Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Panggung, Birokrat, dan Poli-tikus


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Berhentinya roda kepemimpinan Suharto, presiden kedua Indonesia, akibat krisis ekonomi dan protes para mahasiswa di tahun 1998, tidak lantas membuat banyak perubahan positif bagi warga di negeri ribuan pulau ini. Sebaliknya, situasi pemerintahan di pusat semakin tidak menentu, alur perubahan tidak pernah mendapat kata sepakat, yang ada malah perpecahan yang semakin melebar dimana-mana. Pertanyaannya, apa dampak situasi ini bagi orang daerah?

Panggung daerah
Jika diandaikan, kata ‘daerah’ adalah sinonim dari kata ‘panggung’, maka para aktor dan artisnya adalah para bupati dan anggota dewan. Para pejabat yang diturunkan dari pusat ke daerah sengaja tidak disebut, karena dalam drama pendek ini, hanya para pemain tetap saja yang akan diulas. Masa penugasan yang singkat dan tingkat rotasi yang cepat menjadi salah satu alasan.

Bagaimana para pemain teater di daerah berimprovisasi di saat konflik tiada henti bermuara di pusat menjadi pertanyaan penuntun tulisan ini. Menarik, jika kita mengamati peran para bupati dan anggota dewan dalam setting panggung. Bagaimana skenario itu dibuat, kemudian menyiapkan panggung dan atribut, hingga menampilkan kesan berwibawa bagi audience atau penonton merupakan bagian dari kerja protokoler. Dan, ini bukan hanya di NTT, Presiden Amerika Serikat, George W.Bush, dan Perdana Menteri United Kingdom, Tonny Blair pun masih melakukan hal yang sama.

Tetapi, jelas ada yang tidak sama, karena ongkos yang mereka keluarkan untuk men-setting panggung jumlahnya masih berimbang dengan tingkat perekonomian masyarakatnya, lalu bagaimana dengan kita? Para pejabat yang turun ke tempat masyarakat yang menderita kelaparan tetap memilih tampil dengan jas, bahkan sebagian masuk sawah pun dengan jas juga. Kalau di panggung ini bisa disebut salah kostum. Lalu dalam kehidupan sehari-apa, harus kita beri nama apa ini?

Dari beberapa tanda ini, para bupati dan anggota dewan di NTT, sebenarnya mungkin kesulitan mengadaptasikan gaya birokrat moderen ke dalam masyarakat kita. Bagaimana seharusnya Bupati bersikap? Bagaimana ia memposisikan diri dalam masyarakat adat? Pertanyaan ini tidak pernah selesai dijawab, dan mungkin jarang ditanyakan, karena baik bupati dan anggota dewan terjebak dalam model birokrasi mekanik, yang penting bergulir dan jalan saja. Soal isi, itu soal lain.

Contoh lain, dalam nuansa protokoler, para pemain ini tampil gagah, meskipun kalau bicara hasil kerja belum ada yang bisa dibanggakan. Buktinya, kelaparan demi kelaparan masih menjadi topik utama tahunan di surat kabar ini. Tetapi, rasa simpati terhadap kesulitan yang dialami oleh masyarakat secara dominan, tidak tercermin dalam gaya hidup para bupati dan anggota dewan pada umumnya. Gaya hidup para pemain utama di daerah ini tidak mewakili sosok-sosok realis, yang biasa-biasa saja, sebaliknya style mereka lebih menyerupai para pemain sinetron di televisi, yang menikmati mobil mewah dan tampil parlente.

Mungkin, ada yang protes, dan mengatakan bahwa sebelum televisi menjadi populer pun tampilan para pejabat daerah sudah begitu, sehingga pola hidup mereka bukan sekedar duplikasi pesan konsumerisme dari media televisi. Lalu, apakah mereka mencontoh orang tuanya? Mungkin saja jika orang tua mereka pejabat, pengurus gereja, atau bangsawan jaman dahulu. Tetapi, apakah mungkin mereka mencontoh model penampilan Orang Eropa, khususnya warga Belanda yang menjadi pegawai di salah satu koloni, tepatnya di Oost Indie? Jawabannya bisa dicari dengan menelusuri foto-foto hitam putih yang menjadi dokumen para keluarga awal yang menetap di Kupang, sebagai ibukota Karesidenan Timor. Itu kalau mau ditelusuri, dan mau mencari buktinya.

Kelemahan sistem
Jenis pemerintahan yang sentralistik sejak awal menjadi pilihan para pendiri Republik memang rapuh. Sistem ini memang memiliki kelemahan di kemudian hari, karena dengan sistem besar dan terpusat, jika runtuh (collapse) tidak mungkin dibangun kembali hanya dalam satu windu. Ini juga sudah terbukti, karena pasca Sukarno dan Suharto, fase nasionalisme tahap ketiga (meminjam periodisasi nasionalisme Indonesia a la Michael Leifer) di Indonesia lebih banyak bicara soal kontestasi berbagai elemen politik di pusat kekuasaan. Jadi nasionalisme Indonesia di fase ketiga, lebih banyak dialog internalnya.

Jika dilihat kembali, pada saat kepemimpina Suharto, Negara Kesatuan Republik Indonesia memang benar-benar dikontrol dari pusat, tetapi sejak tahun 1998 kontrol itu lepas, dan tanpa kendali. Bencana dimana-mana, pertikaian elit politik tanpa prioritas kenegaraan, dan beban hutang yang luar biasa, membuat pemerintahan saat ini terjepit.

Menciptakan penampilan
Lalu, apakah di saat pemerintah pusat tidak berkonsentrasi menata alur pemerintahan di daerah, lantas para bupati dan anggota dewan bisa bertindak semaunya? Jawaban atas pertanyaan ini tidak perlu langsung dijawab. Kita bisa melihatnya satu per satu. Harapan pemerintah pusat (baca: Presiden Susilo) terhadap para birokrat di daerah sebenarnya jelas, bahwa pemerintah daerah harus aktif, bukan menunggu perintah.

Setidaknya ada beberapa catatan argumentasi yang bisa disampaikan: pertama, bagaimana para bupati dan anggota dewan memposisikan diri dihadapan masyarakat. Bagaimana panggung harus dibuat, dan bagaimana sambutan harus dipersiapkan saat pejabat hendak turun ke desa. Meriah. Cerita tentang para bupati dan anggota dewan di masing-masing daerah, sebenarnya bisa dibukukan untuk melihat pola mereka, untuk menangkap bentuk bagaimana mereka ingin dilihat oleh orang lain.

Kedua
, arus semangat egalitarian sebagai bagian dari reformasi meskipun karbitan mulai muncul di berbagai daerah di NTT. Masyarakat mulai membuat berbagai perkumpulan dan menyuarakan ketidakpuasan yang mereka alami. Namun, kritik dari masyarakat terhadap para bupati dan anggota dewan ini tidak selamanya ditanggapi baik. Sebab utamanya para bupati, terutama, masih senang ditokohkan, dan ingin tampil sebagian pemain utama.

Ketiga, secara umum latar belakang para pejabat ini bisa dibedakan berdasarkan profesi sebelumnya: (1)birokrat, (2)aktivis partai politik sejak dulu, (3)akademisi/dosen, (4)aktivis ornop/organisasi non pemerintah, (5)anggota TNI, dan (6)aktivis ormas non partai. Melihat latar belakang ini sebenarnya cukup variatif, dan sempat timbul anggapan bahwa mereka akan mampu memberi warna di kabupaten. Tetapi apakah mungkin? Jawaban ini kita bisa cek satu per satu dengan melihat figur kepemimpinan para bupati ini dari satu pulau ke pulau yang lain. Apakah latar belakang mereka yang berbeda ini berpengaruh dalam policy yang dikeluarkan, dan bagaimana mereka ingin dilihat oleh rakyat?

Pertanyaan-pertanyaan ini, sebenarnya ingin mencari jawaban, apakah organisasi atau institusi moderen yang berbeda-beda ini pada akhirnya membawa orang untuk melihat persoalan hidup sesungguhnya, atau malah terjebak dalam skenario lama. Artinya yang terjadi lebih sekedar bentuk mimesis terhadap figur manusia unggul, tetapi sifatnya artifisial semata, sekedar penampilan dan adopsi nama organisasi.

Tantangan keluar
Tantangan untuk melihat diri, latarbelakang keluarga, dan meletakkan visi ke depan, merupakan tantangan saat ini bagi para bupati, walikota, beserta wakil, dan para anggota dewan. Persoalannya, mampu kah orang-orang NTT ini keluar dari jebakan struktur cerita klasik? Dan membuat skenario berdasarkan realitas hidup sehari-hari tempat tinggalnya, berdasarkan persoalan-persoalan hidup sehari-hari.

Hal ini, kurang terlihat. Umumnya para pejabat langsung terjebak dalam struktur cerita lama. Bahkan sebagian memanfaatkan peraturan-peraturan yang dikeluarkan dari pusat, tanpa berusaha mengkritisi, dan menanyakan apa dampaknya untuk Kabupaten? Ataukah organisasi-organisasi moderen ini sekedar menjadi kuda tunggangan, dan tindakan eksploitasi tidak pernah menemukan pengertian lokalnya? Karena selama ini sumber uang berasal dari pusat, yang jauh dan selalu benar, sehingga rakyat di daerah tidak perlu berkomentar.

Usaha mengkritisi perilaku anggota dewan, selalu dibalas dengan peraturan, contohnya pengusiran seorang aktivis perempuan dari ruang DPRD Kota Kupang, ia digiring keluar oleh Satpol PP saat menyampaikan kritik. Perististiwa itu bisa dimaknai sebagai momentum pentas teater, pemipin sidang benar-benar menemukan panggung karena ia sidang menunjukkan otoritasnya, dan menyatakan ini panggung saya. Tapi, apa manfaatnya untuk masyarakat?

Usaha berlindung di balik peraturan-peraturan ini tampak masuk akal jika dijelaskan dengan argumentasi yang menekankan bahwa mereka ini benar-benar bekerja untuk masyarakat. Apa buktinya? Targetnya tidak terukur.

Alasan menaikkan gaji, dengan alasan supaya terhindar dari nafsu korupsi bisa saja dibuat. Tapi, kenapa yang diberikan kepada para anggota dewan ini semuanya bonus? Mana alat kontrol yang mengikat? Sebaliknya masyarakat semakin hari semakin diikat dengan persoalan hidup yang kebanyakan tidak mendapatkan jalan keluar, kapan giliran masyarakat mendapat bonus, layaknya para anggota dewan, dan bupati?

Dunia underground para bupati dan anggota dewan ini sudah menjadi rahasia umum, namun tetap tabu dibicarakan dalam media massa di NTT, karena ini masih dianggap masalah pribadi, dan membutuhkan kerja investigasi yang tidak sedikit. Apa yang terjadi di pusat, yang dialami Yahya Zaini, bukan barang baru bagi para wartawan kriminal malam yang berpangkal di Blok M. Tetapi, sorotan media membuat seolah-olah ini hal luar biasa, masyarakat pun dibuat kaget.

Penutup
Kita yang kaget, selalu ada dalam masa lalu. Segala kemungkinan sangat mungkin muncul saat ini dengan sekian banyaknya teater hidup.

