
Oleh Dominggus Elcid Li *
PROGRAM seratus hari SBY telah jauh berlalu, ditenggelamkan tsunami, parade kapal perang di Ambalat dan akhirnya hiruk pikuk pilkada. Satu atau dua kasus korupsi tetap bermunculan di halaman pertama koran, salah satu yang teraktual adalah kasus KPU, yang kini masih menjadi ‘misteri’ kita bersama, karena banyak orang sulit menerima bahwa para akademisi sekaligus aktivis ikut terseret dalam kasus korupsi, dan juga bertanya mengapa ‘kasus KPU’ yang dijadikan model shock therapy dalam memberantas korupsi dan bukan kasus-kasus kelas kakap lain.
Bagi sebagian orang masalah korupsi masih dianggap problem para elite semata, padahal korupsi sudah menjalar dan menyebar ke mana-mana, termasuk ke institusi yang biasa dianggap bersih yang menjadi pilar moral dan penegak hukum. Resep pemberantasan korupsi masih seputar ‘satu mengontrol yang lain’. Bagaimana kalau dalam kasus Indonesia ini, ternyata pengontrol pun bagian dari sistem yang korup? Apakah ada yang bisa membuktikan tidak terjadi korupsi di kepolisian, kejaksaan dan kehakiman?
Lewat fenomena ini dapat dipahami bahwa gerakan anti korupsi tidak muncul dari kesadaran sejarah negara ini, teriakan itu ada pada slogan dan retorika yang tidak memiliki pijakan kuat. Lebih tepatnya, isu korupsi hanya merupakan satu bagian pelaksanaan dan adopsi slogan good governance yang menjadi pil penenang dari negara adikuasa (baca: donor) untuk kita.
Kasus korupsi yang dibuka tidak memiliki daya perubahan, yang membuat kita tergerak untuk menghentikan korupsi dalam hidup sehari-hari. Pemberantasan korupsi masih merupakan slogan, dan para koruptor yang diperiksa hanyalah ‘tumbal’ dari sistem yang korup. Pertimbangannya, daripada seluruh peserta dibui, lebih baik satu atau dua orang atau kelompok yang dikorbankan, agar pemberantasan korupsi menemukan panggungnya. Agar orang kuat tidak diplesetkan menjadi demagog.
Para pelapor, tertuduh, pengacara, polisi, jaksa, dan hakim mulai bersiap-siap memberikan pernyataan di lapangan media massa. Semuanya menunjukkan seolah-olah mereka yang paling keras dan benar. Tetapi kadang orang lupa untuk berhenti dan bertanya mengapa kasus ini yang diangkat? Jika semua elemen-elemen ini mendapat jatah sama rata dan ‘adil’ tentu kasus ini tidak akan ada. Karena korupsi bukan merupakan sebuah peristiwa insidental, tetapi telah menjadi aktivitas yang melembaga dan mengakar dalam masyarakat kita.
Banalisasi korupsi
Korupsi telah menjadi hal biasa sehingga korupsi pun tidak dapat dilihat secara hitam-putih. Contohnya, seorang pejabat yang korup, pasti tidak melakukan korupsi sendiri. Ada tim yang dibangunnya, ada kaki-tangannya yang ‘ikut basah’. Belum lagi rantai sosial yang berhubungan dengannya, mulai dari sumbangan amal, pembangunan rumah ibadah, kegiatan pemuda dan olahraga, organisasi keagamaan hingga arisan keluarga.
Anggota masyarakat pada umumnya pun sebenarnya permisif atau tutup mata terhadap Si A yang korup. Asalkan Si A tetap rajin memberi sumbangan, maka ia dinobatkan menjadi ‘orang baik’ atau ‘tangan terbuka’. Padahal ia mencuri dari masyarakat, antara lain dari APBD atau APBN.
Kata ‘daerah’ dan ‘negara’ di belakang ‘anggaran’ pun sama abstraknya. Karena keduanya tidak ada dalam arti yang sebenarnya. Orang pun biasa saja mengambil uang daerah atau negara, seperti mengambil uang dari kantong ajaib. Serasa uang ini bukan milik siapa-siapa. Ini yang membuat korupsi lancar dan mulus. Karena sudah sering terjadi dalam masyarakat, maka terjadilah banalisasi (menjadikan biasa) korupsi dan memang yang terjadi adalah pembiaran korupsi dalam sistem pemerintahan.
