Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Reformasi dalam Bayang-Bayang SARA


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Tanggal 21 September 2008, akronim SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) genap berusia 25 tahun, sejak ia diumumkan Wakopkamtib Laksamana Sudomo. Kala itu akronim ini menjadi momok yang menakutkan bagi segenap insan pers karena terancam dicabut SIT-nya (Surat Izin Terbit) jika mengabaikan seruan ini (Tempo, 22 September 1973). Sejak 5 September 1988 pula Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) lembaga ciptaan Orde Baru dibubarkan (Tempo, 17 September 1988), namun warisan SARA-nya masih tertanam di alam bawah sadar kita.

Dalam masa transisi Orde Baru ke ‘Era Reformasi’ kekerasan berbasis identitas sosial semakin marak terjadi, tetapi liputan insan pers tentang peristiwa-peristiwa ini masih sangat terbatas. Amat jarang liputan berkaitan dengan SARA bisa ditampilkan dengan leluasa untuk mencari solusi bersama.

Karena tak biasa didialogkan, para awak media pun sering kesulitan untuk menentukan posisi dalam peristiwa-peristiwa ini. Contoh yang paling sederhana adalah menentukan ‘kata’ untuk merepresentasikan kejadian terkait, apakah itu itu ‘kerusuhan’ yang mengindikasikan adanya aksi saling menentang, ataukah itu ‘penyerangan’, yang mengindikasikan aksi sekelompok orang terhadap kelompok lain.

Teori konspirasi

Dipasungnya naluri para jurnalis membuat wacana teori konspirasi menjadi wacana dominan di ruang publik, bahwa ini adalah rekayasa-rekayasa dari sekian pelaku politik formal untuk ‘mendorong’ tercapainya tujuan-tujuan politik formal. Politik kekerasan semacam ini sering di-identikkan sebagai aksi-aksi para aktor politik yang masih mengendalikan sekian ormas semi militer. Kontrol militer terhadap kehidupan publik, bisa ditelusuri dari otoritas yang dimiliki Kopkamtib (1965-1988), maupun Bakorstanas (1988-2000) yang masih memainkan fungsi Kopkamtib.

Sewindu setelah Bakorstanas (Badan Koordinasi Pemantapan Bantuan Stabilitas Nasional) dibubarkan, saat ini sekian purnawirawan TNI bermain di panggung politik, dan tidak ada jaminan bahwa hanya lewat Pemilu, proses politik dijalankan. Di sisi ini yang menjadi tanda tanya, apakah sekian purnawirawan ini ‘tidak tergoda’ untuk menggunakan pengetahuan dan aksesnya terhadap berbagai kelompok, untuk memperkuat posisi ‘politik formal-nya’? SARA yang belum mampu dibuka, ditambah dengan dengan teori konspirasi membuat media massa pun seolah bisu dan selalu khawatir salah melangkah.

Di tahun 2008, fungsi Kopkamtib dan Bakorstanas yang sudah dibubarkan malah diaktifkan kembali lewat Kejaksaan Agung. Ini tercermin dari kasus breidel buku ‘Pemusnahan Etnis Melanesia’ karya Socratez Sofyan Yoman (2008), yang diterbitkan Galang Press, pada tanggal 20 Juni 2008 terkait kasus Papua. Alasannya klise: “isinya mengganggu ketertiban umum sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa.” Jadi bisa dikatakan setelah 25 tahun, Kopkamtib memang telah ada dan menyebar di mana-mana. Sindrom SARA itu memang sudah mengakar dan tidak bisa hilang begitu saja. Dengan ‘melarang’ peredaran buku, maka fakta yang tersampaikan tidak bisa dibahas, dikritisi, dan malah akan diterima sebaliknya sebagai ‘kebenaran yang ditutup-tutupi’.

Di sisi ini legitimasi Republik Indonesia atas wilayah-wilayah pinggiran menjadi sangat rapuh, karena hanya terpaku pada komando teritorial TNI. Ketimpangan ekonomi yang terjadi antara Jakarta dan daerah-daerah lain di pinggiran merupakan ‘bola liar’ yang gampang dimanfaatkan siapa saja. Liberalisasi ekonomi yang tidak di-ikuti dengan dialog-dialog kritis di media publik tentang berbagai konflik berkaitan dengan identitas sosial hanya menunda waktu munculnya konflik yang diberi nama: ‘separatisme’.