Tetapi, entah kenapa, dunia teater di Nusa Tenggara Timur, tidak banyak berkembang; hal ini bertolak belakang dengan budaya umum daerah ini yang orangnya ekspresif, dan lantang berbicara? Pertanyaan penutup, kapan para bupati, walikota, para wakil, dan anggota dewan berhenti melihat jabatan ini sebagai panggung dan benar-benar mulai bekerja? Supaya jarak antara fantasi dan kenyataan semakin dekat di NTT. Bukan sekedar meletakkan hidup sekedar panggung sandiwara, dan melakukan politik sandiwara untuk bertahan hidup?

Sebuah surat terbuka Untuk Para Bupati dan Anggota Dewan di NTT, tulisan ini dimuat di Harian Pos Kupang, 11 Januari 2007

Advertisement


Leave a comment

Nasionalisme, dan Hantu SARA di Nusantara


Photobucket - Video and Image Hosting

Oleh: Dominggus Elcid Li

Sewindu sudah Pak Presiden Suharto berhenti menjabat sebagai presiden dan sejak itu konflik berlabelkan agama dan etnis tidak putus-putusnya terjadi di Nusantara, negeri ribuan pulau yang amat rawan gempa bumi. Warna muram seolah-olah menjadi headlines abadi di semua surat kabar Indonesia. Mulai dari perang antar kelompok kecil beberapa pemeluk agama, gempa bumi, tsunami, korupsi tanpa kenal kasihan, dan ketidakharmonisan Pak Presiden dan Pak Wakil Presiden.

Di tengah hiruk pikuk berbagai persoalan yang menghantui, pertanyaan tentang nasionalisme Negara kepulauaan patut untuk dibuka oleh siapa saja. Sebab nasionalisme sebenarnya bukan hanya milik pejabat pemerintah, polisi, tentara dan pegawai negeri, sebaliknya nasionalisme mungkin saja ditafsirkan oleh para aktivis buruh, almarhum penyanyi Gombloh yang menyanyi di lokalisasi, atau para penyanyi pop dari Bandung seperti Kikan. Semuanya mungkin. Tetapi karena selama ini pembicaraan soal nasionalisme, terbatas pada kelompok tertentu, maka nasionalisme cenderung hanya ditafsirkan diera Perang Dunia Kedua.

Di jaman Pak Presiden Sukarno, nasionalisme terdengar dalam gegap gempita pidato akbar menentang agen Neokolim, sedangkan di jaman Pak Presiden Suharto, nasionalisme ada di ruang kelas bersertifikat P4, terutama untuk menentang komunisme dan ini bagian dari perang dingin. Sedangkan untuk saat ini, nasionalisme ada dalam tanda tanya untuk kita sendiri. Buktinya, pertanyaan, ‘apakah anda bangga menjadi Orang Indonesia?’ menjadi pertanyaan surat kabar terbesar di Indonesia.

Ketidakmampuan untuk berbicara, menjelaskan nasionalisme dan meletakkannya dalam kerangka berpikir orang biasa dengan cara yang wajar (bukan indoktrinasi), berdampak panjang. Dampaknya sudah kita rasakan, Negara kita babak belur bukan hanya karena bencana alam tetapi perang antar kelompok yang tidak terselesaikan. Dengan hanya menyalahkan pihak Polri dan TNI, atas ketidaktepatan mengatasi problematika persoalan di lapangan, dengan sendirinya kita tidak belajar dari kenyataan dan sejarah.

Untuk keluar dari berbagai persoalan yang ‘di-hantu-kan’, setidaknya ada beberapa usul yang mungkin perlu dicermati: pertama, berhenti perlakukan SARA sebagai hantu. Para intelektual publik seharusnya membuka ini dengan lebih baik, ajaklah kita untuk berpikir. Sehingga perselingkuhan berbagai kelompok dibawah bayang-bayang SARA bisa segera diakhiri. Bagi para tengkulak politik, ini mungkin sekedar mainan sesaat, tetapi untuk orang biasa yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan setiap harinya, ini adalah hidup. Nyata. Sehingga perang di Poso harus dihentikan dan dijelaskan.

Kedua, tidak mudah mengelola dan menjalankan roda pemerintahan dalam struktur dan sistem masyarakat yang amat kompleks, dan bisa dikatakan tidak ada duanya di dunia. Teori-teori tentang pemberdayaan aparatur pemerintahan yang dikutip dari Eropa dan Amerika sudah tidak memadai dan menjawab kompleksitas persoalan yang ada di Nusantara, sehingga para ilmuwan sosial yang difasilitasi oleh Negara—bukan sekedar pilot project lembaga funding asing, sebaiknya perlu melatih diri dan menemukan kerangka birokrasi yang tepat bagi Negara kepulauaan. Sehingga wacana otonomi daerah, federal, dan separatis bisa dimengerti. Bukan sekedar jargon, dan lagi-lagi hanya diletakkan sebagai hantu.

Ketiga, kedaulatan rakyat pada hakekatnya adalah mutlak, sehingga elit-elit politik yang tidak peduli pada kenyataan hidup sehari-hari yang dihadapi Orang Nusantara, atau hanya hanya melihat setiap persoalan yang dikemukakan sebagai representasi dari hantu yang siap merebut kekuasaan, harus berusaha agar tidak meletakkan kekuasaan sebagai hantu. Di lokasi yang sama, para pemikir politik yang bekerja untuk pemerintah saat ini, perlu menyadari bahwa riil politik dalam konteks ‘network society’ tidak hanya terletak di Jakarta, dan sekelompok orang yang dikenal.

Keempat, keselamatan para wartawan dan intelektual publik yang membuka hantu-hantu ini harus dijamin oleh Negara. Selain itu berkaitan dengan kerja komunikasi, kekuasaan pemilik modal atas media harus dibatasi sehingga isi media tidak hanya mewakili ‘kesukaan’ dan ‘ketakutan’ pemilik modal. Lewat ini diharapkan persoalan yang yang berkaitan dengan etnisitas dan agama bisa dibicarakan untuk publik Nusantara, bukan untuk kelompok sendiri, dan meletakkan satu dan yang lain sebagai hantu (baca: other).

Tanpa kemampuan untuk membaca persoalan Nusantara dari dalam, sekali lagi kita harus rela dikata-katai oleh siapa pun, misalnya sebagai imagined communities oleh Benedict Anderson, atau bangsa yang sekarang hidup dalam kejayaan masa lalu. Lebih jelasnya, bisakah kita meletakkan nasionalisme bukan sekedar jargon tetapi sebagai problem kekinian, dan bukan hantu bambu runcing? Bisakah kita tidak putus asa di jalur Republik?

Ketangguhan para pejuang 10 November 1945 melawan tentara sekutu tidak harus dilupakan, sebaliknya harus diingat, dan menjadi catatan bagaimana ‘orang dulu’ memikirkan kedaulatan Republik. Orang-orang biasa yang peduli kepada Negara ini bukan lah hantu, tetapi adalah fakta sejarah. Sehingga kedaulatan rakyat bukan lah hantu, yang diperangkapkan dalam jargon, dan diambil oleh alih oleh hantu-hantu politik. Jika para ilmuwan sosial Nusantara tidak mampu membuka dan menjelaskan kompleksitas persoalan di Nusantara, maka untuk kita, Orang Nusantara, ilmu sosial pantas disebut sebagai ilmu hantu.


Leave a comment

Pengadilan Malaysia Hadirkan Ibunda Nirmala


Pos Kupang Sabtu: 04 Nop 2006 00:35
Kupang, PK, Kasus penyiksaan dan penganiayaan Nirmala Bonat, tenaga kerja wanita (TKW) asal Desa Tuapakas, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) oleh majikannya di Malaysia, April 2004 lalu kembali digelar. Sidang kali ini menghadirkan ibunda Nirmala Bonat, Ny. Martha Toni sebagai saksi dalam kasus penganiayaan terhadap anaknya. Sidang kali ini merupakan yang ke-15 kali setelah kasus yang sempat mengundang perhatian dunia internasional itu mencuat ke publik.

Perihal kembali digelarnya sidang kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (Appjati) NTT, Ir. Abraham Paul Liyanto, ketika ditemui Pos Kupang di Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) PT Citra Bina Tenaga Mandiri Kupang, Jumat (3/11).

Paul mengatakan, sidang terhadap kasus Nirmala Bonat sedianya berlangsung pada tanggal 11-13 Oktober 2006. Namun, katanya, karena ketidakhadiran ibunda Nirmala maka sidang ditunda tanggal 6 November 2006. Paul mengatakan, ibunda Nirmala dibutuhkan untuk hadir di persidangan kasus tersebut sebagai saksi yang akan dikonfrontir dengan keterangan Fermina Anunut, TKW lainnya yang pada persidanganterdahulu memberikan keterangan palsu bahwa Nirmala mempunyai kelainan jiwa.

Dari Kupang, Ibunda Nirmala, Martha Tony akan ditemani oleh Paul Liyanto. Keduanya akan berangkat hari ini, Sabtu (4/11) dengan pesawat Lion Air menuju Surabaya, selanjutnya pada hari yang sama ke Kuala Lumpur dengan Asia Air.
Keduanya, menurut rencana akan tiba di Kuala Lumpur pada pukul 20.00 waktu setempat pada hari yang sama. Seluruh biaya pulang pergi termasuk selama ibunda Nirmala di Malaysia akan ditanggung Pengurus Daerah (Pengda) Apjati NTT. Seluruh biaya yang dikeluarkan tersebut akan dikembalikan setelah asuransi Nirmala cair atau realisasi.

Paul berharap, dengan kehadiran ibunda Nirmala, bisa meluruskan kembali fakta yang sengaja dibelokkan oleh Fermina. Paul menilai, pengadilan negeri Malaysia sengaja mengulur-ulur penyelesaian kasus tersebut agar pelaku bisa diputuskan ringan.
Sementara Kepala Atase Tenaga Kerja Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia, Teguh Hendro Cahyono dalam pembicaraan pertelepon, Jumat (3/11), mengatakan, dalam persidangan kali ini Nirmala akan ditemani pengacara dari Kantor Megat Najmudin Co, Kavimani Muthayam. Persidangan kali ini, kata Teguh diperkirakan akan memakan waktu beberapa hari.

Sementara Ibunda Nirmala, Martha Tony, mengaku siap menjawab berbagai pertanyaan dari hakim dalam sidang nanti. Martha mengaku, tidak takut karena keterangan darinya sangat menentukan nasib anaknya. “Saya sudah siap berikan keterangan apa pun yang mereka tanyakan kepada saya. Di Pengadilan nanti saya hanya ingin menegaskan bahwa anak sayatidak gila. Dalam keluarga kami tidak ada riwayat atau keturunan yang gila atau mempunyai kelainan jiwa. Apa yang dikatakan Fermina tidak benar. Lagi pula saya tidak mengenal Fermina karena dia bukan warga Tuapakas. Dia orang Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Jadi dia tidak tahu tentang keluarga saya. Saya yang paling tahu Nirmala, karena saya yang membesarkan dia hingga dia ke Malaysia,” tegas Martha.

