Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Pengadilan Malaysia Hadirkan Ibunda Nirmala


Pos Kupang Sabtu: 04 Nop 2006 00:35
Kupang, PK, Kasus penyiksaan dan penganiayaan Nirmala Bonat, tenaga kerja wanita (TKW) asal Desa Tuapakas, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) oleh majikannya di Malaysia, April 2004 lalu kembali digelar. Sidang kali ini menghadirkan ibunda Nirmala Bonat, Ny. Martha Toni sebagai saksi dalam kasus penganiayaan terhadap anaknya. Sidang kali ini merupakan yang ke-15 kali setelah kasus yang sempat mengundang perhatian dunia internasional itu mencuat ke publik.

Perihal kembali digelarnya sidang kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (Appjati) NTT, Ir. Abraham Paul Liyanto, ketika ditemui Pos Kupang di Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) PT Citra Bina Tenaga Mandiri Kupang, Jumat (3/11).

Paul mengatakan, sidang terhadap kasus Nirmala Bonat sedianya berlangsung pada tanggal 11-13 Oktober 2006. Namun, katanya, karena ketidakhadiran ibunda Nirmala maka sidang ditunda tanggal 6 November 2006. Paul mengatakan, ibunda Nirmala dibutuhkan untuk hadir di persidangan kasus tersebut sebagai saksi yang akan dikonfrontir dengan keterangan Fermina Anunut, TKW lainnya yang pada persidanganterdahulu memberikan keterangan palsu bahwa Nirmala mempunyai kelainan jiwa.

Dari Kupang, Ibunda Nirmala, Martha Tony akan ditemani oleh Paul Liyanto. Keduanya akan berangkat hari ini, Sabtu (4/11) dengan pesawat Lion Air menuju Surabaya, selanjutnya pada hari yang sama ke Kuala Lumpur dengan Asia Air.
Keduanya, menurut rencana akan tiba di Kuala Lumpur pada pukul 20.00 waktu setempat pada hari yang sama. Seluruh biaya pulang pergi termasuk selama ibunda Nirmala di Malaysia akan ditanggung Pengurus Daerah (Pengda) Apjati NTT. Seluruh biaya yang dikeluarkan tersebut akan dikembalikan setelah asuransi Nirmala cair atau realisasi.

Paul berharap, dengan kehadiran ibunda Nirmala, bisa meluruskan kembali fakta yang sengaja dibelokkan oleh Fermina. Paul menilai, pengadilan negeri Malaysia sengaja mengulur-ulur penyelesaian kasus tersebut agar pelaku bisa diputuskan ringan.
Sementara Kepala Atase Tenaga Kerja Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia, Teguh Hendro Cahyono dalam pembicaraan pertelepon, Jumat (3/11), mengatakan, dalam persidangan kali ini Nirmala akan ditemani pengacara dari Kantor Megat Najmudin Co, Kavimani Muthayam. Persidangan kali ini, kata Teguh diperkirakan akan memakan waktu beberapa hari.

Sementara Ibunda Nirmala, Martha Tony, mengaku siap menjawab berbagai pertanyaan dari hakim dalam sidang nanti. Martha mengaku, tidak takut karena keterangan darinya sangat menentukan nasib anaknya. “Saya sudah siap berikan keterangan apa pun yang mereka tanyakan kepada saya. Di Pengadilan nanti saya hanya ingin menegaskan bahwa anak sayatidak gila. Dalam keluarga kami tidak ada riwayat atau keturunan yang gila atau mempunyai kelainan jiwa. Apa yang dikatakan Fermina tidak benar. Lagi pula saya tidak mengenal Fermina karena dia bukan warga Tuapakas. Dia orang Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Jadi dia tidak tahu tentang keluarga saya. Saya yang paling tahu Nirmala, karena saya yang membesarkan dia hingga dia ke Malaysia,” tegas Martha.