Lain hal jika ada warga yang mencuri ayam milik si B, ia pasti ditangkap dan menjadi perhatian. Karena ayam itu jelas milik si B. Tetapi korupsi, mengambil uang negara atau daerah, tidaklah berwajah (Haryatmoko, 2004, hal. 127) meskipun itu jika dipahami adalah uang kita bersama. Lebih konyol lagi pelakunya bagi sebagian orang disamakan dengan tokoh Robin Hood. Tanpa pusing-pusing masyarakat kita umumnya langsung mengamini si A itu baik hati, dermawan, tanpa mau tahu dari mana asal uang. Orang-orang yang selalu dicitrakan dan ditokohkan sebagai orang baik, suka memberi dan kaya akan semakin banyak muncul di NTT. Dalam suasana kemiskinan dan kesusahan, masih tegarkah kita bicara soal moral dan meletakkan aksi sehari-hari dalam bingkai etis?
Korupsi dan nasionalisme
Dalam atmosfir kesadaran bernegara yang makin menipis, lembaga-lembaga negara hanya menjadi alat untuk memperkaya diri sendiri bagi individu yang masuk di dalamnya. Ini cukup memberi gambaran mengapa tes-tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di NTT menjadi begitu heboh dan ditunggu. Karena di NTT lapangan birokrasi dan lembaga-lembaga negara lain masih merupakan kue besar yang diperebutkan jika ingin bertahan hidup.
Segala cara ditempuh, dan dengan semangat tribal orang mulai bergerak mundur. Contohnya ketika hasil tes CPNS diumumkan, ketidakpuasan yang mencuat adalah ketidakpuasan atas nama identitas kelompok, berapa yang putra daerah dan berapa yang bukan. Sehingga korupsi di tubuh birokrasi pun dapat dilihat sebagai aktivitas kelompok, bisa etnis/agama atau sesama kaum opurtunis yang lapar dan rakus.
Persoalan korupsi aslinya bukan merupakan persoalan pribadi, tetapi kini sering kalau ada kasus korupsi yang dibuka, maka akan langsung dikaitkan dengan identitas agama/suku/keluarga/kelompok dari koruptor. Ini yang terjadi di NTT (dan Indonesia) dan sebagai akibatnya kekacauanlah yang ditimbulkan dari kritik atas korupsi, dan tidak dilihat sebagai bentuk koreksi. Sengketa kasus korupsi pun mulai kait mengait, antarklan, antarkelompok dan semakin tidak jelas, hanya berdasarkan naluri barbar.
Tetapi pejabat yang lihai tidak akan terjebak dalam sentimen kelompok, karena ia akan membagi semua posisi secara merata, sehingga korupsi akan dinikmati bersama-sama semua unsur kelompok yang berpengaruh di NTT. Jika tidak ada yang ribut, maka korupsi tidak akan ketahuan. Ditambah dengan seorang akuntan yang cakap, maka celah-celah kesalahan administratif yang biasa menjadi lubang dalam kasus korupsi tidak mungkin terdeteksi.
Dalam sejarah pemerintahan, pemerintahan kolonial yang menggunakan sistem indirect rule, awalnya para bangsawan dan raja-raja kecil yang diangkat menjadi pemimpin di suatu daerah. Para pejajah ini tidak memimpin langsung suatu daerah, ia hanya perlu mengangkat satu orang dari bangsa kuli ini untuk menjadi pemimpin kuli lain. Selanjutnya penguasa kolonial tinggal menunggu upeti. Jika penguasa ini dituduh korupsi dengan mudah ia tinggal menyediakan tumbal atau kambing hitam, bawahannya atau staf.
Gayanya tetap bangsawan dan sangat hirarkis. Pegawai negeri sipil yang oleh pemerintah orde baru diasosiasikan dengan pamong praja jelas berbeda tafsirnya dengan civil servant. Pamong yang ngemong (Bahasa Jawa ‘menuntun dan memberi petunjuk’) jelas berbeda dengan arti servant yang artinya pelayan. Sehingga slogan good governance itu akhirnya hanya seperti sebuah trend meluruskan rambut yang keriting. Pada akhirnya jika sistemnya tidak dibenah dan pembenahan birokrasi tidak dilakukan yang keluar tetap saja sama dan makin parah karena semakin bervariasi.
Seribu kali good governance itu diteriakkan, serupa dengan seribu plester yang ditempel di tubuh penderita tumor ganas. Sehingga pengetahuan tentang administrasi modern yang dipelajari di bangku kuliah tentu tidak bisa diterapkan jika semangatnya tetap pamong praja yang tidak pernah salah. Benturan-benturan ini sering tidak disadari padahal ini merupakan dasar-dasar organisasi. Buktinya jika ada rakyat (kawula) yang berani mengritik pamong praja, maka orang ini langsung dikategorikan kurang ajar, dan langsung dituduh mencemarkan nama baik. Selanjutnya kita tahu ke mana cerita akan bergerak dan hanya bisa diam sebab yang berlaku adalah hukum uang, yang benar adalah yang bayar.