Hal senada juga disampaikan Kepala Kantor Cabang PT Kurnia Bina Rizki, John Salomon, perusahaan yang merekrut dan memberangkatkan Nirmala ke Malaysia. John menegaskan, jika Nirmala memiliki kelainan jiwa, tidak mungkin lolos untuk bekerja di luar negeri. Karena itu, John yakin, apa yang dikatakan Fermina bahwa Nirmala gila, tidak benar. (dea)


Leave a comment

Nirmala Bonat, Prioritas, dan Hari Bapak


Photobucket - Video and Image Hosting

oleh: Elcid

Mudah-mudahan Nirmala Bonat belum dilupakan (perkembangannya bisa dilihat di atas). Kasus Nimala, sebaiknya tidak dilihat hanya sebagai satu kasus yang terpisah, dan hanya diletakkan pada tindak kekerasan, tetapi seharusnya bisa ditelusuri dari policy pemerintah RI untuk mengirimkan TKW ke LN. Harusnya kita punya kronologi untuk ini, sejak kapan? Ada seorang rekan yang menyamakan ini dengan kuli.

Memang, salah satu hal yang paling mengganjal saat ini, adalah proyek TKW dari pemerintah Indonesia. Menurut seorang rekan yang menentang policy pemerintah RI untuk mengirmkan TKW, satu-satunya negara yang mengirimkan tenaga kerja tidak terampil ke luar negeri di dunia ini hanya Indonesia. Sangat mengecewakan.

Karena kawan satu itu orang Batak, dia bercerita bagaimana orang Batak keluar dari daerahnya untuk bertarung di luar. Di sisi ini, Orang Timor memang kalah nama dari Orang Batak. Bagaimana tidak isinya kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian–dan juga penjara, adalah Orang Batak. Lebih baik merampok, jadi copet daripada jadi pembantu. “Coba kau cari mana ada orang Batak yang mau jadi TKW/TKI?” tantangnya, lalu dia lanjutkan, “kalau pun ada, yang jadi TKI itu punya skill, dan itu kami tanamkan dari kampung.”

Lantas ia bercerita tentang peran gereja HKBP di Tanah Batak, yang menurut gambarannya strukturnya serupa struktur negara, bagaimana gereja juga berperan untuk menanamkan, untuk menyebarkan pentingnya pendidikan, dan tentu kesehatan, juga untuk menentang ‘semangat menjadi pembantu atau TKI’. Entah gereja apa yang ada di Timor/NTT, saya hampir tidak peduli, tapi semangat yang ini tidak saya temukan. Ya, walaupun memang kalau dalam pandangan almarhum Geertz, saya ini masuk abangan, tapi setidaknya saya masih berharap anggota gereja bisa buka mata.

Entah, apa isinya, kita bisa berdebat, bagaimana menentukkan prioritas, saya heran kenapa STFK Ledalero, malah sibuk bikin ‘Hari Bapak’. Dan ini dengan bangga disebarluaskan. Kalau bicara filsafat pengetahuan di sana lah tempatnya, tapi kenapa yang keluar ‘Hari Bapak’. Kenapa?

Sekali lagi, sepertinya ada yang tidak kena dalam masyarakat kita. Kartini, itu cerita lain. Tapi perempuan yang dikirim jadi TKW itu jelas-jelas tidak masuk akal. Di sistem sosial masyarakat kita yang pada umumnya menganut sitem Patriarki, laki-laki ada dalam posisi yang kuat, contohnya, kepala suku semua laki-laki, kepala rumah tangga juga laki-laki. Asumsinya kan laki-laki yang kerja, nah ini, kalau perempuan yang jadi TKW. Atau mungkin, sistem masyarakatnya sudah menjadi sistem masyarakat banci. Ini memang masih harus dibuka, kenapa anak-anak, dan perempuan, dibiarkan dikirim dari kampung.

Dubai, perempuan letih di lorong
Satu pengalaman waktu di Dubai, benar-benar memprihatinkan, adalah para TKW yang rata-rata tidak bisa berbahasa inggris ini dibiarkan berangkat sendiri. Dan hampir tidak ada pendamping. Jadi, kalau di Dubai, ada kerumunan perempuan berkulit sawo matang, berjilbab, duduk keletihan, di pinggir gang, bisa dipastikan itu TKW dari negara kita.

Dubai merupakan kota transit ke berbagai negara di Timur Tengah, jika para TKW menggunakan jasa penerbanagan Emirate. Jadi para TKW ini tidak langsung tiba di negara tujuan, mereka masih harus mencari counter penerbangan dan melihat jadwal penerbangan selanjutnya, ke negara yang dituju. Entah ke Yaman, atau negara lain–bisa lihat di peta.

Sungguh, kendala bahasa ini merupakan problem serius, melihat nama gate/pintu untuk penerbangan selanjutnya saja mereka tidak tahu, ada yang harus menunggu 10 jam kemudian baru terbang, dan hanya menanti makanan di pesawat nanti. Memang warung banyak, tapi uang? Bahasa?

Soal Nirmala Bonat, mungkin hanya satu kasus yang mencuat ke permukaan. Tapi, Tuapakas, Desanya Nirmala Bonat yang letaknya serong kiri sebelum cabang ke pantai Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, memang desa yang amat miskin. Untuk mobil masuk ke sana, termasuk harus berjibaku, karena mobil pun tidak bisa masuk sampai desa yang dituju. Untuk kita, yang kebanyakan besar di Kota, hampir tidak bisa membayangkan kendala yang dihadapi oleh warga di kampung-kampung di pedalaman.

Tidak usah bicara idiologi, dengan tanpa idiologi saja, kita tahu ada yang keliru, kenapa sekian lama mereka miskin? Kenapa sekian lama mobilitas sosial di Timor khususnya, sangat lambat, dari yang miskin ke tingkat menengah? Kenapa? Dan kenapa fokusnya hanya pada aparatur negara, kalau bicara pembangunan? Bagi sebagian kawan, kata pembangunan mungkin tidak disukai, tapi paradigma ini lah yang dominan di negara ini. Bagaimana bisa kreatif dan menggiring ‘pembangunan’ itu memang butuh kecerdasan dan kelihaian, karena tidak bisa serta,merta bilang ‘hentikan paradigma pembangunan’. Itu jargon. Bagaimana menurunkan ke bawah dan operasional itu lain lagi.

Kembali ke TKW
Di Kupang, kantor PJTKI bertebaran ke lorong-lorong. Siapa yang mau mengawas? Kantornya Paul Liyanto, memang mentereng, tapi bagaimana dengan yang lain, apa semuanya seperti Paul? Bikin satu kantor, dan menutup mata terhadap PJTKI yang lain jelas-jelas adalah sebuah kejahatan. Adik-adik kecil dari Sumba Barat yang dikirim jadi TKW, dengan memalsukan akte, jadi mulai dari catatan sipil, lurah, camat, semuanya aspal, alias asli tapi palsu. Kok tega?

Bukannya mau cari gara-gara. Tapi kenapa lembaga/institusi sosial semacam gereja, organisasi kemahasiswaan/tempat para kader/calon pemimpin (katanya), yang jadi tempat-tempat kumpul di Timor gagal menghadirkan pemimpin yang peka dengan situasi sosial. Kurangajarnya lagi, malah sibuk berebut kursi jabatan, si A dari gereja ini lah, si B dari sana, sibuk bertandang ke Ketua Sinode, Uskup, dan pemangku adat. Itu yang kelihatan, yang tidak kelihatan, sibuk bayar sana sini. Kenapa, kalau orang NTT untuk menuju sistem politik, keluarnya selalu fragmented atau terpecah dan tidak menemukan titik temu untuk kerja sama?

Karena tulis artikel tentang gereja dan korupsi, beta pung Bapak pernah bilang, ‘Kok masalahnya lain, kenapa gereja yang disalahkan?’ Tapi, yang namanya juga bicara dengan Bapak, ya diam saja, tapi saya sebenarnya balik tanya ‘Lha, terus gereja bikin apa?’

Ya, mungkin juga beban gereja terlalu berat. Tapi kalau terlalu berat, jangan bawa-bawa agama kemana-mana. Kalau yakin, konsekuen. Sialannya, label agama ini di NTT (umumnya) muncul kalau mau ada pemilihan walikota, gubernur, bupati, camat, kepala biro. Tai memang.

Kalau giliran ada yang lapar di Sikka atau di Sumba, malah komentarnya, “Orang NTT sudah biasa susah, wartawan jangan karang-karang berita.” Sontoloyo memang pejabat NTT, kalau mereka sama-sama lapar masuk akal, tapi ini sibuk atur dana taktis (artinya tidak perlu dipertanggungjawabkan), untuk persiapan hari tua. Tapi kalau untuk hari tua, 1 Milyar saja sudah cukup, kenapa harus banyak-banyak?

Hal yang sama ada di Jakarta juga. Kenapa UKP3R ribut masuk koran? Kenapa Kalla dan Yono tidak bisa urus sendiri? Atur kerja saja tidak becus, bikin repot rakyat. Memangnya kalau diberitahu ke publik ada gunanya? Ya, tidak ada guna, kita tahu bahwa Yono dan Kalla lagi bakalai, tapi kenapa Paloh sibuk bikin pernyataan? Itu lah pejabat kita, tidak bisa menentukkan prioritas.

Di satu sisi ini jadi tantangan ilmu sosial untuk menjelaskan. Di sisi yang lain, sibuk mengutuk kenapa ‘orang NTT jadi banci’. Mungkin juga institusi semacam gereja atau organisasi lain tidak berfungsi lagi, sehingga mengajak kita melihat ke keluarga. Nah, bagaimana membuat keluarga yang punya harga diri? Ini juga rumit.

Karena kawan yang lain pasti sambung, “Bagaya omang harga diri, makan sa ada susah ma…” Coba, buktikan bahwa Orang NTT itu tidak plin-plan, karena biasanya suka membandingkan dengan Orang Jawa Tengah. Padahal, kita benar-benar berharap ada walikota yang jujur, gubernur yang peduli dengan masyarakat, bupati yang pandai. Nah, orang-orang seperti ini dididiknya dimana?

Atau mungkin itu cuma cerita Abu Nawas dari 1001 malam.

Mungkin, bukan hari ini kita bangga soal NTT, tapi minimal 30 tahun ke depan, kita harus bisa bangga dengan NTT. Saya setuju saja dengan Bung Farry, bahwa kita harus bangga dengan orang-orang kita, dan itu tidak bisa dibikin dengan jargon, kita harus kerja, dan kerja.

Catatan Kaki:
Tapi mungkin juga, orang2 STF Ledalero bikin Hari Bapak ada benarnya juga, supaya menguatkan para Bapak, terutama para pastor, untuk eksistensinya bahwa masih ada yang bisa dibuat sebagai laki-laki. Masuk akal, karena laki-laki yang bikin maka Hari Bapak. Mudah-mudahan, ada gunanya acara itu, kalau tidak ‘Hari Bapak’, harus diganti diganti dengan ‘Hari Prioritas’. Biar bisa ajak orang mikir.


Leave a comment

Catatan Untuk Pertemuan Akhir Tahun


Photobucket - Video and Image Hosting

Pembuatan website, jurnal rakyat (citizen journalism), dan e-journal untuk NTT’s scholars memang menarik, dan memungkinkan dilakukan dengan komposisi anggota yang memang berjauhan, tapi masih connect dengan jaringan internet. Hal ini pun masih dalam proses dan membutuhkan para pionir yang bekerja dengan semangat tanpa pamrih. Ini masih dalam perjalanan, dan masih belum bisa dilihat bentuknya, yang bisa dikatakan sebagai hasil.