Hal senada juga disampaikan Kepala Kantor Cabang PT Kurnia Bina Rizki, John Salomon, perusahaan yang merekrut dan memberangkatkan Nirmala ke Malaysia. John menegaskan, jika Nirmala memiliki kelainan jiwa, tidak mungkin lolos untuk bekerja di luar negeri. Karena itu, John yakin, apa yang dikatakan Fermina bahwa Nirmala gila, tidak benar. (dea)

Advertisement


Leave a comment

Nirmala Bonat, Prioritas, dan Hari Bapak


Photobucket - Video and Image Hosting

oleh: Elcid

Mudah-mudahan Nirmala Bonat belum dilupakan (perkembangannya bisa dilihat di atas). Kasus Nimala, sebaiknya tidak dilihat hanya sebagai satu kasus yang terpisah, dan hanya diletakkan pada tindak kekerasan, tetapi seharusnya bisa ditelusuri dari policy pemerintah RI untuk mengirimkan TKW ke LN. Harusnya kita punya kronologi untuk ini, sejak kapan? Ada seorang rekan yang menyamakan ini dengan kuli.

Memang, salah satu hal yang paling mengganjal saat ini, adalah proyek TKW dari pemerintah Indonesia. Menurut seorang rekan yang menentang policy pemerintah RI untuk mengirmkan TKW, satu-satunya negara yang mengirimkan tenaga kerja tidak terampil ke luar negeri di dunia ini hanya Indonesia. Sangat mengecewakan.

Karena kawan satu itu orang Batak, dia bercerita bagaimana orang Batak keluar dari daerahnya untuk bertarung di luar. Di sisi ini, Orang Timor memang kalah nama dari Orang Batak. Bagaimana tidak isinya kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian–dan juga penjara, adalah Orang Batak. Lebih baik merampok, jadi copet daripada jadi pembantu. “Coba kau cari mana ada orang Batak yang mau jadi TKW/TKI?” tantangnya, lalu dia lanjutkan, “kalau pun ada, yang jadi TKI itu punya skill, dan itu kami tanamkan dari kampung.”

Lantas ia bercerita tentang peran gereja HKBP di Tanah Batak, yang menurut gambarannya strukturnya serupa struktur negara, bagaimana gereja juga berperan untuk menanamkan, untuk menyebarkan pentingnya pendidikan, dan tentu kesehatan, juga untuk menentang ‘semangat menjadi pembantu atau TKI’. Entah gereja apa yang ada di Timor/NTT, saya hampir tidak peduli, tapi semangat yang ini tidak saya temukan. Ya, walaupun memang kalau dalam pandangan almarhum Geertz, saya ini masuk abangan, tapi setidaknya saya masih berharap anggota gereja bisa buka mata.

Entah, apa isinya, kita bisa berdebat, bagaimana menentukkan prioritas, saya heran kenapa STFK Ledalero, malah sibuk bikin ‘Hari Bapak’. Dan ini dengan bangga disebarluaskan. Kalau bicara filsafat pengetahuan di sana lah tempatnya, tapi kenapa yang keluar ‘Hari Bapak’. Kenapa?

Sekali lagi, sepertinya ada yang tidak kena dalam masyarakat kita. Kartini, itu cerita lain. Tapi perempuan yang dikirim jadi TKW itu jelas-jelas tidak masuk akal. Di sistem sosial masyarakat kita yang pada umumnya menganut sitem Patriarki, laki-laki ada dalam posisi yang kuat, contohnya, kepala suku semua laki-laki, kepala rumah tangga juga laki-laki. Asumsinya kan laki-laki yang kerja, nah ini, kalau perempuan yang jadi TKW. Atau mungkin, sistem masyarakatnya sudah menjadi sistem masyarakat banci. Ini memang masih harus dibuka, kenapa anak-anak, dan perempuan, dibiarkan dikirim dari kampung.

Dubai, perempuan letih di lorong
Satu pengalaman waktu di Dubai, benar-benar memprihatinkan, adalah para TKW yang rata-rata tidak bisa berbahasa inggris ini dibiarkan berangkat sendiri. Dan hampir tidak ada pendamping. Jadi, kalau di Dubai, ada kerumunan perempuan berkulit sawo matang, berjilbab, duduk keletihan, di pinggir gang, bisa dipastikan itu TKW dari negara kita.

