Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Kepolisian Republik Timor?

2 Comments


Yanti Lasfeto (21 tahun) saksi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sedang memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (6/8/2014). Yanti bersama 20-an orang perempuan lainnya disekap di Medan dan dipekerjakan sebagai pembersih sarang burung walet tanpa digaji selama 16 bulan. Ia dibebaskan setelah dua rekannya, Marni Baun dan Rista Botha meninggal di Medan di Bulan Februari 2014 dan penyekapan ini terbuka ke publik. Sidang ini menghadirkan tersangka perekrut, Rabeka Ledoh. Sedangkan Mohar, pelaku utama sekaligus pemilik sarang burung walet di Medan hingga hari ini masih bebas. Sarang burung walet yang dibersihkan kemudian merupakan pesanan para pemilik restoran di Hong Kong. Kasus perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia membutuhkan koordinasi pihak Polri dan Interpol. Hingga kini kasus ini masih disidangkan terpisah, padahal untuk membuka jaringan perdagangan manusia membutuhkan pembukaan jaringan Kupang-Medan-Hong Kong.

Yanti Lasfeto (21 tahun) saksi korban kerja paksa dan perdagangan manusia sedang memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (6/8/2014). Yanti bersama 20-an orang perempuan lainnya disekap di Medan dan dipekerjakan sebagai pembersih sarang burung walet tanpa digaji selama 16 bulan. Ia dibebaskan setelah dua rekannya, Marni Baun dan Rista Botha meninggal di Medan di Bulan Februari 2014 dan penyekapan ini terbuka ke publik. Sidang ini menghadirkan tersangka perekrut, Rabeka Ledoh. Sedangkan Mohar, pelaku utama sekaligus pemilik sarang burung walet di Medan hingga hari ini masih bebas. Sarang burung walet yang dibersihkan merupakan pesanan para pemilik restoran di Hong Kong. Kasus perdagangan manusia yang marak terjadi di Indonesia membutuhkan koordinasi pihak Polri dan Interpol. Hingga kini kasus ini masih diperlakukan terpisah, padahal untuk membuka jaringan perdagangan manusia membutuhkan pembukaan jaringan Kupang-Medan-Hong Kong.

Oleh: Dominggus Elcid Li*

Saat ini meskipun institusi kepolisian merupakan salah institusi vertikal diera desentralisasi, tetapi dalam prakteknya penanganan kasus lintas provinsi amat lah terbatas. Kasus perbudakan di Medan yang mengakibatkan 2 orang perempuan asal NTT meninggal dunia, tetap dianggap sebagai kasus parsial, tidak berhubungan. Makelar pedagang orang diadili di Kupang,tetapi pelaku perbudakan bebas berkeliaran di Medan.

Secara de jure daerah Timor Barat dan Medan dianggap satu kesatuan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun de facto para korban perbudakan asal Timor (Barat) tidak mendapatkan perhatian di Sumatra Utara. Bahkan pihak Markas Besar Polri (Polisi Republik Indonesia) yang seharusnya menjalankan fungsi koordinasi pun tak bertaji. Tulisan ini mencoba membahas mengapa polisi gagal menjalankan mandat mengawasi hak warga negara. Bagian pertama mencoba mengulas soal malpraktek pihak kepolisian dalam kasus perbudakan di Medan, dan bagian kedua soal tantangan yang dihadapi institusi kepolisian.

Kasus human trafficking yang diangkat karena kebetulan ini merupakan salah satu kasus riil yang menjadi ujian bagi Polri untuk menguji kemampuan koordinasi institusi Polri. Contohnya: untuk melengkapi BAP yang dikembalikan Jaksa, pihak Polresta Medan malah mengirim surat kepada Ampera (Aliansi Menolak Perdagangan Orang) di Kupang, NTT untuk memanggil para korban ke Medan (Sumatra Utara). Surat itu tidak masuk akal. Pertama, gaji selama 4 tahun para korban tidak dibayar. Kedua, mengapa Polda Sumatra Utara tidak mampu berkoordinasi dengan Polda NTT sehingga untuk melengkapi BAP cukup diwawancarai di Kupang.