Konsumsi media dominan
Tetapi, kita perlu mengingat semua media ini masih mengandalkan jaringan internet, sedangkan sebagian besar masyarakat NTT belum menggunakan media ini, masih amat kecil yang memakainya, sehingga kita juga perlu memikirkan media apa yang bisa kita pakai untuk menyebarkan informasi yang bisa menjangkau sebagian besar masyarakat. Berbicara soal media yang tepat, kita perlu mengingat situasi NTT yang bentuknya kepulauan, ada perbedaan besar diantara kota dan desa, dan sebagian besar masyarakat masih tergolong dalam masyarakat yang belum tersentuh media-media modern (cetak, maupun elektronik). Sebagian besar masyarakat masih belum mampu membeli koran, dan koran pun isinya tidak mewakili kebutuhan masyarakat.

Dengan analisis isi (content analysis), andaikan ada yang serius, kita bisa menjelaskan kepada siapa sebenarnya fokus media cetak di NTT. Karena kebutuhan masyarakat luas terutama di perkampungan memang belum tersentuh. Singkatnya karena konsumen yang dituju umumnya adalan para pegawai negeri maka isinya pun mewakili karakter pembaca yang dituju. Lalu, bagaimana kita menghadirkan media alternatif yang melayani kalangan yang tidak mampu? Bagaimana kita mampu mendorong agar ilmu yang ada dalam media memang berguna untuk masyarakat NTT untuk hidup? Benar-benar ilmu untuk hidup.

Apa isinya?

Pertanyaan susulan ini memang merupakan debat lama diantara para akademisi, apa yang perlu dibuat untuk masyarakat? Dan kemudian beberapa rekan di media ini juga memotret, para pionir atau penggagas awal tak jarang mengenalkan sesuatu yang dari luar tanpa melihat kebutuhan masyarakat NTT sendiri.

Pertanyaan ini memang membutuhkan jawaban, ilmu yang bagaimana yang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat? Pertanyaan ini belum lagi dijawab. Bukan apa-apa, hingga saat ini belum ada ilmu yang sudah jadi yang tinggal dipakai, jarak antara universitas dan masyarakat luas (orang miskin kelaparan di kampung) masih jauh. Ini kenyataan.

Lembaga pendidikan yang tidak berorientasi pada kesejahtraan masyarakat pada ujungnya pun, menghasilkan lulusan yang selfish, hanya peduli pada diri sendiri, atau pun keluarga. Ilmunya pun hanya berorientasi pada perkembangan ilmu itu sendiri. Di mana sisi moral dari ilmu?

Bagaimana mimpi anak muda NTT untuk kerja di LSM internasional dan hidup mapan, merupakan bagian dari gambaran ini. Sebenarnya ini sah-sah saja, karena orang memang perlu uang untuk hidup, tetapi ini seharusnya tidak diletakkan sebagai tujuan akhir. Apakah ketika sudah duduk dan berkecukupan, para anak muda NTT masih mengingat warga NTT yang lain yang tidak berkecukupan dan masih sibuk dengan urusan kelaparan?

Assessment yang dibuat para penggiat organisasi non pemerintah (extragovernmental organization) pun tak jarang masih bias, ukuran maupun standarnya masih menggunakan standar negara maju, sehingga semua pencapaian akhirnya dibayangkan terlampau sulit dan sering dikata-katai para birokrat lokal sebagai ‘idealis’. Pertanyaannya, dengan tools asing itu, apakah semua variabel yang dibutuhkan sudah keluar? Sehingga assessment awal ini memang pantas menjadi acuan untuk mengambil tindakan?

Taktik dan metode perubahan
Para terdidik awal di NTT umumnya berasal dari golongan agamawan (entah Protestan, Katholik, dan Islam) dan kaum pedagang. Hingga saat ini orang-orang NTT yang dikatakan sukses berasal dari lingkaran ini. Andaikan ada konflik, bisa dipastikan berkaitan dengan perebutan kue dari kalangan yang hidup di kota, sedangkan orang kampung umumnya hanya dijadikan supporting system dari konflik di kota.

Lalu bagaimana dengan masyarakat di perkampungan yang hidupnya diluar golongan ini? Kepada siapa mereka harus mengadu? Trend di NTT saat ini, aktivis mahasiswa, aktivis LSM, kaum agamawan, dan sebagian birokrat lah yang menjadi ‘orang-orang baik’ yang bisa dimintai tolong oleh para orang kampung. Bagaimana orang kampung berbicara tentang kepentingan orang kampung, tanpa menggunakan juru bicara yang suka bias. Maksudnya tanpa perantara. Para perantara di sini adalah semua yang tergolong dalam kumpulan orang baik. Mungkin kah?

Jika mungkin, lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya? Bagaimana caranya orang di kampung tidak minder dan berbicara lantang tentang kepahitan hidup mereka? Seperti kita tahu, karena terbiasa hidup sulit, banyak pula orang kampung yang menjadi filsuf yang amat baik. Mereka bisa menjelaskan sambil tertawa bagaimana hidup dilalut tanpa harus mengeluh.

Tetapi, kita yang dari luar bisa melihat, bahwa kondisi sulit itu sebenarnya bisa ditiadakan seandainya beberapa penghalang bisa dipindahkan. Orang kampung yang lain yang saat ini menjadi pejabat, tak jarang lupa dengan kondisi sulit warga kebanyakan, malah sibuk berbicara dan membalas liputan ‘orang kampung sudah biasa hidup susah, dan tidak usah dibesar-besarkan, makan ubi-ubi hutan itu memang tradisi dari jaman nenek moyang’.

Nah, ini juga pertanyaan tersendiri. Kenapa orang kampung yang berrhasil masuk ke institusi lain dan hidup lain, lupa sama orang kampung lain yang masih susah. Maksudnya, para pejabat kita ini yang sekarang menjadi elit pemerintahan asalnya dari mana? Kita bisa cek, sebagian anak pendeta, sebagian anak jebolan seminari, anak Imam Masjid, sebagian orantuanya bangsawan, dan sebagian eks aktivis LSM. Lalu kenapa, policy yang dibuat kok tidak berpihak kepada orang kampung? Yang aslinya sesama saudara yang susah.

Sekolah,kota, dan raja
Ini keanehan, dan patut dipertanyakan, kenapa sekolah kemudian membuat orang menjadi asing, dan malah menciptakan ‘raja’ kecil. Contohnya di Sumba, para pejabat di sana berapa yang tidak kuliah di kota? Bisa dihitung. Tidak ada, hampir semua kuliah. Lalu, apakah setelah pulang dari kota, sistem bangsawan dan maramba apakah bisa ditafsir ulang untuk memberikan keadilan sosial untuk semua lapisan? Apakah ada yang rela hak-hak istimewanya dilepaskan?

Bagaimana mencari celah konsensus, itu mungkin kerja ilmuwan sosial. Tetapi, sayangnya para anak kampung yang sudah selesai sekolah ini, umumnya malas bertanya, dan cenderung masuk dalam rute balapan tikus untuk menjadi manusia kota yang kaya juga mapan dan lagi-lagi masih selfish.

Forum academia NTT saat ini merupakan perkumpulan dari para akademisi, aktivis ornop, wartawan, rohaniwan, mahasiwa dan PNS, yang tersebar dimana-mana, sudah seharusnya mampu melihat kemiskinan yang mematikan yang membelit dan melilit saudara-saudara kita baik di kampung maupun yang lari ke kota (sebagai tukang pukul), maupun lari ke negara lain (sebagai TKW), atau pun apa saja yang menjadi reaksi atas kemiskinan.

Pertanyaan untuk manusia
Semua orang yang dilahirkan, pasti pergi tanpa kecuali. Jika diandaikan orang yang dilahirkan itu sebagai kertas putih, maka pasti ia mendapat kesempatan untuk mengetahui sesuatu. Kecuali ia langsung mati, sebelum dilahirkan maka ia tidak pernah pergi. Lalu sebagai manusia, selama masa hidup, apakah mungkin setiap orang mempersiapkan diri, agar saat mati pun ia kembali seperti kertas putih? Katakan lah alfa dan omega kembali pada satu titik.

Tafsir hidup orang modern perlu dilakukan ulang, agar setiap menjelang pergantian tahun kita tidak hanya bergeser dari penyesalan satu ke penyesalan yang lain, tetapi bisa tersenyum dan benar-benar tersenyum, karena setelah lewat satu tahun kita memang melakukan sesuatu. (Elcid)

Nota bene: Selamat Hari Natal dan Tahun Baru


1 Comment

Belajar Dari Lokalisasi


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Seorang kawan yang bekerja di sebuah LSM di Kupang, pernah bercerita bahwa: seorang pembawa talk show di sebuah TV swasta pernah tersentak dan diam dalam wawancaranya dengan Bang Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta. Ceritanya begini, saat itu ada polemik penutupan lokalisasi Kramat Tunggak dan pro kontra soal para pekerja seks di sana. Pembicaraan sudah ada di tengah, dan tak disangka Bang Ali balik bertanya, “Apa dari kecil Mbak punya cita-cita jadi pelacur?” Presenter itu diam, kehilangan jawaban. Memang, tidak ada yang pernah bercita-cita demikian, namun dalam kenyataannya sering kali seribu satu sandera membawa manusia pada pilihan yang kelam.

Dalam konteks para mahasiswa di Unika (baca: Unwira), dan kehidupan aktivis mahasiswa dalam Sejarah Indonesia pertanyaannya begini, “Siapa yang dari kecil mau mogok makan?” Lalu selanjutnya, “Siapa sih yang mau jadi demonstran, dengan risiko diculik, dibunuh—atau mati karena sakit?” Rasanya tidak ada yang bercita-cita demikian, tetapi ada yang kemudian memilih jalan ini. Walaupun tidak ada jaminan bahwa dengan bersikap kritis dan anti kemapanan akan membuat hidup akan lebih mudah. Tetapi, beberapa mengaku dengan menjalani ritual semacam itu hidup menjadi lebih mantap, karena kata dan perbuatan adalah satu. Bukan soal ayat yang terbang, dan juga bukan soal teori sosial di atas tumpukan proyek pembangunan milik para dosen yang kelelahan mencari penghasilan tambahan—karena memang kecil gajinya.

Kritik bukan tabu
Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya mahasiswa Unika Widya Mandira bergerak dari dalam rumah mereka. Padahal biasanya tema demonstrasi mereka ada di level nasional dan kota. Tetapi kali ini lain, mereka mempertanyakan kehidupan kampus. Memang akhirnya ide harus mendarat, bukan hafalan. Sejak dulu juga dalam konteks sosial, pemberontakan terbesar dimulai dari rumah, dan bagi mahasiswa kampus adalah rumah.

Kalau soal menaikkan atau menurunkan rektor itu cuma pintu masuk, sebab persoalan yang melilit teramat banyak, dan tidak mudah membuat poster dengan semua masalah tentang kampus. Sehingga persoalan Unika ini tidak perlu dijadikan persoalan personal– seperti bertahun-tahun lalu kasus ‘demo’ di Undana juga mengalami hal yang sama.
Ya, pengabdian siapa saja di kampus patut dihargai, tetapi tidak berarti kalau ada ketidakberesan lalu diam.

