
oleh: Elcid
Mudah-mudahan Nirmala Bonat belum dilupakan (perkembangannya bisa dilihat di atas). Kasus Nimala, sebaiknya tidak dilihat hanya sebagai satu kasus yang terpisah, dan hanya diletakkan pada tindak kekerasan, tetapi seharusnya bisa ditelusuri dari policy pemerintah RI untuk mengirimkan TKW ke LN. Harusnya kita punya kronologi untuk ini, sejak kapan? Ada seorang rekan yang menyamakan ini dengan kuli.
Memang, salah satu hal yang paling mengganjal saat ini, adalah proyek TKW dari pemerintah Indonesia. Menurut seorang rekan yang menentang policy pemerintah RI untuk mengirmkan TKW, satu-satunya negara yang mengirimkan tenaga kerja tidak terampil ke luar negeri di dunia ini hanya Indonesia. Sangat mengecewakan.
Karena kawan satu itu orang Batak, dia bercerita bagaimana orang Batak keluar dari daerahnya untuk bertarung di luar. Di sisi ini, Orang Timor memang kalah nama dari Orang Batak. Bagaimana tidak isinya kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian–dan juga penjara, adalah Orang Batak. Lebih baik merampok, jadi copet daripada jadi pembantu. “Coba kau cari mana ada orang Batak yang mau jadi TKW/TKI?” tantangnya, lalu dia lanjutkan, “kalau pun ada, yang jadi TKI itu punya skill, dan itu kami tanamkan dari kampung.”
Lantas ia bercerita tentang peran gereja HKBP di Tanah Batak, yang menurut gambarannya strukturnya serupa struktur negara, bagaimana gereja juga berperan untuk menanamkan, untuk menyebarkan pentingnya pendidikan, dan tentu kesehatan, juga untuk menentang ‘semangat menjadi pembantu atau TKI’. Entah gereja apa yang ada di Timor/NTT, saya hampir tidak peduli, tapi semangat yang ini tidak saya temukan. Ya, walaupun memang kalau dalam pandangan almarhum Geertz, saya ini masuk abangan, tapi setidaknya saya masih berharap anggota gereja bisa buka mata.
Entah, apa isinya, kita bisa berdebat, bagaimana menentukkan prioritas, saya heran kenapa STFK Ledalero, malah sibuk bikin ‘Hari Bapak’. Dan ini dengan bangga disebarluaskan. Kalau bicara filsafat pengetahuan di sana lah tempatnya, tapi kenapa yang keluar ‘Hari Bapak’. Kenapa?
Sekali lagi, sepertinya ada yang tidak kena dalam masyarakat kita. Kartini, itu cerita lain. Tapi perempuan yang dikirim jadi TKW itu jelas-jelas tidak masuk akal. Di sistem sosial masyarakat kita yang pada umumnya menganut sitem Patriarki, laki-laki ada dalam posisi yang kuat, contohnya, kepala suku semua laki-laki, kepala rumah tangga juga laki-laki. Asumsinya kan laki-laki yang kerja, nah ini, kalau perempuan yang jadi TKW. Atau mungkin, sistem masyarakatnya sudah menjadi sistem masyarakat banci. Ini memang masih harus dibuka, kenapa anak-anak, dan perempuan, dibiarkan dikirim dari kampung.
Dubai, perempuan letih di lorong
Satu pengalaman waktu di Dubai, benar-benar memprihatinkan, adalah para TKW yang rata-rata tidak bisa berbahasa inggris ini dibiarkan berangkat sendiri. Dan hampir tidak ada pendamping. Jadi, kalau di Dubai, ada kerumunan perempuan berkulit sawo matang, berjilbab, duduk keletihan, di pinggir gang, bisa dipastikan itu TKW dari negara kita.
Dubai merupakan kota transit ke berbagai negara di Timur Tengah, jika para TKW menggunakan jasa penerbanagan Emirate. Jadi para TKW ini tidak langsung tiba di negara tujuan, mereka masih harus mencari counter penerbangan dan melihat jadwal penerbangan selanjutnya, ke negara yang dituju. Entah ke Yaman, atau negara lain–bisa lihat di peta.
Sungguh, kendala bahasa ini merupakan problem serius, melihat nama gate/pintu untuk penerbangan selanjutnya saja mereka tidak tahu, ada yang harus menunggu 10 jam kemudian baru terbang, dan hanya menanti makanan di pesawat nanti. Memang warung banyak, tapi uang? Bahasa?
Soal Nirmala Bonat, mungkin hanya satu kasus yang mencuat ke permukaan. Tapi, Tuapakas, Desanya Nirmala Bonat yang letaknya serong kiri sebelum cabang ke pantai Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memang desa yang amat miskin. Untuk mobil masuk ke sana, termasuk harus berjibaku, karena mobil pun tidak bisa masuk sampai desa yang dituju. Untuk kita, yang kebanyakan besar di Kota, hampir tidak bisa membayangkan kendala yang dihadapi oleh warga di kampung-kampung di pedalaman.