Mengusir orang lumpuh
Aslinya tantangan yang dihadapi untuk membuka kasus kriminal semcam ini bukan hanya soal koordinasi, tetapi juga soal kondisi alamiah jaringan kriminal yang terlanjur menyebar di berbagai institusi publik. Bukan cerita aneh, jika serse asal Polda NTT pun jika ingin pergi dan menangkap Mohar dan membawanya ke Kupang juga takut ditembak oleh sesama polisi di Medan. Jadi ini bukan soal kurangnya koordinasi, tetapi soal ‘watak teritorial masing-masing Polda dan catatan kriminalnya’. Di Medan, protes terhadap polisi penyidik yang dilakukan aktivis LSM di Medan, dan Paguyuban Masyarakat NTT di Medan hanya dijawab dengan mutasi oknum oleh Mabes PoIri.

Tidak ada jaminan jika data kasus,testimoni korban dan saksi sudah lengkap polisi akan memproses kasus. Ini membuktikan elemen pembiaran yang dilakukan pihak Polri cukup kental. Kesalahannya bukan cuma pada serse Polda NTT, tetapi juga serse di Polresta Medan. Serse Polda NTT menerima laporan korban yang berhasil diselamatkan polisi Bulan Januari 2013, sedangkan serse Polresta Medan yang membebaskan salah seorang korban tahun dan bulan yang sama. Dua-duanya dilaporkan bahwa ada puluhan perempuan lain yang dikurung dan jadi budak. Kejadian ini baru terungkap lagi ke publik ketika setahun kemudian (Februari 2014). Dua orang korban meninggal, dan para perempuan lain dibebaskan di rumah pengusaha burung walet berlantai empat di Medan. Beberapa diantaranya dalam keadaan lumpuh. Seharusnya jika polisi bertindak di Bulan Januari 2013, kematian Marni Baun dan Rista Botha tidak terjadi.

Dua nyawa melayang tidak ada jaminan pihak kepolisian kemudian bertindak benar. Seharusnya investigasi dikerjakan dengan serius. Sayangnya BAP yang dibikin Polresta Medan juga minim. Bukannya memperjelas aksi kriminal, malah mengaburkan fakta. Lembaga internasional IOM, LSM lokal maupun paguyuban masyarakat NTT di Medan sempat bertanya kepada pihak kepolisian apakah BAP yang dibuat untuk para korban sudah sesuai. Pihak Polresta Medan menjawab tidak ada lagi yang dibutuhkan dan para korban dipulangkan dari Medan. Sebaliknya Paguyuban Masyarakat NTT di Medan menolak memulangkan sebelum berkas ‘dinaikan ke Jaksa’, sebab mereka membaca gelagat lain. IOM dan LSM setempat yang ‘berkoordinasi’ dengan pihak kepolisian ikut tertipu karena menerima garansi polisi tanpa melihat kondisi BAP dan berkoordinasi dengan pihak kejaksaan.

Eksploitasi para perempuan miskin tidak menjadi prioritas polisi. Hak para korban sebagai warga negara tidak diperjuangkan. Sebaliknya BAP dibikin asal jadi, dan dikembalikan jaksa. Pelaku utamanya bebas berkeliaran. Pihak masyarakat sipil yang memprotes kejadian ini di Medan malah diancam. Mabes Polri menurunkan tim untuk memeriksa Kapolresta dan Kasatserse Polresta Medan.

Di Medan saat itu masih tersisa dua orang korban. Satu dalam kondisi lumpuh, dan satu adalah teman yang menjaganya di rumah sakit. Mereka yang diharapkan memberikan testimoni kepada Mabes Polri. Tak disangka keponakan Mohar, bernama Fina Winseli datang dan membawa mereka ke Bandara Kuala Namu tanpa persiapan bahkan ia mengacuhkan protes para perawat. Drama usir paksa dari rumah sakit ini luput dari otoritas polisi. Yenny Fuakan, anak yatim piatu dari pedalaman Timor dipulangkan dalam kondisi lumpuh tanpa kursi roda. Keduanya gagal memberikan testimoni ke petugas Mabes Polri. Pengusiran ini tidak pernah diusut. Lagi pula siapa yang mau mengusut polisi? Quis custodiet ipsos custodes? Ya, ‘siapa yang mau mengawasi pengawas’ ini pertanyaan penyair Roma, Juvenal.

