Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat

Pemuda Terlena “Menonton” Sirkus

Leave a comment


Oleh: Dominggus Elcid Li

Pemilu 2004 telah jauh berlalu dan hanya memberi rasa gamang tersendiri untuk generasi muda yang haus perubahan. Seluruh partai peserta Pemilu didominasi kaum tua. Tidak ada satu pun partai yang lolos seleksi Pemilu 2004 yang berakar dan berbasis pemuda. Hasilnya pun kini bisa kita lihat dan rasakan.

Di Pemilu tahun 1999, kita masih menemukan PRD (Partai Rakyat Demokratik) sebagai partai yang digagas oleh para bekas aktivis mahasiswa. Tetapi ternyata PRD pun tidak mampu bertahan dan muncul dalam Pemilu 2004. Maka dalam Pemilu lalu para pemuda kembali mengambil posisi sebagai penonton.

Empat tahun silam di berbagai media massa, para pengurus partai berlomba menyatakan bahwa mereka telah merekrut para aktivis mahasiswa, sebagai bukti bahwa mereka benar-benar menyediakan kanal untuk generasi muda. Tetapi bisa dipastikan bahwa para pemuda yang memilih masuk menjadi anggota partai hanya menjadi atribut partai. Tidak lebih dari itu. Budaya politikus pedagang masih terlalu kuat untuk digeser. Para bekas aktivis ini cepat atau lambat akan tersedot putaran arus pol-itik-pedagang.

Tidak adanya partai yang berbasis pemuda menunjukkan bahwa sebagian besar pemuda Indonesia saat ini masih enggan terlibat dalam dunia politik, entah karena trauma, pesimis atau juga kecewa dengan slogan reformasi yang semakin kehilangan makna. Para politikus tua dengan kekuasaan ekonominya mampu membeli apa saja yang diinginkan.

Sikap pemuda yang memilih menjadi penonton bisa dipandang sebagai salah satu bentuk apatisme pemuda terhadap politik praktis. Sebagai akibat dominasi negara (state) dalam kehidupan politik publik. Sebab negara lah yang menafsirkan arti kata politik dalam pemeritahan sebelumnya. Demi stabilitas suara rakyat dimanipulasi sedemikian rupa lewat sistem massa mengambang (floating mass). Ini juga yang membuat kata politik seolah sinonim dengan rekayasa. Hanya sebagian kecil pemuda yang terlibat dalam dunia politik dan berusaha membangun basis massa dengan garis pemikirannya.

Gagalnya pemuda
Setelah tahun 1928, pemuda Indonesia, tidak pernah berhasil melakukan lompatan pemikiran maupun aksi, secara bersama-sama dalam hidup bernegara. Para pemuda gagal melakukan konsolidasi internal untuk menentukkan cita-cita perjuangan bersama. Sebab idealisme pemuda Indonesia segera selesai setelah penguasa berganti.

Yang ada hanya kekecewaan bersama. Walaupun jelas-jelas ini bukan yang pertama kali. Cerita tentang gagalnya pemuda Indonesia telah memasuki fase ketiga dalam catatan sejarah Republik Indonesia. Ada tiga titik waktu penting yang menjadi tonggak perubahan Republik ini: 1945, 1966 dan 1998.

Di tahun 1945, setelah Belanda kalah, apa yang dicita-citakan pemuda Hatta, Tan Malaka, dan Soekarno tiga puluh tahun sebelumnya tidak pernah terwujud. Kita dapat mengujinya dengan beberapa pertanyaan. Apakah merdeka dari Belanda berarti kita telah siap mengkonsolidasikan perubahan? Apakah kita menjadi lebih baik? Siapa pula yang bisa menyangkal ternyata para pribumi kerap lebih kejam ketika menjadi pemimpin Indonesia terhadap para pribumi lainnya, dan bahkan lebih kejam dari bangsa asing?

