Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Pilkada, Indipendensi Penyelenggara, dan Paket Non Birokrat di Kota Kupang


 

Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Pilkada Kota Kupang kali ini cenderung akrab dengan intrik elit. Hal ini ditandai dengan kuatnya peran ‘invisible hand’. Meskipun intrik adalah wajah dominan, namun diabaikan. Untuk paham intrik, pemahaman awal terhadap proses dan alur merupakan dasar utama.

Menjegal dan mendukung menggunakan institusi penyelenggara pemilu menjadi karakter utama Pilkada Kota Kupang kali ini. Upaya menjegal satu-satunya calon dari golongan non PNS dialami oleh Paket Viktori, pasangan Matheos Viktor Messakh dan Victor Manbait. Viktor Messakh yang biasa dipanggil Atok adalah mantan jurnalis The Jakarta Post dan kini Pemimpin redaksi Satutimor.Com, sedangkan Victor Manbait adalah Direktur LSM Lakmas Cendana Wangi. Kedua pemuda berani ini telah membuktikan bahwa adalah mungkin warga Non PNS masuk dalam gelanggang politik.

Di Kota Kupang, yang dicap sebagai kota pe-en-es ini, keterlibatan warga Non PNS bukan merupakan hal biasa. Pertanyaan Ospek yang biasa ditanyakan kepada mereka adalah: ‘tanam kelapa dimana’ atau ‘sudah bikin apa’. Kerangka pemikirannya khas ‘pemilik trayek lama’ jalur bemo. Angkutan kota yang boleh jalan hanya lah yang punya izin trayek, atau sudah lama ‘ngetem’ di situ. Akibatnya bemo Kupang ‘sonde jadi doi lai’. Mogok, tidak kuat naik bukit adalah pemandangan biasa. Meskipun kekurangan daya ini coba ditutupi dengan volume speaker yang luar biasa besar, warna-warni cat dan pelapis kaca mobil.

Jadi ketika ‘kaum pejalan kaki ini’ berhasil kumpulkan dukungan sebanyak 22.708 pendukung, orang sempat heran. Proses pengumpulan tidak menjadi bahan belajar, sebaliknya watak kolonial lah yang dipraktekan oleh KPU, Panwaslu dan Bawaslu. Watak kolonial adalah ujaran pejabat yang menolak untuk dibantah dengan data dan analisis. Atau dalam bahasa angkot ‘dilarang mendahului’. Jika coba mendaftar, tahu sendiri akibatnya. Bahkan para pejabat ini jangan sampai dibuat tersinggung dengan kritik.

 

Akrobat Penyelenggara Pemilu

Tahap pertama proses penjegalan dimulai dari proses verifikasi faktual dari KPU. Hingga hari H, insiatif untuk koordinasi verifikasi faktual tidak datang dari KPU, sebaliknya pasangan calon ini lah yang mengundang KPU untuk memberikan materi rencana verifikasi dan mekanisme koordinasi. Bisa diterka, di lapangan verifikasi berjalan amburadul. Atas perintah KPU Kota Kupang seluruh nama yang yang tidak dikunjungi sama sekali digolongkan dalam TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab oleh KPU Kota Kupang hingga hari ini adalah ‘di mana daftar nama yang telah dikunjungi’. Manipulasi ini tidak pernah dijawab, dan dibuka media.

Protes terhadap kerja KPU dilayangkan mulai dari level pertemuan kelurahan, pleno kecamatan hingga pleno KPU Kota Kupang. Seluruh keberatan yang ditulis Viktori diakomodir oleh Panwaslu Kota Kupang. Panwaslu Kota Kupang lalu merekomendasikan kepada KPU Kota Kupang untuk menindaklanjuti perkara ini dengan cara sebebas-bebasnya. Rekomendasi yang paradoksal.

Keberatan utama Paket Viktori adalah proses verifikasi model sensus yang dilakukan KPU Kota Kupang jauh dari makna sensus. Kenapa mereka yang tidak dikunjungi dikategorikan TMS (Tidak Memenuhi Syarat)?

 

Gajah ketemu Gajah = Banyak Polisi

Keberatan terhadap keputusan KPU yang meniadakan pendukung Viktori yang tidak dikunjungi disampaikan kepada Panwaslu Kota Kupang dengan bukti video sebanyak 180 buah untuk dipelajari. Dari seluruh video ini hanya dua yang dilihat oleh Panwaslu. Keputusan Panwaslu menolak gugatan Viktori tanpa ada analisis hukum, maupun penjelasan penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa aslinya Panwaslu tidak memiliki keberatan terhadap tuntutan dan penjelasan Viktori.

Sayangnya protes yang dilayangkan oleh Viktori makin runyam ketika Panwaslu dibekukan oleh Bawaslu Provinsi atas perintah Bawaslu pusat. Rekomendasi yang ditulis oleh Bawaslu pusat hanya mempersoalkan keputusan Panwaslu atas ‘mutasi pegawai’ yang dilakukan Jonas Salean.

Drama ini pun berlanjut. Pihak penyelenggara dari Bawaslu pusat, Bawaslu Provinsi NTT, hingga KPU Kota Kupang hanya mengurus pencalonan Jonas Salean. Sedangkan protes dari Viktori sama sekali tidak dibahas. Karena tidak dibahas media pun diam.

 

Barang Bukti Jadi Properti Penyelenggara?

Tak berhenti di situ paket rakyat jelata ini dikerjai oleh para penyelenggara. Ketika kedua pemuda ini bertanya kemana 180 barang bukti yang sudah diserahkan kepada Panwaslu, keduanya dipingpong selama tiga hari. Di sekretariat Panwaslu Kota Kupang yang sudah dibekukan pengurusnya, mereka menjawab ‘tidak tahu’. Ger Atawuwur, sebagai Ketua Panwaslu Kota Kupang yang dibekukan menjawab ia hanya menerima soft copy. Sedangkan Yemris Fointuna, mantan wartawan Jakarta Post yang jadi anggota Bawaslu Provinsi NTT, pun menjawab ‘tidak tahu dan akan dicari’.

Hari ini, 16 November 2016, Bawaslu Provinsi NTT, atas nama Saudara Yemris Fointuna menulis surat bahwa permintaan kembali dokumen-dokumen asli yang disampaikan kepada Panwas Kota Kupang tidak dapat diberikan karena (1) dokumen asli maupun salinan merupakan dokumen pendukung dalam proses penyelesaian musyawarah sengketa Pemilu yang hasilnya sudah diputuskan pada tanggal 7 November 2016 sehingga seluruh dokumen terkait menjadi milik Panwaslu. Padahal dokumen-dokumen ini dibutuhkan untuk dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Surabaya. Tak hanya itu putusan, berita acara dalam musyawarah sengketa maupun notulensi sidang Pilkada Kota pun tidak diberikan. Kejanggalan ini juga dirasakan oleh hakim PTUN Surabaya

Setidaknya dua hal yang perlu menjadi pertimbangan Bawaslu Provinsi NTT, dan para penasehat hukumnya. Pertama, sejak pleno di tingkat kelurahan, hingga kota di KPU Kota Kupang sengketa Pemilu ini tidak dibahas dan dibuktikan secara tertulis. Kedua, di tingkat musyawarah sengketa Pemilu di Panwaslu Kota Kupang, dari 180 bukti yang diserahkan hanya dua bukti yang dikaji dalam persidangan.  Bagaimana dengan analisanya? Ketiga, kehadiran dua staf Bawaslu pusat dalam perhelatan Pilkada Kota Kupang memang janggal, apalagi ‘staf Bawaslu pusat ‘hanya mengurusi’ masalah satu pasang calon. Sedangkan keberatan dan persoalan mendasar terkait soal ‘verifikasi faktual’ dianggap bukan lah soal. Seharusnya Bawaslu Provinsi NTT bisa berpikir bahwa antara proses dan hasil adalah satu paket. Menerima hasil, tanpa mengkaji proses merupakan tanda tanya.

Sampai di sini, kita bisa sama-sama lihat bahwa ‘teror’ dan kekuatan massa merupakan alat efektif dalam politik Pilkada. Tidak hanya di Jakarta, di Kupang juga sama. Sayangnya ulasan semacam ini tidak kita temukan di media massa. Horor dan yang jelek senantiasa ada di seberang lautan, sementara di rumah sendiri manipulasi adalah jati diri.

 

*Penulis adalah Warga Kota Kupang yang bekerja untuk Atok-Viktor (Viktori) dalam Pilkada Kota Kupang.

Advertisement

Kepolisian Republik Timor?

2 Comments


Yanti Lasfeto (21 tahun) saksi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sedang memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (6/8/2014). Yanti bersama 20-an orang perempuan lainnya disekap di Medan dan dipekerjakan sebagai pembersih sarang burung walet tanpa digaji selama 16 bulan. Ia dibebaskan setelah dua rekannya, Marni Baun dan Rista Botha meninggal di Medan di Bulan Februari 2014 dan penyekapan ini terbuka ke publik. Sidang ini menghadirkan tersangka perekrut, Rabeka Ledoh. Sedangkan Mohar, pelaku utama sekaligus pemilik sarang burung walet di Medan hingga hari ini masih bebas. Sarang burung walet yang dibersihkan kemudian merupakan pesanan para pemilik restoran di Hong Kong. Kasus perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia membutuhkan koordinasi pihak Polri dan Interpol. Hingga kini kasus ini masih disidangkan terpisah, padahal untuk membuka jaringan perdagangan manusia membutuhkan pembukaan jaringan Kupang-Medan-Hong Kong.

Yanti Lasfeto (21 tahun) saksi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sedang memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (6/8/2014). Yanti bersama 20-an orang perempuan lainnya disekap di Medan dan dipekerjakan sebagai pembersih sarang burung walet tanpa digaji selama 16 bulan. Ia dibebaskan setelah dua rekannya, Marni Baun dan Rista Botha meninggal di Medan di Bulan Februari 2014 dan penyekapan ini terbuka ke publik. Sidang ini menghadirkan tersangka perekrut, Rabeka Ledoh. Sedangkan Mohar, pelaku utama sekaligus pemilik sarang burung walet di Medan hingga hari ini masih bebas. Sarang burung walet yang dibersihkan merupakan pesanan para pemilik restoran di Hong Kong. Kasus perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia membutuhkan koordinasi pihak Polri dan Interpol. Hingga kini kasus ini masih diperlakukan terpisah, padahal untuk membuka jaringan perdagangan manusia membutuhkan pembukaan jaringan Kupang-Medan-Hong Kong.

