Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Politik Etis Intelektual Indonesia


Politik Etis Intelektual Indonesia

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Dalam opini Daoed Josoef (Suara Pembaruan, 29/5/2009) dijelaskan pentingnya keterkaitan antara pendidikan dan politik. Juga menekankan pentingnya pendidikan elit yang memilikki jangkauan keseluruhan sebagai elemen penting dalam proses pembentukkan negara.

Dalam tulisan ini, penulis beragumentasi bahwa dalam perangkap modal, elit yang terdidik tidak bisa berbuat banyak, selain harus tunduk para pemilik modal yang menjadi pemimpin partai politik sekaligus pemiliknya. Sekaligus menunjukkan bahwa di abad ini elit terdidik Indonesia yang memiliki determinasi untuk membuka jalan baru juga semakin minim.

Figur pelopor, elit terdidik terdepan, yang tidak mengkultuskan dirinya sendiri memang amat minim. Saat ini generasi semacam itu, bukannya tidak ada, tetapi generasi yang ada hampir yakin bahwa tidak ada jalan lain selain masuk ke dalam partai politik. Dengan risiko tidak dianggap cerdas atau memiliki idealisme. Di sisi dibedakan antara intelektual di partai politik dan non partai.

Persoalannya, sejauh mana para generasi yang sempat diharapkan itu akan mampu ‘merubah dari dalam’ jika budaya partai politik tetap fokus pada tokoh. Dalam kejadian lanjutan, proses ini cenderung tanpa kontrol karena para individu berbakat pada akhirnya terperangkap dalam manuver politik sesaat. Kesimpulannya, perubahan tidak mungkin terjadi, selama partai politik hanya dianggap sebagai milik personal. Keluar dari praktek privatisasi partai politik ini seharusnya menjadi agenda utama untuk dikritisi dan dibuka. Jelasnya, strategi dua kaki perlu dipikirkan bagi para intelektual yang memilih aktif di partai.

Sebab selain ‘agenda politik praktis’ terkait Pemilu, maka sangat penting bagi partai politik kembali meletakkan partai politik dalam sistem politik dalam konteks kenegaraan. Bagaimana mungkin sense of wholeness dapat ditangkap jika horizon politik para generasi baru hanya sebatas Jakarta? Di sisi ini, kelemahannya, hanya kader yang berasal dari TNI yang memilikki catatan profesional penugasan di berbagai wilayah Indonesia. Kontradiksinya di saat yang sama TNI diminta untuk netral.

Keluar dari privatisasi partai
Pentingnya pendidikan yang membebaskan, misalnya meminjam metode Freire yang egaliter, dan yang bukan memanipulasi mungkin diadakan jika otoritas tertinggi di dalam partai politik tidak melakukan privatisasi partai politik. Dalam kenyataannya, keempat partai politik yang bersaing dalam Pemilihan Presiden-wakil presiden: Demokrat, Golkar, Hanura, dan PDIP, hingga saat ini tetap terperangkap dalam politik tokoh.

Debat yang terjadi menjelang Pemilu 2009 ini menunjukkan isi debat Pemilu 2009 hanya berkutat di masalah personal para calon presiden maupun wakilnya. Misalnya, berapa kuda yang dimilikki Prabowo, Boediono tinggal di mana, Megawati pendidikannya apa, dan lainnya. Karakter pembeda partai politik itu tidak ada–di sisi ini PKS merupakan perkecualian.

Karakter pembeda itu tidak tampak di dalam isi debat antar partai politik yang saling mendukung pasangan berbeda. Contohnya, dalam pasar Pemilu Presiden, kata semacam ‘neolib’ maupun ‘kerakyatan’ tidak menemukan pengertiannya, dan hanya sekedar menjadi komoditas perang mulut. Karena kata-kata ini hanya diletakkan sekedar jargon dan ‘disuntikan’ dalam sistem informasi, dan bukan merupakan platform partai politik yang bersangkutan. Tepatnya, ide yang dipaparkan hanya sekedar informasi, bukan merupakan karakter partai politik. Tidak adanya proses pendidikan politik, bukan indoktrinasi, dan usaha keluar dari privatisasi partai merupakan kritik utama bagi intelektual di dalam partai-partai politik.

