Oleh: Elcid
Membaca kisah Rektor UI yang dari anak desa dan sukses sungguh menggembirakan. Artinya api itu ternyata tidak lah padam. Harapan kita tetap ada meskipun jalannya terjal. Bicara soal Indonesia, kita sering terpaku pada gambar besar, gambar peta kepulauan, gambar Pemilu 2009. Tetapi jika Indonesia dimengerti sebagai sebuah puzzle, di mana setiap kita merupakan bagian dari gambar besar itu, maka kita bersama-sama perlu berolah gerak agar menjadi sebuah gambar yang utuh. Contoh itu sudah ditunjukkan oleh rektor UI yang baru ini. Membaca berita dari tanah air tentang kiprahnya mengajak kita untuk bertanya, apa yang sudah kita buat untuk melengkapi gambar Indonesia?
Umumnya, yang terjadi, selain menuding, juga menganggap kepingan gambar sendiri lah yang paling baik. Akibatnya gambar utuh milik Indonesia tetap lah sebuah utopia. Bahkan keterpurukannya makin dalam, karena gambar yang sepotong itu masih saja terpecah-pecah lagi, dalam noktah yang minta untuk tidak dimengerti, atau yang kita pahami sebagai anarkhi.
Kembali ke rektor UI. Kiprahnya dalam beberapa tahun ini memang populis, ia mencoba untuk menarik gerbong bersama. Ia tidak rela meninggalkan satu sekrup tercecer di bantalan kereta api. Ia tunjukkan semuanya ini tidak datang dengan mudah, tidak diberi. Ia datang sedikit, demi sedikit. Kepercayaan itu ada dan menuntut bukti dari yang kecil yang dikerjakan.
Coba simak baris tulisan berikut yang menggambarkan karakternya: Metafora “pulang kampung” bersama teman di bawah temaram Bulan menghindari jalan terjal dan gelap inilah yang membentuk kepribadian Gumilar memimpin FISIP UI. Ia selalu ingin bersama-sama mengerjakan apa pun, enggan meninggalkan dosen, karyawan, maupun mahasiswa yang dia asuh nun di belakang sana.
Sederhana sekali, tetapi yang sederhana ini lah yang kian mahal dalam iklim serba susah. Kadang menjadi pemimpin dengan karakter beginian dianggap sok jago, sok heroik, atau apa saja lah yang negatif. Tetapi jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka sukses itu bukan lah sesuatu yang tidak mungkin.
Prinsip pantang meninggalkan yang susah, yang seperjuangan, yang senasib, yang ada di sekitar kita itu lah yang kurang dari kita. Ini bukan sesuatu yang asing, yang baru datang dari paham komunisme: sama rasa, sama rata. Ini sesuatu yang ada dalam masyrakat kita yang sering ditinggalkan karena sering individu membayangkan bahwa maju (progress) hanya bisa terjadi jika berlari sendiri. Sehingga tak jarang, kawan makan kawan, teman makan teman atau sekian frase lain yang menjelaskan bahwa kita butuh tumbal untuk maju.
Berpikir positif, dan mencoba untuk melakukan hal selalu dengan lebih baik itu lah namanya tekad atau usaha. Ini bukan cuma milik seorang petugas marketing jual kecap. Sebab visi seorang pemimpin ada di situ. Bagaimana mengumpulkan rekan-rekan yang begitu berbeda, dan mendudukan dalam satu meja, dan bersinergi bersama itu lah manajemen. Tetapi kualitas pribadi-pribadi macam apa yang bisa membuat semua duduk dalam satu meja? Itu lah yang perlu dipelajari.
Kita harus yakin bahwa kita bisa bekerja sama. Tanpa keyakinan semacam itu tidak mungkin sebuah organisasi bisa tumbuh, atau sebuah universitas bisa berkembang, atau sebuah bangsa bisa menatap masa depan. Contohnya secara kualitas, diaspora Indonesia di manca negara kini menjadi peyumbang pemikir dunia. Namun, karena wajahnyanya yang begitu beraneka ragam membuat wajah Indonesia nyaris tak berbekas jika dibandingkan wajah-wajah India, dan Cina. Geraknya diaspora Indonesia tidak terlihat, karena selalu terpecah.
Saat ini tantangannya bukan hanya mengumpulkan keping kecil dalam organisasi terdekat, tetapi bagaimana memaksa agar diaspora Indonesia tak nyaman berlama-lama tinggal di luar negeri. Ia punya tanggungjawab terhadap rombongan yang ia tinggalkan. Jika kini diaspora Indonesia tak bisa membentuk gambar utuh itu juga menjadi pertanyaan, kenapa keyakinan untuk maju dalam rombongan itu makin punah?
Organisasi apa pun di Indonesia tidak akan mampu menjadi pemain tunggal. Keinginan untuk menjadi absolut dengan mudah patah dan menjadi ajang saling bantai. Tetapi menemukan titik-titik simpul untuk bekerja sama, untuk duduk semeja itu lah pekerjaan yang sulit. Jika mental kita hanya mental deklarator, hanya mental penulis opini harian, mental komentator di surat kabar, yang hanya bermain dalam jaringan tanda, tanpa berusaha meletakkan tanda dalam pengertian bersama maka kita bukan lah pembuat simpul. Kita hanya orang-orang yang berlari sendiri meninggalkan rombongan.
Krisis kepemimpinan Soekarno dan Soeharto terbukti bahwa kepemimpinan tunggal hanya membawa kehancuran dahsyat. Rajutan solidaritas yang dibangun terlampau sederhana sehingga gambar Indonesia berantakan sekali diterpa angin. Sekali ditabrak tiga banteng, hancur berkeping.
Di mana pun kita bekerja, pernah hidup, dan bergaul, kita tak boleh meninggalkan rombongan. Keterpurukan dan kesusahan yang tiba bertubi-tubi, bencana yang hadir dan merubah hidup dalam serba darurat setiap saat menuntut kita untuk berubah pula dalam bergerak: tak boleh berjalan tinggalkan rombongan. Tantangan yang ada harus dihadapi secara bersama-sama. Nyawa, martabat, persahabatan, kepercayaan, dan semua nilai yang menunjukkan integritas itu lah taruhannya. Tanpa mendidik diri sendiri dengan hal-hal semacam ini, bangunan Indonesia adalah bangunan yang keropos. Siapa rombongan saya di kampung? Siapa rombongan saya di kampus? Siapa rombongan saya dalam hidup? Siapa rombongan saya dalam keluarga? Siapa rombongan saya dalam organisasi? Siapa rombongan saya dalam bernegara? Siapa rombongan saya yang tersisa dari teman sepermainan saya?
Meletakkan diri dalam gambar abstrak tiga dimensi membantu kita untuk tidak melupakan hidup. Manusia Indonesia dituntut untuk berpikir kompleks, dan bertindak benar.
23 Nov 2008