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Saat ini meskipun institusi kepolisian merupakan salah institusi vertikal diera desentralisasi, tetapi dalam prakteknya penanganan kasus lintas provinsi amat lah terbatas. Kasus perbudakan di Medan yang mengakibatkan 2 orang perempuan asal NTT meninggal dunia, tetap dianggap sebagai kasus parsial, tidak berhubungan. Makelar pedagang orang diadili di Kupang,tetapi pelaku perbudakan bebas berkeliaran di Medan.

Secara de jure daerah Timor Barat dan Medan dianggap satu kesatuan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun de facto para korban perbudakan asal Timor (Barat) tidak mendapatkan perhatian di Sumatra Utara. Bahkan pihak Markas Besar Polri (Polisi Republik Indonesia) yang seharusnya menjalankan fungsi koordinasi pun tak bertaji. Tulisan ini mencoba membahas mengapa polisi gagal menjalankan mandat mengawasi hak warga negara. Bagian pertama mencoba mengulas soal malpraktek pihak kepolisian dalam kasus perbudakan di Medan, dan bagian kedua soal tantangan yang dihadapi institusi kepolisian.

Kasus human trafficking yang diangkat karena kebetulan ini merupakan salah satu kasus riil yang menjadi ujian bagi Polri untuk menguji kemampuan koordinasi institusi Polri. Contohnya: untuk melengkapi BAP yang dikembalikan Jaksa, pihak Polresta Medan malah mengirim surat kepada Ampera (Aliansi Menolak Perdagangan Orang) di Kupang, NTT untuk memanggil para korban ke Medan (Sumatra Utara). Surat itu tidak masuk akal. Pertama, gaji selama 4 tahun para korban tidak dibayar. Kedua, mengapa Polda Sumatra Utara tidak mampu berkoordinasi dengan Polda NTT sehingga untuk melengkapi BAP cukup diwawancarai di Kupang.

Mengusir orang lumpuh
Aslinya tantangan yang dihadapi untuk membuka kasus kriminal semcam ini bukan hanya soal koordinasi, tetapi juga soal kondisi alamiah jaringan kriminal yang terlanjur menyebar di berbagai institusi publik. Bukan cerita aneh, jika serse asal Polda NTT pun jika ingin pergi dan menangkap Mohar dan membawanya ke Kupang juga takut ditembak oleh sesama polisi di Medan. Jadi ini bukan soal kurangnya koordinasi, tetapi soal ‘watak teritorial masing-masing Polda dan catatan kriminalnya’. Di Medan, protes terhadap polisi penyidik yang dilakukan aktivis LSM di Medan, dan Paguyuban Masyarakat NTT di Medan hanya dijawab dengan mutasi oknum oleh Mabes PoIri.

Tidak ada jaminan jika data kasus,testimoni korban dan saksi sudah lengkap polisi akan memproses kasus. Ini membuktikan elemen pembiaran yang dilakukan pihak Polri cukup kental. Kesalahannya bukan cuma pada serse Polda NTT, tetapi juga serse di Polresta Medan. Serse Polda NTT menerima laporan korban yang berhasil diselamatkan polisi Bulan Januari 2013, sedangkan serse Polresta Medan yang membebaskan salah seorang korban tahun dan bulan yang sama. Dua-duanya dilaporkan bahwa ada puluhan perempuan lain yang dikurung dan jadi budak. Kejadian ini baru terungkap lagi ke publik ketika setahun kemudian (Februari 2014). Dua orang korban meninggal, dan para perempuan lain dibebaskan di rumah pengusaha burung walet berlantai empat di Medan. Beberapa diantaranya dalam keadaan lumpuh. Seharusnya jika polisi bertindak di Bulan Januari 2013, kematian Marni Baun dan Rista Botha tidak terjadi.

Dua nyawa melayang tidak ada jaminan pihak kepolisian kemudian bertindak benar. Seharusnya investigasi dikerjakan dengan serius. Sayangnya BAP yang dibikin Polresta Medan juga minim. Bukannya memperjelas aksi kriminal, malah mengaburkan fakta. Lembaga internasional IOM, LSM lokal maupun paguyuban masyarakat NTT di Medan sempat bertanya kepada pihak kepolisian apakah BAP yang dibuat untuk para korban sudah sesuai. Pihak Polresta Medan menjawab tidak ada lagi yang dibutuhkan dan para korban dipulangkan dari Medan. Sebaliknya Paguyuban Masyarakat NTT di Medan menolak memulangkan sebelum berkas ‘dinaikan ke Jaksa’, sebab mereka membaca gelagat lain. IOM dan LSM setempat yang ‘berkoordinasi’ dengan pihak kepolisian ikut tertipu karena menerima garansi polisi tanpa melihat kondisi BAP dan berkoordinasi dengan pihak kejaksaan.

Eksploitasi para perempuan miskin tidak menjadi prioritas polisi. Hak para korban sebagai warga negara tidak diperjuangkan. Sebaliknya BAP dibikin asal jadi, dan dikembalikan jaksa. Pelaku utamanya bebas berkeliaran. Pihak masyarakat sipil yang memprotes kejadian ini di Medan malah diancam. Mabes Polri menurunkan tim untuk memeriksa Kapolresta dan Kasatserse Polresta Medan.

Di Medan saat itu masih tersisa dua orang korban. Satu dalam kondisi lumpuh, dan satu adalah teman yang menjaganya di rumah sakit. Mereka yang diharapkan memberikan testimoni kepada Mabes Polri. Tak disangka keponakan Mohar, bernama Fina Winseli datang dan membawa mereka ke Bandara Kuala Namu tanpa persiapan bahkan ia mengacuhkan protes para perawat. Drama usir paksa dari rumah sakit ini luput dari otoritas polisi. Yenny Fuakan, anak yatim piatu dari pedalaman Timor dipulangkan dalam kondisi lumpuh tanpa kursi roda. Keduanya gagal memberikan testimoni ke petugas Mabes Polri. Pengusiran ini tidak pernah diusut. Lagi pula siapa yang mau mengusut polisi? Quis custodiet ipsos custodes? Ya, ‘siapa yang mau mengawasi pengawas’ ini pertanyaan penyair Roma, Juvenal.

Tak hanya di Medan, di Kupang polisi seolah rabun dekat, yang jauh kelihatan dan yang dekat kabur. John Liem di Bali diringkus, yang di Kupang masih dibiarkan bebas. Saat ini di Kupang, seorang makelar manusia sementara diadili. R, seorang ibu rumah tangga dituntut 10 tahun penjara, sedangkan Mohar pelaku utama di Medan, Sumatra Utara beserta istri dan keponakannya tidak tersentuh hukum. Tidak hanya itu PJTKI/PPTKIS, PT.Paullisa yang berbasis di Medan dan ikut memiliki kantor cabang di Kupang NTT, tidak ikut diproses. Pihak penyidik seharusnya tidak melakukan diskriminasi. Mengapa hanya menyidik ibu rumah tangga makelar penjualan orang, sedangkan PJTKI/PPTKIS dibiarkan bebas beroperasi meskipun jelas-jelas melakukan pembiaran? Apakah Ibu R hanya bekerja seorang diri? Bagaimana dengan jaringan perdagangan manusia?

Arti Tato di tubuh polisi
Dengan kondisi kepulauan seharusnya Polri mampu menyusun alur koordinasi yang lebih baik. Misalnya dengan mendefinisikan ulang bagaimana koordinasi lintas provinsi dijalankan. Pertimbangannya tentu terkait otoritas kerja per polda, tetapi bisa jadi soal biaya operasional. Lagu lama yang disebutkan oleh pihak penyidik adalah ketiadaan dana untuk ke Medan, Sumatra Utara, Menghadapi kenyataan ini, kita sebagai rakyat tentunya prihatin dan tertawa sedih.

Hari-hari mendatang lalulintas manusia akan semakin tinggi. Tak hanya narkoba yang diperdagangkan (drug trafficking), manusia pun ikut diperdagangkan. Apakah Polri memiliki antisipasi terhadap kejahatan semacam ini? Pertanyaan ini memang bukan hanya untuk Polri, tetapi untuk pemerintah saat ini.
Saat ini meskipun berambisi menegakkan seluruh provinsi dalam satu kesatuan hukum, dalam prakteknya antara Polda NTT dan Polda Sumatra Utara tidak ada kerjasama. Hal ini sepadan dengan tulisan kosong berupa MoU (Memorandum of Understanding) terkait human trafficking antara Pemda NTT dan Pemda Sumatra Utara, karena secara riil tidak ada implikasi MoU terhadap pengungkapan kasus perbudakan di Medan. Apa kontribusi MoU yang dibuat oleh kedua gubernur dalam kasus trafficking ini? Nihil.

Hari-hari ini publik Indonesia sedang meributkan tato di betis Ibu Susi, Menteri Kelautan di Kabinet Kerja. Daripada meributkan tato Bu Susi, lebih baik kita kaji ulang tato di lambang Polri. Kenapa perlu tato ‘Indonesia’ di lambang polisi, jika kemampuan koordinasinya hanya sebesar tato Bu Susi? Benar, ini bukan soal tato, tapi jam terbang dan determinasi pemimpin. Ini bukan soal mode berpengetahuan, ini soal kepemimpinan. Apakah pemimpin itu bisa diciptakan (baca: disekolahkan) atau lahir? Apakah Jenderal Hoegeng itu dilahirkan institusi kepolisian? Jika ‘ya’ mengapa prototype semacam ini tidak lagi ada bekasnya di jajaran Polri. Kapolri yang tidak punya tanah dan rumah hanya Jenderal Hoegeng. Khusus, soal Medan sejak dulu Pak Hoegeng juga tahu itu daerah surganya kriminal, daerahnya cukong.

Sudah seharusnya Mabes Polri mampu merancang operasi counter trafficking secara menyeluruh di kantong-kantong perdagangan manusia. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam menangani kejahatan perdagangan manusia, dan perubahan pola koordinasi di tubuh Polri untuk melawan jaringan kriminal, nyaris tidak mungkin perkara perdagangan manusia bisa didekati.

Tanpa peningkatan kemampuan koordinasi lintas provinsi, Indonesia merupakan surga pelaku kriminal. Labirin tempat bersembunyi para kriminal bukan lagi wilayah, tetapi institusi publik. Mengapa di wilayah negara yang sama, sebuah instansi vertikal tidak mampu berkoordinasi? Secara nyata pihak kepolisian sedang mempraktekan ‘hukum federal’ di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa Polda di masing-masing provinsi diperlakukan layaknya negara bagian? Jelas ini berlawanan dengan konstitusi, dan tergolong makar.