Untuk tantangan hidup yang makin berat di tahun-tahun yang akan datang, berpikir merdeka adalah salah satu kunci untuk tidak takluk dalam the new world order yang makin kencang mengikat negara-negara lemah (Pilger 2003). Jangan pernah harapkan ada pemuda pemberani yang kemudian tampil menjadi pemimpin di level nasional—apalagi dunia, kalau sudah sejak dini diaborsi di rumah sendiri. Jangan pernah harapkan ada pemuda dari Timur yang bersuara lantang tentang ketidakadilan kalau aksi kritis diartikan sebagai anti intelektual.

Ketrampilan menyitir bahasa, dimana hubungan ‘rektor-mahasiswa’ atau ‘dosen-mahasiswa’ ada di level ‘bapak-anak’ adalah kekeliruan, karena dengan jargon ini mahasiswa tidak pernah ditempatkan sebagai pribadi yang dewasa. Pola eufemisme ini langgeng sejak jaman Orde Baru, dan tercatat dalam teori komunikasi politik bahwa politik bahasa ini membuat sekian generasi taat dan sekaligus rapuh menghadapi krisis, tatkala langgam dunia baru belum diteorikan.

Gelar saja tidak cukup
Para petinggi kampus, pengurus yayasan, dan siapa saja yang mencatatkan diri dalam akta notaris pendirian Unika, tidak perlu tersinggung atau kebakaran jenggot dengan protes mahasiswa. Sebab untuk belajar di Unika para mahasiswa kebanyakan harus merantau, dan itu tidak mudah. Mulai dari harga buku yang mahal, SPP yang naik mengikuti gaji PNS, hingga panci yang tidak ada beras adalah problem sehari-hari mahasiswa.

Pengalaman beberapa rekan mahasiswa, menyiratkan hidup di Kupang penuh tantangan. Tercatat mahasiswa dari Colol sempat terlunta-lunta karena kebun kopi mereka ditebas, dari kamar-kamar bebak tempat kos para mahasiswa sering tidur dengan perut lapar demi menuntut ilmu. Sehingga seribu satu akal dipakai untuk bertahan hidup. Tetapi apa kampus peduli? Kampus cuma tahu tagih SPP di awal semester, yang lainnya kurang penting.

Kampus sebagai ‘tempat untuk bermimpi secara terkendali’ kemudian juga dipertanyakan karena ternyata berbagai fasilitas yang ‘dimimpikan’ ada ternyata tak juga terwujud. Mungkin ada persoalan kondisi keuangan yang belum memungkinkan, tetapi komunikasikan. Jangan diam. Keinginan untuk ada dalam sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas dan mendukung mereka untuk siap berkompetisi di kemudian hari juga bukan sesuatu yang aneh. Apalagi dituding berlebihan. Ini wajar. Karena jaman ini gelar saja sudah tidak cukup, butuh isi juga aksi. Lalu bagaimana mau bicara soal isi, kalau universitas dijalankan ala kadarnya saja?

Mogok makan
Diam dan pasif terhadap situasi yang memprihatinkan bukan lah tipe pendidikan kritis. Pada posisi ini mahasiswa menjalankan itu. Saat ini dengan membiarkan mahasiswa mogok makan ‘hanya’ untuk mendapatkan peluang dialog terbuka, kritis, dan terutama didengarkan seharusnya sudah cukup membuat malu para petinggi di Unika. Mengapa untuk dipahami saja butuh aksi sedemikian rupa? Dan, dengan gaya rezim militer menyatakan aksi mahasiswa mengganggu kehidupan kampus, pernyataan ini paralel dengan suara pemerintahan Soeharto dulu, demonstrasi hanya mengganggu stabilitas, apa bedanya?

Lalu para dosen di Unika, yang dalam hal ini masih mengambil posisi /kura-kura dalam perahu/ pura-pura tidak tahu/ seharusnya juga tahu diri. Ketika sudah sampai tahap ini dan tidak mau melibatkan diri untuk “melihat” ke dalam sistem perguruan tinggi, lantas mau diletakkan dimana logika dan intelektualitas? Tahap ini adalah tahap kritis. Sehingga sikap ‘tunduk-tunduk’, dalam arti terserah Bapak di atas juga sama mengecewakan. Kenapa tidak bisa dibuat rekomendasi atau telaah kritis terhadap situasi kampus? Atau semuanya ada dalam hubungan buruh-majikan, yang juga dijerat perasaan balas budi?

Pada saatnya siapa pun adalah guru, dan kita pun siap menjadi guru bagi siapa pun, setidaknya Mangunwijaya (1997) pernah melontarkan itu. Sehingga melihat aksi mahasiswa ini sebagai proses belajar adalah sebuah keharusan. Mengapa aksi para mahasiswa ini tidak bisa dimasukkan dalam pedagogi kritis (critical pedagogy) yang bisa terjadi dimana saja?

Teater Berdaya
Contohnya, dalam sebuah pentas seni di kampus Universitas Kristen Duta Wacana, Jogja (2001), salah seorang Redaktur Pos Kupang (Almarhum) Julius Syaranamual, bersama para pekerja seks asal lokalisasi Kampung Bangunsari, Surabaya, yang tergabung Teater Berdaya mementaskan sebuah lakon Matahari Matahari. Ceritanya dan pemainnya berasal dari para pekerja seks, berangkat dari realitas hidup mereka sendiri. Singkatnya para pekerja seks ini lah yang menjadi Matahari bagi lingkungan mereka, bagi para pemilik warung makan, tukang parkir, preman, petugas keamanan, jasa tukang cuci, salon, dan sekian banyak lagi. Jadi mereka yang hidup dalam kutukan ini ternyata memberi makan sekian ribu orang di sekeliling mereka.

Di hari yang sama, artis cantik Cornelia Agatha, tampil sebagai salah seorang tokoh dalam pentas berbasis naskah Max Havelaar karangan Multatuli, di keraton Kasultanan Ngayoyakarta. Cerita Max Havelaar, tentang kelaparan di daerah Lebak (1856), Jawa Barat menjadi renungan pergerakan nasionalisme di periode awal, dipentaskan di keraton yang gemerlap dan sarat publisitas.

Kemudian dari kedua lakon ini, dari mana sebenarnya kita bisa belajar tentang kehidupan Saijah dan Adinda? Apakah dari Cornelia Agatha atau dari para pekerja seks asal Surabaya? Saat ini, dengan sikap senat universitas dan yayasan yang sama membingungkan, apakah kita bisa memetik pelajaran dari para tetua ini? Atau dari para mahasiswa yang merelakan lambungnya untuk menjadi tanda kegamangan terhadap ketidakadilan? Ini belum Paskah, dan puasa sudah dilakukan. Memang, mata manusia memang suka tertipu, dan telinga manusia hanya suka mendengar pujian, dan bukan kritik.

*Tulisan ini dikirim ke Pos Kupang, tetapi tidak pernah dimuat dan diberi kabar, hanya beredar di beberapa mailing list dan e-mail.


Leave a comment

Individu, Kelompok, dan Negara


Oleh: Dominggus Elcid Li*

Tibo dan kawan-kawan hanya lah nama, tetapi kini mereka adalah representasi dari pertemuan sekian banyak orang. Mengapa kabar eksekusi mereka bertiga terus disuarakan oleh berbagai pihak, dengan beragam maksud dan tujuan? Maksudnya, ada yang memang merasa senasib dengan mereka bertiga karena seagama/sekampung/sepulau/seprovinsi, ada yang menjadikan ini sebagai ajang kampanye anti hukuman mati, ada yang melihat nyawa berasal dari Tuhan, ada yang melihat mereka sebagai saksi kunci untuk menelusuri para pembunuh lain, ada yang meminta secepatnya dilaksanakan hukuman mati, dan ada pula yang sekedar memberitakan sebagai cermin perilaku informatif.

Politik identitas dan rasa
Politik identitas adalah kartu yang sejak lama dimainkan oleh para politisi kita. Untuk para politikus kelas elit, yang nyaris setara dengan mafia, dimana moral ada di kawasan abu-abu. Eksekusi ini perlu dilakukan jika menguntungkan dan diprediksikan akan membawa dampak positif dari konstituen yang dituju. Saat ini eksekusi ini menjadi ajang inisiasi kedua pemimpin kita, untuk benar-benar merasakan otoritas tampuk kekuasaan, atau dengan kata lain bagaimana meletakkan diri dalam negara agar secara tepat dapat disebut negarawan. Karena tidak mudah mengambil keputusan, apalagi menyangkut nyawa manusia.

Persoalan ini memang tidak sederhana. Apalagi jika indikatornya adalah rasa. Misalnya, bagaimana orang lain memandang Presiden Susilo jika mengambil keputusan tertentu. Orang lain itu bisa kawan-kawan seangkatan di Magelang, anggota trah/keluarga yang kebetulan beragama sama dengan Tibo, kawan-kawan yang berasal dari provinsi asal Tibo, anak/istri Tibo, atau orang-orang yang meletakkan bendera setengah tiang. Dalam cara pandang orang per orang ini hampir dipastikan siapa pun akan mengalami kesulitan untuk menentukkan keputusan.

Roda kekuasaan tidak dibangun sendiri, misalnya oleh Presiden Susilo semata. Tetapi ada lingkaran-lingkaran yang mengelilinginya. Ibarat filter atau saringan, sehingga diharapkan keputusan yang dikeluarkan Presiden yang merupakan orang tertinggi di pemerintahan, dan saat ini juga negara, dapat mengeluarkan keputusan yang ‘pas’. Pas di sini diartikan sebagai timbangan kekuasaan penentu otoritas ada dalam kondisi tepat, artinya bisa berjalan terus, atau malah semakin kokoh.

Presiden Susilo adalah tanda dari pemerintahan saat ini. Artinya meskipun keputusan yang diambil turut ditentukan oleh sekian penasehat/pemikir, tetapi bagi khalayak ramai hanya ada satu titik yakni Presiden itu sendiri. Ini bukan hal yang mudah, karena setelah Sukarno dan Soeharto, belum ada lagi pemimpin yang benar-benar kuat di Indonesia. Sehingga ini masih menjadi pertanyaan umum.

Beberapa waktu lalu fokus kita ada pada presiden– saat para pengacara Tibo mengajukan grasi, namun saat ini titik-titik fokus itu telah bergeser, dari Kajati Sulteng, Kapolda Sulteng, Mabes Polri, beberapa LSM, Pangdam di sana, orang-orang di provinsi asal Tibo, dan di internet. Saat ini kata akhir masih belum ada, dan masih bergulir. Kata eksekusi dan tanggal eksekusi hampir bisa dimaknai sebagai simulasi untuk melihat reaksi.

Rule of the law dan absurditas
Posisi Presiden memang vital, dan ditulis khusus, karena dalam sistem negara secara de facto saat ini eksekutif lah puncak dari sekian lembaga negara. Pengampunan kepada koruptor ada di tangan presiden, mau atau tidak membuka kasus-kasus pembunuhan sejak tahun 1965 juga ada di tangan Presiden. Artinya, kalau memang mau bicara tentang rule of the law, sebagai seorang negarawan jangan setengah-setengah. Kita buka dari awal. Dan yang kita temukan, sekali lagi, kita semua sama-sama berdarah. Apakah ada yang berani? Apakah patriot itu ada? Absurd. Karena untuk menjadi pahlawan, artinya membunuh sesama warga negara yang berpandangan berbeda.

