Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Pesimisme Rakyat, Politik, dan Ksatria

Leave a comment


Berbagai masalah yang dihadapi Republik ini, memunculkan berbagai julukan, mulai dari yang bercita rasa humor seperti Republik Maling, hingga Republik Gagal. Julukan-julukan bukan datang tanpa alasan, karena dalam situasi terkini para politikus kita masih terperangkap dalam labirin gelap dan tanpa arah. Hal ini menguatkan rasa pesimisme di kalangan rakyat terhadap perubahan.

Selain melanda rakyat dan politikus, pesimisme terhadap proses politik saat ini juga sedang dialami para intelektual dan aktivis sosial yang tergambar dalam pilihan-pilihan opurtunis ketika berhadapan dengan persoalan. Misalnya penanganan kebobrokan negara seperti penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi selalu ditunda untuk diselesaikan. Jalan keluar yang ditawarkan dalam ‘kerangka reformasi’ antara lain mulai dari penyelesaian bertahap, penataan ulang organisasi, hingga pendidikan singkat dengan tema aktual. Sepintas usulan ini mengisyaratkan kedamaian, namun di sisi lain menandakan tidak pekanya intelektual penggagas ide-ide ini terhadap situasi masyarakat yang ada pada tahap kelaparan.

Jika diibaratkan tanaman komoditi, maka pembenahan tata pemerintahan maupun pendidikan adalah tanaman umur panjang, umpamanya sebatang pohon cendana perlu menunggu duapuluh tahun agar harum sebelum ditebang dan bisa diperjualbelikan. Lalu, bagaimana mungkin menyarankan kita menanam cendana dengan perut lapar?

Urgensi watak ksatria
Ini bukti bahwa persoalan tempo memang telah luput dari perhitungan, sehingga beberapa persoalan mendasar telah kehilangan momentumnya. Masalah pemberantasan korupsi misalnya telah hilang sense of urgency ketika ketika pejabat tinggi negara menyatakan bahwa pemberantasan korupsi butuh waktu belasan tahun? Bukankah ‘strategi aksi’ pemberantasan korupsi harus dibedakan dengan ‘kajian ilmiah’ pemberantasan korupsi? Menjadi pemimpin tidak boleh mendua dalam hal-hal prinsipil, karena eksekutif memang menjadi ujung tombak aksi.

Pernyataan yang menekan urgensi penyelesaian berbagai permasalahan negara dalam situasi krisis seharusnya mengingatkan kita pada potongan kalimat teks proklamasi: ‘dalam tempo yang sesingkat-singkatnya’. Kesadaran atas waktu seharusnya menjadi pertimbangan seorang pemimpin, sebab warga di negeri ini membutuhkan pemimpin yang mampu dan berani mengambil jalan pedang dalam situasi sulit, demi kesejahteraan rakyat.

Generasi pelapis yang sempat diharapkan pun juga terjebak dalam persoalan serupa, karena tidak mampu melepaskan diri dari budaya lama. Para bekas aktivis mahasiswa ini kemudian ramai-ramai merapat ke gerbong politik lama. Kalimat semacam ‘ini lah kenyataan politik’ yang keluar dari para bekas aktivis mahasiswa ini pun sesungguhnya merupakan bentuk eufemisme, agar kita memaklumi. Padahal di kalangan rakyat jelata sudah terlanjur menaruh harapan banyak pada reformasi. Kekecewaan terhadap para bekas aktivis reformasi, dan sulitnya hidup sehari-hari turut menghilangkan harapan yang pernah ada.

Pendidikan multikultur dan nasionalisme
Kecenderungan untuk tidak menjawab persoalan hidup negara secara lugas, tidak hanya terjadi di kalangan para pejabat negara dan bekas aktivis mahasiswa, sebab para intelektual Indonesia pun punya kecenderungan serupa. Para intelektual kita cenderung berpaling ketika mendapat persoalan serius dengan mengalihan perhatian dan menyederhanakan persoalan. Misalnya, dalam situasi carut marutnya kontestasi identitas nasional di kalangan elit politik Jakarta, lalu dijawab para intelektual dengan mengusulkan pelaksanaan pendidikan multikultur di sekolah-sekolah. Ide ini pun di satu sisi baik, tetapi yang lebih membutuhkan ‘pendidikan multikultur’ bukan anak-anak, melainkan para elit politik dan intelektual.

Karena meskipun persoalan nasionalisme adalah persoalan penting saat ini, namun membebani generasi yang akan datang dengan persoalan saat ini adalah cermin perilaku berpaling dari persoalan. Dikatakan demikian karena setiap generasi memiliki tanggungjawabnya sendiri.

Sudah seharusnya, generasi saat ini, terutama ilmuwan sosial Indonesia mampu mengkristalkan persoalan utama negeri ini dan menentukan pintu keluarnya dengan melampirkan strategi aksi, perhitungan tempo, dan mengingat daya tahan rakyat, bukan sibuk menghasilkan jargon. Sampai kapan pendidikan dan ilmu sosial tetap diperlakukan sebagai resep makanan siap saji?

Epilog
Bentuk dan reaksi anti ksatria telah kita temukan dalam beragam versi dan berbagai profesi, sehingga sudah waktunya watak ksatria perlu dihidupkan kembali. Ini bukan sesuatu yang berlebihan, karena watak ksatria itu cukup sederhana, yakni berani menjawab persoalan bersama dengan kata-kata, pikiran, tindakan, dan tidak mengejar pamrih pribadi. Sayangnya yang sederhana ini tidak ditemukan lagi pada generasi kita. Rakyat kita membutuhkan pemimpin, politikus, aktivis sosial, dan intelektual yang membawa harapan dan bukan pesimisme.

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s