Ketika warga negara dijual dan dijadikan ‘barang’, dan aparatus negara tidak bersikap maka Indonesia sedang pupus (fade away). Ini titik pertaruhannya, dan bukan pangkat!

* Peneliti IRGSC, Dosen Jurusan Ilmu Politik Undana. Saat ini melakukan post doctoral research di Ash Center, Harvard Kennedy School.

tulisan ini dipublikasikan di harian Victory News tanggal 6 November 2014, Harian ini terbit di Kupang, dan tersebar di beberapa pulau di NTT


Leave a comment

Titip Semen Kupang


D.Elcid Li*

Kabar hilangnya pekerjaan pegawai PT.Semen Kupang yang berarti hilangnya nafkah hidup ribuan angota keluarga hingga hari ini belum menjadi agenda penting para caleg. Dari rekaman data media terlihat, isu kampanye yang coba diangkat para caleg tujuan Senayan masih belum lah memakai skala prioritas. Kalau dikatakan populer iya, tetapi tidak menyentuh skala prioritas.

Dari sesumbar retorika para caleg, ketika berbicara soal strategi ekonomi yang terlihat adalah pilihan dari ekstrim ke ekstrim. Maksudnya ketika ada orang yang berbicara soal strategi ekonomi maka pembicaraanya terbatas soal peternakan dan pertanian–ditambah perikanan laut. Padahal pendidikan moderen orientasinya menghasilkan para lulusan pencari kerja. Entah pegawai negeri, swasta, LSM, atau apa saja. Strategi pendidikan yang dikembangkan dalam sekian dekade terakhir ini tidak menunjukkan orientasi lulusannya untuk kembali kampung dan bergerak di sektor riil.

Apa kaitannya dengan PT.Semen Kupang?

Hingga dua dekade lalu, pilihan untuk menjadi PNS masih merukan pilihan favorit dan realistis, karena mungkin dan ada peluangnya. Setidaknya tercatat peluang menjadi PNS itu makin tipis dengan munculnya kasus kekerasan di Sumba Barat lebih dari satu dekade silam. Meskipun sudah muncul kasus ini, tetapi usaha untuk memunculkan peluang kerja baru masih lah amat minim. Yang justru terjadi adalah pengelompokkan primordial untuk memperebutkan kue di kursi birokrasi, dan legislatif.

Tanpa berusaha mengerti gambar besarnya, para elit terdidik cenderung untuk fokus pada persoalan mereka sendiri untuk memperoleh atau melanggengkan akses ekonomi terbatas dalam dua aspek di atas. Contohnya, proses ‘penyehatan’ PT.Semen Kupang ini terkesan dibiarkan dan para karyawannya ditinggal merana. Persoalan ini dalam ruang lingkup Provinsi NTT sebaiknya tidak dibaca sederhana. Karena ditutupnya PT.Semen Kupang merupakan mundurnya usaha ber-industri di NTT. Disadari atau tidak ini lah industri dalam skala terbesar yang ada di NTT, tetapi herannya ketika ditutup persoalan ini tidak bisa dilihat dengan jeli.

Kasus PT.Semen Kupang ini harus bisa dibuka dalam kacamata politik ekonomi kawasan. Dengan angka kaum terdidik yang setiap tahun bertambah, dengan sendirinya kebutuhan terhadap lapangan pekerjaan merupakan sebuah kebutuhan riil. Sehingga pertanyaannya memang langsung ditujukan kepada pemerintah pusat: dalam disain perekonomian kawasan timur Indonesia, apa rancangannya yang dibikin untuk NTT?

Komunikasi politik: Diam?

Berbicara soal akses, sama artinya berbicara soal lobi dan kemudian turun pada alokasi proyek. Dari sisi ini dipertanyakan sejauh mana PT.Semen Kupang sebagai pilot project industri di NTT ada dalam peta ekonomi kawasan? Atau dalam disain ekonomi nasional (Republik Indonesia)?

Diamnya pemerintah pusat terhadap ‘kematian’ PT.Semen Kupang dalam sisi komunikasi politik menunjukkan ketiadaan akses dari NTT untuk membunyikan isu ini sebagai isu kawasan maupun nasional. Singkatnya para elit pengambil kebjiakan yang ada di NTT saat ini gagal meletakkan isu ini secara proporsional atau sepantasnya.

Padahal jika ingin dimajukan sebagai agenda nasional beberapa argumentasi ini bisa membantu menjelaskan: pertama, PT.Semen Kupang merupakan industri terbesar di NTT dan merupakan pilot project usaha ber-industri di Provinsi yang dibentuk di zaman Bung Karno sejak tahun 1958. Tercatat ada industri swasta lain seperti pengalengan daging (Icraf) yang juga kemudian ditutup dan alasan dibalik penutupannya tidak mendapatkan kajian yang cukup jelas. Dari catatan sejarah ini dapat dipahami bahwa industri itu mungkin dikembangkan di NTT, tetapi kenapa didiamkan?

Kedua, strategi pendidikan yang berorientasi menghasilkan ‘pencari kerja’ hanya akan membuat tenaga-tenaga terdidik tersungkur sebagai PNS, pengangguran terselubung, atau pindah ke kota besar (di luar NTT). Alternatif lain dari tiadanya lapangan pekerjaan tidak dimunculkan. Hal yang berhasil dimunculkan elit politik berkasta primordial: pemekaran kabupaten–dan (mungkin) sebentar lagi provinsi. Elit politik model ini hanya mampu menghasilkan pekerjaan administratif. Padahal jumlahnya terbatas, sehingga ‘memaksa’ orang untuk kembali pada sistem kekerabatan dalam proses rekrutmen.

Ketiga, ketiga berbicara soal Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu) Bolok dengan kata kunci ‘kawasan’ maka tidak mungkin didiamkan kasus kematian PT.Semen Kupang. Embrio industri di NTT ini perlu dibahas tuntas dan tidak dibiarkan sebagai bukti kegagalan ber-industri. ‘Otopsi lengkap’ harus mampu dihadirkan, sehingga bisa dilihat kemungkinan intervensi yang bisa dilakukan. Sebab ‘Kapet’ bukan lah kata yang turun dari lamunan.

Jika selama ini ‘politik pencitraan’ PT.Semen Kupang merupakan milik ‘Provinsi NTT’ tidak sejalan dengan proporsi kepemilikan saham di dalamnya maka dengan sendirinya para caleg memilikki bahan untuk diobrolkan dalam ‘kampanye politik’ kali ini. Terutama untuk para caleg yang mewakili Provinsi NTT ke Senayan.

Kampanye melawan Lupa

Selain sekian alasan yang sifatnya abstrak, seharusnya kita mampu melihat bahwa perubahan drastis yang terjadi ini dengan sendirinya membuat para karyawan harus ‘banting stir’ untuk mencari kerja demi bertahan hidup. Pemerintah (entah daerah atau pusat) seharusnya tidak bisa lepas tangan. Dengan otoritas yang dimilikinya agak aneh kalau pemerintah diam dan hanya menjadi penonton. Apalagi berpura-pura lupa. Bagi para caleg yang mewakili Provinsi NTT pun mereka perlu ‘diuji’ sejauh mana politik ekonomi kawasan NTT ada dalam agenda pembahasan. Agar tak hanya sibuk melihat wajah dalam baliho atau sticker yang dibikin sendiri.

Jadi SMS singkat dari tulisan ini untuk para peserta kampanye dengan tujuan Terminal Senayan: Titip PT.Semen Kupang dalam kampanye anda!


Leave a comment

Wakil Presiden dari NTT


Oleh: D. Elcid Li

Hiruk pikuk ‘nyapres’ di Jakarta hanya memberikan tempat orang-orang di pinggiran—termasuk NTT—sekedar penonton saja. Kalau pun ada yang ikut di pusat, posisinya masih ‘sama’: penonton. Singkat cerita, Pemilu Presiden 2009 mendatang gambarnya hampir mirip dengan permainan ‘bola guling’ di rumah duka .

Warga Flobamora (akronim untuk beberapa pulau besar di NTT: Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata) jelas bukan pemain/pemasang taruhan, cuma sekedar penonton yang mengitari meja. Sebagai penonton kadang berdecak kagum karena jagonya menang, kadang marah-marah karena jagonya kalah, dan kadang tidak pusing juga karena duit yang dimakan bandar bukan lah miliknya. Tapi, kadang, jika semangat mendukung salah satu pemain, bukan tidak mungkin ia dapat tip. Bisa jadi tip cukup besar dan dinamakan jabatan. Lumayan cuma modal mulut.

Jika meja bola guling adalah pentas politik, maka rumah duka itu adalah negara. Pemilu bagi warga NTT adalah ajang melayat. Yang namanya melayat meskipun dekat dengan kematian tidak berarti isinya duka melulu. Sebab di bawah terpal biasanya para sahabat lama bertemu, musuh pun saling berjabat tangan, karena semuanya tahu bahwa ‘kematian’ memang bisa tiba kapan saja. Dan, hari terakhir bisa jadi malam itu. Para pemain wajahnya ada dua belas rupa, siap bertukar wajah untuk mengaburkan pesan dan jumlah uang yang dibawa di kantong. Kata pengamat kantong ada hubungan dekat dengan suara. Kata pengamat politik lagi Indonesia adalah salah satu negara demokratis terbesar di dunia.

Tetapi, pertanyaannya, siapa yang meninggal ketika Pemilu tiba? Jawabannya tak mesti orang. Bisa jadi negara, bisa jadi kematian orang pinggiran untuk kesekian kali. Pinggiran atau marginal di sini tidak mesti berdasarkan aspek ruang geografis semata, tetapi persoalan pinggiran itu sendiri. Jadi yang mati, bisa jadi demokrasi itu sendiri. Jika tidak sepakat, minimal argumentasi ini mewakili kematian orang pinggiran dalam Pemilu sebagai ajang demokrasi.

Wapres dari NTT?
Penjelasannya begini. Bukan cuma anda yang kaget dengan pertanyaan siapa wapres dari NTT? Tetapi para pembaca maling list Forum Academia NTT pun kaget, begitu kagetnya tidak ada yang membalas pertanyaan itu meskipun setelah satu minggu berlalu. Padahal anggotanya adalah adalah dosen, wartawan, anggota DPR, mahasiswa, aktivis LSM, pastor, pendeta, dokter, dan lainnya. Jadi persoalannya bukan pada persoalan intelektual, tapi kalau bukan itu, lantas apa?