Catatan 1945
Kegalauan tentang alam merdeka di tahun 1945 dipotret jelas dalam novel revolusi Indonesia: Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya. Tokoh Teto, seorang pemuda Indo yang menjadi anggota KNIL menghadirkan begitu banyak gugatan terhadap ‘kemerdekaan’ kita sejak tahun 1945.

Tak hanya itu, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Larasati, mempersonifikasikan ibu pertiwi dalam tokoh Larasati (Ara), seorang bintang film yang dipaksa melayani laki-laki untuk tetap bertahan hidup. Di jaman Jepang ia tidur dengan tentara Jepang dan siapa saja yang ia suka, di jaman peralihan saat Belanda masih berniat kembali ia menjadi budak nafsu seorang pemuda Arab untuk bertahan hidup, dan di jaman Republik ia menikah resmi (meskipun gamang) dengan Oding, seorang pejuang. Lihat apa kata Oding (hal.175), “Ranjang seperti ini kita tak pernah punya. Hanya kemenangan revolusi, kemenangan kita yang mampu memberikan ranjang semacam ini. Bukan Ara? Dan malam ini, semua ini kita mulai kita nikmati bersama-sama.”

Ara adalah ibu pertiwi. Setiap lelaki yang berhasil menaklukan dan mempertaruhkan nyawa merasa paling pantas untuk mendapat bagian terbaik. Sehingga yang ada tak lebih dari perebutan kekuasaan yang sia-sia. Setelah Belanda pergi cita-cita bersama tenggelam dalam konflik antar pemimpin. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifudin dan Tan Malaka tidak pernah bisa duduk bersama dalam satu meja setelah Belanda pergi. Hatta berpisah dengan Soekarno. Sjahrir dipenjara, sedangkan Amir Sjarifudin dan Tan Malaka nasibnya jauh lebih tragis, mati dibunuh. Keduanya pun bukan orang asing yang tak dikenal, tetapi teman seperjuangan dan sepermainan para founding fathers—bahkan rekan sekampung.

Singkatnya, kita tidak berhasil mentrasformasikan keinginan bernegara. Kita tidak bisa menyatakan bahwa kaum Nusantara mampu mengatur Republik ini dengan lebih baik. Kita masih ada dalam stigma kuli, sebutan yang biasa ditujukan bagi bangsa Indonesia oleh penjajah Belanda. Buktinya: kuli tidak peduli soal bangsa atau apa pun, kuli lebih peduli dengan siapa yang bayar.

Penjajah ternyata terbukti bukan cuma sekedar warna kulit atau ‘orang asing’. Khusus bagian ini perlu disadari agar slogan yang ditiupkan seperti: ‘putra daerah’ perlu dipikirkan kembali. Kita mundur seratus tahun ke alam daerahisme (parokialisme), saat Indonesia masih hanya menjadi sebuah ide bersama dan bukan kenyataan politik.

Kita bahkan tidak lebih maju dari Bung Hatta 72 tahun lalu. Sebab di masa pergerakan ia sudah menuliskan dalam Daulat Ra’jat No.85, 20 Januari 1934: Di atas segala lapangan Tanah Air, aku hidup aku gembira. Hatta menulis: berulang-ulang dipropagandakan bahwa keadaan bangsa tidak ditentukan oleh bahasa yang sama dan agama yang serupa, melainkan oleh kemauan untuk bersatu. Dimana ada kemauan untuk bersatu dalam perikatan yang bernama “bangsa”, diwaktu itu timbullah Kebangsaan Indonesia.

Celakanya kini tafsir tanah air dipersempit dimaknai sebagai anak kabupaten saja—bahkan di NTT satuannya menjadi lebih kecil, anak suku tertentu. Slogan daerahisme yang terus dipropagandakan jelas-jelas mengingkari semangat ke-Indonesia-an. Ini penting untuk dicerna karena identitas Indonesia menjadi semakin kabur dan sedang ditinggalkan.