Dubai merupakan kota transit ke berbagai negara di Timur Tengah, jika para TKW menggunakan jasa penerbanagan Emirate. Jadi para TKW ini tidak langsung tiba di negara tujuan, mereka masih harus mencari counter penerbangan dan melihat jadwal penerbangan selanjutnya, ke negara yang dituju. Entah ke Yaman, atau negara lain–bisa lihat di peta.

Sungguh, kendala bahasa ini merupakan problem serius, melihat nama gate/pintu untuk penerbangan selanjutnya saja mereka tidak tahu, ada yang harus menunggu 10 jam kemudian baru terbang, dan hanya menanti makanan di pesawat nanti. Memang warung banyak, tapi uang? Bahasa?

Soal Nirmala Bonat, mungkin hanya satu kasus yang mencuat ke permukaan. Tapi, Tuapakas, Desanya Nirmala Bonat yang letaknya serong kiri sebelum cabang ke pantai Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memang desa yang amat miskin. Untuk mobil masuk ke sana, termasuk harus berjibaku, karena mobil pun tidak bisa masuk sampai desa yang dituju. Untuk kita, yang kebanyakan besar di Kota, hampir tidak bisa membayangkan kendala yang dihadapi oleh warga di kampung-kampung di pedalaman.

Tidak usah bicara idiologi, dengan tanpa idiologi saja, kita tahu ada yang keliru, kenapa sekian lama mereka miskin? Kenapa sekian lama mobilitas sosial di Timor khususnya, sangat lambat, dari yang miskin ke tingkat menengah? Kenapa? Dan kenapa fokusnya hanya pada aparatur negara, kalau bicara pembangunan? Bagi sebagian kawan, kata pembangunan mungkin tidak disukai, tapi paradigma ini lah yang dominan di negara ini. Bagaimana bisa kreatif dan menggiring ‘pembangunan’ itu memang butuh kecerdasan dan kelihaian, karena tidak bisa serta,merta bilang ‘hentikan paradigma pembangunan’. Itu jargon. Bagaimana menurunkan ke bawah dan operasional itu lain lagi.

Kembali ke TKW
Di Kupang, kantor PJTKI bertebaran ke lorong-lorong. Siapa yang mau mengawas? Kantornya Paul Liyanto, memang mentereng, tapi bagaimana dengan yang lain, apa semuanya seperti Paul? Bikin satu kantor, dan menutup mata terhadap PJTKI yang lain jelas-jelas adalah sebuah kejahatan. Adik-adik kecil dari Sumba Barat yang dikirim jadi TKW, dengan memalsukan akte, jadi mulai dari catatan sipil, lurah, camat, semuanya aspal, alias asli tapi palsu. Kok tega?

Bukannya mau cari gara-gara. Tapi kenapa lembaga/institusi sosial semacam gereja, organisasi kemahasiswaan/tempat para kader/calon pemimpin (katanya), yang jadi tempat-tempat kumpul di Timor gagal menghadirkan pemimpin yang peka dengan situasi sosial. Kurangajarnya lagi, malah sibuk berebut kursi jabatan, si A dari gereja ini lah, si B dari sana, sibuk bertandang ke Ketua Sinode, Uskup, dan pemangku adat. Itu yang kelihatan, yang tidak kelihatan, sibuk bayar sana sini. Kenapa, kalau orang NTT untuk menuju sistem politik, keluarnya selalu fragmented atau terpecah dan tidak menemukan titik temu untuk kerja sama?

Karena tulis artikel tentang gereja dan korupsi, beta pung Bapak pernah bilang, ‘Kok masalahnya lain, kenapa gereja yang disalahkan?’ Tapi, yang namanya juga bicara dengan Bapak, ya diam saja, tapi saya sebenarnya balik tanya ‘Lha, terus gereja bikin apa?’

Ya, mungkin juga beban gereja terlalu berat. Tapi kalau terlalu berat, jangan bawa-bawa agama kemana-mana. Kalau yakin, konsekuen. Sialannya, label agama ini di NTT (umumnya) muncul kalau mau ada pemilihan walikota, gubernur, bupati, camat, kepala biro. Tai memang.