Apa mungkin untuk berimajinasi pun Orang NTT sudah tidak berani lagi? Jika sudah tidak berani berimajinasi, apakah tidak boleh dianggap mati? Jika demokrasi sebagai sebuah imajinasi pun telah mati bagi masyarakat pinggiran, lantas apa yang sedang terjadi?

Atau, jangan-jangan, judul tulisan ini pun dianggap sebagai humor semata. Humor yang tak mungkin dan menjengkelkan jadi tidak perlu dibahas. Sarkasme semacam itu jelas tidak memberikan atmosfir persahabatan. Jika kita tiba dengan rasa ini, apa ini bukan sebuah cara ‘mati rasa’ yang biasa?

Jika para calon wakil presiden saat ini cukup gagah menempelkan CV-nya, dan menuliskan nama trah keluarganya, juga jabatannya dalam logika sejarah moderen, maka jangan ditanya mana CV orang yang berimajinasi saja sudah tidak.

Sejarah nenek moyang
Soal sejarah besar tentu lah orang-orang pinggiran di NTT tidak menyimpannya. Tak pernah ada kitab soal sejarah itu. Nenek moyang yang menulis saja tak. Soal berapa lautan yang telah diarungi tempo doloe pun, Orang Dawan di Timor pun tidak ada yang tahu, sebab banyak lagi yang belum melihat laut.

Tetapi, tanpa semua kedigdayaan dan cerita besar soal kerajaan masa lalu, apakah lantas orang-orang pinggiran pantas dipinggirkan, dan pantas merasa tidak ada? Apakah benar tidak ada calon wakil presiden dari NTT? Soal ini, Bukan cuma orang NTT saja yang merasa ini wajar, Tempo edisi terbaru pun tidak menulis adanya calon wakil presiden dari NTT. Dan, itu bukan masalah!

Sampai di sini, tentu sidang perkabungan sudah mengerti, mengapa pentas demokrasi pun bisa memberi kabar duka untuk orang pinggiran. Mungkin ada yang bertanya, kenapa menjawab calon wapres saja tidak berani, bagaimana kalau pertanyaannya: ‘siapa calon presiden dari NTT?’

*Co-editor Jurnal Academia NTT, dimuat di Pos Kupang, dan ramai diperdebatkan di mailing list Forum Academia NTT. Katanya harus belajar dulu. Kayak Pak Harto dulu aja…mau ada capres lain tapi yang sudah berpengalaman. Ya cuma Pak Harto.


Leave a comment

Berdialog Dengan Modernitas


Oleh: Dominggus Elcid Li

Membaca surat kabar 77 tahun lalu, yang terbit di Kupang dan membandingkan isinya dengan terbitan harian ini di tahun 2008 isi beritanya tak jauh berbeda.

Di Pos Kupang, protes para guru di tahun 2008 di Sikka dan Kefamenanu karena nasibnya tak berubah, tak beda dengan protes para guru di tahun 1929 di surat kabar Pewarta Timor. Tujuan dari menulis kali ini, mudah-mudahan, dari tulisan ini dapat dilihat jarak antara era kolonial, era Republik, era Orde Baru, dan era Otonomi Daerah, yang artinya sama saja: ‘perut kosong’ dan ‘mari menipu’.

Surat kabar Pewarta Timor, tanggal 15 Juni 1929 di halaman 1, seorang penulis tanpa nama (N.N) menulis tentang tidak diterimanya gaji para guru di Rote (Roti) dan Sabu (Savoe) untuk Bulan Desember 1928 dan Januari 1929. Seorang pendeta diduga korupsi.

Tulisan aslinya begini: Sebagai telah maloem pada toean2 pembatja bahwa nasibnja goroe2Volks dan Inl. Lerar Afdeeling Roti dan Savoe tidak menjenangkan. Djangan kepada t.t goroe itu kepada siapa djoega merasa ketjiwa, kalau peroetnya kosong.

Lalu dilanjutkan: Pada tanggal 3 Februari 1929 menoeroet 1 nota jang kita dapat dari pada seorang goroe dari Savoe bahwa pada tanggal terseboet diatas toean Sjioen pandita Roti en Savoe membawa gadjih seboelan jaitoe gadjih boelan NOVEMBER 1928 oentoek goeroe2 di bahagian Savoe.

Dari Pewarta Timor para pembaca pun tahu bahwa gaji para guru di dua pulau ini tidak dibayar. Selain itu diberikan kabar lain gaji para guru itu dibawa oleh seorang Pendeta (pandita) Sjioen. Tetapi Pendeta Sjioen sendiri mengaku bahwa ia sendiri menyatakan selama setahun ia pun belum dibayar gajinya ketika ditanya oleh Inl Leeraar Menia, toean Rame Haoe. Itu pun menurut penulis ini, ada beberapa kejanggalan (vergadering) yang dilakukan Tuan Pandita.

Berita selanjutnya Tuan T yang hendak mengungkapkan kasus ini dan berupaya mencari kebenaran ia pun kemudian dipindahkan oleh yang berwajib. Lantas penulis ini menulis lagi: ‘Inikah oepahan segala jang menoentoet kebenaran?’

Sejarah korupsi kita

Dari Surat kabar Pewarta Timor (1929) terekam, bahwa korupsi itu tidak kenal batas wilayah suci dan duniawi. Selain itu terekam jelas bahwa yang berusaha membuka kasus itu tak selamanya didukung oleh pihak yang berwajib. Kemudian dari sejarah kita tahu bahwa surat kabar itu sudah ada sejak di daerah Timor dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain Pewarta Timor, ada Soeloeh Timor. Jadi tradisi membaca koran itu sudah cukup lama untuk wilayah yang pernah dikenalkan dengan nama Sunda Kecil oleh M.Yamin—yang jauh lebih luas dari Sunda.

Lantas apa artinya jika di tahun 2008, seorang wartawan (Obby Lewanmeru) yang gencar menulis soal ubi Aldira dipukul oleh ‘orang-orang suruhan’ seorang pegawai Bank NTT, Dus Helmon. Selanjutnya lima orang suruhan Dus dimasukkan di penjara, sedangkan Dus ada dalam tahanan kota. Di halaman dua dari dua halaman, redaksi Pewarta Timor, memuat protes seorang penulis lain untuk berita berbeda: apakah mungkin ada keadilan jika berkaitan dengan keluarga? Pertanyaan ini masih lah aktual, karena keluarga merupakan hal penting dalam masyarakat kita, sehingga untuk pertanyaan itu kita selalu bersikap mendua.

Untuk pihak kepolisian, khusus untuk kasus pemukulan wartawan, apa yang diharapkan adalah memberikan penjelasan kepada publik apa sebenarnya motif pemukulan itu. Hal ini sederhana dan dapat dibuka jika perangkat hukum bersikap jujur dan terbuka. Agar tidak ada orang yang semena-mena dan seenak perut melanggar hukum negara.

Sebagai catatan ingatan, biar lancar bekerja, beberapa fakta ini bisa kita cermati: pertama, benar Bupati Manggarai Barat, lewat perangkat pemerintahannya telah memberikan pernyataan bahwa ia tidak terlibat dalam tindakan pemukulan. Kedua, diketahui Dus Helmon adalah kerabat atau orang dekat Bupati. Ketiga, tidak ada liputan wartawan soal perkara Bank NTT seperti yang menjadi alibi para pemukul suruhan Dus Helmon.

Dari pengalaman hidup di ibukota kabupaten, relasi antara bupati, sekwilda, jaksa, kapolres, dandim, kepala pengadilan, dan wartawan, itu hubungannya ‘seperti keluarga’ saja. Sebagai bentuk hubungan antar para manusia yang harmonis itu sah-sah saja sebab orang memang harus hidup damai, tetapi hidup harmonis tidak berarti meninggalkan prinsip hidup berbudi dan jalan lurus.

Pertanyaan saya untuk Kapolres, dan tentunya atasan langsung (baca: Kapolda), singkat saja, apa motif pemukulan ini? Jika alibi itu tidak terbukti lalu apa penjelasannya? Permintaan saya satu, mohon dibuktikan bahwa semua orang sama di mata hukum. Ini penting karena menyangkut kredibilitas para perangkat hukum itu sendiri, artinya integritas bapak berdua dalam tahap ini.

Kolusi Pejabat
Memang dalam lingkup negara, jaringan keluarga masih merupakan jaringan utama untuk berkuasa sehingga posisi-posisi kunci di tingkat negara pun loyalitas keluarga adalah yang utama. Di NTT juga sama, keluarga masih merupakan hal yang utama, sehingga tidak jelas batas-batas peran yang dimainkan dalam ruang-ruang sosial yang berbeda. Tidak jelas mana yang dikategorikan profesional, dan mana yang personal.

Akibat yang paling jauh sebenarnya sedang kita rasakan sekarang, apa pun nama institusi moderen yang kita adopsi tetap ada dalam cita rasa keluarga atau rasa ‘anak suku’. Baik itu di wilayah pemerintahan, universitas, ordo keagamaan, pilkada, tender proyek, dan lainnya. Kita tidak bisa membedakan dan memberikan pengertian sejauh mana wilayah ‘keluarga’ maupun wilayah ‘negara’ dalam fase tertentu berbeda dalam hidup sehari-hari.

Membaca koran tahun 1929, rasanya sama seperti membaca berita on line Pos Kupang hari ini di internet. Korupsi masih jadi penyakit, yang menuntut keadilan masih gampang ‘di ping pong’, dan para guru masih susah.

Sebagai pengingat waktu, Indonesia diproklamirkan tahun 1945, tetapi mengapa membaca tulisan tahun 1929 sama dengan rasa 2008? Apa yang keliru dengan manusia Indonesia? Dan apa yang keliru dengan manusia di NTT? Mengapa tindakan memukul semena-mena masih menjadi bagian dari kita? Dan mengapa hukum masih menjadi sesuatu yang asing, sehingga membakar rumah masih merupakan ‘cara lokal’ untuk memenuhi rasa adil?

Selama kita tidak berusaha mengenali karakter-karakter antagonis masyarakat ini dan diri sendiri, kita tidak sedang belajar hidup, apalagi beragama (baca: merayakan hidup). Karena kita jelas jauh dari cita rasa itu, karena tidak bertanya, dan apalagi berusaha menjawab pertanyaan utama semacam ini: ‘Who am I?’ atau ‘siapakah saya manusia?’.