Dalam international relations pun para diplomat Indonesia akan selalu ‘mati langkah’ ketika harus dikonfirmasi dengan data-data dari aktivis kemanusiaan yang mengusung panji humanisme universal. Bagaimana mungkin para diplomat Indonesia yang bertarung di forum internasional mampu didukung, jika fakta-fakta di-ingkari, dan hanya mengacu pada konstruksi idiologi Orde Baru. Dalam watak Orde Baru, identitas sosial hanya akan diangkat jika memperkuat legitimasinya pasca 1965. Kopkamtib sendiri didirikan tanggal 3 Oktober 1965.

Contohnya, jika berbicara tentang persoalan ‘ras’ dalam konstruksi identitas Orde Baru yang ada: ‘WNI’ dan ‘WNI keturunan’, sebagai bentuk resistensi atas hubungan Jakarta-Peking di tahun-tahun sebelumnya dalam konteks perang dingin. Contoh lain, Sudomo menuding bahwa terjadinya beberapa peristiwa ‘bermuatan’ SARA di Bandung tanggal 5 Agustus 1973 merupakan bentuk konspirasi gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintah saat itu dengan strategi Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) (Tempo, 22 September 1973).

Walaupun peristiwa Bandung terkait dengan persoalan ras sebagai identitas sosial, dan golongan ekonomi, peristiwa itu sendiri gelap bagi kita karena telah dimasukkan dalam peti SARA. Padahal dalam konstruksi SARA, kemampuan komunitas untuk mencari jalan keluar atau titik temu diambil alih oleh negara. Sehingga wajar jika berbagai konflik selalu saja bermuara pada permintaan penegakkan hukum. Pertanyaannya, di level grass root apa saja yang sudah dibuat dalam rangka mencari titik temu? Sampai kapan kita berpura-pura bahwa ‘pemerintah’ mampu menyelesaikan ini sendiri? Bukankah era penjagaan stabilitas ala Orde Baru sudah kita sepakati untuk diganti?

Keluar dari konstruksi SARA

Untuk saat ini, kita perlu mengingat bahwa Kopkamtib maupun Bakorstanas sudah lama dibubarkan dan akronim SARA perlu dikritisi sekali lagi. Sebab seiring dengan makin rendahnya angka buta huruf, manusia yang masuk dalam konstruksi pendidikan moderen cenderung meletakkan perbedaan sebagai batas. Pendidikan tanpa diimbangi proses kreatif dalam pengalaman hidup memang menjauhkan kita dari titik temu sebagai manusia di Bumi. Seharusnya perbedaan mampu dilihat sebagai membran yang siap membangun diri, karena garis pinggir merupakan batas, sekaligus merupakan titik temu dengan garis lain (Seligman 2004).

Tanpa mau belajar dari kenyataan, konsep nations-state Indonesia–yang selalu mengalami negosiasi ulang–nyaris tidak mungkin dipertahankan oleh warga Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Di titik ini fungsi itu tidak di tangan institusi militer, tetapi ada di tangan para awak media. Sebab di kalangan intelektual, terutama aktivis LSM, pun hingga hari ini tidak ada gambar jelas apa yang bisa ditawarkan sebagai jalan keluar. Wacana dominannya hanya mengambil karakter protaganonis dari posisi militer.

Kasus Timor Timur (1999) merupakan bukti, berpindah dari titik esktrim ke ekstrim yang lain hanya membawa korban yang lain saja, yaitu sekedar perpindahan posisi tetapi tidak meminimalisir korban. Setelah hampir satu dekade, kita masih melihat warga Timor Timur yang berdiam di camp darurat pengungsian di Timor Barat. Dilema KKP (Komisi Kebenaran dan Persahabatan) sebenarnya ada di sini.

Cita-cita Indonesia Raya, tentu bukan sekedar sebuah persoalan doktrin idiologis semata yang dimonopoli sekelompok institusi elit. Konsep negara yang menonjolkan kedaulatan rakyat (sovereignty of the people) jelas harus dilaksanakan. Jika sekarang ‘the people’ (rakyat) yang lebih merepresentasikan soal perbedaan kelas ekonomi, juga turut bersaing dalam wacana umat, maka perlu diciptakan dialog-dialog terbuka dalam berbagai ruang untuk memunculkan sekian kemungkinan sebagai jalan keluar.