Jargon semacam rule of the law, hanya berani ditujukan kepada petani miskin, yang tidak tamat Sekolah Dasar. Kenapa? Andaikan negara ini memang benar-benar memiliki otoritas dan integritas, kenapa hanya berani ’menjewer’ orang kecil, macam Tibo.

Untuk itu kita, warga di Nusa Tenggara Timur, perlu berpikir jernih dalam membaca berita dan menonton televisi. Agar kali ini ujian yang kita hadapi bersama-sama dapat dibaca dengan benar, dan tidak membuat kita malu di kemudian hari. Kita entah sebagai penentang atau pendukung eksekusi, ada di posisi yang sama.

Kondisi ini tidak bisa dihindari, karena sekian lama kita memang hanya bergerak dalam level orang per orang, bukan suatu sistem negara yang serius. Memang ada alat negara dengan berbagai macam atribut, tetapi itu adalah bagian dari tuntuan dan karakter modernisasi, bukan lahir dari saling silang wacana, atau buah peradaban. Ini cuma tempelan.

Momentum Tibo, menjadi penting untuk meletakkan pertanyaan kaitan antara diri, kelompok, dan negara. Dengan sendirinya kasus ini menemukan makna politisnya pada orang-orang yang mencermati. Dalam skala lanjut, dapat diukur skala keterlibatan orang per orang. Kita juga bisa menduga-duga alasan dari keterlibatan orang-orang yang bersimpati pada Tibo, atau orang-orang yang meminta Tibo segera dieksekusi. Ada di wilayah mana sebenarnya? Mengapa terasa begitu gelap dan tidak kelihatan kekuasaan di luar diri?

Gap atau ruang antara kenyataan dan hafalan memang ada. Saat ini sekian orang sedang terlibat untuk bersama-sama merasakan arti negara. Sistem yang tidak kelihatan—karena sering bias/kabur, tapi bisa dirasakan. Momentum ini bisa membawa kita ke mana saja. Mengapa harga Tibo begitu mahal? Karena ini memang bagian dari proses sulit untuk benar-benar bernegara. Sehingga titik adunya tidak diletakkan dalam posisi biner: Islam vs Kristen, atau mayoritas vs minoritas. Jika kita letakkan di situ, maka hanya amarah yang ada, dan bisa dipastikan sia-sia.

Dalam situasi ini, demonstrasi atau apa pun, sama sekali tidak boleh menyentuh atau ditujukan kepada saudara-saudara kita kaum pendatang, sesama warga NTT yang beragam Islam, masjid/mushola/langgar atau apa pun. Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Ini perlu ditegaskan, karena kita tidak boleh menambah lagi air mata di rumah kita. Duka di Kupang, Ambon, Poso, Situbondo, Palangka Raya, Sampit, dan Tasikmalaya sudah lah cukup. Amarah atau apa pun dengan nada kekerasan, tidak akan membawa Republik ini maju selangkah jika nafasnya hanya balas dendam buta.

Eksekusi dan tanda dalam politik
Upaya para para pihak untuk memisahkan hukum dan politik patut dihargai. Sebab ini juga yang menjadi himbauan Presiden Susilo. Dalam cara pandang ini Tibo, Riwu, dan Da Silva, ada dalam posisi warga negara, bukan anggota kelompok dari agama atau etnis tertentu. Ini cara pandang yang ingin disampaikan.

Di sisi yang lain, sekian kegiatan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Timur oleh berbagai pihak membuktikan bahwa persoalan ini tidak hanya berada di level individu. Katakanlah ini masalah orang per orangan. Persoalannya ini kini memang sudah bergerak dan letakknya tidak pada level individu semata.

Kasus eksekusi yang berkaitan dengan agama, bukan pertama kali terjadi di Republik ini. Empat puluh tahun yang lalu ketika Dr.Soumokil, presiden RMS (Republik Maluku Selatan) akan dieksekusi, publik juga sempat berharap bahwa eksekusi bukan jalan akhir untuk Soumokil. Tapi ternyata tidak, eksekusi tetap dilakukan pada tanggal 12 April 1966, diujung Pemerintahan Sukarno kepada Soeharto (Van Kaam: 1977, hal.140-141). Saat itu ketakutan terhadap bentuk negara yang sentralistik lah yang mendasari proklamasi RMS. Tentang eksekusi Soumokil, Ben van Kaam menulis: “If this is correct, Sukarno’s refusal of amnesty could have been intended as a warning to the politcal right (the generals) that pro-American anti-Communist conspirators would not be able to count on the same tolerant tratment as was given, for example, to the Permesta rebels in 1957-61. It is an established fact that already in those days sukarno feared a right wing coup.”

Di sisi ini Soumokil dan Tibo posisinya sama ‘menjadi’ dan ‘ada’ sebagai tanda dalam politik, meskipun Tibo dan Soumokil adalah figur yang berbeda. Soumokil jelas memproklamirkan diri untuk terpisah dari Republik Indonesia, karena takut Maluku akan didominasi orang seberang. Sedangkan Tibo, transmigran asal Flores, yang mencari makan dan ada dalam situasi perang saudara (civil war) di Sulawesi.

Andaikan negara ini memang memiliki otoritas, kenapa ketegangan berlabel agama dibiarkan menjadi aksi-aksi pembunuhan atau kekerasan? Segala kekerasan antar agama dan golongan yang telah terjadi merupakan catatan bahwa ketegangan-ketegangan antar golongan dan agama itu memang ada, dan dibiarkan berlari tunggang langgang. Bagaimana mengakomodir atau melakukan transformasi konflik antara berbagai golongan ke dalam sistem politik, merupakan pertanyaan yang tidak pernah dilihat dengan mata telanjang. Sebaliknya, kekerasan yang tidak terlihat siapa pelakunya yang dinomorsatukan dan dikejar. Akibatnya berbagai alat negara diperebutkan untuk dipakai untuk melakukan kekerasan, dan yang terpenting agar pelakunya anonim, tidak diketahui, dan, sekali lagi, invisible. Apa pun, siapa pun operatornya, asal dari negara maka legal. Walaupun kita tahu para nahkoda di negara kita pun umumnya baru belajar, katakan lah magang. Tapi apa yang bisa dibuat?

Nalar melampaui kesusahan

Kenapa kekuasaan di Republik ini begitu invisible? Kita tahu, setiap hari kehidupan sehari-hari tidak menjadi lebih mudah. Tanda susah secara ekonomi, misalnya: (1) di Kupang jumlah pemulung dan pemungut sampah di kota makin bertambah, dan (2) di depan rumah jabatan Bupati Kupang, gadis-gadis kecil penjual seks dari pedalaman Timor yang memang miskin setiap malam semakin bertambah. Indikator sosial semacam ini, tidak lantas membawa orang bertanya kenapa masyarakat kita makin miskin. Di sisi politik, hanya orang-orang yang punya uang dan kenalan yang bisa jadi anggota dewan, itu pun hanya segelintir yang melakukan refutasi konsep dan analisis sosial tiap hari. Kita tidak pernah bertanya kenapa? Di sisi hukum, kenapa hanya Tibo dan kawan-kawan yang mau dieksekusi? Jawabannya mudah, karena mereka ini orang-orang kecil, dan tidak memiliki alat untuk melakukan tekanan, dan tidak ada organisasi. Orang susah di sini memang umumnya suka berjalan sendiri-sendiri. Sehingga ketika ada yang kebetulan menjadi pejabat pun sibuk untuk kaya sendiri. Ini lah kita.

Ketika akhirnya dieksekusi pun, luka itu tetap menganga. Siapakah yang tidak mau belajar dari sejarah? Tidak ada yang benar mutlak, contohnya kritik tentang pandangan negara unitaris (vis a vis federalis), kini toh diakomodir dalam bentuk otonomi daerah—yang tidak jelas juga, masih sama: mode. Kemudian, tindakan para politisi yang memadamkan semua pemberontakan di mana saja dengan senjata, ujung-ujungnya membawa kegamangan militer terhadap perilaku politisi, dan militer menjadi elit tersendiri–sekaligus menjadi kekuatan yang paling terorganisir dan disiplin di negara, meskipun akhir-akhir ini sarat dengan konflik internal. Tapi jelas militer tak bisa berjalan sendiri, karena negara lingkupnya lebih luas dari militer atau kelompok apa pun itu (ini perlu disadari).

Saat ini Tibo merupakan noktah bagi kita untuk serius bernegara. Apa pun keputusan kita. Sehingga bebagai tekanan yang datang dengan ingin mengeksekusi Tibo, harus kita pakai sebagai semangat untuk membangun negara. Bukan untuk membentuk kelompok primordial yang semakin eksklusif, tetapi ini merupakan tantangan, bagaimana kita membuktikan bahwa dari provinsi busung lapar ini memang ada kebijaksanaan untuk Republik ini. Kita harus membuktikan, bahwa nalar kita melampaui peradilan sesat Tibo.

* Tulisan ini ditolak Kompas dengan alasan tidak ada tempat.


Leave a comment

The forgotten of West Timor


Photobucket - Video and Image Hosting

Poverty, refugees, militias, and too many soldiers

by Elcid Li

In Kupang in the 1980s I sometimes heard a salvo fired at the Heroes Cemetry about a kilometre from my home. The next morning I would see a new grave. Another soldier or police officer had died in battle in East Timor. When I returned to Kupang at the end of 2001 I saw the body of a little girl. She had died of hunger in the Noelbaki refugee camp near the city. Her grave was dug among other little graves on the land belonging to a local resident.

In the past it was like a myth – I heard from an uncle about the road running with blood at the Santa Cruz cemetry in Dili. Now I feel that what happened in East Timor could also happen in West Timor, as if death had moved from one place to the other. West Timor today is like the dark side of the moon, where the sun never shines. Perhaps only some dramatic massacre will open the eyes of the world.

Antonius Seran Wilik, a retired teacher in Belu district near the border with East Timor, will not easily forget the date 4 September 1999. On that day he took 42 East Timorese refugees into his home. The Raihat refugee camp would be built there later. But it was not the first time the Raihat sub-district, which borders directly with Bobonaro district in East Timor, had seen refugees. The first time was 1946, just after the Second World War. The second was 1975, when East Timor was in upheaval and Indonesia came in and took over. There were even still stories of refugees from a war in Manufahi in the 1880s.

If in 1975 the refugees numbered about 4,000, in 1999 there were about 24,000 – for a population in Raihat of only 7,000. As a respected local leader, Antonius Seran Wilik ordered six square kilometres of traditional land to be set aside for the refugees. They were also allowed to live in the gardens and backyards of the locals. Antonius said the refugees came from an area that had traditionally supplied brides for his people. Belu district has the same language and culture as East Timor. The 1999 refugees were on the whole greeted as if they were relatives.