Ditambah dengan ide otoritarian rezim moral yang merambat cepat, maka lengkap sudah sirkus politik di Republik ini. Artinya sejak saat ini perjuangan kita semakin berat, karena selain berjuang untuk tegak berdiri dalam kepungan berbagai kekuatan global, di dalam negeri harus bersiap melawan rezim moral. Ini bukan menentang dinamika di alam demokrasi, namun refleksi terhadap sejarah Republik, bahwa apa pun yang dipaksakan pasti akan memakan korban.

Catatan 1966
Di fase kedua yakni di tahun 1966. Suatu masa yang dikenang oleh seluruh buku teks sejarah orde baru sebagai masa keberhasilan menumbangkan pemberontakan komunis, dan jatuhnya pemerintahan Soekarno. Munculnya berbagai macam kesatuan aksi dinyatakan sebagai representasi peran pemuda dalam kehidupan politik bernegara. Tetapi segera setelah Soeharto berhasil melakukan konsolidasi dengan segala elemen kekuasaan, para pemuda pun ditinggalkan. Bulan madu dengan pemerintah ada batasnya. Siapa pemenang perang dia pantas meminum anggur terbaik. Masih sama.

Di tahun 1966 kekecewaan yang sama jelas terbaca dalam catatan harian yang ditinggalkan Soe Hok Gie–setelah dibukukan diberi judul Catatan Seorang Demonstran. Pada bagian pengantar Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie–dengan tajuk ‘Soe Hok Gie, Sebuah Renungan’(hal.3)– menulis tentang adiknya yang meninggal di Mahameru: pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan bertambah cantik di muka penguasa. Itu kritik Soe Hok Gie setelah ia melihat para pemuda yang aktif dalam kesatuan aksi sebelumnya hanya menjadi atribut tambahan di parlemen. Mereka ‘kaget’ menjadi pejabat negara.

Arief Budiman kemudian juga termasuk pemuda yang kecewa terhadap Pemerintah Soeharto dan menggagas Golput (Golongan Putih) alias tidak memilih di Pemilu pertama masa orde baru–yang melakukan fusi partai-partai menjadi: Golkar, PDI dan PPP. Dalam Pemilu 2004 Arief lebih menyarankan untuk memanfaatkan hak pilih, daripada golput.

Kita pemuda saat ini yang tidak berusaha mencari lebih jauh, mengenal fase tahun 1965 hanya dari film yang dulu diputar setiap tahun. Film tentang PKI yang disutradarai Arifin C.Noer menjadi film propaganda yang baik dimana menempatkan Soeharto sebagai pahlawan utama. Sebagai pehlawan ia berhak memerintah, mendapat bagian yang terbaik. Sejarawan manapun belum ada yang mampu menyambung rantai sejarah tahun 1965 untuk dibaca lagi kini. Apakah petinggi kita lebih baik dari orang Belanda dan Jepang yang pernah menjadi penjajah itu? Sekali lagi ini bukan soal warna kulit, bentuk rahang, atau rambut. Ini bukan soal fisik seseorang, ini perlu disadari agar pergerakan warga Republik ini tidak berjalan di tempat dengan politik sektarian.

Tahun 1998
Di titik ketiga pengalaman terbaru yang kita alami bersama yakni setelah Soeharto ditekan untuk turun oleh kekuatan para akademisi kampus, LSM, dan sekian orang serta negara lainnya. Peristiwa itu prosesnya belum lagi usai, tapi jika mendengar para juru seminar di hotel-hotel berbicara, ini dikisahkan seperti sudah berpuluh-puluh tahun lalu dan hasilnya sudah terlihat.

