D.Elcid Li*
Kabar hilangnya pekerjaan pegawai PT.Semen Kupang yang berarti hilangnya nafkah hidup ribuan angota keluarga hingga hari ini belum menjadi agenda penting para caleg. Dari rekaman data media terlihat, isu kampanye yang coba diangkat para caleg tujuan Senayan masih belum lah memakai skala prioritas. Kalau dikatakan populer iya, tetapi tidak menyentuh skala prioritas.
Dari sesumbar retorika para caleg, ketika berbicara soal strategi ekonomi yang terlihat adalah pilihan dari ekstrim ke ekstrim. Maksudnya ketika ada orang yang berbicara soal strategi ekonomi maka pembicaraanya terbatas soal peternakan dan pertanian–ditambah perikanan laut. Padahal pendidikan moderen orientasinya menghasilkan para lulusan pencari kerja. Entah pegawai negeri, swasta, LSM, atau apa saja. Strategi pendidikan yang dikembangkan dalam sekian dekade terakhir ini tidak menunjukkan orientasi lulusannya untuk kembali kampung dan bergerak di sektor riil.
Apa kaitannya dengan PT.Semen Kupang?
Hingga dua dekade lalu, pilihan untuk menjadi PNS masih merukan pilihan favorit dan realistis, karena mungkin dan ada peluangnya. Setidaknya tercatat peluang menjadi PNS itu makin tipis dengan munculnya kasus kekerasan di Sumba Barat lebih dari satu dekade silam. Meskipun sudah muncul kasus ini, tetapi usaha untuk memunculkan peluang kerja baru masih lah amat minim. Yang justru terjadi adalah pengelompokkan primordial untuk memperebutkan kue di kursi birokrasi, dan legislatif.
Tanpa berusaha mengerti gambar besarnya, para elit terdidik cenderung untuk fokus pada persoalan mereka sendiri untuk memperoleh atau melanggengkan akses ekonomi terbatas dalam dua aspek di atas. Contohnya, proses ‘penyehatan’ PT.Semen Kupang ini terkesan dibiarkan dan para karyawannya ditinggal merana. Persoalan ini dalam ruang lingkup Provinsi NTT sebaiknya tidak dibaca sederhana. Karena ditutupnya PT.Semen Kupang merupakan mundurnya usaha ber-industri di NTT. Disadari atau tidak ini lah industri dalam skala terbesar yang ada di NTT, tetapi herannya ketika ditutup persoalan ini tidak bisa dilihat dengan jeli.
Kasus PT.Semen Kupang ini harus bisa dibuka dalam kacamata politik ekonomi kawasan. Dengan angka kaum terdidik yang setiap tahun bertambah, dengan sendirinya kebutuhan terhadap lapangan pekerjaan merupakan sebuah kebutuhan riil. Sehingga pertanyaannya memang langsung ditujukan kepada pemerintah pusat: dalam disain perekonomian kawasan timur Indonesia, apa rancangannya yang dibikin untuk NTT?
Komunikasi politik: Diam?
Berbicara soal akses, sama artinya berbicara soal lobi dan kemudian turun pada alokasi proyek. Dari sisi ini dipertanyakan sejauh mana PT.Semen Kupang sebagai pilot project industri di NTT ada dalam peta ekonomi kawasan? Atau dalam disain ekonomi nasional (Republik Indonesia)?
Diamnya pemerintah pusat terhadap ‘kematian’ PT.Semen Kupang dalam sisi komunikasi politik menunjukkan ketiadaan akses dari NTT untuk membunyikan isu ini sebagai isu kawasan maupun nasional. Singkatnya para elit pengambil kebjiakan yang ada di NTT saat ini gagal meletakkan isu ini secara proporsional atau sepantasnya.
Padahal jika ingin dimajukan sebagai agenda nasional beberapa argumentasi ini bisa membantu menjelaskan: pertama, PT.Semen Kupang merupakan industri terbesar di NTT dan merupakan pilot project usaha ber-industri di Provinsi yang dibentuk di zaman Bung Karno sejak tahun 1958. Tercatat ada industri swasta lain seperti pengalengan daging (Icraf) yang juga kemudian ditutup dan alasan dibalik penutupannya tidak mendapatkan kajian yang cukup jelas. Dari catatan sejarah ini dapat dipahami bahwa industri itu mungkin dikembangkan di NTT, tetapi kenapa didiamkan?
Kedua, strategi pendidikan yang berorientasi menghasilkan ‘pencari kerja’ hanya akan membuat tenaga-tenaga terdidik tersungkur sebagai PNS, pengangguran terselubung, atau pindah ke kota besar (di luar NTT). Alternatif lain dari tiadanya lapangan pekerjaan tidak dimunculkan. Hal yang berhasil dimunculkan elit politik berkasta primordial: pemekaran kabupaten–dan (mungkin) sebentar lagi provinsi. Elit politik model ini hanya mampu menghasilkan pekerjaan administratif. Padahal jumlahnya terbatas, sehingga ‘memaksa’ orang untuk kembali pada sistem kekerabatan dalam proses rekrutmen.
Ketiga, ketiga berbicara soal Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu) Bolok dengan kata kunci ‘kawasan’ maka tidak mungkin didiamkan kasus kematian PT.Semen Kupang. Embrio industri di NTT ini perlu dibahas tuntas dan tidak dibiarkan sebagai bukti kegagalan ber-industri. ‘Otopsi lengkap’ harus mampu dihadirkan, sehingga bisa dilihat kemungkinan intervensi yang bisa dilakukan. Sebab ‘Kapet’ bukan lah kata yang turun dari lamunan.
Jika selama ini ‘politik pencitraan’ PT.Semen Kupang merupakan milik ‘Provinsi NTT’ tidak sejalan dengan proporsi kepemilikan saham di dalamnya maka dengan sendirinya para caleg memilikki bahan untuk diobrolkan dalam ‘kampanye politik’ kali ini. Terutama untuk para caleg yang mewakili Provinsi NTT ke Senayan.
Kampanye melawan Lupa
Selain sekian alasan yang sifatnya abstrak, seharusnya kita mampu melihat bahwa perubahan drastis yang terjadi ini dengan sendirinya membuat para karyawan harus ‘banting stir’ untuk mencari kerja demi bertahan hidup. Pemerintah (entah daerah atau pusat) seharusnya tidak bisa lepas tangan. Dengan otoritas yang dimilikinya agak aneh kalau pemerintah diam dan hanya menjadi penonton. Apalagi berpura-pura lupa. Bagi para caleg yang mewakili Provinsi NTT pun mereka perlu ‘diuji’ sejauh mana politik ekonomi kawasan NTT ada dalam agenda pembahasan. Agar tak hanya sibuk melihat wajah dalam baliho atau sticker yang dibikin sendiri.
Jadi SMS singkat dari tulisan ini untuk para peserta kampanye dengan tujuan Terminal Senayan: Titip PT.Semen Kupang dalam kampanye anda!