Agak lucu dan sedih jika kita menyadari para birokrat inilah yang menjadi alat utama untuk indoktrinasi nasionalisme. Dalam situasi yang kacau, nasionalisme pun diucapkan dengan gagap, setengah hati. Upacara bendera merah putih yang menjadi tradisi pegawai negeri dan aparatur negara lain menjadi satir. Nasionalisme macam apa yang sedang dibayangkan ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan? Seperti lagu requiem untuk negara ini.
Pekerjaan membongkar sistem bukan pekerjaan seratus hari seperti yang dislogankan oleh SBY dan juga digemakan oleh media massa serta para vokalis lain. Membongkar korupsi bukan sekadar sebuah program pendek, atau ajang kamikaze bagi para pengikut dari tokoh-tokoh yang kebetulan kasusnya diangkat. Membongkar sistem berarti menuntut kita bersama-sama dan menyadari bahwa perubahan menuntut keterlibatan kita secara keseluruhan. Artinya kita pun siap ditelanjangi. Mulai dari ornop, birokrat, pihak kepolisian, kejaksaan kehakiman dan para awak media massa. Benarkah kita tidak korupsi?
Sebab jika kita tidak mulai bekerja sungguh-sungguh dan mau mendalami perkara korupsi, yang terangkat di permukaan hanya proses saling memangsa. Tergantung siapa yang lebih kuat, dialah yang hidup. Tidak membuat kita bergulir dan mulai berpikir untuk menjadikan masyarakat yang lebih beradab dan memiliki harga diri.
Sekadar perbandingan, apakah situasi sekarang berbeda dengan situasi saat nusantara masih menjadi koloni Belanda? Bisa dilihat dari para pejabat-pejabat, apakah sistem setor ke atas itu masih ada? Apakah pada saat pelaksanaan proyek, para pelaksana masih sibuk menyetor? Apakah ini berbeda dengan tradisi upeti zaman kerajaan?
Gereja dan koruptor
Korupsi semakin mengakar dalam masyarakat Indonesia, dan di NTT pun demikian. Dari lapisan atas di tingkat pejabat pemerintahan masuk hingga penjualan buku pelajaran di sekolah oleh para guru. Sehingga usaha eksplorasi tentang gerakan pemberantasan korupsi, perlu dilakukan dalam lingkup yang lebih luas dan lebih mendalam. Kajian-kajian empirik tentang korupsi perlu dibuka agar konsep korupsi tidak hanya meminjam kata dari peneliti di negeri antah berantah. Sebaliknya harus digali apa dan bagaimana model korupsi berbasis budaya lokal. Dengan demikian para pembuka kasus korupsi pun bisa benar.
Peran ornop dalam menyuarakan kasus korupsi di jajaran elite, di satu sisi langsung menempatkan ornop sama elitenya dengan elite pemerintah yang dikritiknya. Sebab jika ornop masih mau menempatkan diri sebagai sumber inspirasi masyarakat, tentu tidak melupakan perannya untuk ‘mencari’ gerakan anti korupsi yang merakyat, yang kasusnya berlimpah dalam masyarakat tapi telah menjadi biasa. Ini menuntut kerja keras dan jauh dari sensasi, tapi penting untuk dilakukan. Karena senyatanya korupsi bukan hanya ada di kalangan para priyayi pamong praja, namun juga terjadi di kalangan kawula kelas rendahan.
Mencari pintu masuk dalam budaya setempat yang memungkinkan untuk mengajak partisipasi masyarakat terlibat dan peduli pada persoalan anti korupsi penting untuk dilakukan, selain seminar-seminar tentang korupsi yang datang dari negara lain yang situasi masyarakatnya tentu lain. Mengadopsi judul buku peradaban barat tentu tidak bisa serta merta. Pemahaman atas konteks sosial dan sejarah perubahan sosial masyarakat mereka pun harus dipahami agar kita tahu siapa dan dimana kita dalam peta dan sejarah peradaban.
Persoalan memotret korupsi dengan gayanya yang khas dalam masyarakat ini perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya masyarakat kita untuk bangkit dari keterpurukan. Sebab sejak birokrasi diperkenalkan bersamaan dengan hadirnya pedagang-pedagang Eropa di daerah ini, masyarakat di sini hanya dimaknai sebagai kuli. Dalam sistem kenegaraan yang baru (republik) watak ini belum berubah, masih sekadar ganti nama atau semu.
Ornop yang jumlahnya sedikit ini harus didukung oleh lembaga-lembaga sosial yang sudah ada dan berperan. Dan, di NTT gereja-gereja sebenarnya mempunyai kemampuan (atau daya) untuk mulai mengajak umat untuk melakukan refleksi atas kerja sehari-hari (korup atau tidak?). Tetapi peran ini tidak dilakukan. Potensi swadaya ini didiamkan. Yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari para tokoh agama lebih terlibat dalam peristiwa-peristiwa seremonial yang diadakan oleh para penguasa daerah. Yang terlihat di surat kabar dan televisi para petinggi agama lebih sering menandatangani pernyataan kerukunan beragama atau mendukung pemilu. Sekadar ritual yang berulang dari tahun ke tahun.