At first the world took a lot of notice of the refugees. But when three staff members of the United Nations High Commissioner for Refugees were murdered on 6 September 2000, nearly all international agencies helping the refugees pulled out of West Timor. Reduced assistance for refugees placed an increasing burden on the locals. Theft increased in the town of Atambua near the border. Forests in South Belu were chopped down and turned into agricultural land. No locals had ever dared to cut down those trees for fear of being fined. But the refugees just said ‘we are defending the red-and-white (flag)’, and after that the law was powerless. The locals knew this was illogical, and they worried about droughts and flooding for generations to come. But the refugees were hungry, and they were relatives. The province of East Nusa Tenggara of which West Timor is a part is the poorest in Indonesia.

Military

The slow rate at which refugees were returning proved that the militias retained a strong influence in the West Timor camps. They used guerrilla tactics to avoid handing over their weapons to the military. Anyway, many of them had been soldiers, or trained by them. It is common knowledge that the weapons are still there, even if they are not openly visible.

The area near the border has become heavily militarised. In January 2002 there were an estimated five battalions. Although some welcomed the increased military presence because it would control the militias dangerously frustrated with the new Jakarta policy, many feared that West Timor could be turned into a military operations area as in Aceh or Papua.

As in East Timor Bishop Belo became a symbol of the people’s resistance, so in West Timor the Catholic Church speaks out through the priests. In Kefamenanu, priests rejected the establishment of a base by Infantry Battalion 744, formerly from East Timor. The commander of the Udayana military area, based in Bali, said to them in a meeting: ‘Who will look after the priests’ safety if not the soldiers?’ There have been instances of intimidation against the church. A homemade bomb was found at the bishop’s palace in Atambua.

Refugees

No one knows how many refugees there are – numbers are a political commodity for all those involved, both the government in East Timor and Untas, the refugee umbrella organisation. Untas, who said it was too early to ask them to make up their minds, sabotaged a survey of refugees in 2001 that wanted to ask their intentions. The survey resulted in numbers that were quite incredible.

Official assistance for the refugees ended on 1 January 2002. This is a risky way to force them to make up their minds whether to go home or stay. Some are already using the word ‘new residents’ rather than ‘refugees’ to describe them. They had enough food stored to last them until May, but after that things could get tense. Hunger can drive people to desperate acts. The Udayana commander has threatened to shoot rioters on sight. They have been living in these basic camps for nearly three years now.

They feel like hostages against the possibility of international sanctions against those military officers who committed crimes against humanity in East Timor. Once again, the little people have become the victims. Moreover, many West Timorese feel that political turmoil in Jakarta has resulted in scant attention being paid to peripheral areas such as their own. One local politician has called for UN intervention. However, this remains a sensitive issue.

While the new country of East Timor obtains a lot of international help, West Timor gets none. Not surprisingly, many farmers near the border have turned to small trade across the border. The trade profits the soldiers and police guarding the crossings too. They take Rp 5,000 (one Australian dollar) in ‘safety money’ for every box that passes by. A young Brimob policeman told me he earned Rp 300,000 a day that way.

The situation in West Timor is like a boil waiting to burst. First, unless the refugee problem is solved, it will lead to conflict with the locals, especially over land. Second, the continued presence of the militias, although now more or less clandestine, has introduced a volatile element. In a stressful situation these people create fear. They feel they are at war and the law does not apply to them. Third, the excessive number of soldiers to guard the borders is becoming a burden on the local population.

I now place my hope in Xanana Gusmao and his offer of reconciliation. His visit to Atambua on 4 April 2002 did much to counter the negative campaign in the camps that there would be a revenge attack into East Timor once the United Nations was gone. May President Xanana bring peace to us all.

Elcid Li (domingguselcid@lycos.com) is a freelance journalist. Thanks to Dony for his help in Atambua. This report published on Inside Indonesia (July-Sept 2002)
http://www.insideindonesia.org/edit71/Elcid.htm


Leave a comment

Gereja, banalisasi korupsi, dan Good Governance


Through the children eyes

Oleh Dominggus Elcid Li *

PROGRAM seratus hari SBY telah jauh berlalu, ditenggelamkan tsunami, parade kapal perang di Ambalat dan akhirnya hiruk pikuk pilkada. Satu atau dua kasus korupsi tetap bermunculan di halaman pertama koran, salah satu yang teraktual adalah kasus KPU, yang kini masih menjadi ‘misteri’ kita bersama, karena banyak orang sulit menerima bahwa para akademisi sekaligus aktivis ikut terseret dalam kasus korupsi, dan juga bertanya mengapa ‘kasus KPU’ yang dijadikan model shock therapy dalam memberantas korupsi dan bukan kasus-kasus kelas kakap lain.

Bagi sebagian orang masalah korupsi masih dianggap problem para elite semata, padahal korupsi sudah menjalar dan menyebar ke mana-mana, termasuk ke institusi yang biasa dianggap bersih yang menjadi pilar moral dan penegak hukum. Resep pemberantasan korupsi masih seputar ‘satu mengontrol yang lain’. Bagaimana kalau dalam kasus Indonesia ini, ternyata pengontrol pun bagian dari sistem yang korup? Apakah ada yang bisa membuktikan tidak terjadi korupsi di kepolisian, kejaksaan dan kehakiman?

Lewat fenomena ini dapat dipahami bahwa gerakan anti korupsi tidak muncul dari kesadaran sejarah negara ini, teriakan itu ada pada slogan dan retorika yang tidak memiliki pijakan kuat. Lebih tepatnya, isu korupsi hanya merupakan satu bagian pelaksanaan dan adopsi slogan good governance yang menjadi pil penenang dari negara adikuasa (baca: donor) untuk kita.

Kasus korupsi yang dibuka tidak memiliki daya perubahan, yang membuat kita tergerak untuk menghentikan korupsi dalam hidup sehari-hari. Pemberantasan korupsi masih merupakan slogan, dan para koruptor yang diperiksa hanyalah ‘tumbal’ dari sistem yang korup. Pertimbangannya, daripada seluruh peserta dibui, lebih baik satu atau dua orang atau kelompok yang dikorbankan, agar pemberantasan korupsi menemukan panggungnya. Agar orang kuat tidak diplesetkan menjadi demagog.

Para pelapor, tertuduh, pengacara, polisi, jaksa, dan hakim mulai bersiap-siap memberikan pernyataan di lapangan media massa. Semuanya menunjukkan seolah-olah mereka yang paling keras dan benar. Tetapi kadang orang lupa untuk berhenti dan bertanya mengapa kasus ini yang diangkat? Jika semua elemen-elemen ini mendapat jatah sama rata dan ‘adil’ tentu kasus ini tidak akan ada. Karena korupsi bukan merupakan sebuah peristiwa insidental, tetapi telah menjadi aktivitas yang melembaga dan mengakar dalam masyarakat kita.

Banalisasi korupsi

Korupsi telah menjadi hal biasa sehingga korupsi pun tidak dapat dilihat secara hitam-putih. Contohnya, seorang pejabat yang korup, pasti tidak melakukan korupsi sendiri. Ada tim yang dibangunnya, ada kaki-tangannya yang ‘ikut basah’. Belum lagi rantai sosial yang berhubungan dengannya, mulai dari sumbangan amal, pembangunan rumah ibadah, kegiatan pemuda dan olahraga, organisasi keagamaan hingga arisan keluarga.

Anggota masyarakat pada umumnya pun sebenarnya permisif atau tutup mata terhadap Si A yang korup. Asalkan Si A tetap rajin memberi sumbangan, maka ia dinobatkan menjadi ‘orang baik’ atau ‘tangan terbuka’. Padahal ia mencuri dari masyarakat, antara lain dari APBD atau APBN.

Kata ‘daerah’ dan ‘negara’ di belakang ‘anggaran’ pun sama abstraknya. Karena keduanya tidak ada dalam arti yang sebenarnya. Orang pun biasa saja mengambil uang daerah atau negara, seperti mengambil uang dari kantong ajaib. Serasa uang ini bukan milik siapa-siapa. Ini yang membuat korupsi lancar dan mulus. Karena sudah sering terjadi dalam masyarakat, maka terjadilah banalisasi (menjadikan biasa) korupsi dan memang yang terjadi adalah pembiaran korupsi dalam sistem pemerintahan.

Lain hal jika ada warga yang mencuri ayam milik si B, ia pasti ditangkap dan menjadi perhatian. Karena ayam itu jelas milik si B. Tetapi korupsi, mengambil uang negara atau daerah, tidaklah berwajah (Haryatmoko, 2004, hal. 127) meskipun itu jika dipahami adalah uang kita bersama. Lebih konyol lagi pelakunya bagi sebagian orang disamakan dengan tokoh Robin Hood. Tanpa pusing-pusing masyarakat kita umumnya langsung mengamini si A itu baik hati, dermawan, tanpa mau tahu dari mana asal uang. Orang-orang yang selalu dicitrakan dan ditokohkan sebagai orang baik, suka memberi dan kaya akan semakin banyak muncul di NTT. Dalam suasana kemiskinan dan kesusahan, masih tegarkah kita bicara soal moral dan meletakkan aksi sehari-hari dalam bingkai etis?

Korupsi dan nasionalisme

Dalam atmosfir kesadaran bernegara yang makin menipis, lembaga-lembaga negara hanya menjadi alat untuk memperkaya diri sendiri bagi individu yang masuk di dalamnya. Ini cukup memberi gambaran mengapa tes-tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di NTT menjadi begitu heboh dan ditunggu. Karena di NTT lapangan birokrasi dan lembaga-lembaga negara lain masih merupakan kue besar yang diperebutkan jika ingin bertahan hidup.

Segala cara ditempuh, dan dengan semangat tribal orang mulai bergerak mundur. Contohnya ketika hasil tes CPNS diumumkan, ketidakpuasan yang mencuat adalah ketidakpuasan atas nama identitas kelompok, berapa yang putra daerah dan berapa yang bukan. Sehingga korupsi di tubuh birokrasi pun dapat dilihat sebagai aktivitas kelompok, bisa etnis/agama atau sesama kaum opurtunis yang lapar dan rakus.

Persoalan korupsi aslinya bukan merupakan persoalan pribadi, tetapi kini sering kalau ada kasus korupsi yang dibuka, maka akan langsung dikaitkan dengan identitas agama/suku/keluarga/kelompok dari koruptor. Ini yang terjadi di NTT (dan Indonesia) dan sebagai akibatnya kekacauanlah yang ditimbulkan dari kritik atas korupsi, dan tidak dilihat sebagai bentuk koreksi. Sengketa kasus korupsi pun mulai kait mengait, antarklan, antarkelompok dan semakin tidak jelas, hanya berdasarkan naluri barbar.

Tetapi pejabat yang lihai tidak akan terjebak dalam sentimen kelompok, karena ia akan membagi semua posisi secara merata, sehingga korupsi akan dinikmati bersama-sama semua unsur kelompok yang berpengaruh di NTT. Jika tidak ada yang ribut, maka korupsi tidak akan ketahuan. Ditambah dengan seorang akuntan yang cakap, maka celah-celah kesalahan administratif yang biasa menjadi lubang dalam kasus korupsi tidak mungkin terdeteksi.