Ditambah dengan ruang publik yang terbeli dengan advertorial dan yang lebih halus lewat berita juga membuat kita seolah-olah sedang ‘berdemokrasi’. Sebaliknya ‘ruang kritis’ untuk mengkaji sistem tidak dibuat. ‘Realitas’ yang dikemas para pekerja media televisi ‘takluk’ di tangan pemilik modal. Bagi kita, komersialisasi TVRI merupakan kemunduran karena kita tidak memilikki ruang yang tidak terbeli. Ini bisa dibandingkan dengan peran BBC yang tidak pernah ‘dijual’ untuk menjaga netralitas ruang publik (public sphere).

Politik etis intelektual Indonesia
Saat ini kalangan intelektual Indonesia yang sebagian besar merupakan kaum urban dan berdomisili di kota dalam apologinya selalu menyatakan bahwa kita harus terlibat dalam Pemilu 2009, dan menyatakan ini lah ‘capres terbaik’ dari yang ada. Bahkan sebagian ilmuwan sosial menyatakan agar legitimasi Pemilu 2009 ini agar tidak dipertanyakan. Pertanyannya, jika sebagai kajian ilmiah proses pembentukan sistem demokrasi Indonesia ini tidak dibuka, lantas di ruang mana kita akan berdialog?

Sense of urgency untuk memotori proses perubahan pasca badai krisis finansial di tahun 1997 amat minim di kalangan intelektual. Kelompok intelektual yang terbentuk di era reformasi, selalu ada dalam posisi sektarian, parsial sekaligus partisan. Di sisi ini kemungkinan untuk ‘mengadakan negara’ juga melemah.

Usaha emansipasi politik sebagai cita-cita pergerakan kemerdekaan seharusnya mampu menjadi agenda bersama dari berbagai wilayah Indonesia sehingga kaya perspektif. Contohnya di media, para calon presiden maupun wakil, berusaha ditulis sebagai figur yang ‘amat sederhana’. Misalnya Boediono dianggap amat sederhana. Pada saat yang sama, seorang Papua yang hidupnya jauh lebih sederhana, harus mengungsi karena ‘ruang hidupnya’ diambil, entah untuk perluasan perkebunan maupun daerah tambang baru. Ironisnya dalam sistem politik saat ini tidak ada celah baginya untuk bersuara. Ruang politik untuk kalangan ‘tidak terdidik’ ini tidak ada, dan juga tidak terwakilkan dalam kalangan terdidik.

Di era kolonial, di akhir abad ke 19, subordinasi ras dalam kolonialisme dikritik oleh beberapa intelektual Belanda mulai dari Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Ernest Douwes Dekker (Danoedirdja Setiabudi), hingga Wim F.Wertheim. Pandangan mereka ditulis oleh warga Hindia Belanda, Suwardi Suryaningrat dengan judul ‘Als ik eens Nederlander was’ di tahun 1913. Tulisan itu mengkritisi pemaknaan kemerdekaan yang dilakukan oleh warga Belanda, sedangkan di saat yang sama masih menjajah. Sehingga menuliskan ‘Seandainya Saya Orang Belanda’. Kini, dalam ruang imajinasi, bisa dibayangkan apa yang akan dikatakan oleh para intelektual penggagas politik etis Belanda, kepada Suwardi Suryaningrat jika mereka berdialog di tahun 2009.

Praktek dominasi memang telah melewati batas warna kulit, dan semakin tidak kelihatan. Sedangkan emansipasi politik ekonomi di dalam negara tidak mungkin dilakukan selama ‘golongan negarawan’ lepas tangan.

Berbeda dengan Daoed Josoef, yang mengambil contoh Eaton, maka penulis berargumentasi bahwa saat ini para golongan terdidik yang bersekolah di mana saja harus mampu bertemu. Sebab Eaton di Inggris ada karena akumulasi pengetahuan sudah terjadi, dan struktur utama negara sudah berhasil dipetakan. Ditambah kondisi luar juga terpantau dan dikembangkan terus menerus. Selain itu pembuatan sekolah elit di Indonesia posisinya selalu berada di bawah kelompok politik lama, dan tak bisa banyak diharapkan lulusannya akan mampu memilikki jangkauan menyeluruh.

Bagi kita, usaha merekonstruksi Negara Indonesia selalu terjebak dalam politik sebagai sebagai perkara personal dan selalu dibayang-bayangi wawasan totaliter. Karena demokrasi ditempatkan tak lebih sekedar alat berkuasa daripada sebuah ruang yang harus dijaga dan dikembangkan.