Selama kekosongan ini terus terjadi, selama itu pula, perubahan institusi, jabatan baru, atau dari yang telanjang sekarang memakai penutup aurat, atau apa saja, sebenarnya hanya lah berbeda bentuk tetapi tidak berbeda isinya. Tepatnya memang tidak bergerak, kita tidak lebih ber-budi, atau sedang berusaha untuk ber-budi.

Lewat membaca surat kabar lintas waktu kita bisa memahami mengapa Mahatma Gandhi tidak pernah percaya dengan modernitas sebagai jalan keluar, apalagi perangkat hukum (Chatterjee, 1986). Hal ini yang menjadi inti perdebatannya dengan Rabindranath Tagore– maupun Pandit Jawaharlal Nehru (Sen, 2005). Gandhi melihat jalan modernitas tidak akan sanggup menyentuh sisi pencarian hidup manusia, sedangkan Tagore berpandangan ‘renungan dalam’ itu harus lah terbuka dan lebih optimis bersentuhan dengan modernitas yang harus dikawal dengan lebih dekat pada alam dan cinta manusia.

Meskipun berbeda, mereka tetap bersahabat hingga masing-masing ‘pergi’. Ya, orang-orang berbudi namanya abadi dalam waktu yang fana. Sedangkan para pengusung jargon jelas bukan orang yang sedang mampir minum air hidup, karena tak mampu ‘meng-ada-kan’ akal budi.

Dimuat di Harian Pos Kupang, Maret 2008


Leave a comment

Jon Dos Santos (10): Cari Hidup Kira-Kira di mana?


Cari hidup kira-kira dimana?” tanya Jon Dos Santos seorang anak Tim-Tim (Timor-Timur) di sebuah pertigaan Kota Kupang pada pertemuan pertama , 14 Maret 2001. Lontaran kalimat Jon mudah sekaligus suli untuk dijawab. Mudah jika diam, menutup mata serta terus berjalan; dan sulit ketika harus memberi arti dan terus bertanya. Jon langsung menjawabnya sendiri, “ “Beta tau cari hidup di orang kaya punya rumah, nanti kalau ketong (kita, Bhs. Melayu Kupang) kerja di situ paling-paling ketong dapat uang.” Jawabannya singkat, mengatasi keadaan.

14 Maret 2001
Bertemu dan mendengarkan cerita Jon Dos Santos seolah diajak membayangkan ketakutan dari masa kanak-kanak. Dalam usia 10 tahun Jon telah kehilangan orang-orang terdekat serta ingatan tentang kisah yang telah dilampaui.

Bocah bertubuh kurus, hitam dan mata berkilat ini mengaku telah yatim piatu sejak bapaknya terbunuh saat gelombang pengungsian keluar dari Timor-Timur berlangsung, pasca jejak pendapat di akhir Bulan Agustus 1997. Kabar ini diperolehnya dari pengungsi yang ada di Kupang. Padahal sebelum itu Jon, bapaknya dan 50-an orang temannya telah ke Kupang, sebelum gelombang eksodus besar-besaran terjadi namun bapaknya memutuskan kembali ke Timor-Timur untuk mencari pekerjaan. Jon pun ditinggalkan di Gereja Ebenhaezer, Kupang.

Ia bercita-cita ingin menjadi tukang isi bensin, tetapi ia kadang juga ingin menjadi polisi agar bisa membalas dendam pada tentara. Jon sama sekali tak mengingat nama ibu dan saudaranya yang berjumlah 6 orang. Yang diingat hanya penggalan nama bapaknya. “”Dos Santos itu dia punya nama,” katanya singkat. Jon kecil sudah tak mengingat nama kampungnya. Ia hanya mengingat nama kabupaten: Ermera. Lain dari itu telah pupus dan jadi anonim. Bahkan kerap kali dia harus siap memberi nama baru untuk setiap kisah di masa lampau ketika pertanyaan normatif tentang keluarga dilontarkan.

Jon selama tiga tahun dipungut anak oleh seorang ibu yang biasa ia panggil dengan sebutan ‘Aci Leang’. Ia bisa tinggal di rumah, sekolah dan diberi makan dengan imbalan kerja. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan menjajakan kue & es manis telah menjadi pekerjaan sehari-harinya.

Setiap harinya Jon berjalan berkilo-kilo meter untuk menjual kue dan es. Satu tangannya membawa keranjang kue dan sebelahnya lagi menjinjing termos es. Jon terlihat kesulitan membawanya, apalagi jika kue & es masih penuh, belum laku. Tentu berat. Meski tangannya begitu kecil, bebannya tetap terangkat.

Daerah terlaris ada di tempat pengisian bahan bakar. Untuk pergi ke sana Jon harus berjalan 3 Km. Di hari libur Jon berjualan dari jam 6 pagi sedangkan di hari biasa ia berjualan sejak jam 1 siang usai sekolah.

Jon paling suka pelajaran matematika. Ia mendapat nilai nol,delapan, dan sembilan untuk pelajaran ini. Pada hari itu Jon dikawal Mery, seorang gadis sebaya yang bertugas menghitung kue yang diambil pembeli. Sebab kemarin Jon tekor sampai lima ribu, karena beberapa pemuda yang membeli jajanannya di tepi pantai menghardiknya untuk berbalik ke laut agar tak menghitung kue yang mereka makan.

Ceritanya mengalir lepas. Gambaran ketakutannya telah leyap. Ia telah melewati titik ekstrim ketakutan untuk merasakan kehilangan namun kepedihan masih jelas tergambar dari suaranya yang lirih dan tatapan matanya yang bergerak cepat tanda risau. Ia bisa tersenyum perih, memamerkan gigi putihnya namun tak sekalipun tertawa lepas.
Saat itu hampir jam 3 sore ketika kutanyakan padanya, “Sudah makan Jon?”

“Belum,” jawabnya.

“Sonde (tidak) lapar?”

“Beta sonde tau apa yang ada di dalam beta pung (punya) perut, tapi beta sonde rasa lapar,” katanya sambil tersenyum perih. Jon kecil pandai menghalau lelah, bila telah cape berjualan Jon berenang telanjang bulat di laut. “Beta telanjang saja, beta sonde malu,” katanya.

Dua pertanyaannya tak mampu kujawab hari itu.

“Sepuluh tahun itu sudah tua ko?”

“!”

“Kalau lu pung bapak dibunuh masa lu sonde balas dendam, karmana (bagaimana)?”

“!”

Pertanyaan Jon yang tak terjawab ini rasanya mirip dengan tema Film India dan Hong Kong yang kerap mengkampanyekan balas dendam. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Awan hujan menggantung saat kami berpisah di sebuah pertigaan yang lain.

15 Maret 2001

Jam 7.30 pagi tanggal di 15 Maret 2001 kami bertemu untuk kedua kali —dan terkakhir. Jon pergi menjual kue tanpa Mery dan saya pergi mencari nara sumber. Kami pergi bersama, tanpa banyak bercakap, dan berpisah di tempat sama tempat kami bertemu kemarin: di sebuah pertigaan sepi. Mulanya tak ada dalam pikiran ini adalah pertemuan dengannya yang terakhir. Terkaanku salah, tapi bukankah tak setiap kenyataan dapat ditebak?

Awal April 2001
Sejak itu Jon tak pernah tampak dengan keranjang kue dan termos es-nya. Dari Vini, teman sekelasnya di SD Inpres Perumnas I, Pasir Panjang, Kupang, didapat kabar bahwa Jon tak lagi berjualan, sudah tidak bersekolah dan juga tidak tinggal lagi bersama Aci Leang. Dari isu yang berhembus, ia kerap dipukul induk semangnya itu, dan memilih kabur.

29 Mei 2001
Menurut Aci Leang, ia pernah diberitahu tetangganya bahwa Jon berjualan tas plastik di Pasar Oeba. Ia berusaha mencarinya tapi Jon sudah tak ada. “Mungkin ia takut dan sembunyi,” katanya. Aci Leang mengaku mengambil Jon sejak awal tahun 1997 dari sebuah “LSM” yang mengambil anak-anak miskin di daerah yang terancam kelaparan di Tim-Tim tahun dan rencananya hendak ditempatkan di sebuah panti asuhan. Namun karena kucuran dana tak ada, maka panti asuhan itu pun membagi anak-anak Tim-Tim kepada para jemaat. Aci Leang mengaku membayar 100 ribu rupiah, sebagai ganti ongkos transportasi dari Dili ke Kupang.

“Nama sebenarnya adalah Ago Pito, saya yang mengubahnya menjadi Jon Dos Santos. Jon kabur karena dipengaruhi oleh seorang anggota Brimob asal Tim-Tim. Ini memang salah saya karena menyuruhnya berjualan, kalau tidak ia tidak mungkin lari sebab ia tidak mungkin dipengaruhi orang lain,” cerita Aci Leang. Menurut Aci Leang, Jon suka berkelahi. Beberapa orang tua murid pernah mendatanginya karena anak mereka dipukul Jon.

Menurutnya Jon sebenarnya masih memiliki orang tua. Namun Jon selalu bilang padanya, “Beta pung orang tua sudah mati, kalau masih hidup, kenapa dong (mereka) sonde cari beta?” Aci Leang juga mengatakan akan meminta LSM itu untuk membayar kembali semua uangnya, jika Jon dikembalikan ke Tim-Tim sebagai ganti ongkos pemeliharaan. Menurutnya selain Jon, ada 57 anak lain saat itu yang dibawa dari Tim-Tim. Sebagian telah dipulangkan dan sebagian lagi tetap ditahan karena telah terampil bekerja, dan ditahan induk semangnya.

Cerita riang yang biasanya memenuhi masa kanak-kanak, sepertinya jadi satu mimpi yang tak kunjung muncul dalam tidur anak Tim-Tim di daerah diasporanya. Di Timor Barat, di camp pengungsian, dan di tempat lainnya di mana kasus anak-anak yang terpisah dari keluarga, tanah, dan tradisi leluhurnya tak pernah disebut.

Dan jika hidup itu ibarat puzzle, Jon atau Ago Pito sedang dibawa untuk menemukan serpihan gambarnya. Entah ke mana angin hidup telah membawa kembang ilalang kecil itu? Saat ini diperkirakan 100 ribu hingga 120 ribu jiwa warga asal Timor-Timur ada di Timor Barat. Dalam hitungan angka pengungsian: anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia ini tenggelam; ini sekedar sebuah ingatan sebelum semuanya menjadi anonim di negeri yang terserang amnesia akut.