Tak hanya di Medan, di Kupang polisi seolah rabun dekat, yang jauh kelihatan dan yang dekat kabur. John Liem di Bali diringkus, yang di Kupang masih dibiarkan bebas. Saat ini di Kupang, seorang makelar manusia sementara diadili. R, seorang ibu rumah tangga dituntut 10 tahun penjara, sedangkan Mohar pelaku utama di Medan, Sumatra Utara beserta istri dan keponakannya tidak tersentuh hukum. Tidak hanya itu PJTKI/PPTKIS, PT.Paullisa yang berbasis di Medan dan ikut memiliki kantor cabang di Kupang NTT, tidak ikut diproses. Pihak penyidik seharusnya tidak melakukan diskriminasi. Mengapa hanya menyidik ibu rumah tangga makelar penjualan orang, sedangkan PJTKI/PPTKIS dibiarkan bebas beroperasi meskipun jelas-jelas melakukan pembiaran? Apakah Ibu R hanya bekerja seorang diri? Bagaimana dengan jaringan perdagangan manusia?

Arti Tato di tubuh polisi
Dengan kondisi kepulauan seharusnya Polri mampu menyusun alur koordinasi yang lebih baik. Misalnya dengan mendefinisikan ulang bagaimana koordinasi lintas provinsi dijalankan. Pertimbangannya tentu terkait otoritas kerja per polda, tetapi bisa jadi soal biaya operasional. Lagu lama yang disebutkan oleh pihak penyidik adalah ketiadaan dana untuk ke Medan, Sumatra Utara, Menghadapi kenyataan ini, kita sebagai rakyat tentunya prihatin dan tertawa sedih.

Hari-hari mendatang lalulintas manusia akan semakin tinggi. Tak hanya narkoba yang diperdagangkan (drug trafficking), manusia pun ikut diperdagangkan. Apakah Polri memiliki antisipasi terhadap kejahatan semacam ini? Pertanyaan ini memang bukan hanya untuk Polri, tetapi untuk pemerintah saat ini.
Saat ini meskipun berambisi menegakkan seluruh provinsi dalam satu kesatuan hukum, dalam prakteknya antara Polda NTT dan Polda Sumatra Utara tidak ada kerjasama. Hal ini sepadan dengan tulisan kosong berupa MoU (Memorandum of Understanding) terkait human trafficking antara Pemda NTT dan Pemda Sumatra Utara, karena secara riil tidak ada implikasi MoU terhadap pengungkapan kasus perbudakan di Medan. Apa kontribusi MoU yang dibuat oleh kedua gubernur dalam kasus trafficking ini? Nihil.

Hari-hari ini publik Indonesia sedang meributkan tato di betis Ibu Susi, Menteri Kelautan di Kabinet Kerja. Daripada meributkan tato Bu Susi, lebih baik kita kaji ulang tato di lambang Polri. Kenapa perlu tato ‘Indonesia’ di lambang polisi, jika kemampuan koordinasinya hanya sebesar tato Bu Susi? Benar, ini bukan soal tato, tapi jam terbang dan determinasi pemimpin. Ini bukan soal mode berpengetahuan, ini soal kepemimpinan. Apakah pemimpin itu bisa diciptakan (baca: disekolahkan) atau lahir? Apakah Jenderal Hoegeng itu dilahirkan institusi kepolisian? Jika ‘ya’ mengapa prototype semacam ini tidak lagi ada bekasnya di jajaran Polri. Kapolri yang tidak punya tanah dan rumah hanya Jenderal Hoegeng. Khusus, soal Medan sejak dulu Pak Hoegeng juga tahu itu daerah surganya kriminal, daerahnya cukong.

Sudah seharusnya Mabes Polri mampu merancang operasi counter trafficking secara menyeluruh di kantong-kantong perdagangan manusia. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam menangani kejahatan perdagangan manusia, dan perubahan pola koordinasi di tubuh Polri untuk melawan jaringan kriminal, nyaris tidak mungkin perkara perdagangan manusia bisa didekati.

Tanpa peningkatan kemampuan koordinasi lintas provinsi, Indonesia merupakan surga pelaku kriminal. Labirin tempat bersembunyi para kriminal bukan lagi wilayah, tetapi institusi publik. Mengapa di wilayah negara yang sama, sebuah instansi vertikal tidak mampu berkoordinasi? Secara nyata pihak kepolisian sedang mempraktekan ‘hukum federal’ di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa Polda di masing-masing provinsi diperlakukan layaknya negara bagian? Jelas ini berlawanan dengan konstitusi, dan tergolong makar.