Peran Awak Media
Sejauh nasionalisme tetap dikerangkeng dalam wacana elitis (baca: militer), maka daya dukungnya pun tidak bisa diharapkan. Contohnya perluasan komando teritorial di NTT dengan penambahan satu batalyon kavaleri, yang ditolak tokoh agama malah dikomentari Danrem Wirasakti sebagai diperalat ‘Orang Luar’ (Pos Kupang, 22 Agustus 2008). Padahal hal ini diungkapkan karena menghindari tingginya eskalasi kekuatan militer di perbatasan., karena di daerah perbatasan RI dan Timor Leste sudah ada dua batalyon tempur: Yonif 743/PSY dan Yonif 744/SYB.

Di sisi ini konsep nasionalisme yang dibangun TNI, memang sekedar menciptakan hantu baru, seperti tudingan ‘diperalat orang luar’. Keleluasaan media untuk membuka sekian tabu atau hantu Orde Baru merupakan cara untuk mempertemukan sekian pandangan.

Di tahun 2008, atau 63 tahun setelah proklamasi Republik Indonesia, para wartawan/jurnalis Indonesia perlu kembali berkontemplasi untuk menentukan perannya, seperti dalam sejarah Indonesia di fase awal. Rakyat Indonesia memang membutuhkan tafsir kontemporer para pekerja media atas Indonesia. Jelasnya, Indonesia tak hanya Jakarta. Perlu dicermati bahwa posisi Jakarta sebagai poros yang menjadi “pusat” kegiatan politik dan ekonomi di Republik juga melekat dengan gerak memusat (centripetal) media massa Indonesia. Keluar dari gerak centripetal ini lah merupakan tantangan orang media di Ibukota Republik.

Sebab, sekali lagi, garis pinggir itu adalah bagian dari titik batas sekaligus titik temu. Dan Indonesia bukan cuma sekedar batas teritorial, tetapi titik-titik pertemuan manusia.

Penulis adalah Co-editor Jurnal Academia NTT

Advertisement


Leave a comment

KKP dan Nasionalisme Indonesia


Oleh: Elcid

Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia dan Timor Leste telah menghasilkan keputusan politik bagi kedua negara. Sedangkan persoalan keadilan dan penentuan siapa saja yang menjadi korban dalam proses dekolonisasi Timor Timur masih merupakan utopia.

Politik dan tentara
Hasil keputusan KKP menunjukkan bahwa riil politik-nya tentara maupun eks tentara (purnawirawan) di Indonesia masih menjadi pelaku politik utama negara ini. Di saat yang sama menunjukkan untuk Negara Timor Leste, pengaruh Negara Indonesia adalah vital dalam usahanya bernegara.

Dalam kasus kekerasan pasca jejak pendapat Timor Timur tahun 1999 dan kaitannya dengan politik hukum di Indonesia hanya dua orang yang pernah dipenjara: Abilio Soares (Gubernur RI terakhir) dan Eurrico Gutteres (Komandan Aitarak). Selebihnya dibebaskan karena hanya menjalankan komando dan merupakan institusi militer resmi sebagai elemen dominan negara.

Sebelum pelaksanaan Jejak Pendapat 1999, kepada Herb Feith, Indonesianis yang juga korban NAZI, saya menyatakan bahwa persoalan Timor Timur seharusnya tidak diputuskan dulu. Dua argumentasi yang diajukan: pertama, menyangkut persoalan negara posisi B.J Habibie sangat riskan, karena sebagai pemimpin pemerintahan transisi (baca: hibah) keputusan yang diambil atas nama negara. Sebaiknya diputuskan menggunakan instrumen negara hasil ‘reformasi’. Kedua, kemerdekaan Timor Leste hanya lah memindahkan korban/pelaku konflik dari Timor Timur ke Timor Barat.

Tetapi, pandangan di atas menjadi kurang penting, karena persoalan politik yang ukurannya adalah kalah atau menang, dari sisi Pejuang Timor Leste merupakan momentum kemerdekaan. Kelemahan yang terjadi di Jakarta merupakan kemungkinan yang harus diambil untuk meraih kemerdekaan.