Dalam sejarah pemerintahan, pemerintahan kolonial yang menggunakan sistem indirect rule, awalnya para bangsawan dan raja-raja kecil yang diangkat menjadi pemimpin di suatu daerah. Para pejajah ini tidak memimpin langsung suatu daerah, ia hanya perlu mengangkat satu orang dari bangsa kuli ini untuk menjadi pemimpin kuli lain. Selanjutnya penguasa kolonial tinggal menunggu upeti. Jika penguasa ini dituduh korupsi dengan mudah ia tinggal menyediakan tumbal atau kambing hitam, bawahannya atau staf.

Gayanya tetap bangsawan dan sangat hirarkis. Pegawai negeri sipil yang oleh pemerintah orde baru diasosiasikan dengan pamong praja jelas berbeda tafsirnya dengan civil servant. Pamong yang ngemong (Bahasa Jawa ‘menuntun dan memberi petunjuk’) jelas berbeda dengan arti servant yang artinya pelayan. Sehingga slogan good governance itu akhirnya hanya seperti sebuah trend meluruskan rambut yang keriting. Pada akhirnya jika sistemnya tidak dibenah dan pembenahan birokrasi tidak dilakukan yang keluar tetap saja sama dan makin parah karena semakin bervariasi.

Seribu kali good governance itu diteriakkan, serupa dengan seribu plester yang ditempel di tubuh penderita tumor ganas. Sehingga pengetahuan tentang administrasi modern yang dipelajari di bangku kuliah tentu tidak bisa diterapkan jika semangatnya tetap pamong praja yang tidak pernah salah. Benturan-benturan ini sering tidak disadari padahal ini merupakan dasar-dasar organisasi. Buktinya jika ada rakyat (kawula) yang berani mengritik pamong praja, maka orang ini langsung dikategorikan kurang ajar, dan langsung dituduh mencemarkan nama baik. Selanjutnya kita tahu ke mana cerita akan bergerak dan hanya bisa diam sebab yang berlaku adalah hukum uang, yang benar adalah yang bayar.

Agak lucu dan sedih jika kita menyadari para birokrat inilah yang menjadi alat utama untuk indoktrinasi nasionalisme. Dalam situasi yang kacau, nasionalisme pun diucapkan dengan gagap, setengah hati. Upacara bendera merah putih yang menjadi tradisi pegawai negeri dan aparatur negara lain menjadi satir. Nasionalisme macam apa yang sedang dibayangkan ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan? Seperti lagu requiem untuk negara ini.

Pekerjaan membongkar sistem bukan pekerjaan seratus hari seperti yang dislogankan oleh SBY dan juga digemakan oleh media massa serta para vokalis lain. Membongkar korupsi bukan sekadar sebuah program pendek, atau ajang kamikaze bagi para pengikut dari tokoh-tokoh yang kebetulan kasusnya diangkat. Membongkar sistem berarti menuntut kita bersama-sama dan menyadari bahwa perubahan menuntut keterlibatan kita secara keseluruhan. Artinya kita pun siap ditelanjangi. Mulai dari ornop, birokrat, pihak kepolisian, kejaksaan kehakiman dan para awak media massa. Benarkah kita tidak korupsi?

Sebab jika kita tidak mulai bekerja sungguh-sungguh dan mau mendalami perkara korupsi, yang terangkat di permukaan hanya proses saling memangsa. Tergantung siapa yang lebih kuat, dialah yang hidup. Tidak membuat kita bergulir dan mulai berpikir untuk menjadikan masyarakat yang lebih beradab dan memiliki harga diri.

Sekadar perbandingan, apakah situasi sekarang berbeda dengan situasi saat nusantara masih menjadi koloni Belanda? Bisa dilihat dari para pejabat-pejabat, apakah sistem setor ke atas itu masih ada? Apakah pada saat pelaksanaan proyek, para pelaksana masih sibuk menyetor? Apakah ini berbeda dengan tradisi upeti zaman kerajaan?

Gereja dan koruptor

Korupsi semakin mengakar dalam masyarakat Indonesia, dan di NTT pun demikian. Dari lapisan atas di tingkat pejabat pemerintahan masuk hingga penjualan buku pelajaran di sekolah oleh para guru. Sehingga usaha eksplorasi tentang gerakan pemberantasan korupsi, perlu dilakukan dalam lingkup yang lebih luas dan lebih mendalam. Kajian-kajian empirik tentang korupsi perlu dibuka agar konsep korupsi tidak hanya meminjam kata dari peneliti di negeri antah berantah. Sebaliknya harus digali apa dan bagaimana model korupsi berbasis budaya lokal. Dengan demikian para pembuka kasus korupsi pun bisa benar.

Peran ornop dalam menyuarakan kasus korupsi di jajaran elite, di satu sisi langsung menempatkan ornop sama elitenya dengan elite pemerintah yang dikritiknya. Sebab jika ornop masih mau menempatkan diri sebagai sumber inspirasi masyarakat, tentu tidak melupakan perannya untuk ‘mencari’ gerakan anti korupsi yang merakyat, yang kasusnya berlimpah dalam masyarakat tapi telah menjadi biasa. Ini menuntut kerja keras dan jauh dari sensasi, tapi penting untuk dilakukan. Karena senyatanya korupsi bukan hanya ada di kalangan para priyayi pamong praja, namun juga terjadi di kalangan kawula kelas rendahan.

Mencari pintu masuk dalam budaya setempat yang memungkinkan untuk mengajak partisipasi masyarakat terlibat dan peduli pada persoalan anti korupsi penting untuk dilakukan, selain seminar-seminar tentang korupsi yang datang dari negara lain yang situasi masyarakatnya tentu lain. Mengadopsi judul buku peradaban barat tentu tidak bisa serta merta. Pemahaman atas konteks sosial dan sejarah perubahan sosial masyarakat mereka pun harus dipahami agar kita tahu siapa dan dimana kita dalam peta dan sejarah peradaban.

Persoalan memotret korupsi dengan gayanya yang khas dalam masyarakat ini perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya masyarakat kita untuk bangkit dari keterpurukan. Sebab sejak birokrasi diperkenalkan bersamaan dengan hadirnya pedagang-pedagang Eropa di daerah ini, masyarakat di sini hanya dimaknai sebagai kuli. Dalam sistem kenegaraan yang baru (republik) watak ini belum berubah, masih sekadar ganti nama atau semu.

Ornop yang jumlahnya sedikit ini harus didukung oleh lembaga-lembaga sosial yang sudah ada dan berperan. Dan, di NTT gereja-gereja sebenarnya mempunyai kemampuan (atau daya) untuk mulai mengajak umat untuk melakukan refleksi atas kerja sehari-hari (korup atau tidak?). Tetapi peran ini tidak dilakukan. Potensi swadaya ini didiamkan. Yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari para tokoh agama lebih terlibat dalam peristiwa-peristiwa seremonial yang diadakan oleh para penguasa daerah. Yang terlihat di surat kabar dan televisi para petinggi agama lebih sering menandatangani pernyataan kerukunan beragama atau mendukung pemilu. Sekadar ritual yang berulang dari tahun ke tahun.

Seandainya gereja-gereja di NTT dipahami sebagai penegak etik yang mampu meletakkan code of conduct dalam masyarakat, tentu kita masih bisa berharap bahwa selain sekadar perebutan jabatan di kantor-kantor dari anggota masing-masing gereja, masih ada yang mampu dibuat. Sehingga tak hanya bangga jika ada yang mengatakan semua konflik di dunia ada di Indonesia, tidak terkecuali persoalan di Irlandia. Seharusnya kita mulai sadar dan berhenti menjadi pengemis dan pencuri, agar kita yang selama berabad-abad dikenali sebagai bangsa kuli bisa memiliki harga diri. Selama ini bukan tidak ada orang beragama yang berbuat, namun jumlahnya kecil dan hanya tertarik untuk isu pinggiran dan tukang tambal dari pembangunanisme.

Ziarah pembebasan sebagai inti dari proses dekolonisasi gereja mutlak dilakukan, sehingga beragama tak hanya sebagai bagian untuk mendapatkan ketenangan batin dan ketenangan rohani (Subangun, 2003, hal 109). Ladang tandus yang lebih luas menanti untuk diolah.

Di depan kita tantangan gereja semakin tampak dan menjadi nyata, sebab hubungan positif antara kesalehan seseorang dalam beragama dan perilaku seseorang sebagai warga negara kian kabur. Artinya seseorang yang rajin ke gereja dan rajin berdoa tidak menjadi garansi bahwa ia tidak korupsi atau berlaku adil. Dalam situasi ini mampukah gereja di sini atau para umat beragama, melihat tantangan dan ikut merumuskan strategi untuk warga nusantara? Artinya dalam bingkai republik, maukah gereja membenamkan diri dalam persoalan hidup saat ini, dan dengan tegas (baca: tidak berlaku setengah hati) mengoreksi anggotanya, sehingga kita bisa melihat bahwa gereja memang melakukan sesuatu ketika negara ada dalam kesulitan hebat.

Saat ini meskipun kesalahen dalam kelompok agama belum menjadi lokomotif perubahan bagi negara kepulauan yang sedang sekarat; meskipun dicerca, ditinggalkan pengikutnya dan terdiferensiasi dari abad ke abad, namun agama masih dipercaya mampu memunculkan yang benar. Setidaknya ini ada dan merupakan harapan.

Sikap ini menjadi dasar ratusan agamawan dunia pada tahun 1993 yang mendeklarasikan World Ethic, yang menulis: We know that religions cannot solve the environmental, economic, political, and social problem of Earth. However, they can provide what obviously cannot be attained by economic plans, political programmes or legal regulations alone: a change in the inner orientation, the whole mentality, the ‘hearts’ of people, and a conversion from a false path to a new orientation for life (Hans Kueng, hal. 22, 1993) (yang jika diterjemahkan menjadi: Kita tahu bahwa agama-agama yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan, ekonomi, politik dan masalah sosial lain di bumi ini. Namun, agama-agama itu jelas dapat menyediakan apa yang tidak dapat direalisasikan oleh beragam rencana ekonomi, program-program politik atau regulasi, yaitu: perubahan yang berorientasi ke dalam diri, keseluruhan mentalitas, nurani manusia dan masyarakat, serta perubahan atau lebih tepatnya pertobatan yang sungguh, dari jalan yang keliru menuju orientasi baru dalam hidup). Apakah mau dan mampu kaum beragama di Indonesia sebagai peziarah ikut merumuskan tantangan kita versi nusantara?

Pesan moral tentang korupsi dan kerakusan dituliskan jelas dalam deklarasi World Ethic dan sesungguhnya dapat ditemukan dalam kelompok asli mana pun di dunia ini, juga untuk mereka yang dikatakan tidak beragama: Jangan mencuri! Kita bisa mengutip di mana-mana pesan ini, dan berharap untuk kesekian kali agar agama tidak sekadar dijadikan tanda artifisial semata, sekadar jejak peninggalan kolonial dan arus perdagangan masa lalu, namun sungguh menyentuh hati manusia dan menjawab tantangan zaman. Kerelaan dan pengorbanan menjadi dua syarat mutlak. Sehingga dalam pergantian generasi nanti bisa muncul pertanyaan, “Kita ada di mana dalam peradaban ini?” Atau dalam pertanyaan susulan, “Gereja Indonesia ada di mana dalam peradaban ini?”

* Penulis, wartawan, tinggal di Kupang, tulisan ini pernah dimuat di Harian Pos Kupang, 20 Juli 2005