Meski harapan terbitnya damai dan harumnya ilalang di padang savanna terus terselip di sela bibir–dalam doa, namun sering kali anggapan tentang damai telah menjadi suatu keniscayaan ketika terus ditabrak dengan kenyataan keras. Jon Dos Santos adalah satu dari sekian anak Timor-Timur yang terhempas ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Tenggara Barat dan NTT. Mengomentari keadaan ini Uskup Baucau, Mgr.Bacilio Nascimento, SDB di Kupang (31/5) mengatakan, “ This is very big problem but unfortunately I have no solution, also I know this is one reality.” (elcid)

Lampiran Foto:
1.Kupang, 14/3 2001, Jon Dos Santos (10) saat masih berjualan kue di saat liburan catur wulan (cawu) II. Mery temannya berjualan tak mau difoto. Mery menghindar, tinggal di kejauhan.

2.Bulan April 2001, di tepat pengisian bahakn bakar ini biasanya Jon menjual kue dan es manis. Beberapa penjual di tempat yang sama adalah anak-anak Tim-Tim yang berjualan agar tetap sekolah.


Leave a comment

Negara dan Nasionalisme Fase Ketiga


Oleh: Dominggus Elcid Li

Menerjemahkan nasionalisme Indonesia aktual di tahun 2007 ini memang tidak mudah bagi siapa pun. Sehingga dengan menempatkan diri sebagai seorang nasionalis dengan sendirinya diminta untuk tidak bertindak ahistoris atau melupakan sejarah, agar tindakan yang ditempuh tidak menjadi blunder bagi Republik Indonesia. Sehingga, jawabannya tidak disederhanakan, misalnya, dengan membangun Korem baru, membangun batalion, atau membangun tempat latihan bersama dengan negara asing atau bahkan menciptakan ‘musuh imajiner’ yakni rakyat sendiri.

Jika kita membagi rentang perjalanan sejarah Republik dalam tiga fase, maka nasionalisme Indonesia di fase ketiga merupakan fase terberat yang membutuhkan kejelian untuk memahaminya, karena garisnya tak sejelas era kolonial. Nasionalisme di fase pertama dilatari pergolakan di daerah koloni sebelum tahun 1945. Kondisinya cukup jelas memisahkan garis antara yang dijajah dan penjajah yang telah berlangsung selama beberapa abad. Sehingga, di tahun 1945 sejumlah pemimpin berkonsolidasi dan memproklamirkan Republik Indonesia, setelah Hirosima dan Nagasaki dibom, dan Jepang menyerah, sebagai tanda akhir Perang Dunia Kedua. Tercatat agresi Jepang, Jerman, dan Italia ke berbagai negara memicu lepasnya kontrol negeri induk terhadap koloni-koloninya.

Nasionalisme fase kedua, berlangsung pasca kemerdekaan. Usaha untuk memperjelas, batas kedaulatan negara pernah dilakukan oleh proklamator Indonesia, Soekarno bersama para pemimpin Asia Afrika di Bandung. Namun khusus untuk Indonesia euforia romantisme merdeka bekas negara jajahan di dua dekade awal kandas di tahun 1965, karena ketidakmampuan para pemimpin Indonesia memahami tata dunia baru, yang dibuktikan dengan ketidakmampuan menghindari tragedi politik yang paling mematikan bagi negara ini. Republik ini hanya sekedar menjadi medan politik perang dingin. Kita tak berhasil membebaskan diri dari perangkap politik internasional. Sisa-sisa kebodohan itu masih terasa hingga saat ini, misalnya dengan saling menyatakan diri yang satu lebih nasionalis, dan yang lainnya adalah komunis dan pembusuk negara.

Selanjutnya, fase ketiga nasionalisme Indonesia ditandai dengan era mengisi pembangunan yang dirayakan dengan nama Orde Baru dengan motornya Golongan Karya dan ABRI. Stabilitas politik dan keamanan dengan ujung tombak rencana pembangunan menjadi kurikulum selama tiga dekade. Namun, mimpi pembangunan lebih banyak dibangun di atas berbagai kebobrokan, sehingga sekali diterpa krisis ekonomi, mata uang Rupiah milik Republik kembali terjembab. Jatuhnya nilai tukar Rupiah, kemudian disusul dengan hilangnya kepercayaan sebagian besar masyarakat terhadap Presiden Soeharto. Setelah tiga dekade memimpin, ia dipaksa mengundurkan diri karena semua sasaran tembak atas kegagalan Republik untuk lolos dari krisis moneter dan penyalahgunaan kekuasaan mendapat nama dalam slogan: ‘turunkan Soeharto’. Kini, nasib Soeharto tak jauh dari tahanan rumah model Soekarno dulu. Tragedi yang dialami dua pemimpin negara ini menandai ketidakmampuan manusia Indonesia merumuskan negara ala Nusantara.

Setelah itu, tidak ada satu pun pemimpin yang mampu menuliskan Republik Indonesia sebagai sebuah rumah yang kokoh. Sebaliknya, yang ada adalah sekelompok orang yang berbicara bergantian menjadi Presiden di atas panggung pasir yang bergerak. Nusantara adalah pasir yang bergerak itu sendiri. Di era Soekarno, ia memesona masyarakat dengan kemampuan orasi yang dipancar luas lewat radio, dan kejatuhannya menandai berakhirnya era retorika politik massa. Sedangkan di era Seoharto sistem negara integralistik yang serba terpusat menjadi daya ikatnya, dengan dua simpul utama yakni birokrasi terpusat dan peran dominan militer. Kedua simpul ini terbukti tidak ampuh menghadapi krisis ekonomi di tahun 1997. Negara yang sifatnya semu dan seremonial terbukti tidak bisa bertahan ketika dihadapkan pada “invisible crisis”.

Ini merupakan bukti sejarah bahwa dengan ‘sistem komando’pun Republik ini tak bisa bertahan melawan hempasan krisis moneter. Ternyata, musuh itu bukan lagi NICA-Belanda, ternyata musuh negara itu kita sendiri. Para penjarah harta nusantara dulu ditandai dengan nama kompeni Belanda, ternyata selama era Soekarno, Soeharto dan era tidak pasti ini para penjarahnya adalah company (baca: perusahaan) milik anak-anak bangsa ini sendiri. Saat ini masing-masing sibuk cari untung demi nafsunya sendiri. Adil atau tidak, seolah-olah sudah tidak menjadi persoalan aktual lagi. Situasi anarki yang terjadi sejak tahun 1997 ternyata memberi dampak ketidakpedulian kepada bangsa ini pada semangat kehidupan.

Teriakan masyarakat di berbagai pelosok Republik tentang ketidakdilan inilah yang diterjemahkan menjadi tidak nasionalis. Suara para aktivis LSM tentang korupsi dan penyimpangan kekuasaan dengan mudah dibelokkan menjadi bunyi para pembusuk negara. Kecenderungan untuk selalu mencari tumbal rupanya sudah menjadi watak para elit penguasa di bekas koloni Belanda ini. Kita tentu mengingat bahwa di zaman perang kemerdekaan, Belanda memberi julukkan ‘kaum ekstrimis’ untuk para pejuang pemberontak, sedangkan kini para pemrotes ketidakadilan disebut ‘tak nasionalis’ atau ‘kaum separatis’ atau ‘komunis’ sebagai pembeda. Tak bisakah kita mencari sebab sebelum memberi nama, agar kita tak hanya mengulang periode akhir Pemerintahan Belanda di Indonesia?

Ketidakmampuan untuk ber-naalar secara benar ini akhirnya bisa ditebak: tragedi yang berulang kembali. Situasi Nusantara yang sangat kompleks, baik secara geografis, komposisi etnis, dan latarbelakang sejarah seharusnya membuat para pemimpin sadar bahwa sistem negara dengan garis komando sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan zaman. Tabrakan antara rasa ketidakadilan dan cepatnya laju informasi, membuat seribu satu reaksi bisa muncul setiap saat. Tak heran jika wartawan dan inteljen sama-sama salah menganalisis informasi karena ketidakmampuan menggunakan nalar dasar.

Birokrasi yang korup, tentara yang korup, polisi yang sejak masuk pun pakai sogok, wartawan amplop, hakim dan jaksa yang suka disuap inilah yang menjadi penjajah baru. Ketidakadilan yang terjadi dengan mudah disuarakan oleh para aktivis LSM. Ironisnya, karena LSM itu umumnya didanai organisasi di luar negeri maka dengan mudah disebutkan LSM telah menjadi antek bangsa asing. Padahal, kalau mau cukup bernalar, bisa diketahui kalau pemberi dana asing (LSM Internasional) adalah organisasi amal, yang datang kemari karena mendengar berita penderitaan dari daerah semacam Aceh dan NTT. Artinya dana amal itu pun dikumpulkan dari uang receh masyarakat yang peduli orang susah, misalnya dengan menjual barang bekas, semacam: buku, pakaian, boneka, dan jepit rambut. Jadi, semacam kios di pasar loak yang dimaksudkan untuk kegiatan amal. Uang yang terkumpul meskipun mungkin di negeri asalnya jumlahnya kecil, namun di Indonesia jumlahnya naik karena jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang kuat dunia lainnya.

Isu ketidakadilan dan kemiskinan, yang digemakan oleh masyarakat, yang kemudian dituduh sebagai suara antek negara asing adalah berlebihan. Ini salah siapa? Negara kita tidak mungkin tumbang oleh organisasi yang hidupnya hanya didasarkan pada hasil penjualan barang bekas dan kebaikan hati donatur. Sebaliknya, negara kita mungkin tumbang kalau pemimpin dan pejabat negaranya korupsi, dan, tidak mampu bernalar secara benar. Kekeliruan para pembuat strategi di pusat pemerintahan dalam menerjemahkan penderitaan rakyat adalah fatal. Padahal ekspresi penderitan bisa muncul dalam seribu satu wajah.

Narasi kemerdekaan 1945 yang selama ini menjadi bacaan wajib masyarakat dari berbagai strata, kemudian menemukan ruang dialognya sendiri. Segala kegagalan atau disfungsi aparatur Negara dengan mudah dibalik: untuk apa bernegara jika tak ada jalan keluar? Nasionalisme model indoktrinasi memunculkan kritik bersumber pada bahan bacaannya sendiri. Semoga arus balik dari kuatnya doktrin nasionalisme itu bisa dipahami dan diberikan jalan keluar yang tepat.