Bagi tentara Indonesia, pelepasan Timor Timur dianggap sebagai bentuk de-legitimasi yang dilakukan politisi sipil. Situasi serupa terjadi di Timor Leste, dalam bernegara ada perbedaan antara Xanana Gusmao, yang dulu elemen militer Fretilin, dan Marie Alkatiri, ahli hukumnya. Penembakan Jose Ramos Horta dan Reinaldo Alfredo juga salah satu bukti terjadinya krisis dalam hubungan sipil-militer dalam fase transisi.

Di Indonesia dominasi tentara dalam politik berlangsung di bawah kepemimpinan Presiden kedua RI, yang tidak bisa lepas dari peristiwa 1965. Proses perolehan kekuasaan sendiri tidak pernah jelas, sehingga dapat dikatakan sejak itu, posisi antagonis dalam ‘bernegara’ selalu diambil tentara.

Jika kekuatan politik dominan kedua negara diwakili dalam laporan KKP, maka di Timor Barat hasil kerja KKP ditolak Eurrico Gutteres yang berpandangan ini hanya mengusut peristiwa 1999, tanpa melihat konflik sebelumnya. Ini pun bisa ditelusuri dengan memahami munculnya Orde Baru dalam konteks perang dingin yang tidak lepas dari dukungan sekian negara besar, dan perebutan kekuasaan di tahun 1965. Sebab antara ‘Orde Lama’ dan ‘Orde Baru’ memiliki pandangan berbeda tentang Timor Timur.

Ke Timor Barat
Dari dua argumentasi kepada Herb, hal kedua yang menjadi kenyataan. Hal pertama, reformasi, atau nasionalisme Indonesia versi ketiga, tidak pernah terwujud. Nasionalisme, ternyata ilusi yang lain, seperti mungkin yang dirasakan sekian ratus ribu pengungsi di Timor Leste, maupun di Timor Barat.

Tahun 2002, tercatat 111.540 warga Timor Timur tetap menjadi warga RI dan menolak skema repatriasi. Tahun 2006 terdata 53.889 warga masih hidup di camp, maupun di lahan milik warga lokal di NTT. Jumlah warga yang merana diperkirakan lebih besar karena tidak ada datanya di pulau-pulau besar. Kebenaran, keadilan, dan negara merupakan hal absurd untuk mereka.

Terlepas dari pandangan kontra terhadap hasil KKP karena tiadanya tanggungjawab individu, namun di sisi ini ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa institusi militer Indonesia mau berbenah, dan Kepala Negara RI menyatakan penyesalan. Tragedi kemanusiaan kita tak cuma ini, para korban 1965 hingga kini belum menerima pernyataan penyesalan mendalam atas nama negara.

Generasi saat ini perlu membuktikan bahwa bahwa nasionalisme Indonesia tetap mampu kembali pada rasa manusia, dan negara mampu diteruskan tanpa tumbal.


Leave a comment

Wakil Presiden dari NTT


Oleh: D. Elcid Li

Hiruk pikuk ‘nyapres’ di Jakarta hanya memberikan tempat orang-orang di pinggiran—termasuk NTT—sekedar penonton saja. Kalau pun ada yang ikut di pusat, posisinya masih ‘sama’: penonton. Singkat cerita, Pemilu Presiden 2009 mendatang gambarnya hampir mirip dengan permainan ‘bola guling’ di rumah duka .

Warga Flobamora (akronim untuk beberapa pulau besar di NTT: Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata) jelas bukan pemain/pemasang taruhan, cuma sekedar penonton yang mengitari meja. Sebagai penonton kadang berdecak kagum karena jagonya menang, kadang marah-marah karena jagonya kalah, dan kadang tidak pusing juga karena duit yang dimakan bandar bukan lah miliknya. Tapi, kadang, jika semangat mendukung salah satu pemain, bukan tidak mungkin ia dapat tip. Bisa jadi tip cukup besar dan dinamakan jabatan. Lumayan cuma modal mulut.