Kalau giliran ada yang lapar di Sikka atau di Sumba, malah komentarnya, “Orang NTT sudah biasa susah, wartawan jangan karang-karang berita.” Sontoloyo memang pejabat NTT, kalau mereka sama-sama lapar masuk akal, tapi ini sibuk atur dana taktis (artinya tidak perlu dipertanggungjawabkan), untuk persiapan hari tua. Tapi kalau untuk hari tua, 1 Milyar saja sudah cukup, kenapa harus banyak-banyak?

Hal yang sama ada di Jakarta juga. Kenapa UKP3R ribut masuk koran? Kenapa Kalla dan Yono tidak bisa urus sendiri? Atur kerja saja tidak becus, bikin repot rakyat. Memangnya kalau diberitahu ke publik ada gunanya? Ya, tidak ada guna, kita tahu bahwa Yono dan Kalla lagi bakalai, tapi kenapa Paloh sibuk bikin pernyataan? Itu lah pejabat kita, tidak bisa menentukkan prioritas.

Di satu sisi ini jadi tantangan ilmu sosial untuk menjelaskan. Di sisi yang lain, sibuk mengutuk kenapa ‘orang NTT jadi banci’. Mungkin juga institusi semacam gereja atau organisasi lain tidak berfungsi lagi, sehingga mengajak kita melihat ke keluarga. Nah, bagaimana membuat keluarga yang punya harga diri? Ini juga rumit.

Karena kawan yang lain pasti sambung, “Bagaya omang harga diri, makan sa ada susah ma…” Coba, buktikan bahwa Orang NTT itu tidak plin-plan, karena biasanya suka membandingkan dengan Orang Jawa Tengah. Padahal, kita benar-benar berharap ada walikota yang jujur, gubernur yang peduli dengan masyarakat, bupati yang pandai. Nah, orang-orang seperti ini dididiknya dimana?

Atau mungkin itu cuma cerita Abu Nawas dari 1001 malam.

Mungkin, bukan hari ini kita bangga soal NTT, tapi minimal 30 tahun ke depan, kita harus bisa bangga dengan NTT. Saya setuju saja dengan Bung Farry, bahwa kita harus bangga dengan orang-orang kita, dan itu tidak bisa dibikin dengan jargon, kita harus kerja, dan kerja.

Catatan Kaki:
Tapi mungkin juga, orang2 STF Ledalero bikin Hari Bapak ada benarnya juga, supaya menguatkan para Bapak, terutama para pastor, untuk eksistensinya bahwa masih ada yang bisa dibuat sebagai laki-laki. Masuk akal, karena laki-laki yang bikin maka Hari Bapak. Mudah-mudahan, ada gunanya acara itu, kalau tidak ‘Hari Bapak’, harus diganti diganti dengan ‘Hari Prioritas’. Biar bisa ajak orang mikir.


Leave a comment

Catatan Untuk Pertemuan Akhir Tahun


Photobucket - Video and Image Hosting

Pembuatan website, jurnal rakyat (citizen journalism), dan e-journal untuk NTT’s scholars memang menarik, dan memungkinkan dilakukan dengan komposisi anggota yang memang berjauhan, tapi masih connect dengan jaringan internet. Hal ini pun masih dalam proses dan membutuhkan para pionir yang bekerja dengan semangat tanpa pamrih. Ini masih dalam perjalanan, dan masih belum bisa dilihat bentuknya, yang bisa dikatakan sebagai hasil.

Konsumsi media dominan
Tetapi, kita perlu mengingat semua media ini masih mengandalkan jaringan internet, sedangkan sebagian besar masyarakat NTT belum menggunakan media ini, masih amat kecil yang memakainya, sehingga kita juga perlu memikirkan media apa yang bisa kita pakai untuk menyebarkan informasi yang bisa menjangkau sebagian besar masyarakat. Berbicara soal media yang tepat, kita perlu mengingat situasi NTT yang bentuknya kepulauan, ada perbedaan besar diantara kota dan desa, dan sebagian besar masyarakat masih tergolong dalam masyarakat yang belum tersentuh media-media modern (cetak, maupun elektronik). Sebagian besar masyarakat masih belum mampu membeli koran, dan koran pun isinya tidak mewakili kebutuhan masyarakat.