Untuk itu hadirnya golongan intelektual negarawan merupakan kebutuhan kita saat ini. Momentum konvergensi ini lah yang harus diciptakan. Sekian warga negara terdidik dari berbagai komunitas di wilayah Indonesia perlu bertemu, dan bersama-sama terlibat dalam ‘mengadakan’ wajah manusia dalam nasionalisme Indonesia. Logikanya sebelum sebuah sekolah ideal terbentuk, ada sekelompok warga yang telah bertemu untuk merumuskan gagasan. Sisi ini yang luput dan lupa dikembangkan di era reformasi.

Di dalam sejarah Indonesia, momentum konvergensi ini dilakukan oleh para pemuda dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Dari sisi ini nasionalisme bukan lah doktrin, seperti yang dikembangan Orde Baru hingga pemerintah hari ini, tetapi usaha rekonstruksi kolektif.

* Co-editor Jurnal Academia NTT, Anggota Persindo (Persaudaraan Indonesia)

Advertisement


Leave a comment

Republik Zonder Atap


Republik Zonder Atap

Jumat, 4 Desember 2009 | 02:49 WIB

Dominggus Elcid Li

Presiden Yudhoyono memutuskan, konflik antaraparat terkait pemberian uang negara kepada Bank Century Rp 6,7 triliun diselesaikan di luar pengadilan (Kompas, 24/11/2009).

Pada saat yang sama, proses hukum Nenek Minah tetap dijalankan (Kompas, 20/11/2009).

Pada sisi ini dapat dilihat, penegakan hukum bagi rakyat jelata menjadi keharusan, sedangkan bagi pejabat tinggi negara ada di ruang negosiasi.

Padahal, Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1977:71) menegaskan pentingnya prinsip kesetaraan dalam Republik. Menurut dia, demokrasi sirna jika ”kesetaraan” antarwarga negara diingkari atau dijalankan dengan ekstrem. Ada dua kemungkinan mengapa demokrasi pupus, yaitu bergeser ke sistem monarki atau despotik. Dalam monarki, kehormatan bangsawan lebih tinggi daripada hukum dan hal memalukan sifatnya rahasia.

Efek sistemik

Penyelesaian di luar pengadilan yang ditawarkan Presiden dianggap sudah memadai oleh aparat negara yang terlibat meski dirasa tidak adil oleh publik. Jalur hukum yang buntu kini disiasati lewat jalur politik. Di jalur politik masalah hukum kembali ke ruang negosiasi.

Logika matematika ini mungkin membantu. Jika hanya karena ”memetik” tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan seharga Rp 2.000 (Suara Merdeka, 16/11/2009), Minah harus diadili, lalu mengapa pemberian Rp 9 miliar lebih kakao milik negara kepada Bank Century dianggap wajar?

Pada era ini pemerintah amat dermawan terhadap usaha privat. Bagi ekonom pemerintah, efek sistemik diduga akan menimpa pelaku ekonomi papan atas, jauh lebih bernilai daripada usaha bertahan hidup rakyat jelata.

Jadi standar ganda ini tidak hanya berlaku di bidang hukum, tetapi dalam kebijakan ekonomi. Efek sistemik yang dihitung ekonomi hanya ada dalam analisis finansial. Sementara efek sistemik yang diakibatkan liberalisasi pasar yang didesain para ekonom terhadap rakyat jelata luput dari perhitungan. Perdebatan tentang obyektivitas pengetahuan ada di sini. Di titik ini pengetahuan tidak bebas kepentingan.

Kisah-kisah pertikaian antara warga negara dan perusahaan yang melibatkan aparat negara terjadi merata di Indonesia. Mulai dari Freeport di Papua hingga keringnya mata air akibat perusahaan tambang di Flores (Kompas, 25/11/2009). Sumbu masalahnya sama, tanah negara menjadi tanah perusahaan. Dalam hal Bank Century, uang negara menjadi uang perusahaan.

Transisi ekonomi pasar

Kondisi ketidakpastian hukum yang dialami Indonesia mirip dengan apa yang terjadi di Rusia dua dekade silam. Boris Yeltsin didampingi dua ekonom, Yegor Gaidar dan Anatoly Chubais, gencar menjalankan liberalisasi pasar tanpa kontrol negara. Desentralisasi dan privatisasi merupakan dua kata kunci.

Padahal, dalam privatisasi, jaringan mafia turut beroperasi dalam pengalihan kepemilikan barang negara menjadi milik pribadi (Varese, 2001). Aparat negara yang menjadi bagian jaringan mafia ”melayani” segelintir orang yang ingin memperbesar aset. Proteksi yang diberikan oleh aparat negara dan mafia mengikuti penawar tertinggi.