Jika meja bola guling adalah pentas politik, maka rumah duka itu adalah negara. Pemilu bagi warga NTT adalah ajang melayat. Yang namanya melayat meskipun dekat dengan kematian tidak berarti isinya duka melulu. Sebab di bawah terpal biasanya para sahabat lama bertemu, musuh pun saling berjabat tangan, karena semuanya tahu bahwa ‘kematian’ memang bisa tiba kapan saja. Dan, hari terakhir bisa jadi malam itu. Para pemain wajahnya ada dua belas rupa, siap bertukar wajah untuk mengaburkan pesan dan jumlah uang yang dibawa di kantong. Kata pengamat kantong ada hubungan dekat dengan suara. Kata pengamat politik lagi Indonesia adalah salah satu negara demokratis terbesar di dunia.

Tetapi, pertanyaannya, siapa yang meninggal ketika Pemilu tiba? Jawabannya tak mesti orang. Bisa jadi negara, bisa jadi kematian orang pinggiran untuk kesekian kali. Pinggiran atau marginal di sini tidak mesti berdasarkan aspek ruang geografis semata, tetapi persoalan pinggiran itu sendiri. Jadi yang mati, bisa jadi demokrasi itu sendiri. Jika tidak sepakat, minimal argumentasi ini mewakili kematian orang pinggiran dalam Pemilu sebagai ajang demokrasi.

Wapres dari NTT?
Penjelasannya begini. Bukan cuma anda yang kaget dengan pertanyaan siapa wapres dari NTT? Tetapi para pembaca maling list Forum Academia NTT pun kaget, begitu kagetnya tidak ada yang membalas pertanyaan itu meskipun setelah satu minggu berlalu. Padahal anggotanya adalah adalah dosen, wartawan, anggota DPR, mahasiswa, aktivis LSM, pastor, pendeta, dokter, dan lainnya. Jadi persoalannya bukan pada persoalan intelektual, tapi kalau bukan itu, lantas apa?

Apa mungkin untuk berimajinasi pun Orang NTT sudah tidak berani lagi? Jika sudah tidak berani berimajinasi, apakah tidak boleh dianggap mati? Jika demokrasi sebagai sebuah imajinasi pun telah mati bagi masyarakat pinggiran, lantas apa yang sedang terjadi?

Atau, jangan-jangan, judul tulisan ini pun dianggap sebagai humor semata. Humor yang tak mungkin dan menjengkelkan jadi tidak perlu dibahas. Sarkasme semacam itu jelas tidak memberikan atmosfir persahabatan. Jika kita tiba dengan rasa ini, apa ini bukan sebuah cara ‘mati rasa’ yang biasa?

Jika para calon wakil presiden saat ini cukup gagah menempelkan CV-nya, dan menuliskan nama trah keluarganya, juga jabatannya dalam logika sejarah moderen, maka jangan ditanya mana CV orang yang berimajinasi saja sudah tidak.

Sejarah nenek moyang
Soal sejarah besar tentu lah orang-orang pinggiran di NTT tidak menyimpannya. Tak pernah ada kitab soal sejarah itu. Nenek moyang yang menulis saja tak. Soal berapa lautan yang telah diarungi tempo doloe pun, Orang Dawan di Timor pun tidak ada yang tahu, sebab banyak lagi yang belum melihat laut.

Tetapi, tanpa semua kedigdayaan dan cerita besar soal kerajaan masa lalu, apakah lantas orang-orang pinggiran pantas dipinggirkan, dan pantas merasa tidak ada? Apakah benar tidak ada calon wakil presiden dari NTT? Soal ini, Bukan cuma orang NTT saja yang merasa ini wajar, Tempo edisi terbaru pun tidak menulis adanya calon wakil presiden dari NTT. Dan, itu bukan masalah!

Sampai di sini, tentu sidang perkabungan sudah mengerti, mengapa pentas demokrasi pun bisa memberi kabar duka untuk orang pinggiran. Mungkin ada yang bertanya, kenapa menjawab calon wapres saja tidak berani, bagaimana kalau pertanyaannya: ‘siapa calon presiden dari NTT?’

*Co-editor Jurnal Academia NTT, dimuat di Pos Kupang, dan ramai diperdebatkan di mailing list Forum Academia NTT. Katanya harus belajar dulu. Kayak Pak Harto dulu aja…mau ada capres lain tapi yang sudah berpengalaman. Ya cuma Pak Harto.