Tidak usah bicara idiologi, dengan tanpa idiologi saja, kita tahu ada yang keliru, kenapa sekian lama mereka miskin? Kenapa sekian lama mobilitas sosial di Timor khususnya, sangat lambat, dari yang miskin ke tingkat menengah? Kenapa? Dan kenapa fokusnya hanya pada aparatur negara, kalau bicara pembangunan? Bagi sebagian kawan, kata pembangunan mungkin tidak disukai, tapi paradigma ini lah yang dominan di negara ini. Bagaimana bisa kreatif dan menggiring ‘pembangunan’ itu memang butuh kecerdasan dan kelihaian, karena tidak bisa serta,merta bilang ‘hentikan paradigma pembangunan’. Itu jargon. Bagaimana menurunkan ke bawah dan operasional itu lain lagi.
Kembali ke TKW
Di Kupang, kantor PJTKI bertebaran ke lorong-lorong. Siapa yang mau mengawas? Kantornya Paul Liyanto, memang mentereng, tapi bagaimana dengan yang lain, apa semuanya seperti Paul? Bikin satu kantor, dan menutup mata terhadap PJTKI yang lain jelas-jelas adalah sebuah kejahatan. Adik-adik kecil dari Sumba Barat yang dikirim jadi TKW, dengan memalsukan akte, jadi mulai dari catatan sipil, lurah, camat, semuanya aspal, alias asli tapi palsu. Kok tega?
Bukannya mau cari gara-gara. Tapi kenapa lembaga/institusi sosial semacam gereja, organisasi kemahasiswaan/tempat para kader/calon pemimpin (katanya), yang jadi tempat-tempat kumpul di Timor gagal menghadirkan pemimpin yang peka dengan situasi sosial. Kurangajarnya lagi, malah sibuk berebut kursi jabatan, si A dari gereja ini lah, si B dari sana, sibuk bertandang ke Ketua Sinode, Uskup, dan pemangku adat. Itu yang kelihatan, yang tidak kelihatan, sibuk bayar sana sini. Kenapa, kalau orang NTT untuk menuju sistem politik, keluarnya selalu fragmented atau terpecah dan tidak menemukan titik temu untuk kerja sama?
Karena tulis artikel tentang gereja dan korupsi, beta pung Bapak pernah bilang, ‘Kok masalahnya lain, kenapa gereja yang disalahkan?’ Tapi, yang namanya juga bicara dengan Bapak, ya diam saja, tapi saya sebenarnya balik tanya ‘Lha, terus gereja bikin apa?’
Ya, mungkin juga beban gereja terlalu berat. Tapi kalau terlalu berat, jangan bawa-bawa agama kemana-mana. Kalau yakin, konsekuen. Sialannya, label agama ini di NTT (umumnya) muncul kalau mau ada pemilihan walikota, gubernur, bupati, camat, kepala biro. Tai memang.
Kalau giliran ada yang lapar di Sikka atau di Sumba, malah komentarnya, “Orang NTT sudah biasa susah, wartawan jangan karang-karang berita.” Sontoloyo memang pejabat NTT, kalau mereka sama-sama lapar masuk akal, tapi ini sibuk atur dana taktis (artinya tidak perlu dipertanggungjawabkan), untuk persiapan hari tua. Tapi kalau untuk hari tua, 1 Milyar saja sudah cukup, kenapa harus banyak-banyak?
Hal yang sama ada di Jakarta juga. Kenapa UKP3R ribut masuk koran? Kenapa Kalla dan Yono tidak bisa urus sendiri? Atur kerja saja tidak becus, bikin repot rakyat. Memangnya kalau diberitahu ke publik ada gunanya? Ya, tidak ada guna, kita tahu bahwa Yono dan Kalla lagi bakalai, tapi kenapa Paloh sibuk bikin pernyataan? Itu lah pejabat kita, tidak bisa menentukkan prioritas.
Di satu sisi ini jadi tantangan ilmu sosial untuk menjelaskan. Di sisi yang lain, sibuk mengutuk kenapa ‘orang NTT jadi banci’. Mungkin juga institusi semacam gereja atau organisasi lain tidak berfungsi lagi, sehingga mengajak kita melihat ke keluarga. Nah, bagaimana membuat keluarga yang punya harga diri? Ini juga rumit.
Karena kawan yang lain pasti sambung, “Bagaya omang harga diri, makan sa ada susah ma…” Coba, buktikan bahwa Orang NTT itu tidak plin-plan, karena biasanya suka membandingkan dengan Orang Jawa Tengah. Padahal, kita benar-benar berharap ada walikota yang jujur, gubernur yang peduli dengan masyarakat, bupati yang pandai. Nah, orang-orang seperti ini dididiknya dimana?
Atau mungkin itu cuma cerita Abu Nawas dari 1001 malam.
Mungkin, bukan hari ini kita bangga soal NTT, tapi minimal 30 tahun ke depan, kita harus bisa bangga dengan NTT. Saya setuju saja dengan Bung Farry, bahwa kita harus bangga dengan orang-orang kita, dan itu tidak bisa dibikin dengan jargon, kita harus kerja, dan kerja.
Catatan Kaki: Tapi mungkin juga, orang2 STF Ledalero bikin Hari Bapak ada benarnya juga, supaya menguatkan para Bapak, terutama para pastor, untuk eksistensinya bahwa masih ada yang bisa dibuat sebagai laki-laki. Masuk akal, karena laki-laki yang bikin maka Hari Bapak. Mudah-mudahan, ada gunanya acara itu, kalau tidak ‘Hari Bapak’, harus diganti diganti dengan ‘Hari Prioritas’. Biar bisa ajak orang mikir.