Biasanya para pembicara di hotel-hotel mengawali: “Setelah 32 tahun […] “ atau “Di era reformasi…!” Kata kunci lain yang dipakai adalah Orde Baru, yang digambarkan sebagai sesuatu yang buruk dan dengan mengecamnya sang pembicara merasa lebih baik. Paling tidak ia merasa ada di rombongan lain, berada di antara ‘kaum reformis’ (?). Para pembicara ini serupa dengan nenek yang men-dongeng-kan cerita lama pada cucunya. Padahal apa yang telah kita buat? Apa reformasi artinya asal beda?

Di tahun 2004, masih saja sama, setelah menurunkan Soeharto, para pemuda seolah-olah kehilangan agenda bersama selanjutnya. Antara elemen yang satu dan lainnya bersaing memperebutkan pampasan perang. Budaya patron-client yang mengakar membuat pemuda Indonesia saat ini tidak indipenden dan orisinil dalam berpikir dan berkarya.

Dari ketiga titik waktu ini kita selalu melakukan kesalahan yang sama. Kita masih hanya terpaku pada siapa yang berkuasa. Pergerakan terhenti setelah tokoh yang dijadikan sasaran tembak tumbang. Para pemuda Indonesia saat ini tidak mampu membuat agenda (platform) bersama milik Republik. Akibatnya momentum pembaruan diambil alih begitu saja. Kita tidak pernah belajar mengkristalkan ide-ide utama sebagai agenda bangsa secara bersama-sama. Buktinya: perubahan apa yang secara signifikan akan kita buat?

Hingga saat ini para pemuda, belum mampu merumuskan cita-cita bersama warga negara dan merumuskan transformasi karakter warga Republik. Selama ini tidak mampu dikristalkan dalam butir-butir pemikiran dan kesepakatan bersama, kita hanya akan menjadi bangsa yang kecewa, yang maju dalam jargon tetapi tidak mampu ber-evolusi. Ini menjadi bukti Indonesia telah gagal melakukan regenerasi.

Kita,pemuda, sebagai warga republik masih saja sama seperti pendahulu-pendahulu kita, masih mengagungkan romantisme dan bernostalgia, daripada menyusun organisasi-organisasi yang sungguh-sungguh, menempa ide dalam pergerakan dan didukung dengan disiplin organisasi yang dilandasi keutamaan-keutamaan yang kita sepakati bersama.

Pada pemilu 2004 pemuda juga menjadi penonton atas budaya lama yang sudah ada sejak Republik Indonesia berdiri: datang, rebut, dan rampok. Perubahan apa yang mungkin ditawarkan oleh partai-partai yang ada saat ini? Para politikus saat ini terjerat dalam budaya dagang yang luar biasa kentalnya. Hasil Pemilu 2004 memang mengecewakan, wakil rakyat yang terpilih umumnya adalah pedagang, dan pemain sirkus politik.

Pemilu yang akan datang masih tiga tahun lagi. Namun kali ini jika kita tidak mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh, maka selamanya kita hanya akan menjadi generasi yang kecewa dan gagal.

Kondisi saat ini tidak bertambah mudah, trend politik aliran yang menggiring orang untuk ada dalam golongan etnis dan agama, sama memuakkan. Jika situasi ini tidak dikelola dengan baik, maka yang muncul adalah reproduksi kekerasan, dan kita tahu bahwa akan kembali gugur korban yang sia-sia. Sampai di titik ini tentu pemuda tak boleh diam dan membiarkan sirkus politik ini berlari dengan naluri kuasa murni.

Sekali lagi, jika kali ini kita diam maka kita kembali melepaskan kesempatan bagi bangsa ini untuk bangun dari krisis yang tak ada ujungnya. Alibi yang menyatakan bahwa ini hal biasa dalam masa transisi, adalah bagian dari propaganda agar kita tetap tidur nyenyak dengan rumah yang tengah hangus terbakar. Rumah itu adalah Republik.

Kupang, Agustus 2006
*Penulis adalah wartawan lepas yang bermukim di Kupang ia dapat dijumpai di elcidli@yahoo.com

Advertisement

Author: Elcid

He is a social researcher from Timor.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s