Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Surat Untuk Jarar Siahaan di Balige

Leave a comment


Surat ini dikirim untuk Jarar Siahaan yang membuat Blog Batak.New.Com, dia menulis surat untuk AJI, dan lainnya, isinya protes, dan ringkasnya begini:

Jangan kalian “rusak” para jurnalis pemula dengan kampanye tolak-amplop. Yang harus dilakukan AJI adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. AJI harus berani menggalang semua wartawan untuk mogok kerja. Setelah itu terpenuhi, barulah “sikat” wartawan yang menerima amplop. Dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop. Jangan sampai ada [lagi] wartawan yang lugu mengorbankan anak-istrinya demi paham yang kalian ciptakan.

Abang dan kakak jangan dong berpura-pura buta; hampir semua koran daerah tak menggaji wartawannya dengan layak. Sebagian besar di bawah Rp 1 juta, itu pun cuma bagi wartawan yang bertugas di ibukota provinsi; sementara di kabupaten umumnya tidak digaji. Juga banyak media nasional yang tak menggaji wartawannya di daerah dengan layak. Aku mau bertanya: begitu banyak anggota AJI di seluruh provinsi dan bekerja di koran lokal, apa penjelasan yang masuk akal bahwa mereka tidak terima amplop? Oh Tuhan, alangkah kita — kau dan aku — sudah lama berbohong.

Berikut ini sebuah surat yang beta kirimkan untuk dia, sesama wartawan daerah.

Horas Lae,

Sulit memang menentukkan mana yang harus didahulukan, apakah kampanye anti amplop ataukah kampanye agar pers daerah menggaji wartawan dengan layak. Tapi beta menghargai posisimu. Beta sendiri meskipun kadang minyak goreng tak terbeli, beta kembalikan uangnya. Meskipun hingga hari ini tidak ada kursi di ruang tamu, kukembalikan uang juga. Rumah juga masih kontrak alias menumpang. Yang marah bukan cuma yang memberi, kawan wartawan juga marah. Sebagian lebih sopan, menerima dan minta redaksi mengirim balik.

Beta beberapa tahun kerja di Kupang, Timor dan NTT dan sekitarnya, sebagai dosen untuk jurnalisme investigasi dan wartawan TV . Hampir semua wartawan menganggap amplop adalah hal biasa. Kadang kalau beta tidak ambil, ada kawan bilang ‘kalo lu sonde (tidak) butuh biar beta ambil saja…beta punya anak butuh untuk sekolah, dan beta silahkan dia tanda tangan pakai nama beta.’ Realistis, dia butuh. Tapi dalam sikap yang lain, beta juga ingin teman2 wartawan tahu, bahwa ada juga yang melawan arus. Karena memang harus ada yang gila.

Sekali kuterima amplop, ini dari seorang bupati, ini kerja sampingan sebenarnya dan tidak ada urusannya dengan profesi wartawan, hanya bikin profil daerahnya yang rawan bencana untuk sebuah LSM, intinya ini kampanye supaya masyarakat siap menghadapi tsunami. Tapi apa pun itu aku tak mau ada utang budi. Uang aku terima dan berikan untuk biaya sekolah seorang siswa yang membutuhkan.

Suratmu yang dikirimkan ke AJI dll memang perlu untuk menampar orang pusat, supaya tidak asal ngomong dan pintar bikin slogan. Beta hargai itu, karena realitasnya orang pusat yang biasa jalan-jalan ke daerah memang beda gajinya. Sejauh yang beta tahu, banyak wartawan yang kerja double, entah apa saja dibuat. Tapi bukan cuma orang pusat juga, ada seorang kawan yang kerja di koran ternama di Jakarta, bingung luar biasa karena tidak ada uang untuk sekolahkan anaknya Bulan Juli nanti. Bagaimana bisa begini, idealis dalam kelaparan?

Ya, kita harus berakrobat untuk hidup. Beta sepakat, dan kita harus kreatif. Urusan kere atau hidup susah bukan cuma urusan wartawan, kita wartawan masih jauh lebih baik dibandingkan rakyat jelata yang lain. Ini yang beta bilang. Di Kupang gaji pembantu rumah tangga itu 75 ribu rupiah per bulan, dan ini biasa. Wartawan daerah sekitar 500 ribu atau 600 ribu.

Jadi, untuk urusan ekonomi, menurut beta bukan cuma urusan perusahaan dan karyawan, tapi ada di luar itu. Kalau dipaksakan perusahaan juga bangkrut, dan ini sudah terbukti di daerah, khususnya di Kupang. Bagaimana mau menggaji layak? Modal pas-passan.

