Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

El Maut Diantara Hari

1 Comment


Indonesia ‘katanya’ dinobatkan sebagai negeri di planet bumi yang paling banyak terkena bencana menggantikan Bangladesh.

Entahlah. Tapi yang pasti, reaksi pertama dari setiap orang, adalah menangis, bersedih, dan bahkan sebagian menganggap ini pertanda kiamat yang sudah dekat. Menarik sekali mengamati silang komentar siapa saja. Sebab, mulai dari pedagang kecil, hingga petinggi ada di tempat yang sama: kematian, dan el maut seolah tersenyum sambil menutup mata.

Ternyata, ada kekuatan di luar kita. Para academia pun pasti diam. Karena maut tidak hanya bisa dilihat secara linear: jika A maka B. Atau dalam kamus orang beragama: si A berdosa makanya mati duluan, karena kafir.

Ini jelas-jelas tidak benar. Jika A maka B tidak berlaku. Kelompok kategorial yang kita coba bangun tidak menemukan pengertiannya. Ada sesuatu yang keluar dari ‘rasa masuk akal’.

Sejak dulu manusia berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Manusia berusaha menggiring semuanya dalam pengertiannya. Berusaha untuk memahami. Namun bagaimana, jika ini ada diluar nalar manusia? Setidaknya untuk saat ini.

Baskara T. Wardaya, hari ini menulis di Kompas bahwa kita lupa. Padahal bukan sekedar lupa bahkan kita belum menemukan pengertiannya. Jika kegilaan diartikan sebagai: ketidakmampuan manusia untuk berada dalam struktur tanda yang dipahami. Maka bencana demi bencana saat ini ada di luar struktur tanda. Karena tidak menemukan pengertiannya.

Bencana demi bencana bukan sekedar bencana. Namun dampaknya lebih dari itu, bencana mengguncang ‘rasa aman’ manusia. Kebetulan kita. Sehingga, bencana demi bencana yang tidak menemukan pengertiannya sebenarnya pada ujungnya berpotensi membawa ‘kegilaan’ dalam lingkup kolektif.

Cukup menarik. Tiba di sini, academia sebenarnya sedang diuji di ambang batasnya. Karena el maut, menjadi tanda omega. Akhir jaman dalam pengertian keagamaan. Namun keluar dari sisi itu, bagaimana kita diuji untuk berpikir di ujung kekuatan atau kemampuan kita.

Sebagian orang memilih berdoa, entah berdzikir, berpuasa, atau berapa saja dalam kaitannya dengan mencari ketenangan pribadi. Agama masih ada di lingkup pribadi untuk mengadakan damai dalam diri. Lantas bagaimana dengan lingkup di luar diri atau publik?

Ini yang belum ada. Akibat yang paling jauh, sebenarnya sudah disebutkan di atas yakni ‘kegilaan kolektif’. Apakah ini menjadi tanda bahwa anak bangsa gagal menguasai teknologi? Gagal masuk dalam peradaban modern, yang ditandai dengan penguasaan matematika dan fisika, dan lainnya.

Di sini keberadaan ilmu menjadi jelas. Jika tidak menguasai maka mati. Mengusai setengah pun mati. Era teknologi tinggi erat kaitannya dengan presisi. Bicara soal detil itu bukan milik satu orang, melainkan satu jaringan yang memiliki tujuan bersama. Ambil contoh dari satpam bandara, sales tiket, teknisi, hingga pilot. Harus sempurna.

Meskipun sudah dijlankan, ternyata ini semua pun belum cukup. Masih ada yang diluar pemahaman kita. Ternyata, di saat yang sama seorang academia bisa menjadi seorang musafir. Di saat yang sama omega itu tetap merupakan ruang gelap antara seorang academia yang atheis dan yang ber-Tuhan. Sama-sama ada dalam posisi menggantung.

Dalam situasi semacam ini, kesabaran/ketabahan atau passion sungguh perlu ada. Di saat yang sama berpikir/berpuisi/dan bersembayang bisa ada di satu titik. Einstein, Sakharov, dan mungkin Suharto, sebagai manusia dan pemikir mungkin pernah sampai dalam dilema semacam ini. Mungkin, dikira melucu memasukkan nama Suharto, namun saya sendiri berpandangan setiap manusia berusaha mencari pembenaran atas aksi-nya. Dia harus menyenangkan orang lain. Perkara dia membunuh itu persoalan lain, dan itu menjadi dilema dia seumur hidupnya, dan dia tidak bahagia.

Teknologi sendiri tidak bisa dipisahkan dari manusia, entah sebagai pencipta, pengguna, dan korban. Kita ada dimana? Untuk saat ini masih di dua yang terakhir: pengguna dan korban. Kita masih belum mampu untuk mencapai apa yang sudah dicapai negara maju lainnya.

Sehingga bencana di sini tidak lekas-lekas diartikan sebagai kiamat. Terlalu dini untuk menyerah. Atau naif juga menafsirkan akhir jaman sepagi ini. Bukankah ilmu dan agama seharusnya membawa dan memberikan harapan, dan bukan rasa pesimis. Kita semua pasti mati. Tetapi, kita tidak harus mati selagi masih hidup. Jadi, sangat penting akademisi, intelektual, aktivis, wartawan, penyiar, atau siapa yang berapa saja, untuk keluar dan bekerja untuk memberikan harapan.

Sudah cukup, kita menangis, bersedih, dan merengek. Ada warna lain selain hitam. Mati dan hidup tentu bukan persoalan, jika yang terbaik yang kita persembahkan untuk umat manusia.galaxy.jpg

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

One thought on “El Maut Diantara Hari

  1. Pingback: cynthaside.net

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s