Ketika warga negara dijual dan dijadikan ‘barang’, dan aparatus negara tidak bersikap maka Indonesia sedang pupus (fade away). Ini titik pertaruhannya, dan bukan pangkat!

* Peneliti IRGSC, Dosen Jurusan Ilmu Politik Undana. Saat ini melakukan post doctoral research di Ash Center, Harvard Kennedy School.

tulisan ini dipublikasikan di harian Victory News tanggal 6 November 2014, Harian ini terbit di Kupang, dan tersebar di beberapa pulau di NTT

Advertisement


Leave a comment

Blog Tinneke Carmen


Sebuah telur pecah lagi–di kepala saya. Kali ini dari Tinneke Carmen yang biasa dipanggil Tina, salah seorang penulis, rekan di forum academia NTT, yang kini masih bekerja di Liputan6.com website milik SCTV, sebuah stasiun TV swasta, di Indonesia.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang ia kerjakan selama kurang dua tahun di sela-sela kerjanya sebagai editor. Jejak awal tulisan pada tahun 2004, merupakan tanda kehadiran dunia bloggers Indonesia. Selama waktu bergulir selama itu pula tulisan-tulisannya mengalir, dan membentuk danau buku.

Kenapa judulnya Blog Tinneke Carmen? Ia menjawab singkat, “Ini kumpulan tulisan beta di blog.” Ringkasnya, buku ini merupakan catatan atas hidupnya. Ketika ditanya, buku ini berkisah tentang apa, ia hanya memberi satu kalimat, “Tulisan Pak Polisi ada di situ.”

Memang, Bapaknya adalah seorang polisi.

Tulisan ini dulu ia bacakan sambil menangis, sesaat sebelum pemakaman Bapaknya, yang meninggal satu tahun lalu di Kupang. Gambaran tentang polisi ideal, dan profil hidup seorang Bapak yang polisi hadir menyilang dalam tulisan.

Penulis yang hadir sebagai pelayat waktu itu hanya bisa diam diantara para polisi dan juga para purnawirawan polisi yang diam mendengar penulis membaca tulisan itu. Siapa sangka ziarah hidup sang Bapak yang polisi itu bisa ditelusuri. ‘Anak asrama’ menulis buku, siapa sangka?

Di Kupang tenda duka, biasanya adalah tenda tawa juga. Sebab itu jangan heran dalam tenda duka itu para purnawirawan polisi lain saling bertemu dan bertukar tawa dan pe’e gigi alias ketawa ‘besar-besar’. Sebab semakin hari dalam hitungan matematis yang ada adalah semakin berkurang, dan yang lainnya membatu menjadi nostalgia. Dalam pertemuan para purnawirawan polisi, dan lewat tawa mereka berbisik, “Sapa lagi punya giliran bikin tenda?” atau, “sapa lagi yang akan jalan duluan?”

Dua kalimat tanya ini mewakili fase ketiga dalam hidup: lahir, menikah, dan mati. Ketiga titik waktu yang selalu dirayakan dalam tradisi dan kultur mana saja. Ya, Albertina S. Calemens., memang merayakan itu dan kado untuk akhir untuk Pak Polisi.

Dan, amat jarang seorang anak menulis tentang orang tuanya, serta dibingkai khusus menjelang pemakaman. Sebab memang sedikit, ada anak yang mampu kembali pada titik waktu kecil dan berdialog dengan apa saja yang telah terjadi. Sederhananya, semua orang bisa pergi, tapi tidak semua bisa kembali.

Keping tulisan Pak Polisi, obituari seorang anak atas bapaknya, menjadi salah satu gugus kata dalam buku ini. Sejak Bulan April 2006, bukunya, terbitan Gradiens Book Jogja, sudah bertengger di jejeran rak buku dua toko besar ternama di Indonesia, sebut saja Gramedia dan Gunung Agung.

Jadi, kita boleh berharap Toko Buku Gramedia di Kupang sudah menyediakannya juga sehingga jejak penulis-penulis muda Flobamora, akronim dari beberapa pulau besari di NTT , ini tidak terputus. Tulisan ini merayakan kelahiran sebuah buku, telur yang pecah, yang dibuat Tina. Satu tahun sudah buku itu sudah diterbitkan. Ini adalah ulang tahunnya yang pertama. Siapa menyusul? (EL)