Mungkin beta buta. Tapi urusan deal para petinggi media di level atas itu memang terjadi. Tapi siapa berani membukanya? Siapa yang mampu menginvestigasi? Kisah amplop ini sebenarnya mirip berselingkuh atau tindakan asusila. Kalau rakyat jelata lihat porno sedikit sudah diarak telanjang keliling kampung, tapi orang kaya bisa pesta seks di hotel tanpa takut ketahuan. Siapa yang mau lapor? Prostitusi media yang terjadi di Jakarta harus diberantas. Caranya bagaimana? Beta tidak tahu. Soalnya petinggi media di Jakarta, cuma tinggal bilang, “Kau mau melawan? Aku pecat…masih banyak yang butuh kerja!” Seribu sumpah serapah dan segala nama hewan kita umpatkan, tapi sama saja. Banyak yang realistis, dan menerima kerja dari perusahaan pimpinan maling. Ini beta alami, “Masih banyak kok yang butuh kerjaan!” Sakit hati juga diperlakukan begitu oleh sesama wartawan. Apa mereka tidak pernah merasa ada di bawah? Beta tidak mengerti. Kok tega?

Dia bisa bilang, ‘Kalau aku tidak jadi anjing herder untuk perusahaan aku bisa dipecat, jadi aku harus kejam sama bawahan…apalagi yang perintahkan ini bos.’ Ini terjadi, coba lihat di setiap media ada anjingnya yang siap ikut perintah bos. Kebetulan kali itu, anjing di media itu orang batak. Lain tempat lagi anjingnya orang Timor, lain tempat lagi ada Orang Jawa. Jadi tergantung bosnya, biasa bos memilih anjing dari etnis lain. Entah kenapa? Belum ada penelitian.

Jadi Lae, beta sepakat bahwa Lae sudah berteriak. Dan kita yang lain juga berteriak dengan cara yang lain, dengan menolak amplop, agar bisa sebebas-bebasnya meliput berita dengan nurani. Pasti tidak mudah, dan memang tidak mudah.

Hari ini melihat beberapa mahasiswa ada yang sukses jadi wartawan televisi beta senang, ada yang harus jadi tim media kampanye bupati, beta juga senang. Ada yang nganggur, beta sedih. Tapi kerja di perusahaan yang gajinya kecil bagaimana? Apa itu lebih baik daripada tidak bekerja?

Ini mengingatkan beta, ketika masih di kelas, dan beta jadikan suatu soal, berkaitan dengan amplop. Ada yang menolak, ada yang menerima. Aktivis mahasiswa dan seorang suster menerima dengan alasan butuh. Sebagai dosen beta sempat diam lama, dan tidak mengerti. Tapi rasanya kemiskinan di NTT sudah sampai pada ujungnya. Sehingga yang semua yang baik cuma ada dalam doa, sedangkan untuk kebaikan dalam hidup sehari-hari masih harus diperjuangkan, dan dikerjakan.

Beta sudah sampai pada titik bertanya yang meminta jawaban, dan sejak tahun lalu beta belajar Sosiologi, karena beta tidak mengerti kenapa kita harus hidup dalam derita yang berlarut. Mudah-mudahan akan ada jawaban, bahwa meskipun miskin kita punya harga diri. Ini bukan cuma hidup, ini perjuangan menjadi manusia.

Sampai hari ini beta percaya ini bukan cuma persoalan wartawan, tapi kemiskinan ini masalah kita dalam negara Indonesia. Jadi kalau menerima amplop itu berpengaruh pada kemiskinan kita bersama, maka amplop jelas bermasalah. Masalahnya media sekarang memang posisinya sebagai mesin uang. Coba lihat Kompas dan televisi lain, sebenarnya mereka tidak butuh suara wartawan, karena pemasukkan dari iklan sudah menutupi biaya operasional, wajar kalau pemred di Kompas dan semua bos-bos televisi itu semena-mena sama anak buahnya. Mau protes? Sama, seperti di atas, tinggal ganti.

Sialan meman Lae, tapi ini kenyataan. Dulu beta sempat tulis surat untuk Mochtar Lubis, dan tanya macam-macam dia sempat bilang, bahwa dia tidak punya mimpi untuk wartawan Indonesia. Dulu beta pikir bahwa itu cuma bahasa orang tua yang pesimis, tapi sekarang beta lihat Mochtar Lubis memang realistis. Dan beta tanya lagi, apa yang bisa kita buat kalau semua sudah kita coba dan tidak ada jalan keluarnya. Dia menulis bahwa kita berdoa dan senangkan hati. Jadi cuma itu Lae, semoga kita semua tetap senang dalam situasi sulit.

Salam selalu,
Elcid

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s