Oleh: Elcid
Para politikus muda Indonesia selalu terlambat dalam menghitung waktu. Buktinya, setelah sepuluh tahun krisis ekonomi menghantam Indonesia, dan sesudah sembilan tahun Pak Harto turun dari kursi presiden, baru tahun 2007 para ‘kaum muda’ mulai mengorganisir diri setelah sekian tahun telah terbuang tanpa perubahan yang berarti meskipun sudah diberi tajuk baru: ‘Era Reformasi’.
Usaha untuk mengorganisir terjadi ketika telah terbukti bahwa Reformasi pun terjembab sebagai slogan yang tidak berisi tanpa usaha untuk mengawal agenda reformasi. Artinya selama ini memang Reformasi memang hanya berhasil menjadi penanda sebuah era transisi tanpa ujung., tanpa perubahan berarti dalam sistem politik dan ekonomi, dan jauh dari ide awal sebagai sebuah gerakan sosial. Sebab utama kegagalannya, Reformasi tidak memiliki motor penarik utama. Kita tidak bisa mendapatkan jawaban singkat: apa kelompok penekan utama yang mengawal perjalanan proses reformasi yang pernah kuat diteriakan oleh para mahasiswa dan berbagai elemen demokratis lainnya.
Tidak adanya kekuatan politik baru dan formal yang terbentuk pasca 1998 sebagai bentuk konvergensi berbagai elemen politik merupakan kegagalan dari reformasi itu sendiri. Sehingga 1998 sebaiknya tidak dibaca sebagai titik pembaruan, tetapi sekedar sebuah simpul pertemuan kepentingan berbagai elemen politik. Sebab segera setelah patron politik utama turun, yang terjadi adalah bubarnya koalisi masyarakat sipil, atau kembali pada karakter asli orang kepulauan: terfragmentasi tanpa henti.
Partai politik baru pasca 1998 lebih banyak berbicara soal target kekuasaan semata. Patronase politik yang akut dalam berbagai partai politik ini juga membuat para politikus muda Indonesia tak bisa berbuat banyak. Sejumlah partai politik coba dibangun oleh para politikus muda Indonesia tetapi masih kurang cerdik. Karena terjebak dalam jargon, dan tidak mampu membahasakan penderitaan rakyat dalam bahasa yang sederhana, yang tidak perlu meminjam kosa kata dari negeri mana pun karena karena ini adalah hidup kita sehari-hari.
Di sisi lain suara kritis sekian aktivis mahasiswa malah lebih banyak terserap dalam sekian organisasi non pemerintah (ornop) geraknya sangat terbatas karena jangkauannya hanya sebatas sampai kapan proyek tersebut didanai. Letupan gerakan reformasi hanya sekedar menjadi tema-tema unik di kalangan para aktivis ornop tetapi tidak pernah sungguh-sungguh menjadi satu ‘jalan hidup’. Para aktivis cukup bersemangat ketika dana mengucur, sebaliknya ketika dana terhenti maka ornop pun tinggal nama.
Sayangnya kita butuh lebih dari satu dekade untuk memastikan bahwa Ornop yang hidupnya tergantung kuncuran dana bantuan (aid) dari lembaga donor (funding agency) tidak bisa dijadikan motor kereta reformasi. Pola pegawai Ornop atau LSM (yang tidak swadaya) tidak mendidik para aktivis untuk bertanggungjawab terhadap para konstituennya. Ini membuat para politikus lulusan ornop kesulitan ketika ditanya siapa konstituennya, sehingga tak heran kalau bagi golongan ini rakyat tetap menjadi hal yang abstrak. Secara empiris para politikus muda Indonesia harus mampu membuktikan siapa konstituennya, jika tidak ingin dikategorikan sekedar masih berada dalam fase ‘berpikir’ politik .
Jika hingga hari ini para pemuda masih menargetkan tahun 2014 sebagai tahun pembuktian, lagi-lagi ini menyiratkan bahwa persoalan tempo memang telah luput dari perhitungan, sehingga beberapa persoalan mendasar telah kehilangan momentumnya. Pandangan Jakob Sumardjo (Kompas, 28/12/2007) yang membedakan antara kepala Negara (baca: politikus) dan intelektual dapat dipakai. Contohnya jika seorang pimpinan eksekutif mengatakan bahwa pemberantasan korupsi masih membutuhkan waktu belasan tahun, pada saat yang sama ia telah kehilangan sense of urgency.
Bukankah ‘strategi aksi’ harus dibedakan dengan ‘kajian ilmiah’? Sehingga para pemuda pun perlu secara jelas membedakan antara ‘kajian ilmiah politik’ dan ‘aksi politik’ itu sendiri. Karena pada dasarnya kajian ilmiah itu berlangsung setelah aksi politik terjadi. Tanpa pemamahan ini ber-politik hanya kembali menjadi slogan kosong. Kita butuh pemikir politik yang ‘menjadi’ dalam aksi politik.
Hingga saat ini belum ada satu partai politik Indonesia yang mampu membuka ruang demokrasi yang sama dan setara untuk seluruh rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Kita butuh sebuah partai politik yang mampu menerjemahkan kedaulatan rakyat tanpa kata ‘tapi’. Partai politik yang membuat kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang absolut. Partai politik yang mampu melihat berbagai perbedaan sebagai kekayaan bangsa daripada sebagai sebuah persoalan.
Untuk menuju pada satu partai politik, kita mulai dari apa yang ada, bukan berandai-andai dan berspekulasi dengan sekedar menyuarakan jargon baru. Deklarasi politikus muda Indonesia seharunya menjadi momentum konvergensi berbagai elemen pemuda, sekaligus pernyataan hidup, untuk membuat sebuah jalan baru. Singkatnya, kita tidak sedang menunggu kereta api, tetapi jalan kaki pun kita siap. Sebab ini lah hidup kita sehingga tidak perlu berandai-andai.