Dengan analisis isi (content analysis), andaikan ada yang serius, kita bisa menjelaskan kepada siapa sebenarnya fokus media cetak di NTT. Karena kebutuhan masyarakat luas terutama di perkampungan memang belum tersentuh. Singkatnya karena konsumen yang dituju umumnya adalan para pegawai negeri maka isinya pun mewakili karakter pembaca yang dituju. Lalu, bagaimana kita menghadirkan media alternatif yang melayani kalangan yang tidak mampu? Bagaimana kita mampu mendorong agar ilmu yang ada dalam media memang berguna untuk masyarakat NTT untuk hidup? Benar-benar ilmu untuk hidup.

Apa isinya?

Pertanyaan susulan ini memang merupakan debat lama diantara para akademisi, apa yang perlu dibuat untuk masyarakat? Dan kemudian beberapa rekan di media ini juga memotret, para pionir atau penggagas awal tak jarang mengenalkan sesuatu yang dari luar tanpa melihat kebutuhan masyarakat NTT sendiri.

Pertanyaan ini memang membutuhkan jawaban, ilmu yang bagaimana yang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat? Pertanyaan ini belum lagi dijawab. Bukan apa-apa, hingga saat ini belum ada ilmu yang sudah jadi yang tinggal dipakai, jarak antara universitas dan masyarakat luas (orang miskin kelaparan di kampung) masih jauh. Ini kenyataan.

Lembaga pendidikan yang tidak berorientasi pada kesejahtraan masyarakat pada ujungnya pun, menghasilkan lulusan yang selfish, hanya peduli pada diri sendiri, atau pun keluarga. Ilmunya pun hanya berorientasi pada perkembangan ilmu itu sendiri. Di mana sisi moral dari ilmu?

Bagaimana mimpi anak muda NTT untuk kerja di LSM internasional dan hidup mapan, merupakan bagian dari gambaran ini. Sebenarnya ini sah-sah saja, karena orang memang perlu uang untuk hidup, tetapi ini seharusnya tidak diletakkan sebagai tujuan akhir. Apakah ketika sudah duduk dan berkecukupan, para anak muda NTT masih mengingat warga NTT yang lain yang tidak berkecukupan dan masih sibuk dengan urusan kelaparan?

Assessment yang dibuat para penggiat organisasi non pemerintah (extragovernmental organization) pun tak jarang masih bias, ukuran maupun standarnya masih menggunakan standar negara maju, sehingga semua pencapaian akhirnya dibayangkan terlampau sulit dan sering dikata-katai para birokrat lokal sebagai ‘idealis’. Pertanyaannya, dengan tools asing itu, apakah semua variabel yang dibutuhkan sudah keluar? Sehingga assessment awal ini memang pantas menjadi acuan untuk mengambil tindakan?

Taktik dan metode perubahan
Para terdidik awal di NTT umumnya berasal dari golongan agamawan (entah Protestan, Katholik, dan Islam) dan kaum pedagang. Hingga saat ini orang-orang NTT yang dikatakan sukses berasal dari lingkaran ini. Andaikan ada konflik, bisa dipastikan berkaitan dengan perebutan kue dari kalangan yang hidup di kota, sedangkan orang kampung umumnya hanya dijadikan supporting system dari konflik di kota.

Lalu bagaimana dengan masyarakat di perkampungan yang hidupnya diluar golongan ini? Kepada siapa mereka harus mengadu? Trend di NTT saat ini, aktivis mahasiswa, aktivis LSM, kaum agamawan, dan sebagian birokrat lah yang menjadi ‘orang-orang baik’ yang bisa dimintai tolong oleh para orang kampung. Bagaimana orang kampung berbicara tentang kepentingan orang kampung, tanpa menggunakan juru bicara yang suka bias. Maksudnya tanpa perantara. Para perantara di sini adalah semua yang tergolong dalam kumpulan orang baik. Mungkin kah?