Kegelisahan masyarakat atas lambatnya pemulihan situasi ekonom dan disfungsi aparatur negara di berbagai lapisan, pada akhirnya tidak memadai hanya dijawab dengan parade personel militer di salah satu wilayah termiskin di bekas koloni Belanda ini. Mimpi merdeka di fase nasionalisme ketiga ini membutuhkan jawaban yang tepat, bukan gagah-gagahan. Sebab inferior complex di bekas negara jajahan, tak cukup dilawan dengan slogan, jargon, seremoni, mentalitas bapakisme, dan skema korupsi sistematis ala grup arisan bergilir. Sudah saatnya kita melihat dalam-dalam pada mimpi merdeka, dan bertanya, “Kita ada dimana?” Di titik ini, antara rakyat dan jenderal tak ada bedanya. Ini akan mempermudah kita untuk mencari di mana ujungnya nasionalisme jika jargon sudah dibuang.

Dibandingkan dengan beberapa negara Asia Afrika sebagai wakil dari negara-negara bekas koloni yang hadir dalam konferensi di Bandung, kita terhitung tidak berhasil menghasilkan pribadi yang unggul di mata dunia. Pemimpin negara kita hidup dalam ilusi, tak berhasil melihat persoalan aktual dan secara tegas memberi jalan keluarnya.
Singkatnya, mendirikan batalion baru, korem baru, dan tempat latihan perang baru di provinsi ini bukan merupakan jalan keluarnya. Tentara dan rakyat, ungkapan Mao Tse Tung dan disukai oleh Jendral A.H Nasution, adalah ibarat ‘ikan dan air’ (Lihat dalam Civic Mission: Suatu Aspek Pembinaan Wilayah, Brigjen. Sokowati, 1962, hal.52). Sehingga jika rakyatnya sekarat, menambah tentara tak ada gunanya. Ikan pasti mati jika berenang dalam limbah. Sehingga saat ini bagaimana membersihkan limbah lah yang harus menjadi fokus, bukan menambah ikan. Negara kita sudah lama hidup dalam omong kosong, sudah saatnya nalar dasar lah yang dijadikan pijakan, bukan sekedar main kuasa tanpa nalar. Kekuasaan tanpa kontrol hanya membawa kita pada kematian.


Leave a comment

Blog Tinneke Carmen


Sebuah telur pecah lagi–di kepala saya. Kali ini dari Tinneke Carmen yang biasa dipanggil Tina, salah seorang penulis, rekan di forum academia NTT, yang kini masih bekerja di Liputan6.com website milik SCTV, sebuah stasiun TV swasta, di Indonesia.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang ia kerjakan selama kurang dua tahun di sela-sela kerjanya sebagai editor. Jejak awal tulisan pada tahun 2004, merupakan tanda kehadiran dunia bloggers Indonesia. Selama waktu bergulir selama itu pula tulisan-tulisannya mengalir, dan membentuk danau buku.

Kenapa judulnya Blog Tinneke Carmen? Ia menjawab singkat, “Ini kumpulan tulisan beta di blog.” Ringkasnya, buku ini merupakan catatan atas hidupnya. Ketika ditanya, buku ini berkisah tentang apa, ia hanya memberi satu kalimat, “Tulisan Pak Polisi ada di situ.”

Memang, Bapaknya adalah seorang polisi.

Tulisan ini dulu ia bacakan sambil menangis, sesaat sebelum pemakaman Bapaknya, yang meninggal satu tahun lalu di Kupang. Gambaran tentang polisi ideal, dan profil hidup seorang Bapak yang polisi hadir menyilang dalam tulisan.

Penulis yang hadir sebagai pelayat waktu itu hanya bisa diam diantara para polisi dan juga para purnawirawan polisi yang diam mendengar penulis membaca tulisan itu. Siapa sangka ziarah hidup sang Bapak yang polisi itu bisa ditelusuri. ‘Anak asrama’ menulis buku, siapa sangka?

Di Kupang tenda duka, biasanya adalah tenda tawa juga. Sebab itu jangan heran dalam tenda duka itu para purnawirawan polisi lain saling bertemu dan bertukar tawa dan pe’e gigi alias ketawa ‘besar-besar’. Sebab semakin hari dalam hitungan matematis yang ada adalah semakin berkurang, dan yang lainnya membatu menjadi nostalgia. Dalam pertemuan para purnawirawan polisi, dan lewat tawa mereka berbisik, “Sapa lagi punya giliran bikin tenda?” atau, “sapa lagi yang akan jalan duluan?”

Dua kalimat tanya ini mewakili fase ketiga dalam hidup: lahir, menikah, dan mati. Ketiga titik waktu yang selalu dirayakan dalam tradisi dan kultur mana saja. Ya, Albertina S. Calemens., memang merayakan itu dan kado untuk akhir untuk Pak Polisi.

Dan, amat jarang seorang anak menulis tentang orang tuanya, serta dibingkai khusus menjelang pemakaman. Sebab memang sedikit, ada anak yang mampu kembali pada titik waktu kecil dan berdialog dengan apa saja yang telah terjadi. Sederhananya, semua orang bisa pergi, tapi tidak semua bisa kembali.

Keping tulisan Pak Polisi, obituari seorang anak atas bapaknya, menjadi salah satu gugus kata dalam buku ini. Sejak Bulan April 2006, bukunya, terbitan Gradiens Book Jogja, sudah bertengger di jejeran rak buku dua toko besar ternama di Indonesia, sebut saja Gramedia dan Gunung Agung.

Jadi, kita boleh berharap Toko Buku Gramedia di Kupang sudah menyediakannya juga sehingga jejak penulis-penulis muda Flobamora, akronim dari beberapa pulau besari di NTT , ini tidak terputus. Tulisan ini merayakan kelahiran sebuah buku, telur yang pecah, yang dibuat Tina. Satu tahun sudah buku itu sudah diterbitkan. Ini adalah ulang tahunnya yang pertama. Siapa menyusul? (EL)


1 Comment

Kisah memberi nama


Ceritanya satu kelompok anak muda di forum academia ntt, sebuah mailing list, mencoba mencari nama untuk web atau blog bersama.

Ternyata sulit sekali menemukan satu kata yang mewakili NTT. Dalam pengertian yang dalam, sulit sekali menemukan satu kata yang mewakili budaya NTT. Secara administratif memang jalinan pulau ini punya rantai birokrasi, sedangkan kultur bersama hampir dapat dikatakan orang NTT masing-masih hidup dalam rumah budayanya masing-masing, tanpa saling tahu, rumah budaya yang lainnya.

Rumah budaya itu batasnya adalah bahasa. Misalnya idiom-idiom yang dikenal Orang Kupang, tidak dikenal oleh orang di Manggarai misalnya. Atau idiom yang dikenal Orang Rote tidak diketahui Orang Alor yang tidak pernah ke Kupang. Atau idiom dari Orang Solor tidak diketahui oleh Orang Sumba.

Kondisi kepulauan mungkin salah satu sebabnya.

Dan, kalau mau dilihat lebih jauh lagi, para intelektual NTT umumnya hanya mengetahui rumah budaya dirinya sendiri, sedangkan kalau berusaha mencari irisan budaya NTT, maka akan langsung teringat pada idiom-idiom Berbahasa Indonesia.

Secara khusus, simbol-simbol budaya NTT itu cukup kaya, tapi tidak cukup baik dikuasai oleh anak-anak mudanya. Memikirkan nama blog/web, di satu sisi mengingatkan bahwa modal budaya kita ternyata cukup minim. Karena hampir tidak ada kata yang menjadi tempat bertemu sekian rumah budaya di NTT.

Apa sih budaya asli populer NTT? Pertanyaan ini muncul sejenak. Meneropong lebih jauh, hampir sulit sekali untuk menemukannya. Kalau tidak muncul istilah pemerintahan, maka muncul istilah keagamaan. Tapi budaya yang melintasi itu tidak ada. Jadi minim sekali budaya yang melintasi beragam etnis di NTT. Maka jangan heran…kalau situasi kita memang terkotak-kotak, atau pun terpisah.

Budaya ini penting, karena secara sukarela orang bertemu dengan orang dari mana saja. Yang terjadi, bisa dikatakan interaksi antar budaya di NTT bisa dikatakan cukup minim. Jadi nama NTT memang lebih ada karena alasan administratif sebenarnya. Timor menjadi nama lain yang kuat, karena sebelum menjadi NTT di tahun 1958—dan bagian dari Sunda Kecil (nama yang diberikan M.Yamin). Nama Residen Timor lah nama yang dipakai Belanda. Maka jangan heran orang Alor pung dikenal dengan nama Orang Timor. Timor itu nama residen. Kalau etnis bisa disebut ‘Orang Dawan’, atau yang lainnya.

Terasa sekali kalau kita jarang bertamu dan hidup dalam budaya yang berbeda. Artinya kita bisa menyebut ama, moat, enu, eja, kraeng, umbu, rambu, ina, dan sebutan pendek lainnya. Tapi tidak lebih dari itu, berhentinya cuma sampai pada makian.

Pengalaman tinggal di Jogja, mengingatkan beta, dengan mudah mencari idiom bersama untuk orang Jogja. Misalnya: Angkringan, atau juga yang dikenal dengan warung koboi, sego kucing, atau HIK Solo—Hidangan Istimewa Kampung, atau apa saja. Ini kita belum masuk dalam budaya populer lain, seperti wayang, dan lainnya.

Ini menjadi pertanyaan tersendiri juga, karena coba kita lihat teater di NTT itu mati. Dulu di era Belanda, malah ada beberapa kelompok.

Nah, kalau Kupang banyak sekali, dengan gampang kita temukan. Tapi coba cari satu idiom popular yang mewakili orang NTT. Saya tiba di jalan buntu. Terasa silang budaya antara berbagai rumah budaya di NTT masih kurang terjadi. Kalau pun ada itu formal, dan tidak bisa melintasi.

Budaya pop anak muda pun sama. Semuanya mengekor lagu pop Jakarta. Tidak mampu mengembangkan budaya pop khas NTT. Mungkin ini yang tidak ada. Kenapa ya?

Ya, kita masih harus mencari. Atau apa ada yang sudah menemukan?


Leave a comment

Kenapa Harus ‘Kami’?