Wajar konflik tak hanya terjadi antarpelaku bisnis, tetapi melibatkan aparat negara sebagai backing. Pejabat yang menjadi pedagang proteksi disebut krysha (atap). Konflik di antara para ”atap” tidak diselesaikan di pengadilan. Konflik mereka diselesaikan di arbitrazh, forum di luar pengadilan yang menghadirkan ”atap” yang dihormati (Varese, 2001).

Di ruang citra, akibat arus balik pascaera fantasi kapitalisme versi Hollywood dapat dilihat pada Vladimir Putin yang disimbolkan sebagai pemimpin macho. Putin tak hanya bersalaman dengan Barack Obama, tetapi juga berurusan dengan oligarki dan jaringan mafia yang isinya termasuk para bekas agen KGB di era pasca-Uni Soviet. Di ruang terbuka ia berhadapan dengan zashchita, ”jaringan hitam profesional” yang terdiri dari pengacara, petugas humas, jurnalis, dan pemilik media (Glenny, 2009: 85).

Negara dan era transisi

Hingga kini, dalam percakapan di media, era reformasi Indonesia sering disebut era transisi. Setidaknya ada dua asumsi. Pertama, transisi menuju sistem demokrasi. Kedua, transisi menuju sistem ekonomi pasar.

Periode era transisi ke ekonomi pasar seharusnya tak dijalankan serentak dan tanpa perhitungan. RRC pada periode Deng Xiaoping menjalankan ini secara bertahap, juga Rusia yang belajar dari anarki di era Yeltsin. Pasar sempurna adalah ilusi. Ini bisa dilihat bagaimana sekian negara Eropa dan AS bereaksi dalam menangani krisis ekonominya.

Rakyat jelata yang ditawan VOC dan bangsawan lokal adalah kisah dua abad silam. Kini Minah dan kaumnya Republik ini adalah Republik zonder atap.

Dominggus Elcid LiCo-editor Jurnal Academia NTT; Mahasiswa PhD di Departemen Sosiologi, University of Birmingham

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/02494635/republik.zonder.atap


Leave a comment

Kita maju dalam rombongan


Oleh: Elcid

Membaca kisah Rektor UI yang dari anak desa dan sukses sungguh menggembirakan. Artinya api itu ternyata tidak lah padam. Harapan kita tetap ada meskipun jalannya terjal. Bicara soal Indonesia, kita sering terpaku pada gambar besar, gambar peta kepulauan, gambar Pemilu 2009. Tetapi jika Indonesia dimengerti sebagai sebuah puzzle, di mana setiap kita merupakan bagian dari gambar besar itu, maka kita bersama-sama perlu berolah gerak agar menjadi sebuah gambar yang utuh. Contoh itu sudah ditunjukkan oleh rektor UI yang baru ini. Membaca berita dari tanah air tentang kiprahnya mengajak kita untuk bertanya, apa yang sudah kita buat untuk melengkapi gambar Indonesia?

Umumnya, yang terjadi, selain menuding, juga menganggap kepingan gambar sendiri lah yang paling baik. Akibatnya gambar utuh milik Indonesia tetap lah sebuah utopia. Bahkan keterpurukannya makin dalam, karena gambar yang sepotong itu masih saja terpecah-pecah lagi, dalam noktah yang minta untuk tidak dimengerti, atau yang kita pahami sebagai anarkhi.

Kembali ke rektor UI. Kiprahnya dalam beberapa tahun ini memang populis, ia mencoba untuk menarik gerbong bersama. Ia tidak rela meninggalkan satu sekrup tercecer di bantalan kereta api. Ia tunjukkan semuanya ini tidak datang dengan mudah, tidak diberi. Ia datang sedikit, demi sedikit. Kepercayaan itu ada dan menuntut bukti dari yang kecil yang dikerjakan.

Coba simak baris tulisan berikut yang menggambarkan karakternya: Metafora “pulang kampung” bersama teman di bawah temaram Bulan menghindari jalan terjal dan gelap inilah yang membentuk kepribadian Gumilar memimpin FISIP UI. Ia selalu ingin bersama-sama mengerjakan apa pun, enggan meninggalkan dosen, karyawan, maupun mahasiswa yang dia asuh nun di belakang sana.

Sederhana sekali, tetapi yang sederhana ini lah yang kian mahal dalam iklim serba susah. Kadang menjadi pemimpin dengan karakter beginian dianggap sok jago, sok heroik, atau apa saja lah yang negatif. Tetapi jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka sukses itu bukan lah sesuatu yang tidak mungkin.