Seandainya gereja-gereja di NTT dipahami sebagai penegak etik yang mampu meletakkan code of conduct dalam masyarakat, tentu kita masih bisa berharap bahwa selain sekadar perebutan jabatan di kantor-kantor dari anggota masing-masing gereja, masih ada yang mampu dibuat. Sehingga tak hanya bangga jika ada yang mengatakan semua konflik di dunia ada di Indonesia, tidak terkecuali persoalan di Irlandia. Seharusnya kita mulai sadar dan berhenti menjadi pengemis dan pencuri, agar kita yang selama berabad-abad dikenali sebagai bangsa kuli bisa memiliki harga diri. Selama ini bukan tidak ada orang beragama yang berbuat, namun jumlahnya kecil dan hanya tertarik untuk isu pinggiran dan tukang tambal dari pembangunanisme.
Ziarah pembebasan sebagai inti dari proses dekolonisasi gereja mutlak dilakukan, sehingga beragama tak hanya sebagai bagian untuk mendapatkan ketenangan batin dan ketenangan rohani (Subangun, 2003, hal 109). Ladang tandus yang lebih luas menanti untuk diolah.
Di depan kita tantangan gereja semakin tampak dan menjadi nyata, sebab hubungan positif antara kesalehan seseorang dalam beragama dan perilaku seseorang sebagai warga negara kian kabur. Artinya seseorang yang rajin ke gereja dan rajin berdoa tidak menjadi garansi bahwa ia tidak korupsi atau berlaku adil. Dalam situasi ini mampukah gereja di sini atau para umat beragama, melihat tantangan dan ikut merumuskan strategi untuk warga nusantara? Artinya dalam bingkai republik, maukah gereja membenamkan diri dalam persoalan hidup saat ini, dan dengan tegas (baca: tidak berlaku setengah hati) mengoreksi anggotanya, sehingga kita bisa melihat bahwa gereja memang melakukan sesuatu ketika negara ada dalam kesulitan hebat.
Saat ini meskipun kesalahen dalam kelompok agama belum menjadi lokomotif perubahan bagi negara kepulauan yang sedang sekarat; meskipun dicerca, ditinggalkan pengikutnya dan terdiferensiasi dari abad ke abad, namun agama masih dipercaya mampu memunculkan yang benar. Setidaknya ini ada dan merupakan harapan.
Sikap ini menjadi dasar ratusan agamawan dunia pada tahun 1993 yang mendeklarasikan World Ethic, yang menulis: We know that religions cannot solve the environmental, economic, political, and social problem of Earth. However, they can provide what obviously cannot be attained by economic plans, political programmes or legal regulations alone: a change in the inner orientation, the whole mentality, the ‘hearts’ of people, and a conversion from a false path to a new orientation for life (Hans Kueng, hal. 22, 1993) (yang jika diterjemahkan menjadi: Kita tahu bahwa agama-agama yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan, ekonomi, politik dan masalah sosial lain di bumi ini. Namun, agama-agama itu jelas dapat menyediakan apa yang tidak dapat direalisasikan oleh beragam rencana ekonomi, program-program politik atau regulasi, yaitu: perubahan yang berorientasi ke dalam diri, keseluruhan mentalitas, nurani manusia dan masyarakat, serta perubahan atau lebih tepatnya pertobatan yang sungguh, dari jalan yang keliru menuju orientasi baru dalam hidup). Apakah mau dan mampu kaum beragama di Indonesia sebagai peziarah ikut merumuskan tantangan kita versi nusantara?
Pesan moral tentang korupsi dan kerakusan dituliskan jelas dalam deklarasi World Ethic dan sesungguhnya dapat ditemukan dalam kelompok asli mana pun di dunia ini, juga untuk mereka yang dikatakan tidak beragama: Jangan mencuri! Kita bisa mengutip di mana-mana pesan ini, dan berharap untuk kesekian kali agar agama tidak sekadar dijadikan tanda artifisial semata, sekadar jejak peninggalan kolonial dan arus perdagangan masa lalu, namun sungguh menyentuh hati manusia dan menjawab tantangan zaman. Kerelaan dan pengorbanan menjadi dua syarat mutlak. Sehingga dalam pergantian generasi nanti bisa muncul pertanyaan, “Kita ada di mana dalam peradaban ini?” Atau dalam pertanyaan susulan, “Gereja Indonesia ada di mana dalam peradaban ini?”
* Penulis, wartawan, tinggal di Kupang, tulisan ini pernah dimuat di Harian Pos Kupang, 20 Juli 2005