(Pertanyaan Untuk Anggota Dewan di NTT)

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Figur pilar moral dalam politik bukan omong kosong. India sebagai sebuah Negara mustahil bisa tampil sepercaya diri sekarang, jika Gandhi tidak memilih untuk mati raga dan tekun dalam sikap asketik. Dan amat diragukan, apakah perjuangan kaum kulit hitam di Amerika Serikat bisa berjalan tanpa spiritualitas Martin Luther King Jr.? Untuk kita, Bung Hatta memang disebut sebagai pilar moral, namun Bung Hatta keluar dari arena politik. Kita butuh figur pandita yang ‘menjadi’ dalam gerak politik. Tulisan ini selanjutnya ada dalam ranah spiritualitas politik.

Kata ‘kami’ di awal tulisan ini adalah ‘kami anggota dewan perwakilan rakyat’, sedangkan kata “kami” di akhir tulisan ini adalah rakyat atau warga negara. Pertanyaan lengkapnya, dari judul tulisan ini seharusnya: kenapa harus ‘kami’ yang lebih dahulu diperhatikan? Atau tepatnya meminta jawaban dari para anggota dewan terhadap pertanyaan: mengapa PP No.37 Tahun 2006 itu harus lebih dahulu kami dukung daripada yang lain? Pertanyaan ini sengaja dibuat ‘ke dalam’, untuk mengajak anggota dewan untuk berdialog dengan diri sendiri, dan bukan dengan jumlah uang– trilyunan yang nilainya minus jika dikurangi dengan beban utang Negara kita.

Tujuan tulisan ini keluar adalah untuk menjawab ‘litani’ para anggota dewan, dan bekas anggota dewan yang dalam beberapa hal ‘merasa’ paling lelah dalam ber-negara. Untuk jawaban positif, dengan jawaban ‘ya’, perlu dijawab oleh para anggota dewan dan para pendukungnya, termasuk bekas anggota dewan yang se-ide, pemerintah pusat, dan para disainer PP ini.

Mengapa ‘Tidak’?
Selanjutnya, tulisan ini didisain untuk dengan argumentasi mengapa tunjangan para anggota dewan ‘tidak perlu naik’. Dua alasan utama mengapa ‘tidak’: pertama, tunjangan itu tidak perlu ada karena jika dibandingkan dengan ‘penghasilan’ kelompok masyarakat lain, tunjangan ini menjadi terlalu mewah dan berlebihan. Persoalan ekonomi negara itu isinya tidak melulu anggota dewan, sebaliknya masih ada kelompok masyarakat yang penghasilannya masih amat minim. Kedua, tindakan para anggota dewan plus pemerintah pusat, dalam banyak hal sepertinya ‘masuk akal’, tetapi jika dilihat lebih tajam PP ini mendukung ‘mentalitas pengemis’ dan jauh dari semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) milik Bung Karno, Presiden pertama kita.

Kedua pernyataan di atas akan coba dijelaskan dengan contoh sehari-hari, sehingga mudah-mudahan pengertian politik bisa dimengerti dalam cita rasa yang paling sederhana. Sehingga ber-politik masih mungkin dimaknai sebagai tugas menjalankan ‘panggilan’ zaman, dan bukan sekedar cita-cita pribadi. Ini perlu dibedakan, agar kritik berkaitan PP No.37 ini tidak hanya dijawab dengan wawasan pribadi, seperti yang terwakili dari ‘pengalaman saya sebagai anggota dewan’, namun coba dilihat dari sisi: apa peran politikus di atas negara yang hidup dari utang. Agar debat politik di gedung dewan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini: bagaimana kegiatan politik bisa menjadi cara mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan? Bagaimana debat politik bisa menjawab: bagaimana sebaiknya negara diatur agar kesejahtraan itu bukan hanya milik ‘kami’ anggota dewan tetapi ‘kita’?

Membandingkan ‘kami’

“Berapa penghasilan ‘kami’? Berapa tunjangan ‘kami’?”

Coba lah dibuka baik-baik nota-nota tanda terima. Silahkan dihitung gaji resmi, plus seluruh tunjangan, dan lain-lain yang tidak transparan. Kemudian, coba hitung berapa gaji seorang pembantu rumah tangga di Kota Kupang per bulannya. Apakah ada yang masih dibayar per bulannya 75 ribu rupiah? Berapa gaji seorang guru kontrak di Pulau Rote yang dibayar dari hasil ‘derma’ para orangtua murid? Atau berapa keuntungan seorang Ibu dari Sabu yang berjualan kacang gula selama sebulan di pinggir jalan diantara dingin dan cahaya pelita?

Kisahnya tentu lain, jika gaji dan tunjangan anggota dewan dibandingkan dengan gaji manager di level menengah sebuah perusahaan multinasional atau direktur LSM internasional di Jakarta, jelas belum sepadan. Namun, perlu di-ingat, baik manager maupun direktur adalah bagian dari sistem ekonomi negara maju, sehingga perbandingannya pun tidak bisa serta merta disamakan dengan anggota dewan negara yang ber-utang. Contohnya, gaji pembantu untuk satu bulan di Kupang, jumlahnya lebih kecil dari upah pekerja paruh waktu untuk cuci piring selama satu jam di Inggris. Contoh ini untuk menjelaskan hubungan antara diri,negara, dan sistem ekonomi dunia.

Politik ‘menadahkan tangan’

Sebutan ini tidak untuk mencari sensasi, tetapi menjelaskan mengapa dalam gerak politik negara kita, para kaum intelektualnya lebih bangga menjadi tukang tadah tangan. Aslinya negara kita saat ini defisit, perhitungan rincinya harus dijelaskan oleh para ekonom, namun reformasi yang dijalankan tetap setengah hati. Pembaruan yang dilakukan pun dilakukan secara parsial. Contohnya mengitung tunjangan anggota dewan itu tetap dilakukan terpisah, tanpa membandingkan selisih antara tunjangan anggota dewan dengan penghasilan kelompok profesi atau pekerja lainnya.

Sepertinya, apa yang dilakukan oleh para anggota dewan itu ‘benar’, dengan menjelaskan kenaikan tunjangan dengan upah dan kerja. Namun, sayangnya ada yang terlupakan bahwa Negara kita ini hidup dari utang, yang untuk membayar uang pensiun para pegawai negerinya untuk tiga tahun lagi pun masih dipertanyakan kemampuannya. Apa pandangan anggota dewan dari NTT tentang hal ini?

Dalam kacamata ini tindakan para anggota dewan bisa dikatakan tidak nasionalis, karena hanya memikirkan diri sendiri, tidak berkelanjutan, dan melupakan kondisi negara secara umum. Dapat dikatakan dalam negeri yang penuh dengan utang, watak para politikusnya cenderung untuk berpikir hanya untuk hari ini, dan memanfaatkan watak ‘aji mumpung’ atau predator. Saat ada di atas maka kesempatan harus dipakai untuk ‘sikat’ sebisanya, karena kondisi negara sendiri sangat rapuh, dan tidak bisa memberikan jaminan.

Pertanyaan untuk kita

Di tengah kesulitan dan bencana yang tidak ada putusnya, apakah kita, orang NTT, masih mampu mengartikan keterlibatan politik demi bangkitnya Negara? Atau malah ikut-ikutan memerah Negara agar semakin lemah?

Sayang, sebagai warga provinsi di pinggiran Republik Indonesia, hingga saat ini, ‘secara kolektif’ kita belum menyumbangkan pemikiran penting, agar Negara kita bisa bangkit kembali. Tanpa dilandasi keutamaan-keutamaan seorang negarawan, maka mustahil para politikus dari NTT bisa tampil di tingkat nasional sebagai seorang pemikir, dan menjadi pelaku politik yang patut diperhitungkan. Karena kualitas ber-politik kita masih ada di level menadahkan tangan, dan mengikuti mana yang untung. Belum lagi sampai pada sikap politik seorang negarawan, dimana kepentingan diri menjadi kurang penting dibandingkan dengan kepentingan Negara.

Seharusnya, para anggota dewan dari NTT mampu memberikan usulan dan kritik terhadap PP No.37 ini, dan bukan malah sibuk ikut asosiasi anggota dewan, yang mirip kelompok arisan. Bagaimana bisa dikatakan negarawan jika dengan bangga mendukung kenaikan gaji dan tunjangan dari hutang Negara? Di sisi yang lain, asosiasi anggota dewan, secara langsung menempatkan posisi para anggota dewan sebagai perkumpulan orang-orang dengan profesi yang sama. Tolong dijelaskan posisi ini dalam Tata Negara.

Singkatnya, “kami” sebagai rakyat Indonesia yang tinggal di Provinsi NTT ingin agar “kami” bangga bahwa wakil-wakil “kami” mau menjadi motor pembaharu pemikiran pemikiran politik di Indonesia. “Kami” berhak meminta wakil-wakil “kami” untuk menjadi pilar moral, karena sekali lagi, kita ada dalam Republik, dan bukan perkumpulan arisan.? Kita perlu membuktikan bahwa tafsir atas Republik mampu kita lakukan dari posisi marginal.

Politikus seharusnya tidak hanya pandai menarikan kata, sebaliknya harus setia pada kata-kata. Sikap hidup Bung Hatta masih diingat berbagai kalangan, ia setia untuk hidup bersahaja sampai pada ujung hidupnya . Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta waktu itu pun harus berbicara dengan DPRD DKI untuk memintak keringanan biaya air dan listrik bagi proklamator kita.

Di Daulat Ra’jat, edisi Bulan Januari No.85 tahun 1934, Bung Hatta masih menulis ‘Di Atas Segala Lapangan Tanah Air, Aku Hidup aku Gembira’. Sikap hidup itu tidak tawar menawar tentang berapa tunjangan yang akan didapat dengan sikap anti kolonial. Ia siap mengabdi pada Negara tanpa syarat. Ini lah bentuk mati raga dalam politik. Titik ini penting, tulisan itu ditulis satu bulan sebelum ia diasingkan ke Digul dan Banda selama 6 tahun. Entah, naik kapal apa?

Bung Hatta tidak hidup dari materi, namun mengapa sekarang begitu banyak syarat materi untuk menjadi wakil rakyat? Teladan Bung Hatta, membuat kita yang ditinggalkan masih berandai-andai, bagaimana rupa Indonesia seandainya Bung Hatta tetap dalam arena politik?

*Wartawan daerah, sedang belajar di University of Birmingham, UK.

Tulisan ini dimuat di Pos Kupang 2 April 2007, ada beberapa bagian yang tidak dimuat, entah kenapa? Mungkin keterbatasn halaman