Prinsip pantang meninggalkan yang susah, yang seperjuangan, yang senasib, yang ada di sekitar kita itu lah yang kurang dari kita. Ini bukan sesuatu yang asing, yang baru datang dari paham komunisme: sama rasa, sama rata. Ini sesuatu yang ada dalam masyrakat kita yang sering ditinggalkan karena sering individu membayangkan bahwa maju (progress) hanya bisa terjadi jika berlari sendiri. Sehingga tak jarang, kawan makan kawan, teman makan teman atau sekian frase lain yang menjelaskan bahwa kita butuh tumbal untuk maju.

Berpikir positif, dan mencoba untuk melakukan hal selalu dengan lebih baik itu lah namanya tekad atau usaha. Ini bukan cuma milik seorang petugas marketing jual kecap. Sebab visi seorang pemimpin ada di situ. Bagaimana mengumpulkan rekan-rekan yang begitu berbeda, dan mendudukan dalam satu meja, dan bersinergi bersama itu lah manajemen. Tetapi kualitas pribadi-pribadi macam apa yang bisa membuat semua duduk dalam satu meja? Itu lah yang perlu dipelajari.

Kita harus yakin bahwa kita bisa bekerja sama. Tanpa keyakinan semacam itu tidak mungkin sebuah organisasi bisa tumbuh, atau sebuah universitas bisa berkembang, atau sebuah bangsa bisa menatap masa depan. Contohnya secara kualitas, diaspora Indonesia di manca negara kini menjadi peyumbang pemikir dunia. Namun, karena wajahnyanya yang begitu beraneka ragam membuat wajah Indonesia nyaris tak berbekas jika dibandingkan wajah-wajah India, dan Cina. Geraknya diaspora Indonesia tidak terlihat, karena selalu terpecah.

Saat ini tantangannya bukan hanya mengumpulkan keping kecil dalam organisasi terdekat, tetapi bagaimana memaksa agar diaspora Indonesia tak nyaman berlama-lama tinggal di luar negeri. Ia punya tanggungjawab terhadap rombongan yang ia tinggalkan. Jika kini diaspora Indonesia tak bisa membentuk gambar utuh itu juga menjadi pertanyaan, kenapa keyakinan untuk maju dalam rombongan itu makin punah?

Organisasi apa pun di Indonesia tidak akan mampu menjadi pemain tunggal. Keinginan untuk menjadi absolut dengan mudah patah dan menjadi ajang saling bantai. Tetapi menemukan titik-titik simpul untuk bekerja sama, untuk duduk semeja itu lah pekerjaan yang sulit. Jika mental kita hanya mental deklarator, hanya mental penulis opini harian, mental komentator di surat kabar, yang hanya bermain dalam jaringan tanda, tanpa berusaha meletakkan tanda dalam pengertian bersama maka kita bukan lah pembuat simpul. Kita hanya orang-orang yang berlari sendiri meninggalkan rombongan.

Krisis kepemimpinan Soekarno dan Soeharto terbukti bahwa kepemimpinan tunggal hanya membawa kehancuran dahsyat. Rajutan solidaritas yang dibangun terlampau sederhana sehingga gambar Indonesia berantakan sekali diterpa angin. Sekali ditabrak tiga banteng, hancur berkeping.

Di mana pun kita bekerja, pernah hidup, dan bergaul, kita tak boleh meninggalkan rombongan. Keterpurukan dan kesusahan yang tiba bertubi-tubi, bencana yang hadir dan merubah hidup dalam serba darurat setiap saat menuntut kita untuk berubah pula dalam bergerak: tak boleh berjalan tinggalkan rombongan. Tantangan yang ada harus dihadapi secara bersama-sama. Nyawa, martabat, persahabatan, kepercayaan, dan semua nilai yang menunjukkan integritas itu lah taruhannya. Tanpa mendidik diri sendiri dengan hal-hal semacam ini, bangunan Indonesia adalah bangunan yang keropos. Siapa rombongan saya di kampung? Siapa rombongan saya di kampus? Siapa rombongan saya dalam hidup? Siapa rombongan saya dalam keluarga? Siapa rombongan saya dalam organisasi? Siapa rombongan saya dalam bernegara? Siapa rombongan saya yang tersisa dari teman sepermainan saya?

Meletakkan diri dalam gambar abstrak tiga dimensi membantu kita untuk tidak melupakan hidup. Manusia Indonesia dituntut untuk berpikir kompleks, dan bertindak benar.

23 Nov 2008