Jika mungkin, lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya? Bagaimana caranya orang di kampung tidak minder dan berbicara lantang tentang kepahitan hidup mereka? Seperti kita tahu, karena terbiasa hidup sulit, banyak pula orang kampung yang menjadi filsuf yang amat baik. Mereka bisa menjelaskan sambil tertawa bagaimana hidup dilalut tanpa harus mengeluh.

Tetapi, kita yang dari luar bisa melihat, bahwa kondisi sulit itu sebenarnya bisa ditiadakan seandainya beberapa penghalang bisa dipindahkan. Orang kampung yang lain yang saat ini menjadi pejabat, tak jarang lupa dengan kondisi sulit warga kebanyakan, malah sibuk berbicara dan membalas liputan ‘orang kampung sudah biasa hidup susah, dan tidak usah dibesar-besarkan, makan ubi-ubi hutan itu memang tradisi dari jaman nenek moyang’.

Nah, ini juga pertanyaan tersendiri. Kenapa orang kampung yang berrhasil masuk ke institusi lain dan hidup lain, lupa sama orang kampung lain yang masih susah. Maksudnya, para pejabat kita ini yang sekarang menjadi elit pemerintahan asalnya dari mana? Kita bisa cek, sebagian anak pendeta, sebagian anak jebolan seminari, anak Imam Masjid, sebagian orantuanya bangsawan, dan sebagian eks aktivis LSM. Lalu kenapa, policy yang dibuat kok tidak berpihak kepada orang kampung? Yang aslinya sesama saudara yang susah.

Sekolah,kota, dan raja
Ini keanehan, dan patut dipertanyakan, kenapa sekolah kemudian membuat orang menjadi asing, dan malah menciptakan ‘raja’ kecil. Contohnya di Sumba, para pejabat di sana berapa yang tidak kuliah di kota? Bisa dihitung. Tidak ada, hampir semua kuliah. Lalu, apakah setelah pulang dari kota, sistem bangsawan dan maramba apakah bisa ditafsir ulang untuk memberikan keadilan sosial untuk semua lapisan? Apakah ada yang rela hak-hak istimewanya dilepaskan?

Bagaimana mencari celah konsensus, itu mungkin kerja ilmuwan sosial. Tetapi, sayangnya para anak kampung yang sudah selesai sekolah ini, umumnya malas bertanya, dan cenderung masuk dalam rute balapan tikus untuk menjadi manusia kota yang kaya juga mapan dan lagi-lagi masih selfish.

Forum academia NTT saat ini merupakan perkumpulan dari para akademisi, aktivis ornop, wartawan, rohaniwan, mahasiwa dan PNS, yang tersebar dimana-mana, sudah seharusnya mampu melihat kemiskinan yang mematikan yang membelit dan melilit saudara-saudara kita baik di kampung maupun yang lari ke kota (sebagai tukang pukul), maupun lari ke negara lain (sebagai TKW), atau pun apa saja yang menjadi reaksi atas kemiskinan.

Pertanyaan untuk manusia
Semua orang yang dilahirkan, pasti pergi tanpa kecuali. Jika diandaikan orang yang dilahirkan itu sebagai kertas putih, maka pasti ia mendapat kesempatan untuk mengetahui sesuatu. Kecuali ia langsung mati, sebelum dilahirkan maka ia tidak pernah pergi. Lalu sebagai manusia, selama masa hidup, apakah mungkin setiap orang mempersiapkan diri, agar saat mati pun ia kembali seperti kertas putih? Katakan lah alfa dan omega kembali pada satu titik.

Tafsir hidup orang modern perlu dilakukan ulang, agar setiap menjelang pergantian tahun kita tidak hanya bergeser dari penyesalan satu ke penyesalan yang lain, tetapi bisa tersenyum dan benar-benar tersenyum, karena setelah lewat satu tahun kita memang melakukan sesuatu. (Elcid)

Nota bene: Selamat Hari Natal dan Tahun Baru