketidakadilan disebut ‘tak nasionalis’ atau ‘kaum separatis’ atau ‘komunis’ sebagai pembeda. Tak bisakah kita mencari sebab sebelum memberi nama, agar kita tak hanya mengulang periode akhir Pemerintahan Belanda di Indonesia?

Ketidakmampuan untuk ber-naalar secara benar ini akhirnya bisa ditebak: tragedi yang berulang kembali. Situasi Nusantara yang sangat kompleks, baik secara geografis, komposisi etnis, dan latarbelakang sejarah seharusnya membuat para pemimpin sadar bahwa sistem negara dengan garis komando sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan zaman. Tabrakan antara rasa ketidakadilan dan cepatnya laju informasi, membuat seribu satu reaksi bisa muncul setiap saat. Tak heran jika wartawan dan inteljen sama-sama salah menganalisis informasi karena ketidakmampuan menggunakan nalar dasar.

Birokrasi yang korup, tentara yang korup, polisi yang sejak masuk pun pakai sogok, wartawan amplop, hakim dan jaksa yang suka disuap inilah yang menjadi penjajah baru. Ketidakadilan yang terjadi dengan mudah disuarakan oleh para aktivis LSM. Ironisnya, karena LSM itu umumnya didanai organisasi di luar negeri maka dengan mudah disebutkan LSM telah menjadi antek bangsa asing. Padahal, kalau mau cukup bernalar, bisa diketahui kalau pemberi dana asing (LSM Internasional) adalah organisasi amal, yang datang kemari karena mendengar berita penderitaan dari daerah semacam Aceh dan NTT. Artinya dana amal itu pun dikumpulkan dari uang receh masyarakat yang peduli orang susah, misalnya dengan menjual barang bekas, semacam: buku, pakaian, boneka, dan jepit rambut. Jadi, semacam kios di pasar loak yang dimaksudkan untuk kegiatan amal. Uang yang terkumpul meskipun mungkin di negeri asalnya jumlahnya kecil, namun di Indonesia jumlahnya naik karena jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang kuat dunia lainnya.

Isu ketidakadilan dan kemiskinan, yang digemakan oleh masyarakat, yang kemudian dituduh sebagai suara antek negara asing adalah berlebihan. Ini salah siapa? Negara kita tidak mungkin tumbang oleh organisasi yang hidupnya hanya didasarkan pada hasil penjualan barang bekas dan kebaikan hati donatur. Sebaliknya, negara kita mungkin tumbang kalau pemimpin dan pejabat negaranya korupsi, dan, tidak mampu bernalar secara benar. Kekeliruan para pembuat strategi di pusat pemerintahan dalam menerjemahkan penderitaan rakyat adalah fatal. Padahal ekspresi penderitan bisa muncul dalam seribu satu wajah.

Narasi kemerdekaan 1945 yang selama ini menjadi bacaan wajib masyarakat dari berbagai strata, kemudian menemukan ruang dialognya sendiri. Segala kegagalan atau disfungsi aparatur Negara dengan mudah dibalik: untuk apa bernegara jika tak ada jalan keluar? Nasionalisme model indoktrinasi memunculkan kritik bersumber pada bahan bacaannya sendiri. Semoga arus balik dari kuatnya doktrin nasionalisme itu bisa dipahami dan diberikan jalan keluar yang tepat.

Kegelisahan masyarakat atas lambatnya pemulihan situasi ekonom dan disfungsi aparatur negara di berbagai lapisan, pada akhirnya tidak memadai hanya dijawab dengan parade personel militer di salah satu wilayah termiskin di bekas koloni Belanda ini. Mimpi merdeka di fase nasionalisme ketiga ini membutuhkan jawaban yang tepat, bukan gagah-gagahan. Sebab inferior complex di bekas negara jajahan, tak cukup dilawan dengan slogan, jargon, seremoni, mentalitas bapakisme, dan skema korupsi sistematis ala grup arisan bergilir. Sudah saatnya kita melihat dalam-dalam pada mimpi merdeka, dan bertanya, “Kita ada dimana?” Di titik ini, antara rakyat dan jenderal tak ada bedanya. Ini akan mempermudah kita untuk mencari di mana ujungnya nasionalisme jika jargon sudah dibuang.

Dibandingkan dengan beberapa negara Asia Afrika sebagai wakil dari negara-negara bekas koloni yang hadir dalam konferensi di Bandung, kita terhitung tidak berhasil menghasilkan pribadi yang unggul di mata dunia. Pemimpin negara kita hidup dalam ilusi, tak berhasil melihat persoalan aktual dan secara tegas memberi jalan keluarnya.
Singkatnya, mendirikan batalion baru, korem baru, dan tempat latihan perang baru di provinsi ini bukan merupakan jalan keluarnya. Tentara dan rakyat, ungkapan Mao Tse Tung dan disukai oleh Jendral A.H Nasution, adalah ibarat ‘ikan dan air’ (Lihat dalam Civic Mission: Suatu Aspek Pembinaan Wilayah, Brigjen. Sokowati, 1962, hal.52). Sehingga jika rakyatnya sekarat, menambah tentara tak ada gunanya. Ikan pasti mati jika berenang dalam limbah. Sehingga saat ini bagaimana membersihkan limbah lah yang harus menjadi fokus, bukan menambah ikan. Negara kita sudah lama hidup dalam omong kosong, sudah saatnya nalar dasar lah yang dijadikan pijakan, bukan sekedar main kuasa tanpa nalar. Kekuasaan tanpa kontrol hanya membawa kita pada kematian.